Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Tuesday, May 30, 2006

Persepsi Terhadap Bencana
Belajar kepada Jepang bencana yang diterima langsung merubah mental bangsa. Ketika luluh lantak oleh bom atom, bangsa brutal dan fasis langsung mengubah mentalnya menjadi bangsa pembelajar. Dibawah wajah nunduk menyerah tanpa syarat Jepang menterjemahkan ilmu Barat ke dalam bahasa jepang dan diajarkan kepada Bangsanya. Tanpa diketahui oleh Amerika hanya dalam dua windu lebih semua pengetahuan Barat sudah diketahui oleh bangsa Jepang. Dan kini Jepang mengungguli Amerika dalam teknologi.

Kita Berulang-ulang kena bencana tapi tak kunjung berubah. Dalam suasana krisis justru banyak orang memilih kesempatan dalam kesempitan. Menurut teori spiritual bangsa-bangsa akan terkena tiga jenis musibah, yaitu:
1. Musibah yang datang dari luar ulah manusia (ba'sa)
2. Musibah karena ulah manusia (dlorro')
3. Musibah karena dipermainkan (zulzilu)

Kita sekarang terkena ketiga-tiganya, yakni terkena bencana alam terus menerus, kedua dililit problem salah urus. Ketiga, dipermainkan negara donor dan dipermainkan penghianat bangsa. Tinggal satu fase bagi kita, belok kiri tenggelam, belok kanan bangkit. Kebangkitan kita hanya mungkin jika bangsa ini melakukan taubat nasional yakni menata kehidupan dengan prinsip keadilan dan bermartabat

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, May 22, 2006

Perubahan Cara Pandang Masyarakat Indonesia Tentang Keluarga: Perspektif Psikologi Islam
Secara fitri manusia membutuhkan adanya kehidupan keluarga yang terdiri dari suami isteri dimana dari sana lahir anak cucu sebagai generasi penerus. Dari masyarakat yang paling primitip hingga masyarakat ultra modern, lembaga keluarga tetap dipandang sebagai kebutuhan fitri . Yang berubah (berkurang atau bertambah) adalah fungsinya sejalan dengan perubahan budaya masyarakat. Kebudayaan adalah konsep, gagasan, ide, norma dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat dalam waktu yang lama dan kemudian mewujud dalam bentuk karya budaya.

Perubahan konsep tentang sesuatu akan mengubah cara pandang seseorang/masyarakat tentang berbagai hal yang terkait, selanjutnya mengubah perilaku, dan berakhir dengan perubahan struktur dari masyarakat itu. Selanjutnya antara individu, keluarga dan masyarakat akan saling berinteraksi membentuk sebuah bangunan yang baru dari masyarakat itu, baru secara substansial atau baru dalam bentuk lahirnya saja.
A. Konsep Keluarga Islami

Semua agama dan hampir semua budaya menganut nilai kesucian dalam keluarga, kecuali pada sekelompok kecil masyarakat ultra modern. Yang berbeda adalah konsep kesucian/kesakralan yang dianut; kesucian mistis, kesucian tradisi, kesucian etos dan kesucian religious. Dalam pandangan Islam, adanya laki-perempuan dimana yang satu tertarik kepada yang lain adalah sudah menjadi sunnatullah, tak bisa diubah atau diganti. Nilai kesucian keluarga dalam Islam adalah bahwa penghalalan hubungan antar laki-perempuan dan kemudian menjadi suami isteri tidak saja harus menempuh jalur horizontal, tetapi juga jalur vertikal, yakni dengan nama Allah Yang Maha Suci, dan selanjutnya hubungan seksual antara suami dan isteri itu kemudian bermakna ibadah. Secara tekstual hal itu dingkapkan oleh hadis Rasul yang berbunyi; akhadztumuhunna bi amanati Allah wa istahlaltum furujahunna bi ismi Allah. Laki-laki mengambil wanita sebagai isterinya dengan kontrak amanat dari Allah, dan dihalalkan farjinya untuk disetubuhi dengan atas nama Allah. Kesucian keluarga dalam Islam berpangkal dari konsep kesucian pergaulan dan kesucian nasab, kemudian mengembang dalam sistem; seperti adanya (a) konsep aurat, (b) konsep muhrim, (c) konsep kesetiaan, (d) konsep birr al walidain, yang juga diatur dalam sistem hukum.
A.1.Konsep aurat

Secara fitri manusia mengenal aurat, yakni sesuatu yang dirasa tidak layak (memalukan) dilihat oleh orang lain. Konsep aurat merupakan perwujudan dari konsep kesucian pergaulan. Aurat fisik lelaki adalah batas antara pusat dan lutut, aurat fisik wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Aurat keluarga meliputi (1) hal-hal yang merupakan kekurangan dari masing-masing suami atau isteri (2) kehidupan seksual, (termasuk kamar tidur). Aurat batin mencakup fikiran buruk, niat buruk dan persangkaan yang buruk.. Aurat fisik ditutup dengan pakaian, aurat seksual ditutup dengan dinding/pintu dan mulut. Kamar tidur suami isteripun sebenarnya merupakan semi aurat, oleh karena itu tingkat privilege nya sangat tinggi. Jangan setiap orang boleh keluar masuk kamar tidur suami isteri, kalau bisa (meski boleh, la junaha) bahkan jangan menyerahkan kepada pembantu untuk membereskan kamar tidur. Uruslah oleh isteri atau suami atau bersama-sama, karena hal itu merupakan tempat yang sangat privilege. Menurut al Qur’an, anakpun tidak dibolehkan bebas keluar masuk kamar tidur orang tua, sekurang-kurangnya pada tiga waktu, yaitu sebelum subuh, saat-saat ganti pakaian lepas lohor dan sebelum Isya, itulah tiga waktu `aurat tsalatsu `auratin lakum , kata al Qur’an (Q/24:58). Menurut hadis Nabi, tempat tidur suami tidak boleh dipinjamkan untuk tidur orang lain, an la yuthi’na furusyakum man takrahun (H.R. Ibn. Majah dan Turmuzi). Nabi juga sangat keras mengingatkan bahayanya aurat saudara ipar (al hamw al maut).
A.2. Konsep muhrim

Dari akad nikah maka muncul daftar baru orang yang tidak boleh dinikahi (muhrim), yaitu mertua/mantu, disamping yang berhubungan darah (bapak/ibu ke atas, anak ke bawah, saudara dan keponakan ke samping. Konsep muhrim merupakan perwujudan dari konsep kesucian pergaulan dan konsep kesucian nasab. Menurut etika Islam, seorang wanita tidak boleh bepergian tanpa didampingi muhrim. Menurut hadis Nabi, wanita yang bepergian sendirian dalam keadaan gelisah adalah umpan syaitan. Muhrim adalah orang yang memiliki kelonggaran untuk bergaul yang oleh karena itu leluasa untuk melindungi, fisikal atau psychological, dari gangguan fisik atau gangguan psikologis.
A.3. Konsep Kesetiaan

Kesetiaan keluarga dalam Islam berhubungan dengan hak dan kewajiban (syari’at/horizontal), norma sosial (ma`ruf), akidah dan akhlak (vertikal-horizontal) dan cinta (internal). Secara syar’iy suami mempunyai kewajiban yang melahirkan hak, demikian pula isteri mempunyai kewajiban yang melahirkan hak. Secara umum, suami wajib memberi nafkah dan perlindungan, kemudian memiliki hak memimpin rumah tangga. Isteri wajib berbakti, yang dengan itu memiliki hak nafkah dan perlindungan. Tidak terpenuhinya kewajiban secara alami akan mengurangi pula haknya. Suami harus memperlakukan isteri secara ma`ruf, wa’asyiruhunna bi al ma`ruf (Q/4:19), yakni memperhatikan nilai-nilai kepatutan sosial, tetapi keduanya harus luwes, fleksibel dan harmoni , masing-masing bagaikan pakaian dan pemakainya (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna (Q/2:187). Kesetiaan isteri kepada suami mengandung nuansa teologis, sehingga kesetiaannya kepada suami bagaikan karcis ke surga (dakhalat min ayyi abwab al jannah sya’at (hadis), sementara martabat laki-laki justeru diukur dengan kebaikannya kepada isteri (ma akrama an nisa a illa karim, wama ahanahuna illa mahin(hadis). Cinta juga menjadi pondasi kesetiaan, tetapi ada beberapa typologi cinta; cinta diri, cinta transaksional, cinta sosial dan cinta kebajikan. Al Qur’an menyebut beberapa typologi cinta, seperti mawaddah, rahmah, mail, syaghaf, ra`fah, shobwah, kulfah dan dari hadis, syauq.
A.4. Konsep birr al walidain

Dalam Islam, berbakti kepada orang tua bukan saja berdasar logika, tetapi mengandung nuansa teologis. Dalam al Qur’an, birr al walidain selalu disebut berdampingan dengan kewajiban menyembah Allah, la ta`buduna illa Allah wa bi al walidain ihsana (Q/2:83), terima kasih kepada orang tua juga disejajarkan dengan syukur kepada Tuhan, an isykur li wa liwa lidaik (Q/31:14). Kata Nabi, ridla Allah berada dalam ridla orang tua, dan murka Allah juga berada dalam murka orang tua, ridlallah fi ridla al walidain, wa sukhthullah fi sukhth al walidain.

Secara umum, semua budaya bangsa Indonesia memiliki ukuran-ukuran tersebut diatas dengan berbagai variasinya (distorsi atau ekses), hanya saja hanya dalam ajaran Islam norma-norma itu tersusun rapih dalam sebuah ajaran yang sistemik.


B. Pengaruh Golbalisasi/Reformasi dalam Membentuk Cara Pandang Masyarakat

Globalisasi ditandai dengan tiga hal : (1) penggunaan teknologi tinggi dalam berbagai hal, (2) berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai wujud dari kemajuan intelektual manusia, (3) perilaku manusia dikendalikan oleh informasi. Dengan teknologi, terutama teknologi informasi dan ilmu pengetahuan, dunia berubah menjadi kampung kecil dimana penduduk dunia berkumpul hampir tanpa jarak, padahal tiap bangsa bukan hanya berbeda-beda kebudayaanya, tetapi juga berbeda kapasitasnya dalam menyerap informasi..

Dalam kasus Indonesia, dampak globalisasi menjadi lebih menarik, karena lapisan sosial masyarakat Indonesia sangat heterogen. Jika bangsa Mesir hanya terdiri dari tiga lapisan sosial; masyarakat elit (afandy) masyarakat urban (balady) dan dan orang desa (sha`idy), masyarakat Indonesia terbagi menjadi lima lapisan, dari (1) masyarakat ultra modern, (2) masyarakat modern, (3) masyarakat urban (4) masyarakat tradisionil dan (5) masyarakat terbelakang, yang bahkan masih hidup di zaman batu. Masyarakat dengan karakteristik yang sangat heterogen ini dipaksa mengkonsumsi satu jenis informasi global melalui media komunikasi. Hasilnya dapat dibayangkan bagaimana dampak psikologis terhadap masyarakat majemuk ini dalam mempersepsi dan merespond informasi tersebut.
B.1. Faktor mispersepsi

Dalam mempersepsi stimulus, manusia dipengaruhi oleh dua faktor besar : situasional dan faktor personal. Faktor situasional yang mempengaruhi persepsi antara lain ; (a) uslub atau redaksi informasi, (b) jarak; fisik, psikis dan sosial (c) gerakan atau manufer stimulan (d) akting atau rekayasa dan (e) penampilan stimulan. Sedangkan faktor personal yang mempengaruhi persepsi adalah (a) pengalaman, (b) konsep diri.

Bagi masyarakat ultra modern dan masyarakat modern, mereka mampu mempersepsi stimulus informasi global secara proporsional , oleh karena itu merekapun bisa merespond secara proporsional. Bagi masyarakat urban, ketika melihat informasi global, mereka seperti orang kampung yang menonton film fiksi ilmiah di gedung bioskop. Mereka terkesima oleh kekaguman, ingin meniru, tetapi mereka sama sekali belum siap, bahkan mereka tidak tahu bahwa film itu hanya fiksi belaka. Sedangkan dua kelompok terakhir, informasi global itu masih merupakan sesuatu yang sangat asing, sehingga dipersepsi sebagai sesuatu yang gaib.

Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia (yang urban dan pra urban), pengaruh informasi global melalui media komunikasi tidak berlaku fair. Iklan produc gaya hidup modern, banyak pengaruh afektip dan psikomotoriknya, sedikit pengaruh kognitipnya, sementara siaran ilmiah dan pesan moral melalui media hanya banyak pengaruh kognitipnya, sedikit afektipnya dan lebih sedikit pengaruh psikomotoriknya. Benda-benda dan limbah modernisasi banyak dibeli tanpa mengetahui substansi/anatominya, sementara etos kerja modern hanya menjadi pengetahuan.

Manusia modern dalam era global idealnya adalah manusia yang berfikir logis dan mampu menggunakan berbagai teknologi untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dengan kecerdasan dan bantuan teknologi, manusia modern mestinya lebih bijak dan arif, tetapi dalam kenyataannya banyak manusia yang kualitas kemanusiaannya lebih rendah dibanding kemajuan berfikir dan teknologi yang dicapainya. Akibat dari ketidak seimbangan itu kemudian menimbulkan gangguan kejiwaan. Celakanya lagi, penggunaan alat transportasi dan alat komunikasi modern menyebabkan manusia hidup dalam pengaruh global dan dikendalikan oleh arus informasi global, padahal kesiapan mental manusia secara indifidu bahkan secara etnis tidaklah sama. Akibat dari demokratisasi, masyarakatpun disuguhi pilihan yang terlalu banyak, dan mereka semakin bingung karena setiap pilihan mengandung hal-hal yang paradoksal.

Akibat dari ketidak seimbangan itu dapat dijumpai dalam realita kehidupan dimana banyak manusia yang sudah hidup dalam lingkup peradaban modern dengan mengunakan berbagai teknologi-bahkan tehnologi tinggi sebagai fasilitas hidupnya, tetapi dalam menempuh kehidupan , terjadi distorsi-distorsi nilai kemanusiaan, terjadi dehumanisasi yang disebabkan oleh kapasitas intelektual , mental dan jiwa yang tidak siap untuk mengarungi samudera atau hutan peradaban modern. Kesenjangan itu menyebabkan masyarakat mengidap problem dislokasi, disorientasi dan disharmoni dengan lingkungan hidupnya. Mobilnya sudah memakai Mercy, tetapi mentalnya masih becak, alat komunikasinya sudah menggunakan telpon genggam, tetapi komunikasinnya masih memakai bahasa isyarat tangan, menu makan yang dipilih pizza dan ayam Kentucky, tetapi wawasaan gizinya masih kelas oncom. Kekayaan, jabatan dan senjata yang dimilikinnya melambangkan kemajuan, tetapi jiwanya kosong dan rapuh. Semua simbol manusia modern dipakai, tetapi substansinya. yakni berfikir logis dan penguasaan teknologi maju masih jauh panggang dari api.
B.2. Dampak pada lembaga Keluarga

Serbuan informasi global sangat efektip mempengaruhi masyarakat, terutama dalam dua hal, yaitu (1) keinginan terbebas dari semua belenggu yang menghambat, dan (2) ingin meraih kebebasan dalam semua bidang. Dampaknya pada lembaga keluarga nampak pada hal-hal sebagai berikut:

1. Tradisi orang tua menjodohkan anaknya atas dasar pertimbangan sosial ekonomi (dan agama) telah berhasil dihilangkan. Sebagai gantinya anak-anak diberi kebebasaan untuk menentukan sendiri jodohnya atas dasar pertimbangan dan keinginan anak itu sendiri.
2. Kaum wanita berhasil mendobrak kungkungan trradisionil sebagai ibu rumah tangga semata-mata, dan sebagai gantinya wanita boleh mengembangkan karir profesionil sama dengan laki-laki, sehingga wanitapun memiliki kebebasan yang dilindungi hukum untuk keluar rumah, sama dengan suaminya.
3. Tradisi kesetiaan kepada keluarga dalam hal hubungan seks berhasil diganti dengan kebebasan seks sepanjang tidak mengganggu orang lain, sehingga fungsi hubungan seks sebagai ungkapan cinta kasih, berganti fungsi menjadi tuntutan memperoleh puncak kenikmatan.
4. Tradisi hubungan sakral anak dengan orang tua diganti dengan pola pendidikan menanamkan kemandirian kepada anak, dan di negara maju kepada anak diatas usia 18 tahun diberikan perlindungan secara hukum untuk terbebas dari kekuasaan tradisionil keluarga. Hal ini memberikan ruang kepada orang muda untuk masuk kedalam lingkungan nilai serba bolehan (permissiveness).
5. Aturan-aturan seni tradisionil yang memiliki simbol-simbol keluhuran nilai digantikan oleh seni modern yang justeru “sulit difahami”.(seperti musik rock, rapp, ajojing).
6. Norma-norma agama sudah diganti dengan norma-norma “rationil dan effisien” sehingga agama sudah kehilangan fungsinya sebagai pedoman hidup dan sumber ketenangan.

Fenomena mutakhir di Indonesia, mengambarkan betapa telah terjadi perubahan sosial yang meruntuhkan benteng tradisionil keluarga, antara lain:

1. Besarnya jumlah wanita yang mencari pekerjaan jauh di luar rumah tinggalnya, menjadi PRT di kota besar atau bahkan di luar negeri, meningalkan bukan saja orang tua, tetapi juga suami dan anak-anak.
2. Banyaknya mahasiswi yang hidup dalam komunitas kos-kosan dengan segala kebebasannya. Dua kali penelitian kehidupan mahasiswi kos-kosan di Yogyakarta, menggambarkan betapa nilai kesucian secara significant telah berubah .

B.3. Pergeseran Makna Keluarga

Teori lama menyebutkan adanya tiga lingkaran pendidikan, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat, dimana keluarga ditempatkan sebagai lembaga yang sangat efektip membangun karakter manusia. Secara teori keluarga yang baik (keluarga sakinah) yang fungsional sebagai bait ar rahmah,dan bait at tarbiyyah memang sangat efektip dalam membentuk karakter anggauta keluarganya. Akan tetapi dewasa ini jumlah keluarga yang memenuhi syarat untuk berfungsinya bait ar rahmah dan bait at tarbiyah juga bait al `ilmi justeru sangat sedikit. Rumah yang sempit dengan banyak penghuni, banyaknya anak dengan sedikit penghasilan, lingkungan kumuh dengan tanpa fasilitas membuat ungkapan my house is my castel atau baiti jannaty tidak relefan. Lembaga sekolahpun kurang efektip menjalankan fungsinya disebabkan karena ketidak seimbangan antara yang seharusnya dengan kenyataannya. Jadilah masyarakat menjadi faktor paling berpengaruh dalam membentuk karakter . Masyarakat kemudian bagaikan bola liar yang bisa dipermainkan sekehendak profokator. Anarki mudah terjadi hanya dengan sedikit picu. Memang, seperti yang disebutkan oleh DR. Zakiah Daradjat, perilaku manusia 83 % dipengaruhi oleh apa yang dilihat, 11 % oleh apa yang didengar dan 6 % sisanya oleh berbagai stimulus.

Pergeseran makna keluarga terutama dalam hal-hal sebagai berikut :
a. Kesucian dan kesetiaan.

Sebenarnya keterikatan naluriah manusia terhadap keluarga tidak pernah hilang. Hanya saja peluang untuk aktualisasi diri membangun keluarga terdesak oleh hiruk pikuk kehidupan modern (dan era reformasi) yang perubahannya sangat cepat. Norma tabu yang dulu terpelihara dan efektip membangun suasana sakral, kini justeru disuguhkan secara terbuka melalui tontonan sinetron, telenovela dan tabloid. Mobilitas hidup memberi peluang untuk tidur di hotel ketika seminar, meeting atau sekedar dinner, meski rumahnya dekat, satu hal yang membuat rumah berubah fungsi sama dengan penginapan. Inilah yang menyebabkan banyak orang memiliki rumah yang besar dengan lampu terang benderang tetapi justru lebih betah berada di ruang yang sempit dan remang-remang.
b. Hak dan Kewajiban

Secara universal, masyarakat mengenal pembagian hak dan kewajiban bagi suami dan isteri. Meski ada konsep patriarchat dan matriarchat tetapi masyarakat mana saja, masyarakat tradisionil maupun masyarakat modern, pola pembagian hak dan kewajiban antara suami dan isteri relatip sama, yaitu suami memimpin rumah tangga, memberi nafkah, dan mengurus urusan umum yang berhubungan dengan pihak lain, sementara isteri mengurus urusan dalam rumah tangga, makanan, pakaian dan anak-anak. Pada masyarakat tradisionil, pola pembagian itu sangat tegas, tetapi pada masyarakat urban dan modern, pola pembagian itu bergeser sesuai dengan peningkatan atau pengurangan peran nyata (kontribusi) dari suami atau isteri terutama dalam nafkah keluarga. Dalam al Qur’an jelas sekali hubungan antara kepemimpinan suami dalam rumah tangga dengan kontribusi nafkah (Q/4:34). Suami berhak menjadi pemimpin rumah tangga karena ia yang harus memikul nafkah keluarga. Dalam kehidupan modern, dengan kompetisi yang fair tak jarang seorang isteri justeru lebih sukses dibanding suami dalam kehidupan sosial ekonominya. Fenomena inilah yang secara alami menggeser pola tradisionil pembagian hak dan kewajiban suami isteri, satu hal yang dalam prosesnya sering memakan korban, yakni ketidak harmonisan bahkan konflik dari keluarga itu sendiri. Problem kenakalan remaja, problem PIL dan WIL seringkali berangkat dari keadaan keluarga dengan pola pembagian yang kabur dari hak dan kewajiban sami isteri.


C. Hidup Dalam Era Global dengan Keluarga Tetap Fungsional

Secara konsepsional, lembaga keluarga yang tetap fungsional dalam segala zaman, menurut ajaran Islam adalah apa yang disebut keluarga sakinah. Keluarga sakinah sebenarnya istilah yang khas Indonesia yang menggambarkan suatu keluarga yang bahagia dalam perspektip ajaran Islam. Keluarga sakinah adalah satu ungkapan untuk menyebut sebuah keluarga yang fungsional dalam mengantar orang pada cita-cita dan tujuan membangun keluarga.
C.1. Pengertian sakinah

Penggunaan nama sakinah pasti diambil dari al Qur’an surat 30:21, litaskunu ilaiha, yang artinya bahwa Tuhan menciptakan perjodohan bagi manusia agar yang satu merasa tenteram terhadap yang lain. Dalam bahasa Arab, kata sakinah di dalamnya terkandung arti tenang, terhormat, aman, penuh kasih sayang, mantap dan memperoleh pembelaan. Pengertian ini pula yang dipakai dalam ayat-ayat al Qur’an dan hadis dalam kontek kehidupan manusia. Jadi keluarga sakinah adalah kondisi yang sangat ideal, dan yang ideal biasanya jarang terjadi, oleh karena itu ia tidak terjadi mendadak, tetapi ditopang oleh pilar-pilar yang kokoh, yang memerlukan perjuangan serta butuh waktu serta pengorbanan terlebih dahulu. Keluarga sakinah merupakan subsistem dari sistem sosial menurut al Qur’an, bukan bangunan yang berdiri di atas lahan kosong.

Ada 21 item sub tema al Qur’an merupakan landasan dari terbangunnya keluarga sakinah. Uraian tentang konsep keluarga sakinah menurut al Qur’an pastilah kurang memadai jika hanya ditulis dalam makalah singkat seperti ini. Oleh karena itu, saya ingin membatasi pada simpul-simpul yang bisa mengantar atau menjadi prasyarat tegaknya keluarga sakinah. Diantara simpul-simpul tersebut adalah :

1. Dalam keluarga itu ada mawaddah dan rahmah (Q/30:21). Mawaddah adalah jenis cinta membara, yang menggebu-gebu dan “nggemesi”, sedangkan rahmah adalah jenis cinta yang lembut, siap berkorban dan siap melindungi kepada yang dicintai. Mawaddah saja kurang menjamin kelangsungan rumah tangga, sebaliknya, rahmah, lama kelamaan menumbuhkan mawaddah.
2. Hubungan antara suami isteri harus atas dasar saling membutuhkan, seperti pakaian dan yang memakainya (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna, Q/2:187). Fungsi pakaian ada tiga, yaitu (a) menutup aurat, (b) melindungi diri dari panas dingin, dan (c) perhiasan. Suami terhadap isteri dan sebaliknya harus menfungsikan diri dalam tiga hal tersebut.
3. Suami isteri dalam bergaul memperhatikan hal-hal yang secara sosial dianggap patut, tidak asal benar dan hak, Wa`a syiruhunna bil ma`ruf (Q/4:19). Besarnya mahar, nafkah, cara bergaul dan sebagainya harus memperhatikan nilai-nilai ma`ruf.
4. Menurut hadis Nabi, pilar keluarga sakinah itu ada empat ; (a) memiliki kecenderungan kepada agama, (b) yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda, (c) sederhana dalam belanja, (d) santun dalam bergaul dan (e) selalu introspeksi.
5. Menurut hadis Nabi juga, empat hal akan menjadi faktor yang mendatangkan kebahagiaan keluarga, yakni (a) suami / isteri yang setia (saleh/salehah), (b) anak-anak yang berbakti, (c) lingkungan sosial yang sehat , dan (d) dekat rizkinya.
6. Menurut hadis Nabi juga, ciri-ciri cinta sejati ada tiga; (a) lebih suka bersama dengan orang yang dicintai dibanding dengan yang lain, (b) lebih suka berbicara dengan orang yang dicintai dibanding dengan yang lain, dan (c) lebih suka mengikuti kemauan orang yang dicintai dibanding kemauan sendiri/orang lain.

C.2. Penyakit yang menghambat sakinah dalam keluarga

1. Akidah yang keliru atau sesat, misalnya mempercayai kekuatan dukun, majic dan sebangsanya.
2. Makanan yang tidak halalan thayyiba. Menurut hadis Nabi, sepotong daging dalam tubuh manusia yang berasal dari makanan haram, cenderung mendorong pada perbuatan yang haram juga. Semakna dengan makanan, juga rumah, mobil, pakaian dan lain-lainnya. Dalam hal ini KKN adalah kontraproduktip bagi pembangunan keluarga.
3. Kemewahan
4. Pergaulan yang tidak terjaga kesopanannya (dapat mendatangkan WIL dan PIL)
5. Kebodohan
6. Akhlak yang rendah
7. Jauh dari agama

Wa Allahu a`lamu bi as sawab

Jakarta, 15 Oktober 2002


Achmad Mubarok, Jiwa Dalam Al Qur’an, Solusi Krisis Kerohanian Manusia Modern, Paramadina, Jakarta, 2000, h. 4-5.

.. Tema keluarga disebut al Qur’an dalam rangkaian sub tema pokok sistem sosial (nizam ijtima`iy ) menurut al Qur’an. Dalam hal sistem sosial, al Qur’an berbicara (1)tentang:manusia lelaki dengan segala tanggung jawabnya.(2)Tentang keharusan menjaga kehormatan (3)Tentang wanita (kesetaraan jender) (4)Tentang pernikahan atau perkawinan. (5)Tentang talak (6)Tentang nusyuz (purik atau perselisihan suami isteri) (7)Tentang zina, (8)Tentang keharusan melindungi kehormatan wanita muhsanat (isteri orang)(9)Tentang hidup melajang (10)Tentan hak anak-anak (11)Tentang menyusui anak (12) Tentang anak angkat (13) tentang nama nasab(14) tentang hak-hak anak yatim (15) tentang wasiat(16) tentang perlindungan harta anak-anak yang belum mampu mengurus diri (17) tentang kerabat (18)tentang perlakuan kepada budak wanita yang berasal dari pihak kalah perang (19) perlindungan kepada hak-hak anak gadis (20) tentang hak-hak waris (faraid) (21) Tuntunan hidup dalam intern keluarga (al usrah) dan hal-hal lain yang berhubungan dengan urusan bermasyarakat dan bernegara.

Disampaikan dalam Seminar Nasional “ Solusi terhadap Patologi dalam Konteks Keindonesiaan: Perspektif Psikologi Islam”, diselenggarakan oleh The International Institute of Islamic Thought-IIIT Indonesia - bekerjasama dengan Ikatan Mahasiswa Muslim Psikologi Indonesia (IMAMUPSI)

Jakarta, 22 Oktober 2002

Read More
posted by : Mubarok institute
Tasawuf Bagi Kaum Muda
wawancara reporter majalah sufinews.com
dengan Prof. DR. Ahmad Mubarok, MA
Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN, UIA & Wakil Ketua Zawiyah Haqqani

Sudah menjadi bagian dari perjalanan sejarah Negara, kekuasaan kerapkali digunakan untuk mengondisikan agar rakyat tetap berada dalam kebodohan yang berujung pada langgengnya kekuasaan, bertahannya status quo dan dominasi tak akan tergugat. Pada saat yang sama, ketika kekuasaan telah mendominasi kehidupan suatu bangsa, muncul gerakan perlawanan baik dilakukan dengan diam-diam atau secara terbuka.

Kaum muda, terutama di Indonesia, memiliki catatan yang membanggakan dalam merobohkan kemapanan kekuasaan yang menghisap darah segar anak-anak kandung ibu pertiwi. Sebut saja peristiwa Sumpah Pemuda 1928, misalnya, ia merupakan hasil gemilang kaum muda dalam membangkitkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air, yang berlanjut pada proses lahirnya proklamasi 17 Agustus 1945.

Begitu pula dengan gerakan tasawuf (biasanya sering diidentikan dengan gerakan tarekat), ia senantiasa hadir membawa bendera perubahan dan pencerahan ketika kekuasaan, baik lokal maupun mondial, telah dijadikan alat pembodohan masal yang anti kemanusiaan dan anti ketuhanan. Sebut saja, misalnya, sikap non kooperatif yang ditunjukkan kelompok tarekat rifa'iyyah sebagai wujud penentangan penjajahan Belanda, yang berujung dibuangnya KH Ahmad Rifa'i (selaku pimpinan tarekat) ke Ambon, Mei 1859, oleh pemerintah kolonialis. Hal yang sama juga berlaku pada Perisitwa "Pemberontakan petani Banten 1888 ", yang merupakan gerakan "massa petani" Banten yang dilandasi kesadaran tarekat dalam menghadapi kekuasaan kolonialisme Belanda yang menindas.

Dan kini, ketika kegagalan melanda manusia moderen yang tidak dapat diatasi oleh keunggulan IPTEK dan kebesaran ideologi semacam sosialisme - komunisme atau kapitalisme - liberalisme, tasawuf (atau malah gerakan tarekat) yang bersumber dari agama mulai dilirik kembali. Mereka menaruh harapan akan ditemukannya pemecahan dari problema yang muncul akibat kemajuan dunia global.

Berikut wawancara Cahaya Sufi bersama Prof. DR. Achmad Mubarok, MA seputar Tasawuf dan Kaum Muda disertai analisa kritis atas munculnya fenomena Amrozi, AA Gym - Arifin Ilham dan Ulil Abshar Abdalah dengan JIL nya.

Apa komentar anda tentang maraknya fenomena tasawuf di Indonesia, khususnya Jakarta, akhir belakangan ini ?
Tasawuf selalu relevan di setiap zaman. Terlebih dalam dunia moderen yang yang sarat tipu daya, cinta dunia, menggunting pita dalam lipatan, musang berbulu domba, tasawuf menjadi sangat relevan. Tapi….

Tapi, apa ?
Anda harus melihat fenomena tersebut secara proporsional dan jangan diputus dari sejarah masuk dan sepak terjang gerakan tasawuf atau gerakan tarekat di Indonesia.

Jelasnya ?
Islam yang masuk ke Indonesia ada dalam dua format; format pertama, fiqh dan format kedua tasawuf. Tasawuf masuk ke Indonesia dalam suasana kita melawan penjajah. Sehingga sejarah tarekat di Indonesia mencatat bahwa gerakan ini juga melakukan perlawanan kepada penjajah seperti pemberontakan Garut dan Banten.

Meski demikian, harus dicatat, bahwa fungsi tarekat ketika itu cuma dijadikan benteng pertahanan saja. Gerakan tarekat hanya memberikan ketahanan untuk bertahan hidup dari penderitaan akibat penjajahan, tidak sampai berhasil membangun sebuah bangsa. Nah ini fenomena tarekat di Indonesia. Berbeda dengan gerakan tarekat di Afrika, disamping efektif untuk melawan penjajah, gerakan tarekat disana mampu melahirkan Negara Libia. Libia moderen itu dilahirkan oleh kelompok tarekat loch !?
Sesudah itu ?
10-20 tahun pasca 17 Agustus 1945, tarekat banyak dianut oleh orang-orang awam dan pedesaan. Tarekat waktu itu masih dijadikan untuk lari dari kenyataan dunia. Karenanya, meski NU (Nahdhatul Ulama) memiliki lembaga tarekat, sumbangsihnya kepada pembentukan Negara yang lebih moderen sangat minim dirasakan. Waktu itu, masih banyak orang yang berpikiran bahwa urusan Negara itu urusan orang-orang kafir. Ulama-ulama kita saat itu banyak yang terjebak pada perdebatan fiqhiyyah seperti bagaimana hukumnya memakai celana panjang, dasi dan sebagainya.

Belakangan ini, ditengah kehidupan kaum muda muslim Indonesia muncul tiga kutub anak muda yang nampaknya tidak bertemu dalam masing-masing aksi ketiganya. Pertama, kutub Amrozi dkk dengan JI nya. Kedua, Kutub pemikiran yang diwakili Ulil Abshar dengan JIL nya. Ketiga kutub ruhani, yang diwakili AA Gym dan Arifin Ilham,. Fenomena apa ini ?
Kategorisasi yang anda berikan itu cuma perbedaan cara berpikir saja. Amrozi c.s dengan JI nya itu fundamentalisme aksi. Ulil dan JIL nya itu fundamentalisme pemikiran sedangkan AA. Gym dan Arifin Ilham fundamentalisme ruhani. Meski demikian kesemua mereka itu masih "mentah" dalam kutubnya masing-masing.

Jelasnya ?
Saya cuma ingin katakan bahwa dalam diri Amrozi ada dua kutub, yaitu kelemahlembutan dan kekerasan. Ia seperti lebah yang sepertinya tidak berbahaya, tetapi jika diganggu ia dengan sangat cepat bisa menyengat musuh.

Ia sudah terlanjur terlibat dalam konflik global, tetapi secara akademik ia yang hanya droup out madrasah aliyah tak pernah bersentuhan dengan filsafat, oleh karena itu ia tidak bisa berfikir secara mendasar.
Ia selalu memusatkan diri pada panggilan jiwanya, tetapi kurang memahami peta perjuangan. Ia siap mati demi keyakinan agamanya, tetapi ia miskin pengetahuan tentang taktik dan strategi perjuangan global. Ia siap menyerang kepentingan Amerika dimanapun berada, tetapi ia tidak bisa membedakan antara Amerika dan Australia. Ia siap membuat kalut Amerika, tetapi tidak bisa melihat bahwa dampak negatif dari aksinya justru lebih banyak menimpa negerinya sendiri (Indonesia) dan lebih banyak menimbulkan kesulitan bagi kaum muslimin yang dibelanya. Nah, Kondisi obyektif Amrozi ini hampir serupa dimiliki oleh teman-teman Amrozi.

Bagaimana dengan Ulil dan JIL nya ?
Menurut saya mereka tidak sabar melihat perjalanan NU (Nahdlatul Ulama). Mereka sudah kebelet lari, tapi NU (menurut anak-anak mudanya) tak beranjak setapak pun. Mereka "kesel" dan jumping. Mereka loncat kalau tidak ke Marxisme ya ke Liberalisme. Dalam dunia intelektual mereka membentuk JIL dan dalam format politik praktis mereka membangun FORKOT.

Saya pernah mendamaikan Ulil dengan Kiyai Athian (Ketua Forum Ulama Umat Islam Bandung; red) yang pernah menghalalkan darah Ulil. Apa kata Kiyai Athian ?, Ulil Abshar harus dihukum mati karena menghina Tuhan. Apa jawab Ulil? Saya tidak menghina Tuhan, saya mu'min, saya mencintai Islam, memeluk Islam lahir dan batin, tapi saya menghina pandangan kiyai yang memandang kiyai sendiri sebagai pandangan Tuhan. Itu yang saya hina. Pernyataan Ulil sangat substansial sekali.

Saya banyak kenal temen-temen JIL. Bersama Musdah (Siti Musdah Mulia; red) saya terlibat dalam penggodogkan Counter Legal Drafting Kompilasi Hukum Islam. Ketika banyak orang mengkritik kedekatan saya dengan teman JIL, saya cuma menjawab; ana fiihim bal lastu minhum (ya, saya ada bersama mereka tapi saya bukan bagian dari mereka; red)
Tapi yang ingin saya sampaikan disini bahwa apa yang diucapkan Ulil dan JIL nya bukan hal yang baru, dulu Cak Nur (Nur Kholis Madjid; red) pernah melontarkan pikiran-pikiran kontroversialnya lebih tajam dan substansiil. Bahkan sebenarnya yang disampaikan Ulil itu masih mentah, lebih matang yang pernah dilontarkan Cak Nur di era 70-an. Lihat aja, ujung-ujungnya Cak Nur sekarang lebih arif dan bisa diterima banyak orang dan sangat sufistik. Satu saat mereka (Ulil c.s; red) bakal menemukan format jiwanya sendiri.

Dengan kutub AA Gym dan Arifin Ilham bagaimana ?
Segala sesuatu ada sejarahnya. Tasawuf sebenarnya muncul sebagai solusi krisis. Pertamakali tasawuf muncul di dunia islam, ketika dunia Islam dilanda oleh materialisme, pada generasi tabi'in diperiode Umayyah. Ketika materialisme melanda sahabat dan tabi'in, maka munculah Hasan al Basri yang menawarkan paradigma lain, lahir berikutnya al Gazali dan lain sebagainya.

Jadi setiap kali ada krisis, akan muncul sufisme. Di Indonesia juga begitu, ketika krisis melanda Indonesia 1997, maka fenomena tasawuf menjadi luar biasa, buku tasawuf dan majalah semacam Cahaya Sufi ini laku keras yang dibarengi dengan kemunculan Arifin Ilham, AA Gym dan Ary Ginanjar. Semua itu berangkat dari kebutuhan psikologis secara massal.

Saya cuma ingin menegaskan bahwa anak-anak muda yang meminati tasawuf sekarang ini masih baru dalam kerangka defensif saja. Mereka galau menjalani realitas kehidupan, kemudian mereka menemukan tasawuf dan merasa cocok dengan tasawuf karena tasawuf dirasa memberi solusi yang mereka cari selama ini.

Jangankan anak-anak muda kita, psikolog-psikolog Barat sekarang ini banyak yang masuk ke wilayah kecerdasan spiritual, yang sebenarnya merupakan wilayah tasawuf. Tapi karena pengaruh budaya sekuler, kecerdasan spiritual yang mereka miliki hanya melayang-layang saja dan tidak akan pernah menukik menyelesaikan masalah.

Apa ada yang salah cara beragama anak muda sekarang ?
Yang salah itu keadaan. Mereka lahir kedunia bukan atas kemauan sendiri, situasi yang dijumpai sekarang juga bukan situasi yang mereka inginkan. Mereka menghadapi realita seperti ini maka begitulah respon mereka.

Bagaimana solusinya untuk yang akan datang ?
Bangsa ini butuh pemimpin besar. Orang besar adalah orang yang mampu berfikir, merasa, dan cita rasanya itu melampaui sekat-sekat ruang dimana ia berada, waktu dimana ia hidup. Itu orang besar. Karenanya si orang besar harus berfikir 50 tahun kedepan atau 100 tahun kedepan. Kalau dia berbuat dia menyadari bahwa yang diperbuat itu juga akan ditonton dan direspon oleh 200.000.000 orang.

Kalau pemimpin besar ini punya ghiroh (semangat) tasawuf itu yang akan secara alami merontokkan penyakit nasional seperti korupsi, maksiat dan lain sebagainya. Korupsi di Indonesia sudah menjadi konsep, budaya. Semua orang korupsi dan tidak merasa bersalah; ah yang lain juga begitu !. Nah ini harus diatasi dengan contoh pemimpin yang diikuti dengan peraturan, tetapi untuk masyarakat kita keteledanan yang tinggi itu lebih efektif ketimbang demokratisasi. Demokratisasi ?, lihat saja pilkada, tidak melahirkan banyak manfaat apa-apa, karena orang masih bisa dibayar, tetapi kalau keteladanan pemimpin itu efektif. Dan keteladanan itu yang dicari anak-anak muda sekarang.

Nah, kiranya untuk konteks kekinian, hanya pemimpin yang bertasawuf saja yang dapat memberikan keteladanan pada generasi mendatang. Sehingga pendekatan sufistik di era sekarang ini tidak lagi pada mencari jalan keselmatan, lebih dari itu sebuah pendekatan sufistik yang dapat membangun masa depan.

Read More
posted by : Mubarok institute
Pendekatan Psikologi Diperlulan Untuk Pahami Pelaku Terorisme
Pendekatan psikologi diperlukan untuk memahami kegiatan teror supaya pencegahan terorisme tidak terjebak pada munculnya praktek teror yang baru serta tidak membuang biaya. Demikian disampaikan Prof Dr Achmad Mubarok saat dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang psikologi Islam pada Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulloh Jakarta, Sabtu (11/6).

Dalam pidato bertema "Pencegahan Terorisme dengan Pendekatan Islamic Indigeneous Psikologi" itu, Mubarok mengingatkan kekeliruan pendekatan dalam menangani kelompok ini bukan saja akan menimbulkan kegagalan dalam memerangi atau mencegah terorisme, tetapi juga bahkan mendorong lahitnya "teroris" gaya baru.

Menurut Mubarok, sebelum mencegah teror maka prilaku "teroris" itu sendiri harus dipahami melalui ilmu psikologi. "Selama ini psikologi dipahami sebagai psikologi Barat yang mengasumsikan prilaku dan tingkah laku manusia sebagai sesuatu yang universal. Tetapi ini sesungguhnya hanya benar untuk mengalisis manusia Barat karena sesuai dengan kultur sekulernya sedangkan di belahan dunia lain prilaku manusia dipengaruhi oleh sistem nilai yang berbeda," ujar Mubarok yang juga pengurus Partai Demokrat itu.

Untuk itu, menurut Mubarok, dibutuhkan indigeneous psikologi yang dapat didefinisikan sebagai pandangan psikologi yang asli pribumi dan memang didisain khusus untuk masyarakat itu. Dia mencontohkan senyum terdakwa pelaku bom Bali yang divonis mati oleh Pengadilan di Indonesia, Amrozi, yang membuat gemas sebagian publik dunia.

"Senyum Amrozi tidaklah cukup hanya dengan membandingkan dengan senyuman orang Barat. Dia harus dicari akarnya pada kultur Jawa Timur, kultur santri, kultur pekerja wiraswasta dan kultur pejuang bersenjata," kata Mubarok yang telah membuat 18 buku itu.

Dua kekuatan teroris

Menurut Mubarok, praktek peperangan antara teroris dan anti teror di dunia saat ini secara garis besar adalah perang antara dua pihak teroris. Pertama disebut teroris kuat yakni negara besar yang dengan dalih melindungi kepentingan nasionalnya merasa berhak menghancurkan lawan dimana pun berada.

Sedangkan teroris kedua adalah teroris terpojok yakni mereka yang lemah dan kalah dalam perseteruan resmi namun tidak mau menyerah dan merasa berhak untuk membela diri dan melakukan gerilya sesuai kemampuan mereka.

Dia menambahkan teroris terpojok umumnya terkait pula dengan fanatisme terhadap hal tertentu yang akar penyebabnya berbeda-beda diantaranya ketimpangan ekonomi serta rasa keadilan.

"Oleh karena itu jika dalam satu negara , keadilan dapat ditegakkan dan dinikmati oleh semua aspiran, maka aspirasi garis keras akan mencair dengan sendirinya, sebaliknya jika ditekan dengan kekerasan maka pandangan itu makin keras dan makin tidak mengenal kompromi," ujar Achmad Mubarok.

Dia juga menyatakan, isu perang melawan terorisme dalam era global harus disikapi dengan hati-hati karena opini publik tentang terorisme internasional tidak terlepas dari upaya negara kuat untuk mempertahankan hegemoni politik dan ekonomi dunia.

"Terorisme sesungguhnya yang bersumber dari ketidakadilan justru tidak pernah dibicarakan akar masalahnya. Perang yang dikumandangkan oleh Amerika seperti yang terjadi di Afghanistan dan Irak akhirnya justru merupakan bentuk terorisme yang lebih dasyat, yaitu terorisme yang dijalankan oleh negara," kata Mubarok.

Terorisme di Indonesia

Bagi bangsa Indonesia, Mubarok menyatakan perkara terorisme yang dihadapi berbeda anatominya dengan problem terorisme yang dihadapi negara maju.

"Kita harus bisa membedakan antara teroris kriminal dengan teroris ideologi, antara teroris profesional dengan pelaku teror dari korban ketidakadilan yaitu aspiran perjuangan yang dipojokkan oleh sistem global yang tidak adil," katanya dihadapan sekitar 500 undangan.

Menurut Mubarok, biaya memahami prilaku orang-orang yang dianggap berbahaya itu lebih murah dibandingkan biaya menumpas mereka dengan keras apalagi jika berbasis teori psikologi yang tidak tepat.

"Psikologi yang tepat untuk memahami fenomena terorisme di Indonesia adalah Islamic indigeneous psikologi yang Insya Allah akan menjadi mazhab ke lima dalam sejarah ilmu psikologi." demikian Mubarok.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger