Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Tuesday, November 27, 2007

Koalisi
Dalam bahasa Arab, politik disebut dengan istilah siyasah. Ilmu agama (Islam) yang berbicara tentang politk disebut fiqh as siyasah atau fiqih politik. Secara akademik ilmu politik berdekatan dengan ilmu ushuluddin atau teologi, oleh karena itu di IIUM (International Islamic University Malaysia) misalnya jika seorang mahasiswa S2 mengambil program mayornya ilmuUshuluddin,maka program minornya adalah ilmu politik. Jadi jika seorang sarjana alumnus Fakultas Ushuluddin (Teologi) kemudian aktif dalam dunia politik, itu sudah berada pada jalur yang benar. Politik berbicara tentang kekuasaan, sumber kekuasaan adalah Tuhan,dan Ushuluddin atau Teologi adalah ilmu yang berbicara tentang ketuhanan.

Dari kata siyasah, bentuk isim failnya adalah sais. Orang Betawi menggunakan kata sais untuk menyebut kusir sado atau dokar. Memang ada kesamaan antara pelaku politikdengan sais,yaitu sama-sama mengendalikan power untuk mengantar pada satu tujuan. Seorang sais yang pandai, ia dapat mengendalikan kuda dengan lembut,sang kuda berlari dengan kecepatan yang diinginkan oleh sais,kudajuga bisa dikendalikan untuk berjalan lambat ketika melewati jalan yang jelek,bisa dibelokkan dan bisa disuruh berhenti.

Karakter kuda memang mirip politik. Politik adalah juga power yang bisa dikendalikan untuk mengantar pelakunya ke kursi atau tujuan politik. Pengendali politik juga harus memiliki kemampuan seperti seorang sais kuda, mampu memacu dan mampu menarik kekang pada saat tepat. Jika kuda bisa liar dan mencelakakan sais dan sado yang ditarik, politik yang tidak terkendali juga bisa menjadi boomerang yang mencelakakan sang pengendali berikut kendaraan (partai) politik yang dikendarainya. Kuda yang lapar atau terlalu lelah bisa bertindak liar bahkan menyepak sang sais, begitupun politik yang kurang tercukupi kebutuhannya bisa melahirkan anarki politik yang bisa mematikan atau sekurang-kurangnya mencelakakan para pemimpin politik.

Karena liarnya kuda dan demi kelancaran perjalanan, maka sais menutup sebagian pandangan kuda dengan “kacamata kuda” sehingga mata kuda focus hanya tertuju ke jalan didepan,tidakbisa nengok kiri kanan apalagi melihat ke belakang. Begitupun dalam pengendalian politik,tidak boleh seluruh realita terbuka telanjang,bisa diakses oleh semua orang pada setiapsaat. Ada fakta-fakta yang harus disembunyikan dari pandangan public, karena jika terbuka, public bisa digerakkan oleh pengendali politikyang lain untuk melakukan maneuver anarkis yang bisa menghambat berlangsungnya proses politik. Kejujuran politik bukan berarti lugu, terbuka apa adanya, tetapi harus disertai dengan kecerdasan politik, yakni tahu persis ukuran keterbukaan dan kapan dan dimana harus terbuka sehingga proses politik dapat berlangsung terkendali.

Idealisme dan Pragmatisme Politik.
Bagi indifidu politisi, politik sering dikonotasikan secara negatip,misalnya ambisi politik,permainan politik,money politik dan sebagainya. Itu adalah sisi-sisi pragmatisme politik. Tetapi bagi suatu masyarakat,apalagi suatu bangsa,politik adalah bagian dari menejemen kebersamaan dalam upaya mencapai kesejahteraan bersama. Dengan politik suatu bangsa bisa mencapai masa kejayaan; politik, ekonomi dan budaya sekaligus. Kegagalan menejemen politik bisa membuat suatu bangsa kehilangan makna kehadirannya; negerinya makmur tetapi rakyatnya miskin,penduduknya banyak tetapi tidak bisa menjadi subyek, hanya menjadi obyek politik global.

Oleh karena itu bagi suatu bangsa, tidak cukup hanya dengan konsep politik ideal yang sarat dengan nilai-nilai etika dan kemanusiaan, tetapi juga efektifitas politik. Seperti kuda, politik juga harus dikendalikan secara tepat. Problem,nya ialah bagaimana mengendalikan politik yang beretika tetapi juga efektip.

Ibnu Khaldun memperkenalkan istilah ashobiyyah. Menurut bapak sosiologi itu, gagasan politik ideal tidakcukuphanya disampaikan ke fikiran dan hati nurani rakyat,karena pengendalian fikiran dan hati nurani itu tak bisa diukur efektifitasnya. Dibutuhkan power konkrit yang secara “fanatic” mendukung gagasan elit politik, yaitu dukungan dari sebagian besar (mayoritas) golongan/ rakyat, yang menjamin keberlangsungan program-program politik kebangsaan. Nah, kelompok pendukung politik Pemerintah itulah yang disebut ashobiyyah.

Reformasi dan Koalisi
Bung Karno dulu ketika mengusung gagasan politik revolusionernya secara sadar membentuk power ashobiyyah berupa koalisi NASAKOM,Nasional-Agama dan Komunis. Seluruh jargon-jargon politik revolusioner Bung Karno; seperti Manipol- Usdek, Ganyang Malaysia dan lain-lainnya didukung secara gegap gempita oleh koalisi NASAKOM itu,bahkan gagasan Presiden Seumur Hidup yang sesungguhnya merupakan penyimpangan UUD 45 pun didukung oleh kelompok ashobiyyah NASAKOM. Kegagalan Bung Karno bukan karena tidak konsepsional, tetapi lebih karena koalisi Nasakom itu secara konsepsional anatomis sulit terwujud.

Sedangkan Pak Harto dalam mengusung gagasan politik orde barunya membentuk power ashobiyyah berupa koalisi ABG, Abri,Birokrat dan Golkar. Selama masa orde baru, ya koalisi ABG inilah yang secara fanatic mendukung gagasan pakHarto,dan PakHarto pun merekayasa demokrasi agar Golkar selalu menjadi pemenang Pemilu. Kegagalan PakHartoo juga bukan karena salah konsep, tetapi lebih karena terlalu lamanya bersandiwara dalam berdemokrasi.

Reformasi menggulingkan Pak Harto yang dimotori oleh antara lain Amin Rais,lebih didorong oleh kebencian kepada Pak Harto dan kemarahan kepada koalisi ABG dan orde barunya. Oleh karena itu reformasi berlangsung tidak konsepsional. Reformasinya seperti anarki yang berlangsung dari Jalanan hingga Senayan. Amandemen 1,2,3,4 pun membuat arah bangsa menjadi tidak jelas. Koalisipun kerap berdiri, tetapi juga tidak konsepsional,lebih merupakan koalisi improfisasi.

Pernah ada koalisi kebangsaan, kemudian muncul koalisi kerakyatan. Yang jelas, Pemerintah SBY tidak didukung oleh ashobiyyah seperti koalisi Nasakom atau koalisi ABG. Presiden SBY lebih mengedepankan budaya politik dibanding membangun kekuatan real politik. Kabinet sekarang sering disebut sebagai perwujudan koalisi Pelangi. Ashobiyyah Pelangi secara konsepsional memang tidak akan efektip. Partai2 politik lebih suka mengkritisi Presiden dibanding mengkritisi mentrinya yang dudukdi kabinet.Bahkan PAN meninggalkan koalisi tetapi mewakafkan dua mentrinya untuk SBY, lucu kan ?. Menteri-menteri dan Gubernur Bupati lebih tersedot perhatiannya pada bagaimana memenangkan partainya nanti pada pemilu 2009 dibanding mensukseskan politikPemerintahan. Golkar dan PDIP juga bermanufer ke arah koalisi, tetapi untuk mendukung apa ?. gagasan politik atau target kursi ?

Koalisi sebagai ashobiyyah memang diperlukan untuk Pemerintah pasca Pemilu 2009 guna mendukung kesinambungan perubahan system, bukan untuk menjamin terpilihnya seseorang. Jangan sampai era tanpa GBHN sekarang hanya bisa meracik menu pembangunan tanpa sempat memasaknya karena bangsa disibukkan oleh langkah improvisasi politik, padahal kita sedang berada pada era global dimana bangsa ini perlu meneguhkan keberadaannya sebagai bangsa besar. Tanpa itu 230 juta penduduk Indonesia hanya akan menjadi buih dari lautan global,na`uzu billah. Lebih jauh tentang budaya politik

Read More
posted by : Mubarok institute
Rangking Menejemen Hidup
Ada empat tingkatan, bagaimana orang meminij hidupnya, baik dari segi perolehan harta maupun perolehan ilmu. Dari aspek perolehan harta :

Ada orang yang memandang bekerja sebatas sebagai bekerja. Pekerjaan apa nggak penting, yang penting bekerja.

Ada orang yang bekerja atau berusaha, pusat perhatiannya adalah pada mengumpulkan hasilnya. Keuntungan usahanya selalu ditabung, dan setiap hari ia melihat dengan senang pertambahan angka-angka pada buku tabungannya. Saking senangnya melihat uangnya ngumpul, sampai ia kikir, bukan saja untuk orang, bahkan untuk keperluan dirinya. Jika sakit ia tidak ke dokter karena takut mahal, berpakaian juga sangat sederhana karena ia sayang mengeluarkan uang untuk membeli pakaian yang layak. Puncak kebahagiaan type orang ini adalah pada melihat jumlah tabungannya.
Ada orang yang bekerja keras, dan pusat perhatiannya adalah untuk diri sendiri. Berapapun harganya jika untuk kepentingan dirinya maka ia akan membayarnya. Tetapi jika untuk orang lain, bahkan untuk isteri dan anaknya, ia kikir. Seluruh usaha dan pekerjaanya diminij untuk kesenangan dirinya.

Ada orang yang bekerja dan berusaha keras sepanjang usianya, karena ia terpanggil untuk berbuat bagi orang banyak. Ia sangat tersentuh melihat banyak anak-anak tidak bisa melanjutkan sekolah, banyak orang sakit nggak bisa berobat, banyak orang makan dengan gizi rendah, maka obsessinya adalah ingin membangun sekolah, membangun rumah sakit, melakukan budidaya pertanian, yang kesemuanya diperuntukkan bagi kemaslahatan orang banyak. Ia selalu merindukan untung besar dalam usahanya, sejalan dengan kebutuhannya yang besar membantu masyarakat luas. Sedangkan untuk diri sendiri ia mengkonsumsi sekedar memenuhi standard kebutuhan universal.

Read More
posted by : Mubarok institute
Menuju Kearifan
Orang baik, melakukan kebaikan secara spontan tanpa pamrih apapun, seperti juga orang jahat, melakukan keburukan secara spontan tanpa mempertimbangkan akibat bagi dirinya maupun bagi yang dijahati. Tetapi manusia tidak secara tiba-tiba menjadi orang bijak atau secara tiba ­tiba menjadi penjahat besar. Untuk menjadi orang bijak atau menjadi penjahat besar manusia selalui didahului oleh proses yang mengantarnya pada keadaan itu. Proses itu bisa berwujud dinamika kehidupan, bisa keadaan yang menakjubkan, yang mengecewakan atau yang dirancang untuk membentuk pola-pola perilaku tertentu. Jadi secara teori, manusia bisa dibentuk untuk menjadi orang baik sebagaimana juga bisa dibentuk untuk menjadi orang jahat.

Orang baik bisa saja sewaktu-waktu melakukan perbuatan jahat yang bukan sifatnya seperti penjahat bisa saja pada suatu ketika melakukan perbuatan baik..Sifat baik atau buruk yang sudah melekat menjadi karakter, disebut akhlak. Akhlak adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya perbuatan, dimana cirinya perbuatan itu lahir secara spontan tanpa memperhitungkan untung rugi. Tetapi meski akhlak itu bersifat batin, bukan berarti yang bersifat lahir dinafikan, karena antara lahir dan batin ada hubungan saling mempengaruhi. Orang yang hatinya baik, pada umumnya perilaku lahirnya (sopan santunnya) baik, tetapi tidak semua orang yang memiliki sopan santun akhlaknya baik.

Pelaksanaan disiplin tingkahlaku lahir yang baik (sopan santun), pada orang tertentu dapat menjadi proses pembentukan akhlak yang baik, tapi pada orang lain bisa juga menumbuhkan sifat munafik (pura-pura baik). Demikian juga pembiasaan pola tingkahlaku buruk, pada seseorang bisa menjadikannya orang jahat, tetapi pada orang lain mungkin malah akan melahirkan sikap resistensi secara ektrim kepada keburukan. Hal itu disebabkan karena setiap orang sebenarnya memiliki "modal" kepribadian atau kapasitas yang berbeda-beda, ada yang kuat dorongan kebaikannya dan ada yang sebaliknya.

Read More
posted by : Mubarok institute

Friday, November 23, 2007

Kearifan dan Usia
Sebagaimana disebutkan terdahulu, orang tualah biasanya yang sudah bisa bijak, tetapi ada teori psikologi yang menyatakan tentang karakteristik manusia dalam komunikasi interpersonal. Ada orang besar tetapi tidak dihormati, sementara ada orang kecil yang tak memiliki eselon, tetapi secara social ia orang terhormat. Ada orang pinter, nasehatnya tak didengar orang, sementara ada orang biasa tetapi selalu menjadi rujukan masyarakat.

Menurut teori peran, karakteristik manusia dapat dibagi tiga:

Anak-anak. Watak anak-anak itu belum mengerti tanggung jawab, manja dan jika minta harus segera diberi, jika permintaannya tidak dikabulkan ia ngambek atau nangis berguling-guling. Yah namanya juga anak-anak.

Orang dewasa. Ia lugas dan sudah mengerti tanggung jawab, jika sanggup ia mengatakan siap, jika tidak sanggup ia juga mengatakan tidak sanggup. Jika gagal dalam menjalankan tugas maka ia siap menerima resikonya.

Orang tua. Bagi orang tua, yang dominant adalah maklum dan maaf. Ia memaklumi kekurangan orang muda dan memaafkan kesalahan orang lain.

Problemnya, menjadi tua itu pasti, tetapi menjadi dewasa adalah pilihan. Ada anak muda tetapi sikapnya sudah seperti orang tua, sebaliknya tak jarang orang tua yang masih suka kekanak-kanakan.

Read More
posted by : Mubarok institute
Karakter dan Temperamen
Ada perilaku yang bersumber dari karakter seseorang, tapi ada juga perilaku yang bersumber dari temperamennya. Apa bedanya? Temperamen merupakan corak reaksi seseorang ter­hadap berbagai rangsangan yang berasal dari lingkungan dan dari dalam diri sendiri. Temperamen berhubungan erat dengan kondisi biopsikologi seseorang, oleh karena itu sulit untuk diubah dan bersifat netral terhadap penilaian baik buruk. Sedangkan karakter berkaitan erat dengan penilaian baik buruknya tingkah laku seseorang didasari oleh bermacam-macam tolok ukur yang dianut masyarakat. Karakter terbentuk melalui perjalanan hidup seseorang, oleh karena itu ia dapat berubah. Jika temperamen tidak mengandung implikasi etis, maka karakter justeru selalu menjadi obyek penilaian etis.

Terkadang orang memiliki temperamen yang berbeda dengan karakternya. Ada orang yang temperamennya buruk, padahal karakternya baik. Jika temperamennya sedang bekerja maka pada umumnya bertingkah laku negatip, tetapi setelah reda nanti ia menye­sali dan malu atas apa yang dilakukannya, meskipun nanti juga akan terulang kembali. Sedangkan orang yang karakter­nya buruk tetapi temperamennya baik, ia dapat menyem­bunyikan keburukannya dihadapan orang. Penipu biasanya memiliki temperamen yang baik tetapi karakternya buruk. Yang paling merepotkan adalah orang jahat yang temperamen­nya buruk.

Karakter yang sudah menetap akan membentuk sebuah kepribadian. Menurut Freud, kepribadian manusia berdiri diatas tiga pilar, Id, Ego dan Super Ego, unsur hewani, akali dan moral. Perilaku menurut Freud merupakan interaksi dari ketiga pilar tersebut. Tetapi kesimpulan Freud manusia adalah Homo Volens, yakni makhluk berkeinginan yang tingkah lakunya dikendalikan oleh keinginan-keinginan yang terpendam di dalam alam bawah sadarnya, satu kesimpulan yang merendahkan martabat manusia.

Sedangkan dalam pandangan Islam, kepribadian merupakan interaksi dari kualitas-kualitas nafs, qalb, akal dan bashirah, interaksi antara jiwa, hati, akal dan hati nurani. Kepribadian, disamping bermodal kapasitas fitrah bawaan sejak lahir dari warisan genetika orang tuanya, ia terbentuk melalui proses panjang riwayat hidupnya, proses internalisasi nilai pengetahuan dan pengalaman dalam dirinya. Dalam perspektip ini maka keyakinan agama yang ia terima dari pengetahuan maupun dari pengalaman masuk dalam struktur kepribadian seseorang. Seorang muslim dengan kepribadian muslimnya yang prima, tidak bisa merasakan enaknya daging babi, meskipun dimasak dengan standar seleranya, seprti juga tidak bisa menikmati kekayaan hasil korupsi, sebagaimana juga ia selalu terjaga dari tidurnya yang nyenyak jika ia belum menjalankan salat Isya.

Sudah barang tentu kualitas kepribadian muslim setiap orang berbeda-beda. Kualitas kepribadian muslim juga tidak mesti konstan, terkadang kuat, utuh dan prima, tetapi di kala yang lain bisa saja terdistorsi oleh pengaruh di luar keyakinan agamanya.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, November 06, 2007

Aji Mumpung (2)
Lima Aji Mumpung Positip
Jika dalam praktek korupsi, aji mumpung itu negatip, Nabi Muhammad s.a.w memperkenalkan lima aji mumpung yang positip. Salah satu hadis Rasul mengatakan; Ightanim khomsan qobla khomsin; Rebutlah lima aji munpung sebelum datangnya lima hambatan:

1.Hayataka qobla mautika; mumpung masih hidup sebelum mati, pergunakanlah umur itu se produktip mungkin, karena hanya ketika hidup orang bisa berinvestasi untuk kebahagiaan akhirat nanti. Jika orang sudah mati maka produktifitasnya habis, selain tiga perkara; amal jariah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak saleh. Maka mumpung masih hidup, perbanyak amal jariah, yakni amal yang kemanfaatannya berumur panjang dan dimanfaatkan oleh orang banyak, misalnya bikin jembatan, jalan, gedung sekolah, masjid, rumah sakit dsb. Ajarkan ilmu pengetahuan yang anda miliki kepada orang lain, maka selagi ilmu anda diamalkan, anda masih tetap dapat pahalanya, dan didiklah anak anda hingga menjadi anak saleh, karena hanya doa anak saleh yang dijamin diterima Tuhan.

2.Syababaka qobla haramika. Mumpung masih muda , sebelum pikun, gunakan masa muda untuk belajar dan bekerja keras, karena belajar diwaktu muda seperti orang melukis diatas batu, tidak mudah hilang, sedangkan belajar diwaktu tua apalagi setelah pikun, seperti melukis diatas air, langsung lupa. Juga bekerja keraslah di usia muda untuk menabung, agar di usia tua nanti tinggal menikmati buah dari tanaman ketika masih muda. Orang, ketika sudah pikun, ia kembali lemah sepeti anak-anak, kembali bodoh seperti ketika belum sekolah


3.Shihhataka qobla saqamika. Mumpung masih sehat, sebelum sakit. Sehat bukan saja kenikmatan, tetapi juga peluang. Dalam kondisi sehat orang bisa mengerjakan banyak hal, bisa mengatasi banyak hambatan, bisa mengumpulkan cadangan untuk jika sewaktu-waktu sakit. Sehat itu satu kenikmatan yang jarang disadari, baru setelah sakit orang menyadari betapa bermaknanya sehat.

4.Ghinaka qobla faqrika,. Mumpung masih punya, masih kaya, belum bangkrut, gunakan kekayaan anda untuk hal-hal yang positip bagi orang banyak, keluarga, tetangga atau masyarakat luas, karena jika anda keburu bangkrut anda tidak lagi mampu memberi, dan baru menyadari betapa bermaknanya kontribusi orang kaya. Ciri orang kaya adalah sudah tidak punya kebutuhan dan memiliki kemampuan untuk memberi. Jika orang sudah pegang banyak tetapi kebutuhannya malah lebih banyak sehingga ia tidak mampu memberi malah mengambil jatah orang miskin, maka orang seperti itu bukanlah orang kaya. Oleh karena itu ada orang kaya harta miskin hati, dan ada orang yang miskin harta tapi kaya hati. Orang yang kaya hati, punya lima ribu upiah masih bisa memberi empat ribu rupiah. Ayo mumpung masih kaya, belum bngkrut.


5.Sa`atika qobla dloiqika. Mumpung masih punya kelapangan , belum terhimpit kesempitan , mumpung sempat belum sempit, gunakan kesempatan itu untuk melakukan hal yang terbaik. Kesempatan sering tidak datang dua kali, jangan sia-siakan kesempatan. Jangan salah pilih dan salah mengambil keputusan ketika kesempatan terbuka. Banyak orang menggunakan “kesempatan” dalam “kesempitan” yang berujung pada penyesalan yang panjang, hanya nikmat sesaat berujung pada derita selamanya. Hati-hati terhadap permulaan kesempatan. Wallohu a`lamu bissawab.

Read More
posted by : Mubarok institute
Lorong-Lorong Kebenaran (3)
Bias Jihad
Alqur’an menyebut dua term, yakni jihad dan qital. Kata jihad dalam berbagai kata bentukannya disebut sebanyak 41 kali tersebar dalam 19 ayat. Sebagian turun di Makkah dan sebagian di Madinah. Secara lughawi, jihad nengandung arti memerangi musuh, mencurahkan segala kemampuan dan tenaga berupa kata-kata, perbuatan atau segala sesuatu yang disanggupinya. Sedangkan kata qital secara tegas mengandung arti perang dan di dalamnya juga terkandung makna membunuh musuh (qatala). Sedangkan kata jihad, bisa berarti perang melawan musuh, bisa juga berarti bekerja keras non perang. Dari akar kata jihad inilah kemudian ada kalimat ijtihad, yakni kerja keras secara intelektuil dan mujahadah an nafs, kerja keras secara ruhaniah atau spiritual.

Gagasan Jihad dalam al Qur’an
Dari 41 ayat yang menyebut kata jihad, 28 diantaranya berbicara tentang jihad dalam arti perjuangan, seperti : perintah berjihad kepada orang kafir dengan al Qur’an, (fala tuthi` al kafirin waja hidhum bihi jihadan kabira (Q/al Furqan:52), berjihad dan sabar setelah hijrah , tsumma ja hadu wa sabaru,(an Nahl:110), manfaat jihad , wa man ja hada fa innama yujahidu linafsihi, (al `Angkabut:6) berjihad dengan harta dan nyawa ( wal mujahidun fi sabilillah bi amwalihim wa anfusihim (an Nisa :95) dan lai-lain. Sedangkan ayat yang pertamakali membolehkan jihad dalam arti perang menggunakan kata qital, yakni kaum mukminin yang diperangi musuh boleh membela diri dengan perang fisik, uzina lillazina yuqataluna bi annahum zulimu, (al Hajj:39) dan ayat ini merujuk kepada peperangan pertama , perang Badar,

Sedangkan dalam hadis, jihad tidak hanya merujuk kepada makna perang, tetapi juga ibadah haji, .Perintah jihad ada yang ditujukan kepada pribadi (mukhatab mufrad) dan kebanyakan ditujukan kepada kelompok (mukhatab jamak).. Perintah jihad juga ada yang disebut obyeknya, kafir dan munafik seperti yang disebut dalam surat at tahrim:9, jahid al kuffar wa al munafiqin, tetapi lebih banyak yang tidak menyebut obyeknya. Yang disebut justeru maknanya, yaitu jihad di jalan Allah, fi sabililah. Kaidah penafsiran mengajarkan bahwa jika suatu kata kerja transitip disebutkan dalam suatu ayat tanpa disertai penyebutan obyeknya, maka obyek kata kerja itu bersifat umum. Dengan demikian maka obyek jihad bukan hanya orang kafir dan munafik, tetapi segala hal yang tercakup dalam kalimat fisabilillah.misalnya memberi makan fakir miskin, membebaskan perbudakan (al Balad; 13-16) Dengan demikian maka jihad tidak mesti menggunakan pedang, tetapi bisa juga pena atau lisan.

Jihad dan mati syahid
Al Qur’an banyak menyebut mati syahid dalam rangkaian jihad sebagai sesuatu yang yang sangat tinggi nilainya. Disebutkan bahwa orang yang mati syahid pada hakikatnya tidak mati, tetapi tetap hidup dan bahkan dalam kehidupan yang lebih baik.(al `Imran;169). Hal itulah yang menyebakan para mujahid dengan semangat mencari syahadah (mati syahid), karena syahadah itu prestasi dan lebih menguntungkan. Jargon dari syahadah adalah; Hiduplah secara terhormat atau mati sebagai syahid, `isy kariman au mut syahidan.

Jihad dan Dakwah
Dakwah pada hakikatnya adalah membebaskan manusia dari belenggu kekafiran, kemunafikan, perbudakan, syirik dan kemaksiatan lainnya. Pada hakikatnya dakwah adalah sosialisasi dari peran Islam sebagai agama rahmat bagi alam semesta. Al Qur’an perlu didakwahkan kepada manusia. Dalam berdakwah, hambatan tak jarang dijumpai, oleh karena itu jihad sebagai bagian dakwah diperlukan untuk :
1.Memerangi kejahatan
2.Melindungi masyarakat dari gangguan musuh
3.Menolak fitnah
4.Mengawal kelangsungan dakwah.

Jihad dalam bentuk a,b,c, sifatnya defensip, sementara bentuk d, bisa ofensip. Tujuan jihad antara lain untuk menjadikan kalimah Allah itu jaya, kalimatullah hiya al `ulya (at taubah; 40). Pada periode Makkah, Al Qur’an lebih banyak menyuruh kaum muslimin bersabar dan berjihad dengan al Qur’an (dakwah), tetapi pada periode Madinah, al Qur’an mengizinkan perang untuk membela diri dari serangan musuh, dan berpesan untuk tidak boleh berbuat melampaui batas (al Baqarah;190).
Berjihad melindungi kaum mukmin atau untuk menolak finah, yang tertinggi nilainya adalah dengan fisik (biyadih), jika tidak mampu maka dengan lisan, protes, demontrasi. Jika tidak mampu maka berjihad dengan hati, sedih serta mendoakan, dan itu adalah se lemah-lemah iman. Jika dihubungkan dengan tata dunia global dewasa ini, timbul pertanyaan jihad dalam bentuk apa yang paling efektip dalam melawan arogansi superpower AS ?

Fenomena sosial Jihad
Kita membaca ada Komando Jihad (pada zaman Suharto) , Lasykar Jihad (pada masa konflik Ambon dan Poso), Jihad Islam di Palestina dan banyak lagi, mungkin juga bisa dihubungkan dengan kelompok Amrozi dan Imam Samudera. Kita sering tertipu oleh fenomena lahir, sehingga jihad sebagai term psikomotorik beragama terkacaukan oleh realitas sosial. Gerakan Komando Jihad pada era Pak Harto kini sudah terkuak, ternyata merupakan proyek politik inteljen (Bakin) dimana dalam rangka memperkuat ideologi Pancasila perlu diciptakan musuh ideologis, maka diasuhlah beberapa tokoh yang bisa didorong untuk membentuk gerakan ideologis Islam, yaitu Komando Jihad. Dalam praktek akhirnya Bakin tidak bisa mengendalikan sepenuhnya sehingga gerakan itu benar-benar meluas sebagai kekuatan ideologis destruktip yang mengatasnamakan Islam. Hambali yang sekarang dituduh sebagai actor intelektual Bom Bali, konon dulu adalah tokoh yang direkrut oleh Bakin, sama halnya tokoh Danu Muhamad Hasan dan Hispran, yang berkantor di Jl. Senapati, tinggalnya di Tanah Abang (Markasnya Ali Murtopo). Sedangkan Lasykar Jihad, Jihad Islam Palestina dan juga Imam Samudrea CS merupakan limbah dari globalisasi dimana terjadi perlakuan tidak adil kepada ummat Islam oleh Amerika (yang dipersepsi sebagai Kristen), seperti di Afganistan, Moro , Irak dan Palestina. Banyak pemimpin kelompok lasykar jihad itu alumni Mujahidin Afghan atau Moro, dan mereka memandang kejahatan kelompok kecil orang Kristen di Ambon dan Poso sebagai bagian dari konflik global di Palestin, Afghan dan Philipina Selatan. Karena dalam era global musuh itu tidak berhadap-hadapan tetapi berkompetisi, maka tidak mudah mengidentifikasi lawan, sehingga seringkali gerakan yang menamakan “jihad” justeru di dorong-dorong oleh tangan deceptor inteljen pihak yang memusuhi Islam.

Kasus Mataharitimoer

Penulis cerita Bawah Tanah yang ada di tangan anda, yang nama samarannya Mataharitimoer adalah contoh betapa ia berusaha berekpressi di jalan kebenran yang diyakini dibawah ridla Tuhan, tanpa disadari telah berjalan jauh menyelusuri lorong-lorong “perjuangan” yang terkadang terasa di jalan lurus yang terang benderang, terkadang terasa gelap, terkadang terasa di jalan buntu. Nampaknya setelah berada di ujung lorong, ia menemukan jalan kebenaran yang memberikan dorongan untuk menulis pengalamannya menyelusuri lorong kebenaran sebagai panduan bagi angkatan berikutnya. Saya dengan senang hati menulis kata pengantar cerita ini karena ada kesamaan dengan “lorong-lorong” yang pernah saya lalui. Sepuluh tahun pada zaman orde baru saya pernah secara tersembunyi menganut aspirasi “garis keras”. Imaginasi saya juga soal jihad, dan beberapa lama saya ikut dalam “diskusi” bawah tanah. Tapi pengalaman tiga bulan se “asrama” dengan Mujahidin Afgan, perkenalan saya dengan Presiden Afganistan Sibghatullah Mujaddidi, Presiden Chehnya Jenderal Ashlan Mashadov, Nur Misuari MNLF Moro, Luis Farachan dari AS dan kunjungan-kunjungan saya ke Libia, Sudan dan Mesir merubah cara pandang saya terhadap politik, agama, budaya dan jihad, sehingga akhirnya saya menjadi sangat moderat dalam memandang konflik, dan meyakini agama Islam sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil`alamin).Sebagai warga Negara saya lebih memikirkan kapal NKRI dibanding kamar ummat, karena jika kapal tenggelam, kamarnya juga tenggelam Wallohu a`lam bi as sawab.

Jatiwaringin, 25 Juli 20 2007

Read More
posted by : Mubarok institute
Lorong-Lorong Kebenaran (2)
(Bias Agama dan Budaya)
Wacana anti Panca Sila sebenarnya berasal dari bias agama dan budaya. Islam itu agama (murni) yang juga melahirkan budaya, maka ada kebudayaan Islam dan ada kebudayaan kaum muslimin. Kebudayaan Islam dipengaruhi oleh ajaran Islam, sedangkan kebudayaan kaum muslimin ada yang berasal dari ajaran Islam dan ada yang berasal dari budaya lain, yang bahkan mungkin bertentangan dengan ajaran Islam. Kebudayaan adalah konsep, gagasan, dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat dalam waktu lama dan memndu perlaku mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Ada kaidah yang mudah diingat, yaitu bahwa agama murni dalam hal ibadah mahdlah, pada dasarnya ritus ibadah itu dilarang, kecuali yang ada perintahnya, sedangkan yang bersifat kebudayaan, mu`amalah, pada dasarnya semua bentuk kebudayaan masyarakat itu dibolehkan, kecuali yang ada larangannya (al ashlu fi al `adapt wa al mu`amalah al ibahah hatta takun dall fi buthlanihi). Jadi pada agama (murni) tidak ada ruang kreatifitas ummat, tapi pada wilayah budaya, semuanya justeru wilayah kreatifitas. Nah Negara, ilmu pengetahuan (termasuk ilmu2 agama), Panca Sila dan konstitusi adalah budaya. Demikian juga partai Islam, ormas Islam, juga produk kebudayaan. Bahkan konsep khalifah adalah budaya Islam, oleh karena itu corak khulafa rasyidin berbeda dengan khilafah Bani Umaayyah dan Abbasiyah. Negara Islam boleh berbentuk kerajaan, boleh republic, boleh dinasti, boleh kerajaan konstitusional, bergantung kepada kondisi wilayah dan kreatifitas ummatnya... Ideologi Anti Panca Sila bukanlah ekpressi Islam, tapi kedudukannya sama dengan Komunisme yang juga anti Panca Sila, dua-duanya kebudayaan.

Lorong-lorong Kebenaran
Kebenaran tidak selamanya seperti matahari yang nampak jelas, tetapi terkadang ia berada di tempat jauh yang Tersembunyi sehingga untuk mendekatinya orang harus melewati lorong-lorong sempit atau mendaki ke bukit terjal. Ada buku terjemahan berjudul Pendakian Menuju Allah, yang merupakan terjemahan bebas dari judul buku Madarij as Salikin (مدارج السّالكين) karangan ulama salaf terkenal Ibn al Qayyim al Jauzy (691-751 H.) menyiratkan adanya hubungan dan jarak antara manusia yang kecil dan rendah dan Tuhan yang Maha Tinggi dan Sumber Kebenaran, yang oleh karena itu manusia harus menempuh perjalanan mendaki jika ingin mendekat kepada Nya. Ujung pendakian itu bisa berupa berhasil menjadi orang dekat Allah (min al muqarrabin) atau bahkan bersatu dengan Nya, baik dalam eksistensi (wahdah al wujud) atau hanya nampak seperti bersatu (wahdat as Syuhud). Kegiatan menempuh perjalanan mendekat (mendaki) kepada Allah bisa dipandang sebagai kesadaraan manusia memenuhi panggilan Nya, bisa juga difahami sebagai fitrah manusia yang memang memiliki kecenderungan untuk mendekat seperti api yang selalu naik ke atas (taraqqi) karena manusia, seperti yang dianut oleh konsep al Isyraqi merupakan pancaran dari Tuhan sehingga ia memiliki sifat-sifat ketuhanan dan oleh karena itu selalu rindu untuk kembali kepada Tuhan.

Menurut al Jauzi, semangat menempuh perjalanan mendaki kepada Allah itu berada dalam penghayatan manusia kepada Tuhan seperti yang tersirat dalam surat al Fatihah Iyyaka na`budu wa iyyaka nasta`in, hanya kepada Mu kami menyembah dan hanya kepada Mu pula kami mohon pertolongan. Kekhusyu’an dan ketergantungan serta harap dan cemas (khouf dan raja’) kepada Allah menstimuli manusia untuk menempuh perjalanan jauh (as sayr wa as suluk) menuju kepada Allah yang dirindukan, dicinta dan ditakuti. Maulana Syekh Yusuf mengilustrasikan tiga jalan raya yang bisa ditempuh dalam pendakian itu, yaitu jalan raya konvensional yang setia mengikuti rute syari`ah (thariqah al Akhyar/thariqah as syar`i), jalan zikir (thariqah ahl az Zikr) dan lorong-lorong yang penuh dengan kesulitan (metode menyakiti diri/thariqah mujahidat as syaqa’). Jalan panjang dan mendaki itu tidak mudah ditempuh, oleh karena itu sepanjang jalan ada stasiun-stasiun (maqamat) yang merupakan tangga-tangga (madarij) pencapaian bagi musafir.

Jalan panjang menuju kepada Allah itu bukanlah jalan yang lurus, tetapi penuh dengan hambatan dan jebakan. Para aktifis gerakan (harakah) terutama yang menjadi korban repressip penguasa sering terjebak di lorong-lorong penuh jebakan kesesatan sehingga sepertinya mereka itu mujahid, tetapi persepsi yang terbangun adalah pelaku criminal, Begitu panjangnya jarak menuju kebenaran sehingga para sufi merumuskan adanya pemberhentian-pemberhentian, disebut maqamat atau stasion, dari stasion taubat hingga ke stasiun ridla, atau ma`rifat atau mahabbah. Stasiun yang peling berat bagi orang awam justeru stasiun pertama yaitu stasiun taubat. Taubat yang benar (taubat Nasuha) harus memenuhi tiga unsur, yaitu (a) menyesali kesalahan yang lalu, (b) berjanji untuk tidak mengulang, dan (c) benar-benar tidak mengulang.. Dua hal pertama relatip mudah, tetapi yang ketiga sering menjadi sandungan orang bertaubat sehingga tidak pernah bisa melewati stasiun tersebut.

Read More
posted by : Mubarok institute
Lorong-Lorong Kebenaran (1)
Kata Pengantar untuk Cerita dari Bawah Tanah : Jihad Terlarang
Setiap muslim wajib meyakini bahwa agama Islam bersumber dari Al Qur’an, dan Al Qur’an adalah ajaran kebenaran yang datang dari Tuhan Yang Maha Benar. Meragukan kebenaran al Qur’an adalah bentuk kebodohan manusia, karena al Qur’an yang diturunkan ke muka bumi sebagai petunjuk hidup manusia taqwa adalah kitab suci yang di dalamnya tidak ada keraguan tentang kebenaranannya (la roiba fihi). Al Qur’an adalah kebenaran sempurna yang datang dari Tuhan Yang Maha Sempurna.

Problemnya, manusia yang harus menyerap kebenaran sempurna itu bukanlah makhluk yang sempurna. Manusia adalah mahkluk yang memiliki keterbatasan-keterbatasan, bahkan perangkat kejiwaan manusia (akal, hati dan nurani) yang digunakan untuk menangkap kebenaran juga unik, sehingga setiap orang bisa memiliki persepsi yang berbeda-beda tentang obyek yang sama, dipengaruhi oleh cara berfikir yang berbeda atau oleh kapasitas kejiwaan yang berbeda atau oleh situasi psikologisyang berbeda. Oleh karena itu kebenaran menurut persepsi manusia juga bergantung kepada “kacamata” apa yang digunakan. Kita mengenal ada istilah kebenaran matematis, kebenaran logis, kebenaran filosofis, kebenaran social dan kebenaran sufistik. Kebenaran Logis pun masih terbagi lagi, karena ada logika matematis, logika social dan logika langit.. Agamapun bisa didekati dengan pendekatan logika, filsafat, social dan spiritual, ouputnya bisa nampak sangat berbeda. Yang berbeda bukan agama yang dijadikan obyek, tetapi persepsinya yang berbeda disebabkan karena perbedaan pendekatan.

Tingkat Kebenaran Agama
Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, pemberlakuan azas tunggal Panca Sila pernah menimbulkan konflik berkepanjangan diantara organisasi-organisasi Islam dengan Pemerintah, karena sebagian ormas-ormas Islam memandang pencantuman azas Panca Sila itu sebagai pelanggaran terhadap keyakinan agama. Demikian juga pernah terjadi sebagian pelajar Islam tidak mau mengikuti upacara bendera, karena menganggap penghormatan kepada merah putih itu sebagai perbuatan syirik. Puing-puing dari proyek azas tunggal yang masih ada sekarang adalah kasus Abu Bakar Basyir. Sebenarnyalah bahwa masalah itu disebabkan karena adanya perbedaan pemahaman, pada tataranm mana sesuatu itu dianggap agama yang absolut dan pada tataran mana yang sudah tidak masuk dalam pengertian “agama”. Dalam perspektip tersebut diatas, maka agama dapat difahami dalam lima tingkatan, yaitu :

1. Agama seperti yang dimaksud oleh Allah SWT.
Ketika orang mengatakan agama Islam itu lengkap sempurna, suci, tinggi dan tidak ada yang melebihinya (al Islamu ya`lu wa la yu`la `alaih), maka sebenarnya yang dimaksud agama Islam pada tataran itu adalah ajaran Islam seperti yang dimaksud oleh Allah sendiri. Pda tataran ini kesempurnaan dan kebenaran mutlak Islam berada tersembunyi di dalam kebenaran wahyu Al Qur’an. Pada tataran ini Islam adalah konsep ajaran yang terkandung dalam kitab suci, bukan menurut tafsiran ulama, bukan pula yang tertulis di dalam buku-buku. Pernyataan bahwa Islam adalah sempurna adalah sepenuhnya benar dalam pengertian teersebut diatas.

2. Agama seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad.
Konsep Islam sangat sempurna, dan berasal dari Tuhan yang maha Sempurna. Tetapi manusia yang harus memahami bukanlah makhluk sempurna, karena ia harus mempersepsi apa yang dilihat atau didengarnya. Antara kesempurnaan ajaran Islam dengan ketidaksempurnaan manusia ada kesenjangan yang lebar. Oleh karena itu tidak jarang manusia keliru persepsi yang kemudian salah paham terhadap ajaran agama. Untuk dapat memahami kebenaran yang sempurna dari Al Qur’an diperlukan contoh atau “demontrasi”. Nah, Muhammad sebagai utusan Tuhan adalah contoh dari kebenaran Al Qur’an, sehingga dikatakan dalam hadis bahwa akhlak Nabi adalah Al Qur’an (kana khuluquhu al Qur’an). Sebagai contoh Islam, Nabi tidak pernah keliru, karena beliau selalu dalam bimbingan Allah. Setiap kali Nabi keliru, langsung menerima koreksi melalui malaikat Jibril. Koreksi terhadap Nabi bahkan juga direkam dalam wahyu al Qur’an (Q/66:1). Dengan demikian, agama Islam seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad juga bersifat mutlak benar. Jika Al Qur’an disebut teori maka perilaku Nabi Muhammaad merupakan prakteknya. Dalam sistem hukum Islam, Hadis Nabi dalam satu kasus berfungsi sebagai penjelasan dari Al Qur’an, tetapi dalam kasus yang lain bisa berdiri sendiri menetapkan hukum, melengkapi Al Qur’an.

3. Agama seperti yang difahami oleh para sahabat Nabi.
Nabi Muhammad memberi contoh tentang bagaimana hidup secara benar dibawah bimbingan wahyu al Qur’an.. Masyarakat yang hidup pada zaman Nabi (disebut Sahabat nabi) melihat dan meniru perilaku Nabi. Tetapi kemampuan sahabat Nabi sebagai manusia dalam mempersepsi contoh yang diberikan oleh Nabi berbeda-beda. Ada sahabat yang sangat cerdas, ada yang cukup cerdas, dan ada juga yang kurang cerdas. Dari segi kesempatan, ada sahabat yang sangat dekat dengan beliau sehingga setiap hari dan setiap saat berada di dekat atau bersama beliau, tetapi ada juga orang yang hanya berjumpa sebentar saja setiap harinya, ada yang hanya berjumpa seminggu sekali, ada yang hanya sebulan sekali dan ada yang hanya sesekali berjumpa dengan beliau. Perbedaan kecerdasan dan perbedaan frekwensi pertemuan para sahabat itu menyebabkan kemampuan memahami perilaku Rasul berbeda-beda. Ada yang hanya meniru bentuk perilaku beliau saja, tetapi orang sekaliber Umar bin Chattab misalnya, ia bukan hanya meniru yang nampak, tetapi juga bisa menangkap esensi dari perilaku Rasul. Oleh karena itu dalam berbagai hal Umar sering memiliki pendapat yang berbeda dengan orang lain. Pada tingkatan ini agama adalah pemahaman terhadap sumber utama, yaitu Al Qur’an dan hadis. Para sahabat berusaha memahami Al Qur’an dan memahami apa yang dicontohkan oleh Nabi. Pemahaman yang berbeda-beda menyebabkan ketidak mutlakan kebenaran. Agama pada tataran ini kebenarannya tidak absolut, tetapi betapapun karena mereka lebih dekat dan didorong oleh kecintaan kepada Rasul, menyebabkan pemahaman mereka lebih dekat kepada kebenaran. Keutamaan cinta kepada Allah dan Rasulnya itu diapresiasi oleh Nabi dengan ungkapan bahwa meski sahabat berbeda-beda pemahamannya, tapi kesemuanya mendekati kebenaran. Rasul menyatakan bahwa para sahabatku itu ibarat bintang gemintang,dimana kalian boleh mengambil petunjuk dari mereka, yang mana saja. (ashabi ka an nujum, biayyi iqtadaitum ihtadaitum)

4. Agama seperti yang difahami oleh para ulama
Kerika para sahabat dan tabi’in sudah gugur semua, tinggallah para ulama yang menjadi rujukan masyarakat dalam beragama. Para ulama memahami agama itu bukan dari Nabi dan bukan pula dari sahabat Nabi, tetapi dari teks AlQur’an dan hadis serta dari tradisi keberagamaan yang hidup di masyarakat. Oleh karena itu yang terjadi adalah interpretasi atau penafsiran terhadap kedua sumber itu. Para ulama ada yang lebih cenderung rational, ada juga yang lebih cenderung historik/mengikuti tradisi. Semua hal yang bersifat interpretasi selalu mengandung kemungkinan benar dan salah, dan pendapatpun berbeda-beda, oleh karena itu pada masa para ulama, lahirlah mazhab- mazhab dalam ilmu agama. Dalam fiqh ada mazhab Syafi’I, Hambali, Hanafi dan Maliki misalnya. Demikian pula dalam ilmu-ilmu yang lain. Esensi pemahaman agama dalam periode ini bukan pada pendapat tetapi pada argumen yang digunakan. Sebagaimana para sahabat, ada ulama yang memiliki kecenderungan filosofis, ada juga yang kecenderungannya kepada tradisi. Para ulama yang tinggal di kota metropolitan, seperti Bagdad, dan Basrah cenderung berfikir rationil. Mereka mengembangkan metode pemahaman agama (usul fiqh) dengan pendekatan yang logik. Mereka berijtihad dengan mengedepankan argumen-argumen logis (dalil `aqly), karena tuntutan hidup di kota Metropolitan dimana persoalan-persoalan baru setiap hari muncul, membutuhkan respond yang dinamis. Sedanghkan para ulama yang tinggal di kota agraris, Madinah misalnya, mereka cenderung mengikuti tradisi keagamaan yang berkesinambungan, menomor duakan argumen logik. Baik dalam ilmu hukum maupun ilmu tafsir, kedua pola besar itu nampak jelas, yaitu ulama kelompok ahl ar ra’yi yang rationil dan ulama ahl al atsar.yang mengutamakan tradisi.

Pada tataran ini, “agama” yang berkembang bukan hanya hukum (fiqh), tetapi juga teologi (Ilmu Kalam atau Ilmu tauhid), Tasauf dan Filsafat. Karena “agama” pada tataran ini sifatnya interpretatip, maka padanya tidak ada kebenaran absolut. Para ulama bahkan selalu menutup pendapat dan keyakinannya dengankapan bahwa hanya Allah saja yang tahu mana yang benar, Wallohu a`lamu bis sawab. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, perkembangan ilmu pengetahuan dalam periode ini sangat pesat, dan ketika itu hampir 7 abad sejarah dunia identik dengan sejarah Islam, dan dalam abad yang sama, dunia Barat justeru masih berada di dalam zaman gelap (blue age).


5. Agama sebagai tradisi masyarakat Islam.
Ketika sejarah semakin panjang, orang beragama tidak semuanya sempat mempelajari agama dari sumber utama, yakni al Qur’an dan Hadis, tetapi melalui guru-guru agama yang standard keilmuannya tidak sama. Ketika itu bahkan banyak orang memeluk agama Islam hanya karena orang tuanya Islam atau lingkungannya Islam. Ketika itu pemahaman agama masyarakat sudah cenderung bersifat tradisionil. Tradisi masyarakat Islam belum tentu mencerminkan ajaran Islam yang benar. Tidak mustahil pula tradisi masyarakat Islam justeru bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu dalam hal tradisi , orang beragama haruslah memandang secara kritis, yakni tradisi yang baik boleh dipelihara, sedang tradisi yang bertentangan dengan Islam harus ditinggal.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger