Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Saturday, October 21, 2006

Selamat Hari Raya Idul Fitri
Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Teriring gema Takbir, Tahlil dan Tahmid berkumandang menyebut kebesaran Asma ALLAH SWT, Perkenankanlah kami, keluarga besar Mubarok Institute mengucapkan Taqabballahu Minna waMinkum, Shiyamanna waShiyaamakum

SELAMAT 'IDUL FITRI
1 Syawal 1427 H
Minal'aodzin walfaidzin
Mohon maaf lahir dan bathin

Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh,
Prof. Dr Achmad Mubarok MA

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, October 18, 2006

S i l a t u r r a h m i
Setiapkali lebaran, terminal bus, stasiun kereta dan bahkan pelabuhan dan bandara dipenuhi oleh calon penumpang. Jalan raya pantura macet total menjelang hari lebaran. Mau kemana mereka, dan apa sebenarnya yang mereka cari ? Yah mereka mau mudik, mau pulang kampung. Apa yang mendorong mereka mau bersusah payah mudik lebaran ? Ada dua hal; pertama tradisi lebaran yang sudah ratusan tahun. Tradisi mempunyai kekuatan luar biasa dalam menggerakkan aktifitas sosial. Tradisi juga menjadi benteng dari nilai-nilai budaya. Kedua;Tradisi mudik menjadi lebih kuat karena di dalamnya ada nuansa agama, yaitu silaturrahmi. Manusia adalah makhluk sosial, oleh karena itu dorongan untuk bertemu keluarga dan teman-teman lama di kampung halaman berasal dari fitrah sosialnya. Bagi santri, mudik menjadi bernuansa religius karena silaturrahmi memang perintah agama. Secara harfiah, silaturrahmi artinya menyambung persaudaraan atau menyambung tali kasih sayang. Agama melarang jotekan atau marahan.

Suami isteri yang sedang marahan oleh agama ditolerir hanya selama tiga hari. Lebih dari tiga hari mereka diancam dengan dosa. Sebenarnya silaturrahmi tidak dibatasi oleh Idul Fitri. Setiap saat kita dianjurkan untuk menebar salam, menebar silaturrahmi. Dengan silaturrahmi, fitnah bisa diredam, salah faham bisa terkoreksi, permusuhan bisa menurun.

Menurut hadis Nabi, siaturrahmi mengandung dua kebaikan, yaitu menambah umur dan menambah rizki. Yang dimaksud dengan nambah umur bukan tahunnya, tetapi maknanya. Ada orang yang umurnya pendek tapi maknanya panjang, sebaliknya ada orang yang umurnya panjang tetapi justeru tak bermakna. Silaturrahmi akan menambah makna umur kita karena di dalamnya ada unsur perkenalan, publikasi, belajar, apresiasi disamping rizki. Yang kedua silaturahmi bisa menambah rizki. Rizki dari silaturrahmi bisa bisa berupa uang, makanan, persaudaraan, jaringan, pekerjaan, jodoh, besanan, pengalaman, ilmu dan sebagainya. Rizki itu sendiri artinya semua hal yang berfaedah (kullu ma yustafadu). Uang yang kita terima menjadi rizki jika ia membawa faedah. Kenaikan pangkat menjadi rizki jika membawa faedah.

Isteri atau suami adalah rizki jika membawa faedah. Jika kesemuanya itu tidak membawa faedah meski jumlahnya banyak, maka itu bukan rizki, tetapi bencana. Betapa banyak orang ketika penghasilannya pas-pasan hidupnya berbahagia dengan anak isterinya, tetapi ketika naik pangkat dan penghasilannya besar justeru kelakuannya menjadi berubah dan akhirnya keluarganya menjadi berantakan. Nah naik pangkat dan uang banyak itu ternyata belum tentu menjadi rizki keluarga, sebaliknya malah menjadi bencana baginya.

Lalu bagaimana caranya bersilaturahmi ? ada empat cara . Pertama dengan kirim salam. Kedua bisa dengan kirim surat, surat biasa atau kartu lebaran. Ketiga berkunjung, bertatap muka. Ke empat, meski tidak mudik tetapi jika bingkisannya nyampai, weselnya nyampai, itu juga silaturrahmi. Nah yang paling sempurna adalah gabungan dari empat cara itu; jauh-jauh sudah kirim salam, kemudian disusul surat atau telpon bahwa akan mudik, tolong di jemput di stasiun, ketiga benar-benar mudik sekaligus membawa tentengan. Selamat bersilaturrahmi, minal `a’idin wal fa’izin, kullu `amin wa antum bi khoir, taqabbalallahu minna wa minkum.

Read More
posted by : Mubarok institute
M i n a l `A ’i d i n
Insya Allah kita merayakan hari Idul Fitri. Orang akan saling bersalaman dan mengucapkan minal `a’idin wal fa’izin. Apa artinya ?Di depan kelas pak guru bertanya kepada murid-muridnya; apa artinya minal `a’idin wal fai’izin ? serempak murid-murid menjawab; Mohon maaf lahir batin. Demikianlah memang anggapan masyarakat umum atas kalimat itu, padahal salah. Kalimat minal `a’idin adalah kependekan dari do’a Allohumma ‘ij`alna minal `a’idin waj`alna minal fa’izin, artinya; Ya Allah setelah berpuasa ini, jadikanlah kami termasuk orang yang bisa kembali (ke fitrah kami) dan sukses. Apakah fitrah itu ? kata hadis Nabi, setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah. Fitrah adalah keadaan semula jadi, atau potensi dasar insan. Seperti apa potensi itu ? Pada dasarnya jiwa manusia itu sempurna, memiliki kemampuan membedakan yang buruk dari yang baik, memiliki kecenderungan kepada agama yang benar, memiliki kecenderungan lupa, mesra juga bergolak. Fitrah dasar manusia itu dapat dilihat ada bayi yang baru lahir, simpatik, menarik, lugu dan jujur. Semua aspek dari bayi itu menarik hati, tangisnya, geraknya bahkan pipisnya. Tidak ada seorangpun yang marah jika dipipisi bayi.

Akan tetapi bersamaan dengan perjalanan waktu, yakni ketika sang bayi tumbuh dan berinteraksi dengan lingkungan, beraktualisasi diri, maka mulailah terjadi distorsi dari fitrahnya. Ketika anak-anak, ia mulai bandel dan rewel, ketika remaja ia bisa berbohong dan tawuran, ketika dewasa ia bisa merekayasa segala sesuatu secara curang demi untuk kepentingan diri, dan ketika ia berada pada puncak karir, ia bisa berubah menjadi jahat dan menyebalkan.

Nah, ibadah puasa dengan segala kelengkapannya dapat secara perlahan-lahan mengembalikan penyimpangan itu mendekat kepada fitrahnya yang jujur dan simpatik. Dalam berpuasa diajarkan untuk rendah hati kepada sesama, di dalam berpuasa diajarkan untuk kembali tekun beribadah, didalam berpuasa diajarkan untuk banyak memberi kepada orang lain, diajarkan untuk tidak berkata-kata kecuali yang benar, diajarkan untuk tidak melihat kecuali sesuatu yang halal, diajarkan untuk tidak mendengar kecuali sesuatu yang halal di dengar.

Bohong, bergunjing, gossip, fitnah, adu domba, bertengkar, maksiat dan semua yang tercela secara keras tidak boleh dikerjakan selagi dalam bulan puasa. Jika itu semua diperhatikan maka seorang yang sudah sangat menyebalkan bisa berubah menjadi simpatik kembali. Mungkinkah ?

Belajarlah kepada ulat bulu yang sangat menjijikkan. Ketika ia bertekad untuk berpuasa dengan masuk ke dalam kepompong, dan di dalam kepompong selama tigapuluh enam hari hanya berzikir, maka ketika keluar dari kepompong, ia sudah berubah total dari ulat bulu yang menjijikkan menjadi kupu-kupu yang sangat menarik, berwarna warni terbang kian kemari. Semua kupu-kupu menarik, kecuali kupu-kupu malam.

Read More
posted by : Mubarok institute
L a i l a t u l Q a d a r
Diantara keutamaan Ramadlan adalah adanya suatu malam yang disebut lailatul qadar. Secara harfiah, lailat al qadar artinya adalah malam penentuan, artinya pada malam itu ada satu keputusan sangat penting yang sangat menguntungkan bagi orang yang memperolehnya. Menurut al Qur’an, lailatul qadar berbobot setara dengan seribu bulan, bahkan lebih (khoirun min alfi syahr). Digambarkan bahwa pada malam itu aktifitas alam malakut sungguh luar biasa sibuknya, karena pada malam itu malaikat hilir mudik turun naik, naik ke langit membawa doa dan harapan manusia dan turun ke bumi menyampaikan keputusan Tuhan menyangkut berbagai perkara (min kulli amr). Digambarkan bahwa suasana super istimewa itu berlangsung pada malam itu sejak Isya hingga fajar terbit (salamun hiya hatta matla` al fajr).

Kapan malam itu terjadi ? Segala sesuatu yang bermakna tinggi pasti tidak sederhana. Ia tidak berada di tempat terbuka, tetapi tersembunyi di tempat yang pelik, oleh karena itu hanya orang yang tabah dan kuat serta sungguh-sunggguh sajalah yang berpeluang memperolehnya. Menurut sebuah hadis Nabi, lailatul qadar memang berada dalam salah satu dari 30 malam Ramadlan. Ketika didesak oleh para sahabat, Nabi menyebut waktu yakni pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan (`asyr al ‘awakhir). Ketika didesak lagi Nabi menyebut waktu , yakni sekitar malam 27, 29 atau bahkan malam Id al Fitri.

Apa maknanya ? artinya jika orang ingin meraih keutamaan, ia tidak boleh asal-asalan, atau mengambil jalan pintas, tetapi harus serius dari awal pekerjaan hingga akhir. Orang tidak bisa berspekulasi; kita tidak usah puasa dan tarawih pada awal bulan Ramadlan, tetapi cukuplah kita sungguh-sungguh pada malam-malam ganjil di akhir bulan, khususnya malam 27,29 dan malam Id. Bukankah lailatul qadar setara dengan seribu bulan ? apalah artinya tidak puasa duapuluh hari pertama, kan tertutup oleh pahala lailatul qadar ?.

Ibadah mengandung arti tunduk, patuh, hormat dan tahu diri, bukan akal-akalan, karena kita berhadapan dengan Tuhan Yang Maha Mengetahui. Ibadah itu bukan hanya pekerjaan fisik, tetapi lebih pada pekerjaan hati dan hati nurani. Khusyuknya salat misalnya tidak terjadi setiap kita menginginkan, tetapi ia merupakan buah dari ibadah yang sudah lama dikerjakan. Mengerjakan salat bisa dilakukan dadakan, tetapi mendirikan salat (iqam as salat) hanya bisa dilakukan setelah lama mengerjakannya secara konsisten. Dari konsistensi itulah terbangun suasana batin, dan dari suasana batin itulah lahir kekhusyu’an. Dari hadis Nabi dapat difahami, bahwa nikmatnya salat khusyu’ setara dengan nikmatnya bermesraan dengan wanita yang kita cintai, indah, lembut tapi bergelora, terkadang menangis. Demikian juga ibadah puasa; sekedar tidak makan minum adalah mudah,, tetapi berpuasa dari semua hal yang tidak pantas membutuhkan pengalaman dan konsistensi. Lailat al qadar adalah anugerah Tuhan, dan hanya orang yang layak yang dapat memperolehnya.

Mereka adalah orang yang sejak awal berpuasa dengan semangat kepatuhan, kecintaan dan tahu diri. Ia bukan hanya berpuasa dari makanan, tetapi semua anggauta badanya ikut puasa dari semua yang tidak sepantasnya dikerjakan.. Kesungguhan dan konsistensi berpuasa dan didukung oleh ibadah lainnya selama duapuluh hari pertama, insya Allah bisa membawa suasana batin pelakunya pada kebersihan jiwa yang siap menerima anugerah lailat al qadar. Itulah maka lailat al qadar diisyaratkan turun pada akhir bulan Ramadlan. Wallohu a`lam bissawab.

Read More
posted by : Mubarok institute
Psikologi Mimpi-2 (Mimpi Perspektip Tasauf

Tasauf adalah olah rasa dimana seorang mutasawwif melakukan latihan spiritul (riadlat), pengembaraan (assayr wa as suluk) dan upaya-upaya spiritual agar benar-benar bisa merasa dekat dengan Tuhan. Karena Tuhan itu inmateri maka manusia hanya bisa mendekat kepada Nya jika ia tidak lagi terkungkung oleh kehidupan materi atau duniawi. Orang yang mata duitan atau gila jabatan dijamin tidak akan bisa mendekatkan diri kepada Tuhan.
Jika seseorang sudah bisa meninggalkan alam materi dan dekat dengan Tuhan maka ia bisa memasuki kehidupan alam rohani. Jika ia sudah berada di alam rohani maka ia bisa berkomunikasi dengan semua makhluk rohaniah, dengan malaikat, dengan jin, dengan syaitan dan dengan arwah manusia yang sudah meninggal maupun yang belum dilahirkan, juga dengan arwah sesama orang hidup yang sama-sama sudah terbebas dari kungkungan kehidupan materi. Dalam perspektip tasauf, seseorang yang rindu berjumpa Rasul dapat menemuinya dalam alam ruhani, bisa mimpi bisa juga bukan. Demikian juga ia bisa berjumpa dengan orang tuanya atau gurunya yang sudah lama meninggal dunia.Dalam tidurnya ia bisa berkelana berjumpa dengan ulama-ulama generasi ratusan tahun yang lalu. Dalam alam mimpi itu pula ia bisa memperoleh informasi tentang apa yang akan terjadi di alam materi, misalnya jatuhnya sebuah rezim, bencana alam dan sebagainya. Dalam perspektip tasauf, alam ruhani itulah yang konkrit, sementara alam materi itu fana atau maya. Jaringan komunikasi spiritual itu sangat luas menembus sekat-sekat fisik, oleh karena itu sesama orang yang sudah sampai ke maqam sufi, mereka bisa melakukan teleconference melalui jaringan spiritual. Secara lebih sederhana orang yang melakukan salat istikharah bisa memperoleh jawaban melalui mimpi.

Mimpi Perspektip Kebatinan

Faham Kebatinan pada umumnya merupakan sempalan dari tasauf, yaitu sinkretisme antara pedukunan jawa, Hinduisme, Budisme dengan Islam. Sesama penganut kebatinan yang sudah sampai maqamnya juga bisa saling berkomunikasi melalui alam rohaniah, baik mimpi maupun semedi, tetapi jaringan komunikasi yang digunakan memakai jaringan rohaniah syaitan. Penganut aliran Sapta Dharma mengaku bisa mempertemukan seseorang dengan ayah atau kakeknya yang sudah meninggal, melalui semedi tertentu. Pada setiap manusia ada semacam pemancar spiritual yang dapat menangkap sinyal-sinyal rohaniah, menurut al Gazali disebut dzauq. Kekuatan dzauq bergantung apakah baterainya kuat atau tidak. Dauq yang sehat, ia dapat menangkap signal-signal spiritual malakuti. Ada tiga channel spiritual; malakuti, yang melalui malaikat, jinni yang melalui jin dan syaithani yang melalui syaitan. Orang yang kualitas spiritualnya tanggung-tanggung sering digoda melalui channel jinni, terkadang syaitoni. Orang yang kuat dzauqnya tapi karakternya buruk semacam dukun yang suka ngerjain pasin, ia terbiasa menerima signal spiritual syaitoni. Syaitan dalam memberi informasi dari alam rohaniah, pada tingkat pertama kebenarannya mencapai 99%. Semakin yakin ia akan kebenaran channel syaitoni maka tingkat kebenaran itu dikurangi sedikit-sedikit, hingga jika sang dukun atau penganut kebatinan sudah yakin 100% kepada channel itu, maka kebenaran informasi itu hamper semuanya menyesatkan. Mimpi-mimpi yang dialami semakin jelas isyaratnya, tetapi sesungguhnya itu merupakan tipuan.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, October 17, 2006

Naik Ke Langit Mendekat Kepada Tuhan
Bahasa sehari-hari mengenal istilah; Tuhan yang di atas, atau Tuhan yang di langit. Langit sering didefinisikan sebagai batas pandangan mata. Dalam al Qur’an langit disebut dengan nama sama’ atau samawat. Dalam bahasa Arab, sama’ mengandung dua arti, pertama; ma `ala ka, apa yang di atasmu. aaDari pengertian ini maka plafon di rumah kita di sebut langit-langit. Ke dua; langit adalah ungkapan tentang sesuatu yang tidak terjangkau oleh akal manusia. Jika di sebut sorga berada di langit artinya akal manusia tidak akan mampu melacak keberadaannya. Sorga dapat dilacak dengan keyakinan atau iman, bukan dengan ratio. Bahasa sehari-hari juga suka menggunakan istilah langit meski kurang tepat, misalnya menyebut kecantikan luar biasa dari seorang gadis dengan menyebut cantiknya selangit, kekayaan yang sangat banyak disebut kayanya selangit , dan ungkapan semisal lainnya.

Orang beriman meyakini bahwa di balik alam raya ini ada alam langit atau `alam malakut satu “tempat” yang sangat tinggi dimana blue print alam raya dengan segala kehidupannya itu berada dan dikendalikan, dan Allah bersemayam di `arasy Nya mengendalikan kekuasaanya melalui sistem sunnatulllah, dan Dia mengontrolnya secara detail hingga jatuhnya selembar daunpun berada dalam kontrol Nya.

Di mana letak alam malakut dan dimana `arasy Tuhan, akal manusia tidak mungkin menjangkaunya, karena Allah Maha Tinggi sedangkan manusia sebagai hamba memiliki keterbatasan yang sangat banyak. Meski demikian, dengan sifat Rahman dan Rahim Nya Allah memberi infrastruktur kepada manusia untuk dapat mendekat kepada Nya. Allah menempatkan sifat ketuhanan pada setiap manusia, apa yang dalam tasauf disebut nasut. Allah juga menempatkan cahaya (nur) Nya pada setiap hati (qalb) manusia, disebut nuraniyyun (hati nurani) yang memiki kapasitas pandangan batin sebagai lawan dari pandangan mata kepala, oleh Al Qur’an disebut bashirah (Q/75:14-15).

Jika sifat Tuhan al Bashir mengandung arti Tuhan mampu melihat sesuatu secara total tanpa alat bantu, maka bashirah nya manusia atau hati nurani manusia juga dapat menembus dinding-dinding pembatas, secara internal melihat diri sendiri, introspeksi secara jujur dan hati nurani tidak bisa diajak berdusta, sedangkan secara ekternal, nurani dapat menerobos ke alam malakut bercengkerama dengan ruhaniyyun (malaikat atau arwah manusia) dan bahkan bisa bercengkerama dengan Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Di alam malakut manusia bisa berjumpa dengan arwah manusia yang telah lama meninggal, dan jika beruntung bisa berjumpa dengan Nabi.

Dengan sifat Nasut itulah manusia pada suatu ketika rindu kepada Tuhan. Sifat Nasut itu bagaikan api yang selalu menyala ke atas. Orang yang sedang rindu kepada Tuhan, maka pandangannya selalu ke “atas” mencari Dia Yang Maha Tinggi di “alam atas”. Kerinduan kepada Tuhan itu memuncak ketika seseorang berhasil bekerja keras mensucikan jiwanya (tazkiyyat an nafs) hingga jiwanya mencapai tingkat nafs al muthma’innah, yakni jiwa yang tenang, atau ketika Tuhan berkenan mendekati hamba-hamba-Nya yang dikehendaki Nya sehingga orang itu dalam waktu cepat tersucikan jiwanya (Q/ 4:49)

Di sisi lain, Tuhan memiliki sifat kemanusiaan (Lahut) yang selalu merindukan kehadiran manusia ke haribaan rahmat Nya. Tuhan sangat antausias menyongsong hambanya. Jika manusia mendekati Tuhan dengan jalan kaki, maka Tuhan akan menyongsongnya dengan berlari. Itulah yang menyebabkan ada orang yang sudah sejak kecil menjadi muslim tetapi tak kunjung berkualitas, sementara ada orang yang belum lama menjadi “mu’allaf” tetapi sudah mencapai pencerahan sufistik, karena ia disongsong oleh Tuhan. Di satu pihak, manusia memang memiliki bakat kerinduan kepada Tuhan dan untuk itu ia berusaha naik ke “atas” (taraqqi), di pihak lain, Tuhan yang merindukan kehadiran manusia berlari turun dari “atas” (tanazul) menyongsong setiap hambanya yang berusaha keras mendekat (taqarrub). Ada tiga jalan yang bisa ditempuh manusia mendekat kepada Nya.

Pertama: Thariqat as Syar`iy, jalan syari’at. Siapa saja yang berusaha keras konsisten mengikuti syari’at Islam, salatnya, puasanya, berdagangnya, berpolitiknya, dan seluruh aspek hidupnya, maka dijamin ujungnya adalah dar al muqarrabin, wisma khusus untuk orang-orang dekat. Siapa saja yang secara konsisten mengikti petunjuk Tuhan dalam hidupnya, yakni mengikuti aturan Tuhan tentang halal-haram, mengerjakan perintahNya dan menjauhi larangan Nya, maka ia berpeluang untuk menjadi orang dekat Nya.

Kedua: Thariqat ahl az zikr, jalannya ahli zikir. Barang siapa yang dalam hidupnya selalu berzikir maka ia akan sampai ke tingkat dekat dengan Allah. Zikir artinya menyebut atau mengingat. Orang awam berzikir dengan mulutnya dalam bentuk menyebut asma Allah atau kalimah thayyibah, meski hatinya belum tentu ingat Allah. Lihatlah orang yang ikut zikir bersama Arifin Ilham, ia bisa menangis haru interospeksi. Jika zikir itu dipelihara, dikerjakan secara sistemik, maka lama-kelamaan hatinya menjadi dekat dengan Tuhan yang selalu disebutnya. Sementara orang khawas berzikir dengan hatinya. Keadaan apapun yang dihadapinya dalam hidup, hatinya tetap mengingat Allah. Ada beberapa tingkatan zikir, yaitu zikir jahr, zikir keras-keras, kemudian meningkat ke zikir khofiy, zikir yang tidak mengeluarkan suara tetapi penuh d dalam hati, kemudian tafakkur, berkelana secar ruhaniyyah merenungkan kebesaran Allah, dan yang tertinggi adalah tadabbur, yakni melihat benda atau alampun langsung terbayang Sang Pencipta (tadabbur `alam).

Ketiga: Thariqat mujahidat as Syaqa, memilih jalan yang sulit. Bagi penganut jalan ini, hidup secara biasa itu berarti tidak tahu diri dan kurang bersyukur kepada Tuhan. Ia wajibkan dirinya mengerjakan yang sunnat, ia haramkan untuk dirinya apa yang sesungguhnya halal, semata-mata karena tahu diri. Ia lebih suka tidur di lantai, meski memiliki kasur, ia memakan makanan yang tidak enak meski tersedia makanan lezat, ia pergi haji dengan jalan kaki meski ada pesawat terbang, pokoknya semua yang sulit menjadi pilihannya. Baginya menempuh kesulitan dalam perjalanan mendekat kepada Tuhan itu satu kenikmatan, dan baginya pula, menggunakan fasilitas kemudahan dalam perjalanan kepada tuhan itu memalukan. Wallohu a`lam.

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, October 12, 2006

Kiat Hidup Berkah

Kualitas hidup seseorang dapat dilihat pada perilakunya sehari-hari, dari bangun tidur pagi hari hingga kembali ke peraduan pada malam hari. Setiap orang berbeda-beda tingkat pendi­dikan, tingkat sosial dan tingkat keimanannya, tetapi peri­lakunya sehari-hari akan mengumpul­kan mereka dalam satu kelompok yang identik. Meski akhlak seseorang tersembunyi di dalam jiwanya, tetapi adab dan tatakarama yang diikuti dan nampak dari luar akan menyuburkan akhlak yang tersembunyi itu. Kemuk­minan seseorang dapat dilihat dari perilakunya sehari-hari yang secara konsisten dilakukannya, dan menurut hadis Rasulullah indikator imannya dapat dilihat pada 77 variabel (disebut 77 cabang iman). Adab adalah akhlak yang bersifat lahir. Untuk menyuburkan nilai keimanan, agama Islam menga­jarkan adab yang sangat dianjurkan untuk diikuti. Adab Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan, baik dalam berhubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia, maupun dengan diri sendiri, dari sejak bangun tidur, beribadat, bekerja dan hingga kembali ke tempat tidur.

Kiat 1
Bangun Tidur
Setiap mukmin dianjurkan untuk bangun tidur pada pagi hari sebelum subuh, karena sebagai­mana dikatakan oleh Rasulullah, bahwa saat pagi hari menje­lang subuh itu merupakan saat-saat penuh berkah. Rasulullah bersabda:
Ummatku diberkati Allah (ketika mereka bangun) di pagi hari (burika liummati fi bukuriha).

Berkah artinya terkumpulnya kebaikan ilahiah pada seseorang atau sesuatu atau suatu waktu seperti ter­kumpulnya air di dalam kolam (tajam­mu` al al khair al Ilahy ka tajammu` al ma fi al birkati). Dalam kehidupan sehari-hari, berkah artinya ter­dayagunakannya nikmat Tuhan secara optimal. Orang yang bangun pagi akan memperoleh udara bersih, kesegaran badan, dan peluang bekerja yang lebih banyak.
Ketika bangun tidur dianjurkan untuk mem­baca doa seperti yang diajarkan oleh Rasulullah, sebagai berikut:
Al hamdu lillahillazi ahya na ba`da ma ama tana wa ilaihin nusyur
Artinya: Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan kepada Nyalah kami kembali.

Rasulullah juga mengajarkan doa yang seyog­yanya dibaca setiap pagi, sebagai berikut:
Allahumma bika asbahna wabika amsaina wa bika nahya wa bika namutu wa ilaihin nusyur
Artinya: Ya Allah, dengan nama Mu aku memasuki pagi hari dan dengan nama Mu pula aku memasuki sore hari. Dengan nama Mu ya Allah aku hidup, dan dengan nama Mu pula aku mati, dan kepada Mu lah tempatku kembali.

Read More
posted by : Mubarok institute
Psikologi Mimpi-1(Berwisata Dalam Mimpi)
Bahwa setiap manusia pernah mengalami mimpi tidak seorangpun yang membantah, tetapi mimpi itu apa tidak pernah ada definisi yang secara empirik bisa dibuktikan kebenarannya. Analisis tentang mimpi bisa ilmiah, mistis, bisa juga sufistik. Pembicaraan tentang mimpi bukan saja dilakukan oleh dukun, peramal, orang tua, psikolog dan failasuf, tetapi Al Qur’an sebagai wahyupun membicarakannya.

Mimpi Menurut al Qur’an
Al Qur’an menyebut mimpi dalam dua term, yaitu ru’ya dan adghats ahlam). Term ru’ya disebut sebanyak duabelas kali, berhubungan dengan mimpi yang dialami oleh Nabi dan oleh orang biasa. Dalam surat Yusuf/12:4 (juga ayat 5 dan 100) misalnya dikisahkan bahwa Yusuf ketika masih kanak-akan bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan tunduk kepadanya (انّى رأيت احد عشر كوكبا والشّمس والقمر رأيتهم لى ساجدين) . Ayat 43 surat yang sama mengisahkan bahwa Fir’aun bermimpi melihat tujuh sapi gemuk dimakan oleh tujuh sapi kurus (انّى أرى سبع بقرات سمان يأكلهنّ سبع عجاف ) . Demikian juga Nabi Muhammad dalam surat al Fath/48:27 dikisahkan bermimpi memasuki Masjid Haram dengan aman (لقد صدق الله رسوله الرّؤيا بالحقّ), dan pada surat al Isra/17:60 dikisahkan Nabi bermimpi tentang perang Badar (وما جعلنا الرّؤيا الّتى أريناك الاّ فتنة للنّاس). Nabi Ibrahim juga menerima perintah menyembelih Isma’il melalui mimpi (انّى أرى في المنام انّى أذبحك).130 Dua orang pegawai Fir’aun yang dipenjara bersama Yusuf juga dikisahkan dalam surat Yusuf/12: 36 bermimpi, yang satu kembali bekerja melayani raja, dan yang satu bermimpi membawa roti di atas kepala, tapi rotinya dimakan burung (قال احدهما انّى أرانى أعصر خمرا) .


Sedangkan term ahlam disebut Al-Qur’an sebanyak lima kali , dua kali term al hulum (dari halama yahlumu) dalam arti mimpi “pertama” (والّذين لم يبلغوا الحلم), 131 satu kali ahlam (dari haluma yahlumu hilm) disebut dalam arti fikiran-fikiran (أم تأمرهم أحلامهم بهذا)132 dan dua kali disebut adghas ahlam, dalam arti mimpi-mimpi kalut, yakni pada surat Yusuf/12:44 dan Q/21:5. Pada surat al Anbiya/21:5, disebutkan bahwa kaum musyrikin menilai ayat-ayat Qur’an itu tak lebih dari produk mimpi kalut () . Bawahan Fir’aun yang tidak sanggup menta`birkan mimpi Fir’aun, yaitu mimpi melihat tujuh sapi gemuk dimakan tujuh sapi kurus, seperti yang dikisahkan surat Yusuf/12:44 juga memandang mimpi Fir’aun sebagai mimpi kalut

Dari ayat-ayat tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa manusia dengan kapasitas dan kualitas nafs tertentu, baginya tidur lebih bersifat fisik, karena nafsnya masih bisa menerima stimulus dari luar dirinya dalam bentuk ilham atau wahyu seperti yang dialami oleh Nabi Ibrahim ketika menerima perintah untuk menyembelih puteranya sebagai kurban, atau oleh Nabi Muhammad ketika diberi tahu lebih dahulu oleh Tuhan bahwa kaum muslimin akan berhasil menziarahi Makkah secara aman. Jadi, impian bisa merupakan isyarat dari apa yang telah, sedang atau akan terjadi, disebut رؤيا الحقّ (ru’ya al haqq) seperti yang dikisahkan surat al Fath/48:27 tersebut di atas. Yusuf seperti yang dikisahkan surat Yusuf/12: 4 ketika masih kanak-kanak bermimpi melihat sebelas bintang, bulan dan matahari tunduk kepadanya , suatu impian yang mengisyaratkan tentang perjalanan hidup dan nasib baiknya di belakang hari , satu hal yang dapat membuat saudara-saudaranya iri hati sehingga Nabi Ya’qub, ayah Yusuf seperti yang dikisahkan dalam lanjutan dari ayat itu (ayat 5) melarangnya untuk menceriterakan mimpinya itu kepada orang lain .Di belakang hari, menurut sebagian mufassir 40 tahun kemudian,133 impian itu, seperti yang dikisahkan dalam surat Yusuf ayat 100 menjadi kenyatan (وقال يأ بت هذا تأويل رؤياي من قبل قد جعلها ربّي حقّا).

Mimpi yang benar tidak mesti dialami oleh orang mukmin. Fir`aun pun seperti yang dikisahkan dalam surat Yusuf/12: 43 pernah bermimpi melihat tujuh ekor sapi germuk dimakan tujuh ekor sapi kurus yang kemudian dita’wil oleh Yusuf seperti yang dikisahkan dalam surat Yusuf/12: 47-49 sebagai isyarat akan datangnya musim paceklik dan cara-cara mengantisipasinya, sebagaimana juga dua teman Yusuf di penjara bermimpi masing-masing memperoleh keberuntungan dan nasib buruk.134 Adapun orang yang jiwanya sedang gelisah, mimpi yang dialami dalam tidurnya lebih merupakan adghats ahlam , yakni mimpi kalut.

Tentang mimpi, banyak sekali hadis Nabi yang membicarakannya. Menurut kebanyakan hadis, mimpi dibagi menjadi dua yaitu ru’ya dan al hulm. Yang pertama berasal dari Allah dan yang kedua berasal dari syaitan. Salah satu hadis yang diriwayatkan dari Abi Qatadah misalnya berbunyi :
الرّؤيا من الله والحلم من الشّيطان فاذا حلم احدكم حلما يكرهه فلينفث عن يساره ثلاثا
وليتعوّذ بالله من شرّها فانّها لن تضرّه رواه مسلم

artinya : Ru’ya itu datangnya dari Allah dan al hulm itu datangnya dari syaitan. Maka bila salah seorang diantaramu mengalami mimpi kalut yang tidak disukainya, maka hendaknya meludah ke kiri tiga kali dan mohonlah perlindungan kepada Allah dari keburukannya, maka sesungguhnya mimpi buruk itu tidak akan membahayakannya (HR Muslim)

Dalam hadis Abu Hurairah yang dihimpun oleh Muslim disebutkan pula tiga jenis ru’ya, yaitu (1) mimpi baik yang merupakan khabar gembira dari Allah رؤيا الصّالحة,) ) (2) mimpi yang menyusahkan yang datang dari syaitan (رؤيا تخزين من الشّيطان) dan mimpi yang disebabkan oleh perhatian manusia terhadap sesuatu atau hal-hal yang telah berada di alam bawah sadarnya (رؤيا ممّا يحدّث المرء نفسه).135 Dalam hadis itu juga disebut bahwa mimpi seorang mukmin merupakan 1/46 bagian dari kenabian (رؤيا المؤمن جزء من ستّة وأربعين جزأ من النّبوّة).136

Jadi, dari keterangan Al-Qur’an dan hadis tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa manusia dengan kondisi tertentu, meski matanya tertidur, tetapi qalb tidak ikut tertidur.
Salah satu bait pujian kepada Nabi Muhammad antara lain menyebutkan bahwa meski mata Rasul telah mengantuk tetapi hatinya tidak tertidur (وقلبه لم ينم والعين قد نعست)

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, October 09, 2006

Kesempatan Kerja Di Mubarok Institute
Mubarok Institute adalah sebuah lembaga kajian dan pengembangan Psikologi Islam yang memiliki prospek ke depan sedang membutuhkan 1 (satu) penterjemah (translator) dengan kriteria:
1. S1 Psikologi (diutamakan)
2. Lancar bahasa Inggris lisan maupun tulisan
3. Bisa menggunakan komputer dan internet

Jika berminat silahkan kirimkan surat lamaran, CV, poto terbaru anda ke Prof. Dr Achmad Mubarok melalui email achmad.mubarok@yahoo.com

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, October 08, 2006

Masjid Dan Gereja: Persamaan Dan Perbedaan
Masjid (masjidun) mempunyai dua arti, arti umum dan arti khusus. Masjid dalam arti umum adalah semua tempat yang digunakan untuk sujud dinamakan masjid, oleh karena itu kata Nabi, Tuhan menjadikan bumi ini sebagai masjid. Sedangkan masjid dalam pengertian khusus adalah tempat atau bangunan yang dibangun khusus untuk menjalankan ibadah, terutama salat berjamaah.

Pengertian ini juga mengerucut menjadi, masjid yang digunakan untuk salat Jum’at disebut Masjid Jami‘. Karena salat Jum‘at diikuti oleh orang banyak maka masjid Jami‘ biasanya besar. Sedangkan masjid yang hanya digunakan untuk salat lima waktu, bisa di perkampungan, bisa juga di kantor atau di tempat umum, dan biasanya tidak terlalu besar atau bahkan kecil sekali sesuai dengan keperluan, disebut Musholla, artinya tempat salat. Di beberapa daerah, musholla terkadang diberi nama langgar atau surau.

Ada tiga masjid besar dalam sejarah Islam, yaitu Masjidil Haram di Makkah, Masjid Nabawi di Madinah dan Masjid al Aqsha di Yerussalem. Adapun nama Gereja bisa digunakan untuk menyebut (1) jemaat atau sidang jemaat, (2) Persekutuan orang percaya, (3) Tubuh dari Kristus, (4) Realitet dunia dan sekaligus realitet rohani, dan (8) tempat atau gedung dimana ada pemberitaan tentang Yesus Kristus.

Istilah gereja berasal dari kata Portugis “igreye” yang melalui kata Yunani “ecclesia”’ artinya keluar. Maksudnya jemaat yang dipanggil ke luar dari dunia untuk menjadi “milik” Tuhan. Bible sendiri tidak mengenal istilah gereja, tetapi para teolog membuat rumusan dari ungkapan2 surat-surat Paulus. Dokumen tertua yang menyebut istilah “ecclesia” adalah naskah pengakuan (kredo) “Symbolum Apostolikum” yang diduga berasal dari sekitar abad kedua Masehi. Dalam naskah itu kata “gereja” diletakkan sesudah pengakuan terhadap roh kudus. Naskah Latin menyebut “et in spiritusancto, sanctam ecclesiam”. Sedangkan naskah Yunani menyebutkan lebih panjang, yaitu; “credo in spiritum sanctum, sanctum ecclesiam catholicam, sanctorum comunianem”.

Naskah tersebut diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi “gereja yang kudus dan am, persekutuan orang kudus” menurut versi Protestan, sedang terjemahan versi Katolik berbunyi; “gereja Katolik yang kudus, persekutuan orang kudus. Ada tiga hal yang menunjukkan ciri pengertian gereja dalam naskah itu, yaitu katolik (umum), kudus dan persekutuan orang kudus. Tiga pengertian ini di belakang hari memaksa para teolog Kristen untuk membuat apologi, karena ternyata gereja seperti yang dapat dilihat orang tidak mengandung criteria-kriteria tersebut.

Pada umumnya apologi itu dilakukan dengan jalan memisahkan pengertian antara gereja seperti yang dilihat orang dengan pengertian yang bersifat abstrak; misalnya ungkapan bahwa gereja berada di dunia tetapi tidak berasal daripadanya. Atau ungkapan yang menyatakan bahwa gereja memiliki dua tabiat Yesus; tabiat Ilahi dan tabiat manusiawi.

Gereja Katolik memberikan penekanan yang lebih misterius dibanding teolog Kristen. Konsili Vatikan II (1963) misalnya membuat satu fasal yang berjudul: Gereja sebagai Misteri. Maknanya gereja adalah rahasia Tuhan yang manusia tidak akan mengetahui yang sesungguhnya. Dalam bagian lain dari dokumen konsili tersebut disebutkan bahwa Gereja adalah ummat yang dipersatukan dalam kesatuan Bapa, Putera dan roh Kudus. Gereja juga disebut sebagai tubuh mistik Kristus, artinya orang Katolik meyakini dirinya sebagai benar-benar menjadi bagian dari tubuh mistik Kristus.

Masyarakat umum pada umumnya memahami gereja sebagai kumpoulan orang-orang Kristen dalam berbagai aliran, seperti Katolik, Protestan, Anglikan, Adven dan sebagainya., dan gedung yang dipakai sebagai tempat peribadatan. Pemerintah Indonesia memandang gereja sebagai persekutuan sosiologis dengan memberikan akte pengesahan. Menurut Abineno, kesalahan anggapan tentang gereja tidak bisa dihindarkan dan akan berlangsung terus hingga kedatangan kembali Yesus Kristus nanti. Disamping ungkapan tersebut, masih ada ungjkapan lain seperti; “ibu kita”, “mempelai Allah”, Yerussalem dari atas”, “gereja diam”, “gereja berjuang””, gereja mengembara” dan sebagainya. Problem kesulitan mendirikan gedung gereja di Indonesia antara lain disebabkan karena konsep gereja tidak dapat dicerna orang Islam.

Orang Islam memandang gereja sama dengan masjid sebagai tempat ibadah yang besar-kecilnya ditentukan oleh besar kcilnya jamaah di sekitar, sementara orang Kristen memandang gereja sebagai persekutuan sesuai dengan alirannya sehingga meski seorang Kristen berdomisili di Jakarta barat, tapi ia justeru menjadi anggauta dari gereja di Jakarta timur. Bagi orang Kristen, adalah sesuatu yang wajar jika jemaah gereja berdatangan dari jauh, karena itu memang gerejanya, tapi bagi orang Islam di sebuah pemukiman misalnya; di situ hanya ada sepuluh keluarga Kristen, tetapi gerejanya dibangun besar dan jemaahnya datang dari tempat jauh. Di mata orang Islam di pemukiman itu, kehadiran orang jauh merupakan agressi untuk mensyiarkan agamanya (kristenisasi) ke tengah-tengah muslim. SKB dua menteri (Menag dan Mendagri) tentang itu dimaksud untuk menghindarkan kesalahpahaman masyarakat.

Read More
posted by : Mubarok institute
Paus, Syi`ah dan NU
Paus, Syi`ah dan NU sesungguhnya berada di tempat yang terpisah oleh sekat agama dan sekat aliran, tetapi ternyata ketiganya mempunyai kesamaan dalam struktur teologis organisasi. Paus adalah pemegang otoritas keagamaan tertinggi Gereja katolik, di dalam faham Syi`ah juga dikenal ada ayatollah al `udhzma (yang terkenal adalah Ayatullah Khumaini) yang memiliki otoritas keagamaan tertinggi di Iran, dan dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU) juga ada Rais `Am Syuriah yang juga mempunyai otoritas tertinggi dalam organisasi keulamaan itu.

Ayatullah Khumaini, meski ia tidak menduduki jabatan politik formil, tetapi ia bisa memecat presiden Iran, dan keputusannya dipatuhi oleh system yang bernama wilayat al faqih (otoritas ulama). Rois `Am Syuriah NU juga bisa memecat ketua umum Tanfidziyyah (eksekutip) NU, dan proses pengambilan keputusan oleh Syuriyah NU melewati metode salat istikharah (mohon petunjuk Tuhan) yang tidak bisa dikonfirmasi oleh organisasi, tetapi dipatuhi oleh system karena Syuriah dipandang sebagai pemegang otoritas teologis, melebihi otoritas muktamar.

Gereja dan ke Paus an
Secara garis besar, gereja terbagi menjadi empat kelompok, yaitu (1) Gereja katolik Roma yang berpusat di Vatikan, dibawah pimpinan Paus (2) Gereja Yunani (Timur) yang berpusat di Konstantinopel, (3) Gereja2 Kristen yang tergabung dalam Dewan Gereja-gereja se Dunia, disebut juga Gereja Protestan atau gereja reformasi yang dulu lahir di German sebagai wujud protes terhadap kepausan dan (4) Gereja Anglikan yang diketuai oleh Raja Ingris. Di luar itu masih ada gereja-gereja yang tidak tunduk kepada tiga induk itu, biasanya dianggap “liar”, disebut bidat. Gereja Protestan lahir karena menentang kekuasaan Paus yang “tak terbatas”, sementara Gereja Anglikan lahir karena Paus tidak mengizinkan Raja Inggris menikahi seorang gadis, sehingga sang Raja memisahkan diri dari Gereja Katolik.

Struktur Organisasi Gereja Katolik
Penganut Katolik terbagi menjadi dua lapis; kaum awam dan pimpinan. Lapisan pimpinan (disebut klerus atau hierarchi) tersusun dalam jenjang kepangkatan yang sangat rapi dari pusat hingga terbawah. Di luar hierarchi masih ada lapisan lain yaitu kaum rohaniawan. Gereja katolik mengajarkan bahwa pimpinan tertinggi gereja adalah Yesus sendiri, tetapi agar membumi, Yesus memberi badan pengurus, kuasa mengajar dan imamat. Organisasi Gereja katolik sesungguhnya episkopal atau dari atas ke bawah, tetapi untuk mudah memahaminya dapat dilihat dari bawah. Unit terkecil masyarakat Katolik adalah jemaat (disebut paroki) dipimpin pastur paroki, diatasnya ada dekanat, dipimpin pastur dekan, beberapa dekanat membentuk wilayah keuskupan, dipimpin seorang uskup (setingkat kabupaten), selanjutnya diatasnya ada keuskupan agung, dipimpin oleh uskup agung, selanjutnya di tingkat Negara ada majlis keuskupan tingkat nasional, di Indonesia bernama MAWI, dan seluruh wilayah keuskupan di dunia berada dibawah pimpinan Paus yang berkedudukan di Vatikan, Roma. Paus sendiri mempunyai semacam cabinet, disebut curia Romana, dan staf ahli yang diberi pangkat Cardinal. Laiknya organisasi, setiap dua-tiga tahun diselenggarakan pertemuan para uskup, disebut synode. Forum tertinggi adalah konsili atau Kongres gereja katolik. Jadi inti organisasi gereja katolik adalah Paus dan Uskup.

Pangkat Paus
Dasar teologis atau dogma dari kepausan adalah tafsir Injil Yahya 21,15-17 dimana Yesus mengatakan kepada Petrus (muridnya, atau rasul menurut istilah gereja) agar ia memelihara dan mengembalakan segala dombanya. Ayat ini lalu ditafsir sebagai SK pengangkatan Petrus sebagai kepala dari para rasul (atau semacam khalifah plus menurut sejarah Islam). Karena Petrus mengangkat Uskup Roma maka selanjutnya Uskup Roma dipandang sebagai pewaris sah tahta Petrus. sah pula mengangkat uskup di kota lain. Dalam Lumen Gentium, akidah itu dirumuskan dengan kalimat sbb:

“Karena itu konsili suci mengajarkan bahwa karena penetapan ilahi, para uskup telah menggantikan para rasul sebagai gembala-gembala gereja, dan barang siapa mendengarkan, berarti mereka mendengarkan Kristus, dan barang siapa menolak, berarti mereka menolak Dia yang mengutusnya”.

Secara resmi Paus memiliki otoritas mengajar dan otoritas menafsirkan kitab suci , disebut magisterium. Akidah Katolik tentang Paus bersifat baku, yakni mengimani Paus sebagai pemilik kuasa khusus :

1. Sebagai imam agung, Paus mempunyai kuasa mengajar yang tak dapat sesat
2. Sebagai pengganti Petrus dan mewakili Kristus, berkuasa mengatur dan menghakimi semua hal kegerejaan.
3. Menjadi penghubung semua orang katolik.

Jika seorang Paus meninggal dunia, maka para cardinal berhak memilih satu diantara mereka untuk menjadi Paus, dengan metode yang juga tidak bisa dikonfirmasi seperti salat istikharahnya Rais `am Syuriah NU.

Otoritas tertinggi ini sudah barang tentu hanya diakui oleh penganut Katolik. Gereja Anglikan dan Protestan tidak mengakui otoritas tersebut. Skisma (perpecahan administratip) dan heresy (perbedaan akidah) sepanjang sejarah gereja sering terjadi hingga melibatkan perang antar Negara.

Sebagaimana terjadi dalam sejarah khilafah Islam dimana ada seorang yang sama sekali tidak layak menjadi khalifah, tetapi secara defacto ia menduduki kursi itu(Yazid pada masa daulah Umayyah misalnya),, demikian juga terkadang ada Paus yang anggun (seperti Paus Innocent III dan Paus Paulus II ) dan ada juga Paus yang cabul dan rendah tabiatnya (seperti Alexander VI Borgia 1492-1503). Maka tak salah ketika majalah Gatra pada cover yang mengulas kontroversi pidato Paus terakhir dengan tulisan : Paus juga manusia.

Read More
posted by : Mubarok institute
Imam Politik
Dalam teori dan pemikiran politik Islam, ada tiga gelar simbolik yang disematkan kepada beberapa orang yang melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan dalam pucuk elite kekuasaan. Yaitu, al-imâm, al-khalîfah, dan amîr al-mukminin. Ketiga gelar simbolik ini telah pernah memainkan peran penting pada roda kepemimpinan dalam sejarah perkembangan Islam. Berikut ini beberapa penjelasan singkat tentang hakikat makna setiap gelar simbolik tersebut.
Al-Imâm. Dalam bahasa Arab, kata imam dalam berbagai bentuknya mempunya beberapa arti, seperti: tujuan atau maksud (al-amm), jalan dan agama (al-immah), Ibu dan Bendara (al-umma), Pemimpin yang diangkat oleh kaumnya (imam).

Imam juga berarti seorang pemimpin atau orang yang berada di muka. Menurut Thaba’thaba’i, imam adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang memegang pimpinan masyarakat dalam suatu gerakan sosial, atau suatu ideologi politik, atau suatu aliran pemikiran keilmuan atau keagamaan. Murtadha Muthahhari berpendapat, bahwa imam adalah pribadi yang memiliki beberapa pengikut, terlepas dari kenyataannya apakah dia saleh atau tidak. Dalam Al-Quran disebutkan, “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai imam-imam yang memberi petunjuk dengan seizin Kami.” (Al-Anbiyâ’: 73). Jadi secara harifiah, imam adalah seorang pemimpin.

Imam juga berarti sesuatu yang diikuti, baik sebagai kepala, jalan, atau sesuatu yang membuat lurus dan memperbaiki perkataan. Selain itu, imam digunakan juga untuk menyebut Al-Quran, Nabi Muhammad, khalifah, panglima tentara, dan sebagainya. Dengan demikian, jelaslah bahwa kata imâm memiliki banyak makna. Yaitu, bisa bermakna: maju ke depan, petunjuk dan bimbingan, kepantasan seseorang menjadi uswah hasanan, dan kepemimpinan.

Dalam Al-Quran, imam digunakan untuk menyebut pemimpin masyarakat (Q/Al-Isra’:71), kitab suci (Q/Hud: 17), pemimpin orang baik (Q/Al-Ambiya: 72-73), pemimpin orang kafir (Q/Al-Qashash dan Q/Al-Tawbah: 12)


Dari ayat-ayat Al-Quran di atas, bisa dipetik dua pengertian dari makna imâm; sebagian besar digunakan dalam Al-Quran membuktikan adanya indikasi yang bermakna “kebaikan”. Pada sisi lain—bahwa kata imâm juga menunjukkan makna jahat. Karena itu, imâm berarti seorang pemimpin yang diangkat oleh beberapa orang dalam suatu kaum. Pengangkatan imâm tersebut mengabaikan dan tidak memperdulikan, apakah ia akhirnya akan berjalan ke arah yang lurus atau arah yang sesat. Kedua, kata imâm dalam ayat-ayat Al-Quran itu bisa mengandung makna penyifatan kepada nabi-nabi: Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, dan Musa—sebagaimana juga menunjukkan kepada orang-orang yang bertakwa.

Al-Khalîfah. Gelar ini sangat berkaitan dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam. Setelah Nabi Muhammad wafat, para sahabat berkumpul untuk memilih dan memutuskan seorang yang akan menjadi pengganti kepemimpinan Nabi. Dan, Abu Bakar terpilih untuk menggantikan Rasulullah dalam memimpin dan memelihara kemaslahatan umat Islam pada masa-masa berikutnya. Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, yang berarti penerus atau pengganti nabi untuk mengurus masalah umat Islam.

Abu Bakar menegaskan, “Aku bukan khalifah Allah, melainkan khalifah Rasulullah.” Jadi, Abu Bakar diangkat oleh para sahabat sebagai pengganti dan penerus kepemimpinan Rasulullah. Khalifah sebagai konsep politik merupakan antitesis dari sistem kekaisaran yang absolut otoriter.

Amîr Al-Mu’minîn. Gelar ini diberikan kepada khalifah kedua: Umar ibn Khathtab—setelah menggantikan Khalifah Abu Bakar yang wafat. Dalam bukunya, Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun menjelaskan sebab pemberian nama ini. Ia menulis, “Itu adalah bagian dari ciri khas kekhalifahaan dan itu diciptakan sejak masa para khalifah. Mereka telah menamakan para pemimpin delegasi dengan nama amir; yaitu wazan (bentuk kata) fa’il dari imarah. Para sahabat pun memanggil Sa’ad ibn Abi Waqqash dengan Amîr Al-Mu’minîn karena ia memimpin tentara Islam dalam Perang Qadisiyyah. Pada waktu itu, sebagian sahabat memanggil Umar ibn Khathtab dengan sebutan yang sama juga: Amîr Al-Mu’minîn sebagai pengganti gelar yang susah disebut, yaitu: Khalifatu khalifati Rasulillah (pengganti dari pengganti Rasulullah).

Penggunaan nama Imam, khalifah dan Amir mempunyai filosofi tersendiri. Imam mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin harus bias di depan seperti imam salat, khalifah (artinya yang dibelakang) mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin juga harus bias berada di belakang memberikan dorongan kepada rakyatnya. Sdagkan amir punya dua makna, sebagai isim fail artinya yang menyuruh, sebagai isim maf`ul artinya yang disuruh, maknanya seorang pemimpin suatu saat harus berani menyuruh, dan di kala yang lain justeru disuruh oleh rasa tangung jawabnya.

Secara umum, ketiga gelar di atas menunjukkan perlu atau adanya kepemimpinan dalam Islam. Bagi suatu kaum atau umat, keberadaan seorang pemimpin merupakan suatu keharusan yang tak mungkin dimungkiri. Menurut Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkâm Al-Sulthâniyyah wa Al-Wilâyât Al-Dîniyyah, dalam lembaga negara dan pemerintahan, seorang kepala atau pemimpin wajib hukumnya menurut ijma’. Alasannya, karena lembaga kepala dan pemerintah dijadikan sebagai pengganti fungsi kenabian dan menjaga agama serta mengurus urusan dunia.

Al-Mawardi menyebut tujuh syarat yang harus dipenuhi calon kepala negara (seorang pemimpin). Syarat-syarat itu, antara lain: (1) keseimbangan atau keadilan (al-‘adâlah); (2)punya ilmu pengetahuan untuk berijtihad; (3)punya pancaindera lengkap dan sehat; (4)anggota tubuhnya tidak kurang untuk menghalangi gerak dan cepat bangun; (5) punya visi pemikiran yang baik untuk mendapatkan kebijakan yang baik; (6)punya keberanian dan sifat menjaga rakyat; dan (7) punya nasab dari suku Quraisy. Persyaratan suku Quraisy dapat dibandingkan dengan UUD 45 yang menyebut Presiden haruslah orang Indonesia asli.

Adapun Imam Al-Ghazali mengingatkan kepada para pemimpin, khususnya para penguasa, bahwa kekuasaan yang didudukinya memiliki batas dan kadar tertentu, dan bisa juga kekuasaan itu mengandung keburukan. Karena itu, dalam menjalankan kekuasaannya, seorang pemimpin harus menjalankan sepuluh prinsip keadilan—sebagai syarat pertama bagi seorang pemimpin, seperti disebutkan Al-Mawardi. Antara lain; seorang pemimpin harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi; menerima pesan ulama; berlaku baik kepada bawahan; memiliki rasa rendah hati dan penyantun; tidak mementingkan diri sendiri; memiliki loyalitas tinggi; hidup sederhana; lemah lembut; cinta rakyat; serta tulus dan ikhlas.

Yang jelas, Nabi Muhammad dengan tegas mengingatkan para pemimpin. Nabi bersabda, “Hamba yang diberikan kekuasaan oleh Allah untuk memimpin umat, tetapi mengkhianati, dan tidak memberikan nasihat atau mengasihi mereka, Allah mengharamkan surga kepadanya.” Dalam hadis lain Rasulullah berkata, “Siapa jadi pemimpin umat Islam, tetapi tidak memperhatikan mereka sebagaimana terhadap keluarganya sendiri, berarti ia telah memperoleh tempat yang mapan di api neraka.” Wa Allahu a’lam bi al-shawab


Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, October 04, 2006

Etika (Akhlak) Pemimpin
Akhlak menurut Al-Ghazali adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya suatu perbuatan di mana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi. Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnya tanpa sempat memikirkan resiko. Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka. Akhlak seseorang, di samping bermodal pembawaan sejak lahir, juga dibentuk oleh lingkungan dan perjalanan hidupnya.

Nilai-nilai akhlak Islam yang universal bersumber dari wahyu, disebut al-khair, sementara nilai akhlak regional bersumber dari budaya setempat, di sebut al-ma‘ruf, atau sesuatu yang secara umum diketahui masyarakat sebagai kebaikan dan kepatutan. Sedangkan akhlak yang bersifat lahir disebut adab, tatakrama, sopan santun atau etika Orang yang berakhlak baik secara spontan melakukan kebaikan, Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka.. Akhlak universal berlaku untuk seluruh manusia sepanjang zaman. Tetapi, sesuai dengan keragaman manusia, juga dikenal ada akhlak yang spesifik, misalnya akhlak anak kepada orang tua dan sebaliknya, akhlak murid kepada guru dan sebaliknya, akhlak pemimpin kepada yang dipimpin dan sebagainya.

Seseorang dapat menjadi pemimpin (imam) dari orang banyak manakala ia memiliki (a) kelebihan dibanding yang lain, yang oleh karena itu ia bisa memberi (b) memiliki keberanian dalam memutuskan sesuatu, dan (c) memiliki kejelian dalam memandang masalah sehingga ia bisa bertindak arif bijaksana. Secara sosial seorang pemimpin (imam) adalah penguasa, karena ia memiliki otoritas dalam memutuskan sesuatu yang mengikat orang banyak yang dipimpinnya. Akan tetapi menurut etika keagamaan, seorang pemimpin pada hakekatnya adalah pelayan dari orang banyak yang dipimpinnya (sayyid al-qaumi khodimuhum). Pemimpin yang akhlaknya rendah pada umumnya lebih menekankan dirinya sebagai penguasa, sementara pemimpin yang berakhlak baik lebih menekankan dirinya sebagai pelayan masyarakatnya.
Dampak dari keputusan seorang pemimpin akan sangat besar implikasinya pada rakyat yang dipimpin. Jika keputusannya tepat maka kebaikan akan merata kepada rakyatnya, tetapi jika keliru maka rakyat banyak akan menanggung derita karenanya. Oleh karena itu pemimpin yang baik disebut oleh Nabi dengan sebutan pemimpin yang adil (imamun ‘adilun) sementara pemimpin yang buruk digambarkan al-Qur’an, dan juga hadis, sebagai pemimpin yang zalim. Adil artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya, sedangkan sebaliknya zalim artinya menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.

Hadis Riwayat Bukhari menempatkan seorang Pemimpin yang adil dalam urutan pertama dari tujuh kelompok manusia utama. Hadis Riwayat Muslim menyebutkan bahwa pemimpin yang terbaik adalah pemimpin yang dicintai rakyatnya dan iapun mencintai rakyatnya. Sementara pemimpin yang terburuk menurut Nabi, adalah pemimpin yang dibenci rakyatnya dan iapun membenci rakyatnya, mereka saling melaknat satu sama lain. Hadis lain menyebutkan bahwa dua dari lima golongan yang dimurkai Tuhan adalah (1) penguasa (amir) yang hidupnya ditopang oleh rakyat (sekarang-pajak), tetapi ia tidak memberi manfaat kepada rakyatnya, dan bahkan tidak bisa melindungi keamanan rakyatnya. (2) Pemimpin kelompok (za‘im) yang dipatuhi pengikutnya tetapi ia melakukan diskriminasi terhadap kelompok kuat atas yang lemah, serta berbicara sekehendak hatinya (tidak mendengarkan aspirasi pengikutnya). Hadis Riwayat Dailami bahkan menyebut pemimpin yang sewenang-wenang (imam jair) sebagai membahayakan agama.

Kisah Al-Qur’an yang menyebut Nabi (Raja) Sulaiman yang memperhatikan suara semut mengandung pelajaran bahwa betapa pun seseorang menjadi pemimpin besar dari negeri besar, tetapi ia tidak boleh melupakan kepada rakyat kecil yang dimisalkan semut itu. (Q/27:16). Meneladani kepemimpinan Rasulullah, akhlak utama yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah keteladanan yang baik (uswah hasanah), terutama dalam kehidupan pribadinya, seperti; hidup bersih, sederhana dan mengutamakan orang lain. Tentang betapa tingginya nilai keadilan pemimpin, Hadis Riwayat Tabrani menyebutkan bahwa waktu satu hari efektif dari seorang pemimpin yang adil setara dengan ibadah tujuhpuluh tahun.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger