Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Thursday, July 26, 2007

Jati Diri Manusia
Ada tiga pertanyaan abadi, yakni dari mana ? mau kemana ? dan untuk apa kehadiran manusia di pentas kehidupan. Pertanyaan pertama dan kedua sudah terjawab; orang beragama menyatakan bahwa manusia berasal dari Allah dan akan kembali kepada Nya, inna lillahi wa inna ilaihi raji`un. Orang Atheis menyatakan bahwa manusia hadir secara alamiah dan nanti akan hilang secara alamiah, tidak ada akhirat, tidak ada sorga ataupun neraka.

Pertanyaan ketigalah yang selalu mengelitik manusia sepanjang sejarah. Dalam keadaan tertentu orang sering mempertanyakan makna kehadiran dirinya, sehingga muncullah pertanyaan-pertanyaan; (a) untuk apa aku dilahirkan ? (b) untuk apa aku capai-capai ngurusin beginian ? (c) untuk apa semua yang telah kukerjakan ? (d) mengapa aku harus patuh ?, (e) untuk apa jujur jika semua pada korupsi ? . Di sisi lain ada yang bertanya-tanya : (f) kenapa ya kita selalu membela dia sampai hampir mati, padahal kita nggak dikasih apa-apa ? (g) kenapa kita sedih ketika dia mati ? (h) kenapa orang pergi haji suka menangis ? dan masih banyak lagi pertanyaan orang.

Kesemuanya itu sebenarnya berhubungan dengan apa yang disebut makna hidup, (the meaning of life). Manusia memang bukan saja makhluk biologis, tetapi juga makhluk yang bisa berfikir, merasa dan mengeti akan makna hidup. Terkadang atau kebanyakan orang lebih menonjol kebiologisannya, sehingga meski ia berpendidikan tetapi perilakunya tak lebih dari perilaku hewan. Ada yang seperti kambing (tidak bisa mendengar nasehat), ada yang seperti ular (licik), seperti ayam jago (free sex), seperti anjing (pendengki) dan ada yang seperti lalat (baik-buruk di embat semua). Adapun orang yang mengerti akan makna hidup maka ia mengerti akan makna pengorbanan, makna persahabatan, makna kesetiaan. Orang yang mengerti akan makna hidup sanggup untuk menderita demi kebahagiaan orang lain, sanggup menantang maut demi kehidupan orang lain, sanggup menderita di dunia demi kebahagiaan di akhirat.

Jati Diri Manusia Menurut Al Qur’an
Al Qur’an menyebut jati diri manusia dengan berbagai sebutan, sesuai dengan kualitas perilakunya , yaitu , mu’min, muslim, muttaqin, fasiq, munafiq, kafir, zalim, mukhlis, sabir, halim, hanif, jahil,

1. Musilim, Mu’min dan Muttaqin
Seorang muslim artinya orang yang telah berpasrah diri kepada Tuhan, tetapi dalam rangking manusia berkualitas, seorang yang baru pada tingkat muslim berada pada tingkatan terendah. Karakteristik seorang muslim adalah seorang yang telah meyakini supremasi kebenaran, berusaha untuk mengikuti jalan kebenaran itu, tetapi dalam praktek ia belum tangguh karena ia masih suka melupakan hal-hal yang kecil. Sedangkan seorang yang sudah mencapai kualitas mukmin adalah seorang muslim yang sudah istiqamah atau konsisten dalam berpegang kepada nilai-nilai kebenaran, sampai kepada hal-hal yang kecil. Ciri orang mukmin antara lain (1) hanya berbicara yang baik, (2) tidak menganggu orang lain, (3) merasa sependeritaan dengan mukmin yang lain, dan sebagainya. Sedangkan Muttaqin adalah orang mukmin yang telah menjiwai nilai-nilai kebenaran dan allergi terhadap kebatilan.

2. Fasiq, Kafir dan Munafiq.
Orang Fasiq adalah orang yang mengetahui dan meyakini supremasi nilai kebenaran, tetapi dalam kehidupan ia malas mengikutinya terutama jika bertentangan dengan dorongan syahwat/kesenangannya.

Adapun orang kafir adalah kebalikan dari orang mukmin. Jika orang mukmin konsisten dalam berpegang kepada kebenaran yang diimaninya dalam keadaan apapun, orang kafir konsisten dalam hal tidak mempercayai kepada nilai-nilai kebenaran. Secara terbuka ia menyatakan tidak percaya kerpada Tuhan, kepada dosa dan kepada kebajikan..

Sedangkan orang munafik, karakteristiknya dapat disebut sebagai orang yang bermuka dua, berbeda antara kata dan perbuatan. Jika orang kafir secara terbuka mengemukakan kekafirannya, orang munafik justeru menyembunyikan kemunafikannya. Secara lahir ia perlihatkan perilaku seakan-akan ia sama dengan orang mukmin yaitu mempercayai nilai-nilai kebenaran, padahal yang sebenarnya ia tidak percaya dan berusaha melecehkan kebenaran dibelakang penglihatan orang mukmin. Orang munafik tak ubahnya musuh dalam selimut, sehari-hari ia bersama kita padahal ia memusuhi kita, mencuri peluang untuk mencelakakan kita. Tanda-tanda orang munafik menurut hadis Nabi ada tiga, yaitu (1) jika berkata dusta, (2) jika berjanji ingkar, (3) jika dipercaya khianat.

Karena kualitas itu bersifat psikologis, maka jarak antara satu kualitas dengan kualitas yang lain tidaklah seterang warna hitam dan putih, oleh karena itu seorang mukmin boleh jadi pada dirinya masih terdapat karakter-karakter fasiq, nifaq atau bahkan kufur.

3. Mukhlis, Shabir dan Halim
Mukhlis, artinya orang yang ikhlas. Seorang dengan kualitas mukhlis adalah orang yang hatinya bersih dari keinginan memperoleh pujian. Semua perbuatannya, perkataannya, pemberiannya, penolakannya, perkataannya, diamnya, ibadahnya dan seterusnya, semata-mata dilakukan hanya untuk Allah SWT. Oleh karena itu baginya pujian orang tidak membuatnya berbangga hati, dan kekecewaan serta caci maki orang tidak membuatnya surut

Adapun shabir atau shabur, artinya adalah orang yang sabar atau penyabar. Menurut Imam Gazali, sabar artinya tabah hati tanpa mengeluh dalam menghadapi cobaan dan rintangan, dalam jangka waktu tertentu, dalam rangka mencapai tujuan. Jadi orang yang bisa sabar adalah orang yang selalu ingat kepada tujuan, karena kesabaran itu diperlukan adalah justeru demi untuk mencapai tujuan. Orang yang tidak sabar biasanya , karena lupa tujuan akhir, ia mudah terpedaya untuk melayani gangguan-gangguan yang tidak prinsipil, sehingga apa yang menjadi tujuan terlupakan dan segalanya menjadi berantakan.. Manusia dengan kualitas penyabar adalah sosok manusia yang ulet, tak kenal menyerah, tak kenal putus asa, dan tak kurang akal.. Al Qur’an menghargai manusia unggul yang penyabar, setara dengan seratus orang kafir (yang sombong, emosionil dan tak mempunyai nilai keruhanian) (Q/al Anfal, 65). Dalam keadaan normal. Al Qur’an menghargai peribadi penyabar setara dengan dua orang biasa (Q/8: 66).

Sedangkan manusia dengan kualitas halim, Al Qur’an memberi contoh sosok nabi Ibrahim. Dia adalah pribadi yang awwahun halim (Q/ at Taubah: 114). Nabi Ibrahim sebagai sosok model seorang yang berkualitas halim, memang sangat tepat, karena pada dirinya terkumpul sifat-sifat kecerdasan, kelembutan hati, belas kasih, dan perasaan mengkhawatirkan keadaan orang lain.. Ibrahim tidak memiliki perasaan marah dan benci termasuk kepada orang yang memusuhinya. Ketika Nabi Ibrahim lapor kepada Tuhan tentang kaumnya yang patuh dan yang durhaka, Nabi Ibrahim memohon kepada Tuhan agar mengampunni dan menyayangi kaumnya yang durhaka (faman tabi`ani fa innahu minni , waman `asoni fa innaka ghofu run rohiem (Q/14:36).

4. Zalim dan Jahil
Zalim (sewenang-wenang) dan jahil (bodoh) keduanya merupakan penyakit yang dalam bahasa Arab disebut maradl.. Jika adil mengandung arti menempatkan sesuatu pada tempatnya (proporsionil), maka perbuatan zalim artinya menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Orang zalim melakukan sesuatu tidak pada tempatnya secara sadar, disebut juga sewenang-wenang, sedangkan orang jahil suka melakukan hal yang sama tetapi tanpa keasadarannya karena kebodohannya. Orang pandai terkadang melakukan perbuatan zalim , yang bisa juga disebut sebagai perbuatan bodoh. Orang bodoh yang baik hati itu lebih baik daripada orang pandai yang zalim. Kezaliman orang bodoh biasanya hanya sedikit dampaknya, tetapi kezaliman orang pandai bisa berdampak sangat luas.

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, July 19, 2007

Filsafat Dakwah
Berfikir falasafi artinya berfikir secara mendasar dan sistemik. Harus diakui bahwa pada umumnya masyarakat dakwah di Indonesia belum berfikri falsafi dalam berdakwah, oleh karena pembahasan dakwah di semua lapisan lembaga dakwah pada umumnya masih bersifat permukaan. Da’I pada umumnya dalam menganalisis permasalahan dakwah di masyarakat masih belum berfikir secara falsafi. Diantara hal yang harus dikaji secara mendasar dalam kerangka dakwah yang komunikatip dan efektip adalah hal-hal sebagai berikut :

1. Manusia sebagai mad’u, psikologinya dan kodratnya.

2. Tujuan dakwah, mikro dan makronya.

3. Hakikat dakwah : sekedar (1) tabligh, atau (2) pembudayaan nilai-nilai
Islam, atau bahkan (3).penegakan sistem Islam dalam kehidupan manusia.

4. Hakikat Islamisasi Sistem kehidupan, apakah sekedar dengan (1) tabligh, atau harus dengan (2) amar makruf nahi mungkar, atau bahkan dengan (3) jihad.
Vijf. Pilar-pilar dakwah, apakah cukup dengan (1) dakwah fardiyyah/indifidual, (2) da`wah ijtima`iyyah, atau bahkan perlu mendirikan (3) daulah Islamiyah/negara Islam.
Zes. Pilihan-pilihan metodologis/mazhab dakwah, apakah hanya dengan (1) tabgligh (dakwahnya muballigh), atau perlu (2) model akulturasi budaya seperti yang dilakukan Wali Songo, atau menggunakan (3) dakwah gerakan, seperti yang dilakukan oleh Ikhwanul muslimin atau Syi’ah Iran.

Komunikasi dakwah Psiko Sufistik.
Manusia adakalanya memiliki kecenderungan rasionalistis, dan di kala yang lain cenderung kepada mistis. Pada suatu masa pendekatan rationalistis merupakan pilihan yang tepat dan efektip, tetapi di kala yang lain pendekatan itu justeru terasa kering. Pada zaman krisis manusia memiliki bakat kecenderungan yang bersifat mistis, oleh karena itu sejarah telah membuktikan bahwa tasauf senantiasa muncul ke permukaan di kala ummat Islam dilanda krisis. Kelahiran tasauf di dalam Islam itu sendiri juga berhubungan dengan periode krisis, krisis politik, krisis identitas, dan krisis psikologis sosial. Oleh karena itu pendekatan dakwah dewasa ini tidak cukup sekedar memenuhi kriteria komunikasi. Dakwah harus menyentuh kesadaran rasa, bukan sekedar kesadaran mental. Pembacaan salawat secara massal lebih efektip menumbuhkan rasa keberagamaan dibanding ceramah yang jelas dan logis. Tadarrus Yasin bersama-sama lebih menyentuh dibanding pembacaan al Qur’an dengan qiraah sab’ah di atas mimbar.

Dakwah dengan pendekatan psiko sufistik hanya efektip manakala kondisi masyarakat yang menjadi mad’u sedang mengalami krisis. Psikologi manusia yang bertasauf adalah kesiapan jiwanya sangat besar untuk menerima bimbingan apappun dari guru atau da’i. Seorang guru sufi tak perlu berdebat dengan muridnya, karena muridnya sudah dalam keadaan siap untuk dituangi pencerahan. Meski demikian, pendekatan sufistik pada umnumnya lebih pada untuk mencari jalan keselamatan, dibanding untuk membangun masa depan. Artinya berdakwah tidak cukup dengan hanya melalui pendekatan psiko sufistik, tetapi harus ada da’I lain yang menggunakan pendekatan rasionalism, terlebih lebih jika zamannya sedang normal. Persoalannya, batas antara zaman normal dan krisis itu juga tidak matematis.

Penutup.
Karena ajaran Islam yang komprehensip maka da’i tidak bisa tidak harus menguasai wawasan kahidupan secara komprehensip juga, politik, ekonomi, sosial dan budaya, terlebih-lebih dalam kontek pluralitas bangsa Indonesia yang sedang berada dalam peralihan orde. Dalam perspektip ini maka wacana gagasan universal juga harus disosialisasikan kepada d’a’I .

Read More
posted by : Mubarok institute
Tentang Materi Dakwah
Jika yang dimaksud materi dakwah itu tentang apa, maka begitu luas materi dakwah karena ajaran Islam sangat luasnya. Tetapi jika yang dimaksud sumbernya itu apa maka materi dakwah tak lain adalah ajaran al Qur’an dan hadis. Ia bisa inaturanya (ayat-ayat dan matan hadis) bisa juga yang sudah diramu dalam bentuk ilmu yang sitematis, bisa juga dalam bentuk nasehat dan maqalah, bisa juga dalam bentuk kisah-kisah masyarakat yang diteropong dengan kacamata Qur’an hadis. Jika materi itu dimisalkan makanan, ada lapisan asyarakat yang tertarik dengan beras untuk dimasak sendiri, tetapi ada juga yang tidak mau repot-repot mengetahui bahannya apa, yang penting dalam sajian makanan yang menarik dan enak. Mereka tidak tertarik dengan teks Al Qur’an, tetapi sangat bergairah terhadap tamsil-tamsil dan maqolah yang indah.

Yang penting apa yang disampaikan kepada mad’u itu sesuai dengan cara berfikir dan cara merasa mereka, atau dengan kata lain dakwah secara persuasip, sehingga mad’u mengikuti kehendak da’I tetapi mereka merasa sedang mengikuti kehendak sendiri. Jika dakwah disampaikan ecara persuasip, maka pasti konunikatip. Jika komunikatip maka pasti lebih efektip.

Efektifitas dakwah dapat ditandai dengan lima hal sekurang-kurangnya :

1. Melahirkan pengertian mad’u tentang pesan apa yang disampaikan da’i

2. Menimbulkan kesenangan

3. Menimbulkan pengaruh pada sikap mad’u

4. Menimbulkan hubungan yang semakin baik antara da’I-mad’u

5. Menimbulkan tindakan.

Bahasa dakwah
Kata-kata jika disampaikan dengan isi, takaran, waktu dan orang yang tepat akan mempunyai kekuatan yang luarbiasa. Bahasa dapat disebut sebagai remote control yang dapat menyetel orang tertawa, menangis, sedih, marah, gembira , semangat, lunglai dan sebagainya. Dengan memperhatikan psikologi pesan, seorang da’I dengan kata-katanya dapat mengatur, menggerakkan dan mengendalikan perilaku masyarakat. Kekuatan bahasa (dalam dakwah) menurut psikologi kata-kata ,terletak pada jenis-jenis kekuatan seperti berikut :

1. Karena keindahan bahasa, seperti bait-bait puisi

2. karena jelasnya informasi

3. karena logikanya yang kuat

4. karena intonasi suara yang berwibawa

5. karena memberikan harapan/optimisme masa depan (basyiran)

6. karena memberikan peringatan yang mencekam (naziran)

7. karena ungkapan yang penuh ibarat.

Al Qur’an, menyebut beberapa istilah yang dapat disebut sebagai bahasa dakwah, yaitu : qaulan baligha, qaulan karima, qaulan maisura, qaulan layyina dan qaulan sadida, masing-masing mempunyai karakteristik sesuai dengan segmen mad’unya.

1. qaulan baligha ditujukan kepada segmen mad’u orang kafir dan munafiq. (annNisa 63). Menurut Asfihani, sautu kata-kata dianggap baligh manakala : (a) memiliki kebenaran dari segi bahasa, (b) memilikikesesuaian dengan apa yang dimaksud, dan © memiliki kebenaran secara substansial. Qaulan baligha bersifat keras dan tidak lemah lembut, sehingga membekas di hati yang keras.

2. qaulan layyina (Q:/20: 43-44) ditujukan kepada segmen mad’u sejenis penguasa tiran. Cirinya lembut dan tak mengusik perasaan yang dapat mengganggu komunikasi, seperti yang dilakukan Musa kepada Fir’aun.

3. Qaulan maisura (Q/17:28) ditujukan kepada segmen orang awam yang masih berkutat pada problem basic need, sembako. Cirinya, mudah ditangkap, ringan, pantas, tidak berliku-liku dan tidak bersayap, tidak perlu dalil naqli atau pasal-pasal UU.

4. qaulan karima (Q/17:23) ditujukan kepada segmen mad’u manula, pensiunan dan sebangsanya. Cirinya adalah mudah dan lembut (sahlan wa layyinan), tidak menggurui, tidak perlu retorika yang meledak-ledak.

5. qaulan sadida (Q/33: 69-71), ditujukan untuk semua lapisan mad’u. Cirinya : mengenai sasaran (yushib al qasd), materinya benar dari segi isi dan bahasa dan disampaikan dengan pijakan taqwa.

Read More
posted by : Mubarok institute
Urgensi memperbaharui paradigma dakwah
Fenomena krisis sosial memberitahukan kepada kita bahwa gegap gempita tabligh ternyata tidak efektip dalam membentuk masyarakat Islam. Secara simbolis syiar-syiar Islam memang tampak, tetapi esensi dari nilai Islam justeru tidak tertanam. Pada tataran masyarakat kelas menengah dan elit juga nampak paradox antara fenomena tarawih, salat Jumat dan ibadah haji serta umrah yang dijalankan oleh lapisan menengah keatas dengan praktek KKN yang membudaya pada mereka. Oleh karena itu masyarakat dakwah harus bisa merumuskan kembali paradigma dakwah yang baru, yang sesuai dengan era reformasi dan era globalisasi. Di sinilah peran IAIN , terutama Fakultas Dakwah dan juga lembaga-lembaga dakwah ditunggu.

Pengertian dakwah.
Selama ini dakwah lebih dipersepsikan sebagai ajakan, seruan dan tabligh. Pemahaman makna dakwah mengandung implikasi ukuran keberhasilah, dan ini jarang dikaji, sehingga sampai hari ini kita tidak dapat meneliti seberapa besar efektifitas dakwah.Saya lebih cenderung untuk mendefinisikan bahwa dakwah adalah upaya mempengaruhi mad’u agar mereka bertingkahlaku seperti yang dikehendaki oleh da’i. Dengan definisi ini maka da’I membuat target perilaku yang dapat diukur pada masyarakat mad’u. Karena pekerjaan mempengaruhi merupakan aktifitas mental yang mencakup sensasi, persepsi, memori dan berfikir, maka seorang da’I harus memiliki wawasan psikologi, dalam hal ini pesikologi dakwah. Psikologi dakwah diperlukan bukan hanya untuk menguraikan perilaku terukur mad’u, tetapi juga untuk memprediksi dan mengendalikan tingkah laku masyarakat. Dengan wawasan psikologi dakwah maka da’I bisa berhitung seberapa berhasil menjadikan dakwahnya sebagai stimulus yang direspond oleh masyarakat mad’u. Dengan wawasan psikologi dakwah, da’I ketika memprogram dakwah sudah dapat menentukan metode, media yang dipandang pas bagi mad’u.

Tentang Da’I
Selama ini banyak orang yang menyatakan tidak dapat berdakwah karena tidak bisa berpidato. Kesalahan konsep diri ini disebabkan karena kesalahan persepsi tentang dakwah. Da’I bisa perorangan, kelompok, lembaga bahkan negara. Demikian juga mad’u bisa seorang, sekelompok orang, masyarakat luas, lembaga dan bahkan bangsa. Kelompok masyarakat bermasalah membutuhkan da’I yang bisa mendekatinya secara indifiduil dengan pendekatan conseling agama (irsyad an nafsiy). Masyarakat birokrasi memerlukan da’I yang menguasai psikologi perburuhan dan psikologi administrasi, dan mereka tidak mesti harus bertatap muka, tetapi dakwahnya cukup diwujudkan dalam sistem manajemen dan administrasi. Demikianlah, semua segmen mad’u membutuhkan da’I dari segmen tertentu pula.

Read More
posted by : Mubarok institute
Paradigma Baru Dakwah di Indonesia
Era reformasi telah memberitakan kepada kita bangsa Indonesia dan ummat Islam tentang kualitas, wawasan, dan masa depan bangsa dan ummat. Sejujurnya kita menyadari bahwa kualitas manusia Indonesia seperti persepsi kita selama ini ternyata tidak benar kalau tidak dikatakan sebaliknya. Demikian juga wawasan poleksosbud kita selama ini ternyata sempit. Dari itu kita dengan getir memandang masa depan yang berat, sekaligus sedih karena banyak diantara kita (bangsa dan ummat) yang belum menyadari kondisi keterpurukannya sehingga masih sibuk mencari biangkeladi krisis ini kepada orang lain, belum mencari akar masalah yang sebenarnya pada diri sendiri. Di satu sisi iklim keterbukan era reformasi menumbuhkan harapan mayoritas untuk dapatberperan dalam persaingan yang fair, tetapi kebebasan juga telah menimbulkan hiruk pikuk suara yang justeru contra produktip. Kalau boleh menyesali, maka mengapa kelompok santri menengah perkotaan justeru belum menjadari kedudukannya dalam tim kesebelasan ummat, sehingga kerjasama yang diimpikan berubah menjadi hanya sama-sama kerja.

Reformasi di Indonesia yang hampir menyerupai revolusi ini sebenarnya membuka peluang bagi ummat Islam sebagai mayoritas untuk membukukan tonggak sejarah, dan beberapa indikator sudah nampak, tetapi PR yang terlalu banyak dapat menyebabkan ummat sibuk menatap ersoalan intern, lupa strategi jangka panjang. Eep Saifullah Fatah nyaris sangat tepat ketika menginfentarisir 25 kesalahan ummat Islam Indonesia.

Itulah tantangan yang harus dihadapi oleh masyarakat dakwah dalam menyongsong abad 21.

Kondisi tidak ideal yang menjadi tantangan dakwah
Krisis bangsa yang terjadi pada zaman global memunculkan fenomena yang memperberat tantangan dakwah, antara lain :

1. derasnya arus informasi global dengan muatan budaya asing yang sangat kental, sementara masyarakat (ummat) belum siap memfilter informasi yang datang.

2. Krisis ekonomi yang melanda masyarakat (ummat) memperkecil peluang belajar, yang artinya memperlambat pembinaan SDM ummat.

3. Wawasan masyarakat yang masih sempit membuat mereka mudah dipermainkan oleh issue jangka pendek, lupa agenda jangka panjang. Kepentingan pendidikan bangsa misalnya mudah dikalahkan oleh kepentingan politik sesaat.

4. Keterbatasan pergaulan ummat (terutama da’I dan muballignya) dalam percaturan international menghambat pergaulan yang dinamis dalam kerangka bangsa Indonisa yang plural.

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, July 12, 2007

Pergumulan Budaya
Sepeninggal periode Khulafa Rasyidin, budaya lokal menyeruak keatas permukaan menghiasi aspirasi konflik elit politik. Baru dalam bilangan 20 tahun sepeninggal Rasul, wilayah kekuasaan Islam sudah sangat luas, menaklukkan imperium Persia dan membebaskan wilayah Syams dan Afrika dari penjajahan Rumawi, dimana pada kedua wilayah itu masing-masing telah memiliki peradaban yang sudah mapan serta potensi ekonomi yang sangat besar. Umar bin Khattab melarang keras tokoh-tokoh elit hijrah ke negri baru, tetapi khalifah Usman agak mengendorkan larangan itu, sehingga banyak pedagang Quraisy hijrah ke wilayah yang baru ditaklukkan.

Dengan ketiadaan sosok Rasul, para tokoh elit Arab Jahiliyah yang sudah masuk Islam tidak dapat lagi dibendung peran sosial ekonominya, karena mereka sejak sebelum memeluk Islam memang sudah memiliki kelebihan pengalaman dalam bidang ekonomi dan kepemimpinan. Jika pada masa Rasul dan Khulafa Rasyidin nilai agama dan solidaritas lebih menonjol, maka pada periode pasca Khulafa Rasyidin nilai ekonomi dan nilai kuasa justeru yang lebih menonjol. Akibatnya konflik politik dan persaingan bisnis menjadi subur, dan ujungnya adalah lahirnya sistem kekuasaan absolut berupa dinasti Umayyah (berpusat di Damaskus dengan basis budaya Romawi) dan disambung dinasti Abbasiah (berpusat di Baghdad dengan basis budaya Persia). Adapun kelompok yang tetap berorientasi kepada Qur’an & Sunnah, mereka tidak mau melibatkan diri dalam konflik, tetapi mengkhususkan diri menekuni pemikiran agama, kemudian secara sosiologis menjadi kelompok ulama yang bisa dipertentangkan dengan kelompok umaro (penguasa).

Pada saat itu berbagai aspirasi (Qur`ani, Hadits, Israiliyyat, filsafat dan tradisi lama) dan berbagai kelompok kepentingan terlibat dalam pergumulan budaya, dan kesemuanya mengatas namakan Islam.

1. Dari aspek politik lahirlah penguasa dinasti yang lebih mementingkan mempertahankan nilai kuasa dibanding nilai agama dan solidaritas, disamping kelompok oposisi.

2. Dari aspek pemikiran hukum, lahirlah mazhab-mazhab fiqh, yang terbesar adalah mazhab Maliki, Syafi`I, Hanafi dan Hambali.

3. Dari aspek teologi lahir alian-aliran ilmu Kalam (filsafat ketuhanan), seperti Mu`tazilah, Qadariyah, Jabbariyyah, Maturidiyyah dan Ahlu sunnah wa al jama`ah.

4. Dari aspek spiritualisme, lahirlah sufisme yang bercorak lmmanen dan bercorak transenden, yang panteistis dan yang tetap tauhid rational.

Di Aceh, Islam bergumul dengan budaya Melayu, melahirkan sastra Melayu Islam, dan pengaruhnya meluas di Sumatera, melahirkan format seperti adat bersendi syara`, dan syara` bersendi Kitabullah. Sedangkan di Jawa nilai-nilai Islam berhadapan dengan lingkungan budawa kejawen, yaitu lingkungan budaya istana (Majapahit) yang telah menyerap Hinduisme dan budaya wong cilik yang animistis.

Hasilnya, yang lebih dekat ke Islam menjadi Pesantren, sedangkan yang lebih dekat ke budaya lokal menjadi Kejawen dan kebatinan. Di Jawa muncul konsep manunggaling kawula lan Gusti, konsep eling, konsep kalifatullah sayyidin Panatagama, konsep ngerti sadurunging winarah, konsep layang kalima sada dan sebagainya. Tipologi orang Jawa pasca pergumulan budaya Islam vs budaya lokal terbagi menjadi tiga (menurut Geertz) yakni santri, abangan dan priyayi. Priyayi kebanyakan juga abangan. Pergumulan itu berlangsung terus hingga sekarang, melahirkan typologi Amrozi, Habib Riziq, Harun Nasution, Gus Dur, Takdir Ali Syahbana, Sukarno, Matori Abdul Jalil, Nur Iskandar, AA Gym, Rendra, Hidayat Nurwahid, Mustafa Bisri, Emha Ainun Najib, Inul dan kita-kita ini. Wallohu a`lamu bissawab.

Read More
posted by : Mubarok institute
Budaya Islam Syar`iy
Sebagaimana telah diketahui bahwa sumber utama ajaran Islam adalah al Qur’an dan Sunnah Rasul. Dalam perjalanan sejarahnya, budaya lokal juga ikut mempengaruhi corak kebudayaan Islam. Istilah budaya Islam Syar`iy digunakan untuk membedakan bentuk pemahaman dan pengamalan Nabi atas agama yang belum dipengaruhi oleh budaya jahiliyah (unsur-unsur budaya lokal), sebaliknya justeru mengubah budaya jahiliyah yang musyrik menjadi agama tauhid, dengan bentuk-bentuk agama Islam yang telah dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya lokal; seperti sekte-sekte Syi`ah, Khawarij dan juga ordo-ordo Sufi, dll. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Islam seperti yang dicontohkan oleh Rasul, adalah sistem yang merupakan kesatuan utuh antara aspek aqidah (iman) aspek Islam (aturan-aturan formal) dan aspek ihsan (moral spiritual). Sepeninggal Rasul, untuk masa tertentu meski terjadi gejolak sosial dan politik, tetapi magnit al Qr’an dan Sunnah masih cukup kuat menarik jiwa penganutnya, terutama para sahabat besar sehingga budaya lokal tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap budaya Islam.

Dapat dikatakan bahwa Islam yang asli telah diperagakan oleh Nabi Muhammad s.a.w. dan diteruskan oleh Khulafa Rasyidin, yakni pada periode dimana Madinah al Munawwarah masih menjadi pusat imamah. Pengamalan Islam pada periode ini masih sederhana tetapi tauhidnya sangat kokoh dan belum diwarnai oleh peradaban lain, sebaliknya malah mengubah budaya lokal Arab. Meski budaya Islam periode awal disebut masih sederhana, dan al Qur’an serta Sunnah Nabi menjadi nilai dasar, tetapi sebenarnya di dalamnya juga sudah ada nilai-nilai rasional, ekonomi, kuasa, solidaritas dan seni.

Read More
posted by : Mubarok institute
Islam & Budaya
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa agama Islam adalah agama langit yang kemudian “membumi”. Ketika masih di “langit” Islam adalah agama yang sempurna dan mutlak benar, tetapi ketika “membumi” maka ia mengalami proses pembudayaan atau pergumulan budaya dimana ada peran manusia yang tidak sempurna sehingga sebagai agama bumi Islam tidak lagi sebagai agama yang mutlak benar, tetapi memiliki variasi tingkat kedekatan dengan kebenaran. Dengan demikian maka ada kebudayaan Islam yang sangat dekat dengan syari`at (budaya syar`iy) disamping ada kebudayaan yang hanya merupakan sempalan saja dari Islam, karena ia lebih dekat ke kebudayaan lokal setempat. Di sisi lain ada kebudayaan ummat Islam yang malah tidak ada relevansinya dengan Islam.

Nilai Budaya
Banyak definisi tentang kebudayaan, tetapi saya memilih pandangan yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah konsep, keyakinan, nilai dan norma yang dianut masyarakat yang mempengaruhi perilaku mereka dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya. Disamping sebagai fasilitas, alam adalah tantangan yang harus diatasi. Berbeda dengan hewan, manusia tidak puas hanya dengan apa yang terdapat dalam alam kebendaan. Dengan konsep yang dimiliki manusia berusaha mengolah alam ini , dan dengan kesadaran dan cita-citanya manusia merumuskan apa yang bermakna dan apa yang tidak bermakna dalam kehidupannya. Sekurang-kurangnya ada enam nilai yang amat menentukan wawasan etika dan kepribadian manusia sebagai indifidu maupun sebagai masyarakat, yaitu : ekonomi, solidaritas, agama, seni, kuasa dan teori.

1. Nilai teori. Ketika manusia menentukan dengan obyektip identitas benda-benda atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga menjadi pengetahuan, manusia mengenal adanya teori yang menjadi konsep dalam proses penilaian atas alam sekitar.

2. Nilai ekonomi. Ketika manusia bermaksud menggunakan benda-benda atau kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau kegunaan, yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar kesenangan hidup. Kombinasi antara nilai teori dan nilai ekonomi yang senantiasa maju disebut aspek progressip dari kebudayaan.

3. Nilai agama. Ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan dan kebesaran yang menggetarkan dimana di dalamnya ada konsep kekudusan dan ketakziman kepada yang Maha Gaib, maka manusia mengenal nilai agama.

4. Nilai seni. Jika yang dialami itu keindahan dimana ada konsep estetika dalam menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia mengenal nilai seni. Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-sama menekankan intuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek ekpressip dari kebudayaan.

5. Nilai kuasa. Ketika manusia merasa puas jika orang lain mengikuti fikiranya, norma-normanya dan kemauan-kemauannya, maka ketika itu manusia mengenal nilai kuasa.

6. Nilai solidaritas. Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi cinta, persahabatan dan simpati sesama manusia, menghargai orang lain, dan merasakan kepuasan ketika membantu mereka maka manusia mengenal nilai solidaritas.

Enam nilai budaya itu merupakan kristalisasi dari berbagai macam nilai kehidupan, yang selanjutnya menentukan konfigurasi kepribadian dan norma etik individu maupun masyarakat. Nilai apa yang paling dominan pada seseorang atau sekelompok orang, akan menentukan “sosok” mereka sebagai manusia budaya (al insan madaniyyun bi at thab`i). Orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai ekonomi cenderung kurang memperhatikan halal dan haram, orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai teori cenderung menjadi ilmuwan, yang lebih dipengaruhi oleh nilai kuasa cenderung tega dan nekad, yang lebih dipengaruhi oleh nilai agama dan seni cenderung menjadi sufi dan seterusnya, sehingga ada sosok orang yang materialis, seniman, pekerja sosial an sebagainya. Bisa juga ada ilmuwan yang mengabdi kepada materi, politisi yang pejuang, ulama yang rasionil, ilmuwan yang mistis dan sebagainya.

Budaya progressip akan mengembangkan cara berfikir ilmiah dan melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, sedangkan puncak dari budaya ekpressip bermuara pada kepercayaan mitologis dan mistik. Pendukung budaya progressip pada umumnya dinamis dan siap digantikan oleh generasi penerus dengan penemuan-penemuan baru, sedangkan pendukung budaya ekpressip biasanya statis atau tradisional, memandang kebudayaan sebagai sesuatu ang sudah final.

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, July 08, 2007

Prinsip-Prinsip Dasar Perkawinan (2)
Bahwa pergaulan dalam rumah tangga juga membutuhkan suasana dinamis, dialog dan saling menghargai. Kekurangan keuangan keluarga misalnya, oleh orang bijak dapat dijadikan sarana untuk menciptakan suasana dinamis dalam keluarga. Sebaliknya suasana mapan yang lama (baik mapan cukup maupun mapan dalam kekurangan) dapat menimbulkan suasana rutin yang menjenuhkan. Oleh karena itu suami isteri harus pandai menciptakan suasana baru, baru dan diperbaharui lagi, karena faktor kebaruan secara psikologis membuat hidup menjadi menarik. Kebaruan tidak mesti dengan mendatangkan hal-hal yang baru, tetapi bisa juga barang lama dengan kemasan baru.

8. Salah satu penyebab kehancuran rumah tangga adalah adanya orang ketiga bagi suami atau bagi isteri (other women/man). Datangnya orang ketiga dalam rumah tangga bisa disebabkan karena kelalaian/kurang waspada (misalnya kasus adik ipar atau pembantu), atau karena pergaulan terlalu bebas (ketemu bekas pacar atau teman sekerja), atau karena ketidak puasan kehidupan seksual, atau karena kejenuhan rutinitas. Suami/isteri harus saling mempercayai, tetapi harus waspada terhadap kemungkinan masuknya virus orang ketiga.

Artinya: "Nabi melarang seorang lelaki memasuki kamar wanita yang bukan muhrim. Seorang sahabat menanyakan boleh tidaknya memasuki kamar saudara ipar. Nabi menjawab: Masuk ke kamar ipar itu sama dengan maut (berbahaya)." (Hadis)
artinya: Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, untuk bepergian selama tiga hari tanpa disertai muhrimnya. (H.R. Bukhari, Muslim dan Abu Daud, dari Ibn Umar)

9. Bahwa perkawinan itu bukan hanya mempertemukan dua orang; suami dan isteri, tetapi juga dua keluarga besar antar besan. Oleh karena itu suami/isteri harus bisa berhubungan secara proporsional dengan kedua belah pihak keluarga, orang tua, mertua adik, ipar dst.

10. Bahwa masalah harta benda sering menjadi sumber perselisihan keluarga, baik selagi masih hidup maupun setelah ditinggal mati (warisan). Orang tua diajarkan untuk berlaku adil terhadap anak-anaknya -termasuk dalam hal pemberian harta-. Ada dua jalan untuk mengalihkan hak pemilikan harta orang tua kepada anak, yaitu hibah, yakni pemberian ketika orang tua masih hidup, dan pembagian harta warisan setelah orang tua mati. Pedoman pembagian harta warisan dalam Islam sudah sangat jelas, tetapi kesepakatan keluarga (ahli waris) dapat membuat keputusan lain dalam pembagian harta. Harta waris yang diperoleh dengan cara re-butan/perselisihan biasanya tidak berkah, karena cara perolehannya disertai rasa permusuhan/tidak ridla.
artinya : Dan janganlah sebagian kamu memakan harta dari sebagian yang lain diantaramu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu ke pengadilan supaya kamu dapat menguasai (harta orang lain) dengan cara dosa, padahal kamu mengetahui (kesalahanmu). (Surat al Baqarah, 188)

11. Bahwa karena selalu berdekatan, komunikasi antara suami isteri biasanya menjadi sangat intens. Keharmonisan hubungan antara suami isteri dipengaruhi oleh kesamaan atau keseimbangan watak/temperamen, kesamaan hobbi, kedekatan visi dan sebagainya. Keharmonisan suami dan isteri akan terwujud jika masing-masing berfikir untuk memberi, bukan untuk menuntut, saling menghargai, bukan saling merendahkan. Dalam kehidupan, seringkali dijumpai bahwa kesu-litan yang dihadapi justeru mengandung hikmah yang besar, asal orang dapat menerima dan menghadapinya secara benar dan sabar. Isteri biasanya kurang senang dinasehati suami jika nasehat itu seperti nasehat guru kepada murid, meskipun ia mengakui kebenaran nasehat suaminya, demikian juga sebaliknya.

artinya: Wahai orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan secara paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebahagian dari apa yang telah engkau berikan kepada mereka, terkecualijika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Pergauilah mereka dengan secara patut, tetapi jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah), karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (an Nisa 19)

artinya: Tidak bisa memuliakan wanita, kecuali lelaki yang mulia juga, dan tidak sanggup merendahkan derajat wanita kecuali lelaki yang rendah (tercela) juga. (Hadis)

12. Pada dasarnya sistem perkawinan dalam Islam adalah monogami. Poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan tertentu, bagaikan pintu darurat, dan dengan persyaratan-persyaratan yang berat. Secara sosiologis, poligami terjadi disebabkan oleh banyak hal, antara lain:

a. Suami hanya menuruti dorongan syahwatnya, tanpa mengukur tanggung jawabnya.

b. Isteri kurang mengerti hal-hal yang dapat mengikat perasaan suami untuk tetap konsentrasi di rumah.

c. Pergaulan yang terlalu akrab dengan wanita lain, misalnya karena setiap hari selalu bersama (seperti teman sekerja), atau karena simpati kepada problem yang dihadapi si wanita itu sehingga si lelaki terdorong ingin menjadi dewa penolong.

d. Perpisahan yang terlalu lama antara suami dan isteri.

e. Campur tangan luar atau pelecehan harga diri suami oleh isteri/keluarganya sehingga suami merasa tidak berwibawa di rumah, dan selanjutnyya mencari kewibawaan di luar rumah.

f. Isteri tak berdaya menghadapi kehendak suami, atau sefaham bahwa poligami itu manusiawi saja.

Poligami yang dilakukan demi menjaga kesucian, adalah lebih baik daripada toleransi terhadap perzinahan. Ungkapan yang berbunyi; jika ingin makan daging kambing cukup beli sate, tidak harus repot-repot memelihara kambing, sebenarnya adalah ungkapan sesat dari orang bodoh.

Seorang bijak mengatakan bahwa poligami hanya bisa dilakukan oleh tiga orang, yaitu:
(1) oleh "raja", yang dengan kekuasannya ia dapat mengatur isteri-isterinya,
(2) oleh orang berilmu, dimana dengan ilmunya ia bisa meminij keluarga besarnya,
(3) orang ngawur, dimana ngawurnya itu membuatnya tak perduli dengan problem.

13. Perceraian. Dilihat dari sudut hak dan kewajiban, perkawinan merupakan kontrak sosial yang mengikat antara suami dan isteri, yakni bahwa suami memikul kewajiban yang melahirkan hak, sebagaimana juga isteri memiliki hak-hak yang lahir dari kewajiban yang dipikulnya. Jika salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya, maka hal itu berpengaruh kepada hak-hak yang dimilikinya, dan sebaliknya menjadi hak bagi pihak lain untuk menggugatnya. Misalnya; suami wajib memberi nafkah keluarga, yang dengan itu suami memiliki hak untuk memimpin rumah tangga. Jika suami ternyata tidak sanggup memberi nafkah, sebaliknya isteri justeru bekerja keras dan bisa memberi nafkah keluarganya, maka hak kepemimpinan suami dalam rumah tangga pasti menjadi tidak penuh karena terdesak oleh kontribusi yang diberikan oleh isteri.

a. Ta'lik talak yang diucapkan suami setelah akad nikah merupakan bentuk perlindungan kepada isteri dari kelalaian suami.

b. Jika suami/isteri merasa bahwa hak-hak mereka tidak dipenuhi, sementara jalan keluar tidak ada, maka agama memberikan jalan keluar kepada pasangan itu untuk memilih satu dari dua pilihan: Kembali bersatu secara terhormat, atau berpisah secara baik-baik.

artinya: Talak yang dapat dirujuk itu hanya dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik. (Q/2:229)

c. Perceraian (talak) adalah sesuatu yang dihalalkan tetapi tidak disukai Tuhan.
artinya : Sesuatu yang halal yang sangat dimurkai Allah adalah talak.

d. Untuk mencegah terjadinya perceraian, dianjurkan keluarga turun tangan, yakni dengan mengirimkan tenaga mediasi (hakam).

artinya: Jika kamu khawatir akan terjadi persengeketaan di antara keduanya (suami isteri), maka kirimkanlah seorang pendamai (hakam) dari keluarga suami dan dari keluarga siteri. Jika kedua juru damai itu berniat untuk mendamaikan, niscaya Allah akan memberikan taufiq kepada kedua suami isteri itu. Sesunguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (an Nisa, 35)

e. Perceraian yang ke I dan yang ke II (talak raj'i) tidak langsung memutuskan hubungan, oleh karena itu disediakan peluang untuk rujuk selama masa 'iddah. Masa 'iddah merupakan peluang bagi kedua belah pihak untuk merenungkan kembali hubungan diantara mereka. Pada rumah tangga yang berantakan, anak-anak biasanya menjadi korban pertama dari apa yang dilakukan orang tuanya.

Read More
posted by : Mubarok institute
Prinsip-Prinsip Dasar Perkawinan (1)
Prinsip-prinsip dasar perkawinan Islam yang harus diketahui oleh seorang konselor perkawinan dapat diru­muskan sebagai berikut:
1. Dalam memilih calon suami/isteri, faktor agama/akhlak calon harus menjadi pertimbangan pertama sebelum keturunan, rupa dan harta, sebagaimana di­ajarkan oleh Rasul.

artinya: Wanita itu dinikahi karena empat pertimbangan, kekayaannya, nasabnya, kecantikannya dan agamanya. Pilihlah wanita yang beragama niscaya kalian beruntung. (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

artinya: Pilihlah gen bibit keturunanmu, karena darah (kualitas manusia) itu menurun. (H.R. Ibnu Majah)

2. Bahwa nikah atau hidup berumah tangga itu merupakan sunnah Rasul bagi yang sudah mampu. Dalam kehidup­an berumah tangga terkandung banyak sekali keuta­maan yang bernilai ibadah, menyangkut aktualisasi diri sebagai suami/isteri, sebagai ayah/ibu dan sebagainya. Bagi yang belum mampu disuruh bersabar dan berpuasa, tetapi jika dorongan nikah sudah tidak terkendali pada­hal ekonomi belum siap, sementara ia takut terjerumus pada perzinaan, maka agama menyuruh agar ia menikah saja, Insya Allah rizki akan datang kepada orang yang memiliki semangat menghindari dosa, entah dari mana datangnya (min haitsu la yahtasib). Nabi bersabda.

artinya: Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian sudah mampu untuk menikah nikahlah, karena nikah itu dapat mengendalikan mata (yang jalang) dan memelihara kesucian kehormatan (dari berzina), dan barang siapa yang belum siap, hendaknya ia berpuasa, karena puasa bisa menjadi obat (dari dorongan nafsu). (H.R. Bukhari Muslim)

artinya : Kawinkanlah orang-orang yang masih sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak nikah diantara hamba-hamba sahayamu yang laki dan yang perempuan. Jika mereka fakir, Allah akan memampukan mereka dengan karunia Nya. Allah Maha Luas (pemberiannya) lagi Maha Mengetahui. (Surat al Nur, 32)

3. Bahwa tingkatan ekonomi keluarga itu berhubungan dengan kesungguhan berusaha, kemampuan mengelola (managemen) dan berkah dari Allah SWT. Ada keluarga yang ekonominya pas-pasan tetapi hidupnya bahagia dan anak-anaknya bisa sekolah sampai ke jenjang ting­gi, sementara ada keluarga yang serba berkecukupan materi tetapi suasananya gersang dan banyak urusan keluarga dan pendidikan anak terbengkalai. Berkah artinya terkum­pulnya kebaikan ilahiyyah pada sese­orang/ke­luarga/masyarakat seperti terkumpulnya air di dalam kolam. Secara sosiologis, berkah artinya terdayagunanya nikmat Tuhan secara optimal. Berkah dalam hidup tidak datang dengan sendirinya tetapi harus diupayakan.

Firman Allah.
artinya: Sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan ber­taqwa, niscaya Kami akanmelimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan dari bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami akan sisksa mereka disebabkan oleh perbuatan mereka. (Surat al A'raf, 96)

artinya: Allah menyayangi orang yang bekerja secara halal, membelanjakan hasilnya secara sederhana, dan mengutamakan sisa (tabungan) untuk kekurangan dan kebutuhannya (di waktu mendatang). (H.R. Ibn. Najjar dari Aisyah).

4. Suami isteri itu bagaikan pakaian dan pemakainya. Antara keduanya harus ada kesesuaian ukuran, kese­suaian mode, asesoris dan pemeliharaan kebersihan. Layaknya pakaian, masing-masing suami dan isteri ha­rus bisa menjalankan fungsinya sebagai (a) penutup aurat (sesuatu yang memalukan) dari pandangan orang lain, (b) pelindung dari panas dinginnya kehidupan, dan (c) kebanggan dan keindahan bagi pasangannya. Dalam keadaan tertentu pakaian mungkin bisa diper­kecil, dilonggarkan, ditambah asesoris dan sebagainya, Mengatasi perbedaan selera, kecenderungan dan hidup antara suami isteri, diperlukan pengorbanan kedua belah pihak. Masing-masing harus bertanya: Apa yang dapat saya berikan, bukan apa yang saya mau.

artinya: Mereka (isteri-isterimu) adalah (ibarat) pakaian kalian, dan kalian adalah (ibarat) pakaian mereka. (Surat al Baqarah 187)

artinya: Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik terhadap isterinya, dan aku (Nabi) adalah orang yang paling baik terhadap isteri. (H.R. Turmuzi dari Aisyah)

5. Bahwa cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah) merupakan sendi dan perekat rumah tangga yang sangat penting. Cinta adalah sesuatu yang suci, anuge­rah Tuhan dan sering tidak rationil. Cinta dipenuhi nuansa memaklumi dan memaafkan. Kesabaran, ke­setiaan, pengertian, pemberian dan pengorbanan akan mendatangkan/menyuburkan cinta, sementara penyelewengan, egoisme, kikir dan kekasaran akan menghilangkan rasa cinta. Hukama berkata:

artinya: Tanda-tanda cinta sejati ialah (1) engkau lebih suka berbicara dengan dia (yang kau cintai) dibanding berbicara dengan orang lain, (2) engkau lebih suka duduk berduaan dengan dia dibanding dengan orang lain, dan (3) engkau lebih suka mengikuti kemauan dia dibanding kemauan orang lain/diri sendiri).

artinya: .....Sekiranya engkau (Nabi) kasar dan keras hati ( kepada sahabat-sahabatnya), niscaya mereka lari dari sisimu. (Surat Ali Imran, 159)

artinya: Tidak bisa memuliakan wanita kecuali lelaki yang mulia, dan tidak sanggup menghinakan wanita kecuali lelaki yang tercela. (Hadis)

6. Bahwa salah satu fungsi perkawinan adalah untuk me­nyalurkan hasrat seksual secara sehat, benar dan halal. Hubungan suami isteri (persetubuhan) merupakan hak azazi, kewajiban dan kebutuhan bagi kedua belah pihak. Persetubuhan yang memenuhi tiga syarat (sehat, benar dan halal) itulah yang berkualitas, dan dapat menda­tangkan ketenteraman (sakinah). Oleh karena itu, masing-masing suami isteri harus menyadari bahwa hal itu bukan hanya hak bagi dirinya, tetapi juga hak bagi yang lain dan kewajiban bagi dirinya. Dalam Islam, hubungan seksual yang benar dan halal adalah ibadah. Firman Allah :

artinya: Dan diantara tanda-tanda kekuasan Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan rasa kasih sayang diantaramu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Surat ar Rum, 21)
artinya: Nabi bersabda, Persetubuhanmu dengan isterimu itu mem­peroleh pahala. Para sahabat bertanya; Apakah orang yang menya­lurkan syahwatnya dapat pahala? Nabi menjawab : Tidakkah kalian tahu bahwa jika ia menyalurkan hasratnya di tempat yang haram, maka ia berdosa? Nah, demikian pula jika menyalurkan hasratnya kepada isterinya yang halal, maka ia memperoleh pahala. (H.R. Muslim).

Read More
posted by : Mubarok institute
Tujuan Umum Konseling Perkawinan
Dari berbagai problem kerumahtanggaan seperti tersebut diatas, maka tujuan konseling perkawinan adalah agar klien dapat menjalani kehidupan berumah tangga secara benar, bahagia dan mampu mengatasi problem-problem yang timbul dalam kehidupan perkawinan. Oleh karena itu maka konseling perkawinan pada prinsipnya berisi dorongan untuk menghayati atau menghayati kem­bali prinsip-prinsip dasar, hikmah, tujuan dan tuntunan hidup berumah tangga menurut ajaran Islam. Konseling diberikan agar suami/istri menyadari kembali posisi masing-masing dalam keluarga dan mendorong mereka untuk melakukan sesuatu yang terbaik bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarganya.

Jika memperhatikan kasus perkasus maka konseling perkawinan diberikan dengan tujuan :
(a) Membantu pasangan perkawinan itu mencegah terja­dinya/meletus problema yang mengganggu kehidupan perkawinan mereka.
(b) Pada pasangan yang sedang dilanda kemelut rumah tangga, Konseling diberikan dengan maksud agar mereka bisa mengatasi sendiri problema yang sedang di­hadapi.
(c) Pada pasangan yang berada dalam tahap rehabilitasi, konseling diberikan agar mereka dapat memelihara kondisi yang sudah baik menjadi lebih baik.

Read More
posted by : Mubarok institute
Indahnya Pernikahan
Akad nikah adalah surat ar-Rum/30:21 “Di antara tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah adalah Dia menciptakan dari sejenismu pasangan-pasangan agar (kamu) masing-masing memperoleh ketenteraman dari (pasangan)nya, dan di­jadikannya diantara kamu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

Pernikahan adalah ikrar antara dua mempelai untuk hidup berpasangan. Dalam agama Islam, hidup ber­pasangan merupakan fitrah kehidupan. Bukan hanya manusia yang disett untuk hidup berpasangan, tetapi benda-benda lain, hewan dan tumbuh-tumbuhan pun menurut Al Qur’an juga diciptakan Tuhan dengan ber­pasangan.

“Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari (kebesaran Allah).” Azzariat/51: 49

Kualitas manusia akan diketahui dan teruji hanya setelah mereka hidup berpasangan, karena dalam hidup berpasangan akan dapat diketahui kualitas, kapasitas dan sifat-sifat kemanusiaannya. Dalam hidup pernikahan itulah seseorang teruji kepribadiannya, tanggung jawabnya, keibuannya, kebapakannya, perikemanusia­annya, ketangguhannya, kesabarannya dan seterusnya. Begitu besar makna hidup berumah tangga sampai Nabi mengatakan bahwa di dalam hidup berumah tangga sudah terkandung separuh urusan agama. Separoh yang lainnya tersebar pada berbagai bidang; sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dst.

Dalam surat ar Rum 21 tadi disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia dengan setting berpasangan dalam hidup perkawinan agar pasangan itu memperoleh ke­tenteraman, memperoleh sakinah.

Dalam al Qur’an manusia disebut dengan istilah basyar dan insan. Basyar artinya manusia dalam pengerti­an persamaan fisik. Sedangkan insan mengandung pengertian psikologis. Kata insan terambil dari kata nasia yansa yang artinya lupa, dari kata ‘uns yang artinya mesra, juga dari kata anasa yanusu yang artinya bergejolak. Jadi manusia pada dasarnya adalah makhluk yang memiliki tabiat mesra, tetapi suka lupa dan memiliki gejolak ke­inginan yang tak pernah berhenti. Selagi manusia dalam keadaan lupa diri dan dalam pengaruh gejolak ke­inginannya, maka ia tidak dapat merasakan ketenangan dan ketenteraman hidup. Nah dalam hidup berpasangan suami isteri itulah dimaksud supaya manusia me­nemukan ketenteraman, yang diperindah dengan kemesraan. Rumah tangga yang ideal itu bagai­kan lautan tak bertepi, segala ketegangan, kegelisahan, kecemasan, kesepian dan kelelahan akan hilang jika orang berlabuh dalam pelabuhan cinta mesra suami isteri.

Apakah otomatis? tidak, sudah barang tentu tidak, tergantung apakah persyaratannya itu dipenuhi atau tidak. Menurut hadis Nabi, suatu rumah tangga akan mem­peroleh ketenteraman dan kebahagiaan manakala dipenuhi pilar-pilarnya:

Artinya : Jika Allah menghendaki suatu rumah tangga itu baik, maka Allah akan memudahkan terciptanya ke­adaan-keadaan sebagai berikut:
1. Ada kecenderungan kepada agama di dalam rumah tangga itu,
2. Yang muda menghormati yang tua,
3. Di dalam kehidupan sehari-hari mereka bergaul secara lemah lembut,
4. Sederhana dalam membelanjakan harta,
5. Mau interospeksi sehingga mereka mudah bertaubat. (H.R. Dailami)

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, July 05, 2007

Ekspresi Ilmu & Iman
Manusia adalah makhluk sosial dan makhluk budaya. Sebagai makhluk sosial ia bermasyarakat dengan manusia lainnya. Dalam bermasyarakat, setiap manusia – betapapun kecilnya – mempengaruhi corak masyarakatnya disamping ia juga terbentuk oleh masyarakatnya. Sebagai makhluk budaya, manusia selalu berfikir, dan dari fikirannya itu terbangun nilai-nilai, konsep-konsep, keyakinan-keyakinan yang jika dianut oleh kelompok masyarakat dalam waktu yang lama akan melahirkan suatu kebudayaan. Seorang atheis bisa lahir dari lingkungan masyarakat atheis, tetapi bisa juga lahir justeru dari lingkungan masyarakat yang berpegang teguh kepada nilai-nilai yang diyakini sebagai agama.Pemikiran Karl Marx itu lahir dari Inggris yang Rajanya adalah Pemimpin resmi Gereja Anglikan.

Seorang Plato atau Aristoteles atau siapa saja tumbuh sebagai seorang failasuf terkenal karena ia mampu menangkap nilai-nilai logik yang secara universal dianut oleh masyarakat terpelajar, oleh karena itu pemikiran filsafatnya diikuti oleh generasi berikutnya hingga ribuan tahun kemudian. Tetapi seorang al Gazali yang pada mulanya pengagum pemikiran filsafat, di akhir hayatnya justeru menentang pemikiran filsafat untuk selanjutnya lebih dikenal sebagai seorang sufi, atau lebih tepatnya sebagai seorang pemikir dan pengamal tasauf. Di seberang lain, Ibnu Taimiyah dikenal sebagai tokoh yang berseberangan dengan pemikiran tasauf, meski gaya hidupnya juga sufistik.

Polarisasi pemikiran itu berlangsung terus hingga sekarang dan hingga akhir zaman. Masyarakat manusia akan terus menjumpai pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang beragam sepanjang sejarah manusia. Figur-figur Karl Mark, Paus Roma, Al Hallaj, Hasan hanafi, Osamah bin Laden, Imam Khumaini, Gus Dur, Fidel Castro dan sebagainya akan tetap bermunculan dalam sejarah mendatang. Mengapa demikian, karena kehadiran seorang tokoh di masyarakat sebenarnya merupakan wujud ekpressi ilmu dan imannya yang diwujudkan dalam pemikiran dan karya. Tasauf pernah disalah fahami sebagai gerakan yang tidak relefan dengan dunia nyata, tetapi di Afrika Utara, kekuatan perlawanan terhadap kolonialisme justeru dipimpin oleh tokoh-tokoh tarekat tasuf. Omar Mokhtar, tokoh tarekat Sanusiah Afrika Utara yang dalam melawan penjajah Italy dikenal sebagai Lion of the Desert adalah tokoh tasauf yang sangat relevan dengan dunia nyata di negerinya, Libia. Libia adalah satu-satunya negeri modern yang kelahirannya dibidani oleh tarekat tasauf.

Apa yang paling dominan mempengaruhi cara berfikir dan cara merasa seseorang, akalnya atau hatinya, pengetahuannya atau keimanannya, satu hal yang debatable, tetapi konsistensi pemikiran seseorang dibelakang hari akan dijadikan dasar penilaian, apakah seseorang itu lebih dipengaruhi pengetahuannya atau imannya, atau kedua hal itu telah integrated dalam dirinya, Wallohu a`lam.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, July 03, 2007

Kiat Cara Berpakaian
Setelah sarapan pagi, bersiap diri untuk berang­kat kerja, maka anda akan mengenakan pakaian sesuai dengan sifat pekerjaannya.

Adab berpakaian adalah sebagai berikut :

1. Hendaknya pakaian yang dikenakan bersih, longgar (tidak ketat), tidak tembus pandang dan menutup aurat.

2. Pakaian laki-laki hendaknya tidak terlalu pan­jang sampai menutupi dua mata kaki yang melambangkan kesombongan. Rasulullah mencela pakaian yang menyimbolkan kesom­bongan itu.

3. Pakaian perempuan muslimah panjangnya sam­pai menutupi dua telapak kaki, kerudung­nya menutupi kepala, leher dan dada.

4. lelaki muslim tidak mengenakan pakaian yang diharamkan, seperti sutera dan emas. Rasulullah ber­sabda:

Sesungguhnya dua benda ini (emas dan sutera) haram atas lelaki ummatku. (H.R.Abu Daud)

5. Lelaki tidak berpakaian dengan pakaian pe­rempuan dan sebaliknya. Rasulullah bersabda:

Allah melaknati lelaki yang memakai pakaian perem­puan, dan perempuan yang memakai pakaian laki-laki. (H.R. Bukhari)

6. Disunatkan memakai pakaian dimulai dari sebelah kanan. Khusus untuk pakaian baru di­sunatkan membaca doa:
Allahumma laka al hamdu anta kasautani hi. As `aluka khairahu wa khaira ma suni `a lahu, wa a’u dzu bika min syarrihi wa syarri ma suni`a lahu

Artinya: Ya Allah bagi Mu segala puji, Engkau telah me­makaikan pakaian ini kepadaku. Aku mohon kepada Mu kebaikannya dan kebaikan akibatnya. Aku berlindung pula kepada Mu dari kejahatannya dan kejahatan akibatnya. (HR. Abu Daud dan Turmuzi)

7.Tidak memakai pakaian yang bertambal atau yang lusuh, karena menurut Rasulullah, Allah senang melihat jejak nikmat Nya pada hamba Nya, (HR. Bukhari) dan mengenakan pakaian yang pantas merupakan wujud dari syukur nikmat.

8. Tidak mengenakan pakaian mewah yang mengindikasikan kesombongan.

9. Mengutamakan pakaian yang berwarna putih, karena Rasulullah juga menyukai warna itu.

10. Berpakaian rapi dan indah disesuaikan dengan tempat, tanpa berlebihan dan tidak dipaksakan.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger