Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Sunday, August 31, 2008

Jumat & Jamaah
Salat Jum`at diikuti oleh orang sekampung atau selingkungan dengan berjama`ah di masjid jami`, dikerjakan pada hari Jum`at. Apa sebenarnya makna dari salat jum`at itu ? Allah berfirman bahwa manusia (dan jin) dicipta tak lain agar mereka menyembah (beribadah) kepada Allah, wama khalaqtu al jinna wa al insa illa liya`budun (Q/51:56). Menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang disembah(la ilaha illa Allah) disebut tauhid, artinya mengesakan Allah. Salat merupakan ritus ibadah yang paling lengkap, terdiri dari gerak, bacaan dan doa. Sebagai syari`at agama, salat bukan saja menggambarkan tauhid, tetapi juga menyimbolkan tatanan ideal masyarakat manusia.

Manusia diciptakan Tuhan berpasangan jenis, lelaki, perempuan, juga bersuku-suk dan berbangsa-bangsa dengan segala keragamannya, tak lain adalah agar mereka saling mengenal dan memberi manfaat satu dan lainnya, lita`arafu (Q/49:13). Tatanan salat juga menyimbolkan bagaimana caranya masyarakat manusia mencapai maksud itu, yakni saling mengenal dan saling memberi manfaat. Semua manusia dalam salatnya harus menghadap kiblat (arah) yang sama, dengan bacaan yang sama dalam bahasa yang sama (bahasa Arab). Untuk membangun kebersamaan, disyari`atkan berjamaah, yakni salat bersama dipimpin oleh seorang imam.

Layaknya kepemimpinan sosial, seorang imam disyaratkan 3 hal (1) fasih bacaannya, . (2) ilmu agamanya tertinggi diantara yang lain, dan (3) tertua usianya. Ini adalah simbol persyaratan seorang pemimpin, atau presiden jika se negara, yakni (1) harus bisa berkomunikasi dengan rakyatnya, (2) memenuhi syarat standard keilmuan yang relevan, dan (3) senioritas. Jika seseorang sedang mengimami, maka makmum di belakangnya harus patuh total kepada imam, tidak boleh mendahului dan tidak boleh tertinggal. Sebaliknya jika imamnya keliru, maka makmum boleh mengingatkan dengan membaca subhanallah. Jika imamnya batal, buang angin misalnya, maka ia langsung harus mengundurkan diri, digantikan oleh orang yang persis di belakangnya.

Demikian juga dalam tatanan masyarakat, jika seseorang telah dipilih menjadi pemimpin (presiden misalnya), maka rakyat harus menghormati dan mematuhi kepemimpinannya. Jika Pemimpin melakukan kesalahan, rakyat boleh menegur dan mengkritiknya, dan jika Pemimpin melanggar sumpah jabatannya (batal) maka seyogyanya ia langsung mengundurkan diri agar tidak terjadi gejolak, jangan menunggu dilengserkan oleh rakyat, karena melengserkan pemimpin itu membutuhkan biaya (ekonomi dan sosial) yang besar.

Sebagaimana tatanan masyarakat itu bertingkat-tingkat, maka syari`at berjamaah juga bertingkat-tingkat. Di dalam setiap rumah tangga seyogyanya ada salat berjama`ah, bapak menjadi imam dan istri dan anak-anak makmum di belakangnya. Pada salat lima waktu hendaknya ada salat jamaah di setiap masjid dan mushalla. Seminggu sekali kumpulan masyarakat yang lebih luas menyelenggarakan salat jum`at di masjid besar, disebut masjid jami`. Setahun dua kali lingkungan yang lebih luas melakukan salat jamaah di masjid agung atau di alun-alun, yakni salat Idul Fitri dan Idul Adha. Secara geografis, setahun sekali duta-duta bangsa disyari`atkan berjamaah di tempat yang sama, yakni ibadah haji di Makkah al Mukarromah. Berjama`ahlah, karena di dalam berjama’ah terkandung banyak berkah. Wallohu a`lamu bissawab.



Jumat & Jamaah

Salat Jum`at diikuti oleh orang sekampung atau selingkungan dengan berjama`ah di masjid jami`, dikerjakan pada hari Jum`at. Apa sebenarnya makna dari salat jum`at itu ? Allah berfirman bahwa manusia (dan jin) dicipta tak lain agar mereka menyembah (beribadah) kepada Allah, wama khalaqtu al jinna wa al insa illa liya`budun (Q/51:56). Menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang disembah(la ilaha illa Allah) disebut tauhid, artinya mengesakan Allah. Salat merupakan ritus ibadah yang paling lengkap, terdiri dari gerak, bacaan dan doa. Sebagai syari`at agama, salat bukan saja menggambarkan tauhid, tetapi juga menyimbolkan tatanan ideal masyarakat manusia.

Manusia diciptakan Tuhan berpasangan jenis, lelaki, perempuan, juga bersuku-suk dan berbangsa-bangsa dengan segala keragamannya, tak lain adalah agar mereka saling mengenal dan memberi manfaat satu dan lainnya, lita`arafu (Q/49:13). Tatanan salat juga menyimbolkan bagaimana caranya masyarakat manusia mencapai maksud itu, yakni saling mengenal dan saling memberi manfaat. Semua manusia dalam salatnya harus menghadap kiblat (arah) yang sama, dengan bacaan yang sama dalam bahasa yang sama (bahasa Arab). Untuk membangun kebersamaan, disyari`atkan berjamaah, yakni salat bersama dipimpin oleh seorang imam.

Layaknya kepemimpinan sosial, seorang imam disyaratkan 3 hal (1) fasih bacaannya, . (2) ilmu agamanya tertinggi diantara yang lain, dan (3) tertua usianya. Ini adalah simbol persyaratan seorang pemimpin, atau presiden jika se negara, yakni (1) harus bisa berkomunikasi dengan rakyatnya, (2) memenuhi syarat standard keilmuan yang relevan, dan (3) senioritas. Jika seseorang sedang mengimami, maka makmum di belakangnya harus patuh total kepada imam, tidak boleh mendahului dan tidak boleh tertinggal. Sebaliknya jika imamnya keliru, maka makmum boleh mengingatkan dengan membaca subhanallah. Jika imamnya batal, buang angin misalnya, maka ia langsung harus mengundurkan diri, digantikan oleh orang yang persis di belakangnya.

Demikian juga dalam tatanan masyarakat, jika seseorang telah dipilih menjadi pemimpin (presiden misalnya), maka rakyat harus menghormati dan mematuhi kepemimpinannya. Jika Pemimpin melakukan kesalahan, rakyat boleh menegur dan mengkritiknya, dan jika Pemimpin melanggar sumpah jabatannya (batal) maka seyogyanya ia langsung mengundurkan diri agar tidak terjadi gejolak, jangan menunggu dilengserkan oleh rakyat, karena melengserkan pemimpin itu membutuhkan biaya (ekonomi dan sosial) yang besar.

Sebagaimana tatanan masyarakat itu bertingkat-tingkat, maka syari`at berjamaah juga bertingkat-tingkat. Di dalam setiap rumah tangga seyogyanya ada salat berjama`ah, bapak menjadi imam dan istri dan anak-anak makmum di belakangnya. Pada salat lima waktu hendaknya ada salat jamaah di setiap masjid dan mushalla. Seminggu sekali kumpulan masyarakat yang lebih luas menyelenggarakan salat jum`at di masjid besar, disebut masjid jami`. Setahun dua kali lingkungan yang lebih luas melakukan salat jamaah di masjid agung atau di alun-alun, yakni salat Idul Fitri dan Idul Adha. Secara geografis, setahun sekali duta-duta bangsa disyari`atkan berjamaah di tempat yang sama, yakni ibadah haji di Makkah al Mukarromah. Berjama`ahlah, karena di dalam berjama’ah terkandung banyak berkah. Wallohu a`lamu bissawab.

Jumat & Jamaah

Salat Jum`at diikuti oleh orang sekampung atau selingkungan dengan berjama`ah di masjid jami`, dikerjakan pada hari Jum`at. Apa sebenarnya makna dari salat jum`at itu ? Allah berfirman bahwa manusia (dan jin) dicipta tak lain agar mereka menyembah (beribadah) kepada Allah, wama khalaqtu al jinna wa al insa illa liya`budun (Q/51:56). Menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang disembah(la ilaha illa Allah) disebut tauhid, artinya mengesakan Allah. Salat merupakan ritus ibadah yang paling lengkap, terdiri dari gerak, bacaan dan doa. Sebagai syari`at agama, salat bukan saja menggambarkan tauhid, tetapi juga menyimbolkan tatanan ideal masyarakat manusia.

Manusia diciptakan Tuhan berpasangan jenis, lelaki, perempuan, juga bersuku-suk dan berbangsa-bangsa dengan segala keragamannya, tak lain adalah agar mereka saling mengenal dan memberi manfaat satu dan lainnya, lita`arafu (Q/49:13). Tatanan salat juga menyimbolkan bagaimana caranya masyarakat manusia mencapai maksud itu, yakni saling mengenal dan saling memberi manfaat. Semua manusia dalam salatnya harus menghadap kiblat (arah) yang sama, dengan bacaan yang sama dalam bahasa yang sama (bahasa Arab). Untuk membangun kebersamaan, disyari`atkan berjamaah, yakni salat bersama dipimpin oleh seorang imam.

Layaknya kepemimpinan sosial, seorang imam disyaratkan 3 hal (1) fasih bacaannya, . (2) ilmu agamanya tertinggi diantara yang lain, dan (3) tertua usianya. Ini adalah simbol persyaratan seorang pemimpin, atau presiden jika se negara, yakni (1) harus bisa berkomunikasi dengan rakyatnya, (2) memenuhi syarat standard keilmuan yang relevan, dan (3) senioritas. Jika seseorang sedang mengimami, maka makmum di belakangnya harus patuh total kepada imam, tidak boleh mendahului dan tidak boleh tertinggal. Sebaliknya jika imamnya keliru, maka makmum boleh mengingatkan dengan membaca subhanallah. Jika imamnya batal, buang angin misalnya, maka ia langsung harus mengundurkan diri, digantikan oleh orang yang persis di belakangnya.

Demikian juga dalam tatanan masyarakat, jika seseorang telah dipilih menjadi pemimpin (presiden misalnya), maka rakyat harus menghormati dan mematuhi kepemimpinannya. Jika Pemimpin melakukan kesalahan, rakyat boleh menegur dan mengkritiknya, dan jika Pemimpin melanggar sumpah jabatannya (batal) maka seyogyanya ia langsung mengundurkan diri agar tidak terjadi gejolak, jangan menunggu dilengserkan oleh rakyat, karena melengserkan pemimpin itu membutuhkan biaya (ekonomi dan sosial) yang besar.

Sebagaimana tatanan masyarakat itu bertingkat-tingkat, maka syari`at berjamaah juga bertingkat-tingkat. Di dalam setiap rumah tangga seyogyanya ada salat berjama`ah, bapak menjadi imam dan istri dan anak-anak makmum di belakangnya. Pada salat lima waktu hendaknya ada salat jamaah di setiap masjid dan mushalla. Seminggu sekali kumpulan masyarakat yang lebih luas menyelenggarakan salat jum`at di masjid besar, disebut masjid jami`. Setahun dua kali lingkungan yang lebih luas melakukan salat jamaah di masjid agung atau di alun-alun, yakni salat Idul Fitri dan Idul Adha. Secara geografis, setahun sekali duta-duta bangsa disyari`atkan berjamaah di tempat yang sama, yakni ibadah haji di Makkah al Mukarromah. Berjama`ahlah, karena di dalam berjama’ah terkandung banyak berkah. Wallohu a`lamu bissawab.

Read More
posted by : Mubarok institute
Makna Syahadah
Sehabis membaca hamdalah, chatib Jum`at pasti membaca dua kalimah syahadat. Dua kalimah syahadah atau syahadat adalah Rukun Islam pertama. Artinya seseorang yang memeluk agama Islam, pertama-tama yang harus dilakukan adalah mengikrarkan dua kalimah syahadat. Syahadah itu sendiri artinya kesaksian, oleh karena itu dalam bahasa Arab, selembar kertas STTB atau sertifikat disebut syahadah, karena tulisan dalam STTB itu memberi kesaksian tentang karakteristik akademik dari pemiliknya.

Kalimah syahadah, yakni Asyhadu anla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah yang artinya aku bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang layak disembah) selain Alloh SWT dan bahwa Muhammad adalah utusan Alloh SWT, adalah kalimat proklamasi keimanan seseorang yang mengakui atau meyakini Alloh SWT sebagai Tuhan Sang Pencipta dan mempercayai Muhammad sebagai utusan Nya.

Mengapa keimanan harus diproklamasikan ? Iman memang terletak di dalam hati, artinya bisa saja orang berpura-pura masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimah syahadah. Tetapi karena keyakinan agama juga membawa implikasi sosial, maka agama perlu diproklamasikan, selanjutnya akan ditulis di KTP dan di berbagai kartu identitas. Sewaktu penulis naik pesawat Jerman Luthansa ke Frankrut, baru beberapa menit mengudara, pramugari langsung bertanya, Mr, Achmad, are you moslem ? apa urusannya ?. Rupanya di pesawat sudah dibedakan menu makanan halal bagi penumpang muslim dan Yahudi, dan menu makanan lain yang mengandung babi.

Sewaktu saya di airport Washington, saya mengalami kesulitan gara-gara nama dan identitas agama, yakni diinterograsi sangat teliti sampai setengah jam ? mengapa ? karena kedutaan Amerika di Tanzania baru saja diledakkan oleh bom bunuh diri, sementara dalam pasport tertulis saya sering ke Libia, sehingga saya dicurigai sebagai teroris. Kalau begitu adakah syahadah bisa mendatangkan kesulitan ? Semua proklamasi membawa resiko.

Proklamasi kemerdekaan suatu negeri membawa resiko digempur negara lain, proklamasi cinta ( I love you) membawa resiko ditolak atau ditertawakan. Demikian juga proklamasi menyatakan dirinya masuk Islam, bisa membawa resiko; dikucilkan keluarganya yang belum muslim, direndahkan oleh pihak-pihak yang mengidap setereotip atau phobi terhadap agama Islam, dan banyak resiko kesulitan lain. Tetapi proklamasi adalah sebuah komitmen. Bagi orang yang berkepribadian, ia siap menanggung resiko dari proklamasi syahadatnya. Ia akan mempertahankan akidahnya dengan segenap kemampuannya, harta, dan jiwa.

Al Qur’an sendiri juga mengajarkan agar setiap muslim memperlihatkan atau mendemontrasikan keislamannya, isyhadu bi anna muslimun (Q/3:24), pertahankan keislamanmu hingga mati, wala tamutunna illa wa antum muslimun (Q/3:102). Tetapi al Qur’an juga mentolerir orang yang masih harus menyembunyikan keislamannya demi melindungi kepentingan yang lebih besar, melindungi orang lain misalnya, karena Alloh SWT mengetahui apa yang disembunyikan dan apa yang diucapkan, wa rabbuka ya`lamu ma tukinnu shuduruhum wama yu`linun (Q/28:68). Wallohu a`lamu bissawab

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, August 27, 2008

Doa, Untuk Apa?
Sejak alam barzah, manusia sudah didesain oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang mengakui adanya Alloh SWT Yang Maha Kuasa. (Q/7:172). Oleh karena itu naluri manusia cenderung mencari perlindungan kepada Yang Maha Kuat, terutama ketika sedang merasa terancam. Bukan hanya orang beragama, orang atheis pun ketika melepas prajuritnya ke medan perang, mereka mengucapkan “Semoga kalian menang”. Kalimat semoga adalah ungkapan religius, ungkapan doa, yakni mengharap campur tangan kekuatan gaib yang diyakini lebih besar dibanding kekuatan manusia.

Dalam perspektif way of life seorang muslim, kehadiran manusia di muka bumi diberi status sebagai khalifah Alloh, sebagai wakil Allah yang diberi amanat untuk menegakkan kebenaran dalam kehidupan manusia untuk mencapai ridla Allah sebagai tujuan hidupnya. Untuk mencapai tujuan itu manusia diberi alat hidup, yaitu dirinya, fisik maupun psikis, dan harta atau alam yang memang disediakan Alloh SWT sebagai fasilitas. Dengan potensi itu manusia menjadi “makhluk” yang paling besar peluangnya untuk menjadi yang “terhebat” di muka bumi.

Akan tetapi di sisi lain, manusia juga diberi status oleh Allah sebagai `abdun, sebagai hamba, yang memiliki serba keterbatasan, dan Allah tidaklah menciptakan manusia kecuali agar mereka mengakui dirinya sebagai `abdun, yang harus meng abdi, atau beribadah, menyembah kepada Sang Pencipta (Q/51:56). Inilah status kembar manusia di hadapan Alloh SWT. Di satu sisi manusia adalah besar, memiliki tanggung jawab dan kewenangan yang besar, karena menjadi wakil dari Alloh SWT yang Maha Besar. Di sisi lain manusia adalah kecil, karena ia tak lebih hanyalah seorang hamba yang lemah, terbatas dan hidupnya sangat bergantung kepada berbagai faktor.

Manusia akan menjadi kuat apabila ia menempel kepada kekuasaan Alloh SWT Yang Maha Kuat. Ia selalu berkata bahwa tiada daya dan kekuatan yang efektif tanpa seizin Allah yang Maha Agung, La haula wala quwwata illa billah al `Aliyy al `Azim. Sebaliknya manusia akan diperdaya dan dipermainkan oleh perbuatan sendiri yang menipu, jika ia jauh dari ridla dan rahmat Allah. Allah akan mengangkat martabat manusia yang rendah hati, dan akan menjatuhkan ke dalam kehinaan terhadap manusia yang menyombongkan diri. Di sinilah medan seni antara usaha dan doa.

Di satu sisi, Al Qur’an banyak sekali memerintahkan manusia agar bekerja dan berusaha, tetapi di sisi lain Al Qur’an juga memerintahkan agar orang bertawakkal (berpasrah diri kepada Allah) atas hasil dari pekerjaan dan usahanya. Disamping menyuruh bekerja, Al Qur’an juga menyuruh untuk berdoa kepada Allah, disertai jaminan bahwa Allah akan mengabulkan doa manusia (Q/40:60), karena Allah memang mendengarkan doa-doa hambanya (Q/14:39). Kata Nabi, doa adalah sumsumnya ibadah.

Dalam realita kehidupan, sebagaimana yang sedang melanda bangsa Indonesia dewasa ini, bisa terjadi, banyaknya tentara tidak menjamin ketahanan nasional, banyaknya polisi tidak menjamin keamanan, banyaknya sumberdaya alam tidak menjamin kemakmuran, banyaknya orang pandai tidak menjamin keberhasilan. Dalam perspektif tasauf bahkan dikatakan, penentu keberhasilan pembangunan suatu bangsa bukan ditentukan oleh unsur-unsur bangsa tersebut diatas, tetapi oleh doa seorang hamba yang dekat dengan Alloh SWT.

Kata sebuah hadis, bahwa di muka bumi ini ada beberapa orang yang performennya “kumuh”, tidak memiliki status sosial, tetapi jika ia sudah menengadahkan tangannya kepada Alloh SWT, maka doanya itulah yang signifikan menyelesaikan masalah bangsa, bukan oleh elit-elit bangsa (in aqsama `alallah la abarrahu). Siapakah orang itu? Kata hadis tersebut, dia adalah orang baik yang takwa, tetapi ia menyembunyikan identitas sebenarnya. Jika dia berada di dekat kita, tak seorangpun yang mengenalnya, tetapi jika ia tidak ada, maka ia selalu dicari-cari.

Fenomena politik Indonesia mengenal ada doa politik, ada istighotsah kubra dan doa-doa massal lainnya, yang tujuannya mencari solusi spiritual atas problem bangsa yang rumit. Mengapa doa-doa tersebut sepertinya tak didengar Alloh SWT? Inilah yang harus menjadi renungan kita bersama-sama, jangan-jangan doa yang kita panjatkan tidak ikhlas, atau melanggar koridor sunnatullah, atau tidak memenuhi adabnya? Wallohu a‘lam

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, August 26, 2008

Paradigma Dakwah Gerakan
Pada permulaan abad 20 muncul fenomena dakwah yang bersifat gerakan, dikenal dengan istilah dakwah harakah, yaitu Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jama‘at Islami di Pakistan dan Nur Khuluq atau Harakah Nuriyah di Turki, yakni di negeri dimana simpul-simpul kejayaan Islam diporakporandakan oleh kolonialisme Barat. Pada masanya, dakwah gerakan benar-benar merupakan paradigma baru. Jika dakwah konvensional pada umumnya bersifat tabligh dan parsial, maka sebagaimana dikatakan al Qahthani, dakwah gerakan lebih berorientasikan pada pengembangan masyarakat Islam dengan sistematika mulai dari perbaikan individu (ishlah al fard), perbaikan keluarga (ishlah al usrah), perbaikan masyarakat (ishlah al mujtama‘) dan perbaikan pemerintahan dan negara (ishlah ad daulah).

Karakteristik Dakwah Gerakan
Menurut Mustafa Masyhur, dakwah harakah mendasarkan diri pada tiga kekuatan sekaligus, yaitu (1) kekuatan akidah dan iman, (2) kekuatan persatuan dan ikatan kaum muslimin (quwwat al wahdah wa at tarabbuth) dan (3) kekuatan jihad (quwwat al jihad).
Menurut Fathi Yakan, ada empat ciri yang sangat menonjol dari dakwah harakah, yaitu (1) murni dan otentik (dzatiyyah), yakni otentik sebagai panggilan Tuhan, (2) mendorong kemajuan (taqaddumiyah), yakni kemajuan yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas, (3) universal (syamilah) mencakup semua aspek kehidupan, memadukan tiga sistem hidup (manhaj al hayat) yang terdiri dari tiga D; Din (agama), Dunya (dunia) dan Daulah (pemerintahan negara) (4) menekankan prinsip-prinsip agama yang luhur dan menjauhkan diri dari perbedaan mazhab.

Menurut Sayyid Qutub, seorang aktivis dan arsitek dakwah gerakan di Mesir, ada tiga ciri dakwah gerakan, yaitu (1) lebih menekankan pada aksi ketimbang teori, wacana dan retorika, sebagaimana dakwah Nabi yang tidak membangun wacana (la yuqim falsafatan) tetapi membangun ummat (lakin yubni ummah). (2) dakwah gerakan membolehkan peng¬gunaan kekuatan fisik dalam bentuk jihad fisabilillah jika keadaan memaksa. Jihad diperlukan untuk mengawal dakwah dan membela diri dari gangguan fisik yang menghalangi dakwah. (3) dakwah gerakan sangat meniscayakan organisasi dan jaringan (net¬working), dalam skala nasional, regional maupun international. Menurut Sayyid Qutub, dakwah bukan saja tugas individual, tetapi tugas dan kewajiban kolektip seluruh muslim. Organisasi dakwah gerakan harus¬lah bersifat terbuka yang dibangun di atas platform akidah tauhid dan ukuwwah Islam tanpa mengenal perbedaan suku, ras dan warna kulit.

Da‘i dakwah gerakan
Suatu pergerakan pasti memerlukan dukungan kader. Kader dakwah gerakan adalah da’i, tetapi da‘i dalam paradigma gerakan, yaitu pejuang dakwah (mujahid ad da‘wah). Di sini, da’i adalah seorang pejuang dan aktifis pergerakan Islam, yang sudah membekali diri dengan ilmu, wawasan dan ghirrah diniyyah sehingga tabah menghadapi ejekan, siksaan fisik bahkan siap menjadi syahid. Semboyan mujahid dakwah adalah Allahu maqshaduna (Allah tujuan kita), al Qur’an imamuna (al Qur’an imam kita), was sunnah sabiluna (sunnah Nabi jalan kita) dan wa al mautu fi sabililah amanuna (mati syahid harapan kita).

Kapan Dakwah Gerakan diperlukan ?
Pemberlakuan dakwah gerakan tidak sepanjang zaman, tetapi hanya jika keadaan memaksa, yaitu : (1) ketika dakwah dihambat oleh kekuatan fisik, sehingga sama sekali tidak ada peluang untuk menye¬barkan Islam (berdakwah) secara damai. (2) Ketika ada kesiapan pada kaum muslimin, kesiapan mental, moral dan kekuatan. (3) Penggunaan kekuatan fisik dalam dakwah gerakan bersifat darurat. Jika keadaan kembali menjadi kondusip untuk berdakwah secara damai, maka penggunaan kekuatan fisik harus dihentikan.

Problem ummat Islam diberbagai belahan bumi berbeda-beda, dan untuk mengambil keputusan merespon keadaan sulit diperlukan pemikiran men¬dalam serta ijtihad yang ikhthiyath (hati-hati). Bagi muslimin Chehnya yang selama puluhan tahun dicengkeram Komunis Sovyet, maka dakwah gerakan sudah merupakan keniscayaan. Meski demikian mujahid dakwah di Chehnya harus siap dituduh sebagai teroris oleh Uni Sovyet (dan Amerika), karena jarak antara pejuang dan teroris memang sangat tipis. Semua pejuang kemerdekaan di negeri kita juga dicap sebagai teroris dan ektremis oleh Penjajah Belanda. Di mata orang Palestina, pejuang Hamas adalah mujahid dan Israel adalah teroris, tetapi dimata Presiden Bush, Aril Sharon, Perdana Menteri Israel dipandang sebagai tokoh perdamaian, dan Presiden Arafat dianggap sebagai teroris. Begitu jugalah problem saudara muslim kita di Philipina Selatan, Kasymir, Afganistan, dan tempat lainnya. Wallohu a‘lam.

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, August 24, 2008

Pola Hidup
Dalam kehidupan ummat manusia, kita dapat mengamati berbagai macam pola hidup, baik dalam ruang lingkup hidup kelompok, etnis, bangsa dan ummat. Itu terjadi karena pola hidup itu merupakan produk dari pandangan hidup. Pandangan hidup yang tumbuh dan berkembang dari aqidah, membentuk pola hidup tertentu yang lazimnya disebut “syari`ah”.

Ajaran syari`ah itu sangat realistik dalam melihat kehidupan manusia secara universal. Dalam rangka itu diperkenalkan adanya lima komponen kehidupan, yang dijadikan acuan untuk mewujudkan kehidupan yang berkualitas (hayatan thayyibah), yang menjamin kehormatan dan manfaat kehidupan yang layak bagi manusia.

Lima komponen kehidupan (al kulliyyat al khoms) yang diperkenalkan syari’ah Islam ialah; (1) Diri manusia yang utuh, mencakup jiwa, raga dan kehormatannya, (2) Akal fikirannya, (3) Harta benda/ kekayaannya, (4) Nasab/keturunannya, (5) Keyakinan/agamanya.

Kelima komponen kehidupan itu harus dilindungi keselamatannya dengan perangkat hukum yang menjamin keamanan hidupnya dan kesejahteraan¬nya secara adil.

Itulah wujud sesungguhnya dari hukum Islam yang merupakan pengejawantahan syari‘ah. Upaya mengenal syari’ah lebih luas lazimnya ditangani dalam ilmu Fiqh. Yang secara specifik berhubungan dengan politik dibahas dalam Fiqh as Siyasah. Di situ kita akan melihat suatu sistem kajian yang memperkenalkan kepada kita empat bidang utama dalam penjabaran kelima komponen kehidupan manusia tersebut diatas. Dalam hubungan itu baiklah diperhatikan hal-hal berikut ini:

1. Berkaitan dengan keyakinan kepada Tuhan manusia mewujudkannya dengan ritual ibadah, hal ini merupakan kajian pertama dan utama ilmu Fiqih.

2. Berkaitan dengan hubungan antar manusia, kita akan berkenalan dengan kajian munakahat dan muamalat.

3. Berkaitan dengan tertib sosial, perlu ada penegak¬kan hukum dan pemberlakuan kepastian hukum. Ini merupakan bagian akhir dari kajian fiqih.

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, August 20, 2008

Menegakkan Kembali Moralitas Bangsa
Pada persimpangan jalan perkembangan bangsa dan negara dewasa ini, diperlukan adanya peneguhan kembali komitmen nasional, melalui wacana komunikasi yang efektif dari para pemimpin bangsa. Komitmen nasional itu ialah pembentukan negara kebangsan modern berbentuk republik, yaitu faham kenegaraan yang didirikan demi maslahat umum, kesejahteraan seluruh warga tanpa kecuali, bukan kejayaan pribadi para penguasa dan pejabat seperti dalam sistem kerajaan.

Pembentukan negara kebangsaan ini digagas oleh para pendiri bangsa ini sejak lebih setengah abad yang lalu. Tetapi, sesuai dengan kearifan umum yang telah kita ketahui bersama, tidak ada barang gratis di muka bumi ini, sebagai¬mana juga tidak ada perolehan tanpa jerih payah dan pengorbanan. Gagasan cemerlang negara kebangsaan ini tidak otomatis mewujud meski telah dicanangkan dalam Proklamasi 45, karena usaha mewujudkannya terbukti amatlah sulit, karena terbentur kepada tiadanya prasarana sosial dan budaya yang diperlukan. Rentetan panjang trial and error dalam sejarah Republik ini tidak bisa dihindari.

Error atau kekhilafan yang tak disengaja dalam sejarah kebangsaan seperti yang terjadi pada tahun 1965 dan 1998 akan menjadi pelajaran pahit dan ber¬hikmah jika dijadikan pelajaran untuk tidak diulang. Akan tetapi jika suatu kekhilafan gagal menjadi pelajaran, dan sebaliknya justeru dibiarkan terus ber¬lanjut, atau apalagi yang disengaja karena “mengun¬tungkan”, bukan saja merupakan kekhilafan tak berhikmah, bahkan dapat berkembang menjadi kekhilafan yang membawa fitnah dan bencana. Kekhilafan yang disengaja berubah menjadi kejahatan sejarah.

Kepada sementara kalangan yang berfikir dapat memperoleh sesuatu tanpa ongkos, dapat cepat kaya tanpa modal usaha, harus diingatkana bahwa perbuatan itu merupakan suatu sosok egoisme yang telanjang, suatu sikap hidup anti sosial, yang akan memaksa orang lain menjadi korban dan me¬nimbulkan kerugian masyarakat luas. Fikiran tentang perolehan tanpa jerih payah sudah pasti akan menjerumuskan kita pada fikiran tak bermoral, yakni fikiran “jalan pintas”, fikiran tentang “bagai¬mana enaknya” untuk diri sendiri, bukan “bagaimana baiknya” untuk kesejahtera¬an orang banyak secara adil dan merata. Kejayaan suatu bangsa itu ditentukan oleh mora¬litasnya. Jika suatu bangsa runtuh moralnya, maka bangsa itu akan mengalami keruntuhan (innama uma¬mu al akhlaqu ma baqiyat, fa in dzahabat akhlaquhum dzahabu). Ini adalah sunnatullah yang tak bisa ditawar, berlaku terhadap segala bangsa tanpa memandang agamanya. Sebagai bangsa yang beragama, apalagi dalam teks-teks sumpah jabatan disebut juga kalimat bertakwa, maka moral bangsa harus ditegakkan oleh kita sendiri, karena makna takwa juga mencakup aksi moral yang integral, satunya kata dengan perbuatan, konsistensi perbuatan dengan komitmen.

Jangan berfikir bahwa kemajuan Barat itu tanpa komitmen moral. Thomas Jeferson pernah berkata; “Tinggalkan uang, tinggalkan keterkenalan, tinggalkan ilmu pengetahuan, dan tinggalkan bumi itu sendiri beserta segenap muatannya; …..itu lebih baik daripada kita me¬lakukan tindakan tak bermoral.” Jangan sempat terlintas dalam fikiran bahwa kita boleh sesekali melakukan sesuatu yang tidak terhormat, betapapun kecilnya hal itu di mata kita.

Kapan saja kita melakukan sesuatu, meski tak ada yang melihat, tetapi cobalah mem¬bayangkan, bagaimana seandainya seluruh mata di dunia menga¬rahkan pandangannya kepada kita, memperhatikan apa yang kita kerjakan. Jika kita melakukan ke¬curangan dalam kehidupan umum kenegaraan, coba bayangkan kerugian yang harus ditanggung oleh orang banyak, coba bayangkan seandai¬nya seluruh mata rakyat mengarahkan pandangannya kepada kita. Coba renungkan penilaian lembaga international yang telah menempatkan negeri kita pada rating negara-negara paling rendah, paling buruk, paling messy, paling tidak menarik dan seterusnya. Masih sanggupkah kita menegakkan kepala sebagai bangsa yang besar dan mayoritas terbesar ?

Di atas segalanya, sebagai bangsa yang beragama, yang negaranya berdasar Ketuhanan Yang maha Esa, kita mengenal term kafir dan fasiq. Kecurangan adalah suatu bentuk kefasikan. Orang fasiq adalah orang yang tingkahlakunya tidak mempedulikan nilai etika dan moral, karena telah terkalahkan oleh keserakahan dan hawa nafsu.

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, August 18, 2008

Alam dan Kehidupan
Manusia yang berfungsi daya nalarnya (akalnya) selain mengenali dirinya sendiri, ia sudah dapat mengenal lingkungannya. Orang-orang yang ada di sekitarnya, demikian pula benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang dapat ia lihat dan rasakan, semua itu membentuk dalam benaknya konsep “alam” dan “kehidupan”. Konsep ini berkembang menuju suatu kesempurnaan melalui ajaran kepercayaan atau agama yang dianut masyarakatnya terutama orang tuanya, dan melalui pendidikan dan penga¬jaran yang diterimanya kemudian.

Dewasa ini pengetahuan manusia tentang “alam” sudah sangat luas, dan ilmu serta teknologi sudah sedemikian majunya, seakan-akan manusia sudah mampu menguasai alam raya dengan keberhasilannya menerobos angkasa luar dan memecahkan atom, seandainya tiada gempa bumi hebat yang mengguncang Armenia, angin taufan dahsyat yang menyapu pantai-pantai Amerika dan Jepang, banjir-banjir besar yang melanda Anak Benua India, dan lain-lain ben¬cana alam dan penyakit-penyakit aneh seperti AIDS yang semua itu mempertunjukkan kelemahan kekuasaan dan keterbatasan pengetahuan manusia itu. Sejauh perkem¬bangan yang sudah begitu majunya, kehidupan manusia tetap saja menjadi masalah misterius seperti sediakala.

Alam raya ini, yang sukar digambarkan luasnya dan banyaknya, serta makhluk manusia yang sangat menonjol di antara seluruh makhluk yang mengisi alam raya ini, sudah menjalani proses kehidupan sekian kurun waktu lamanya sehingga sukar digambarkan dengan bilangan abad atau diukur dengan tahun cahaya.

Manusia yang mempunyai kemampuan tinggi untuk menalar dengan akalnya sudah cukup banyak mengetahui proses kehidupan itu, sekalipun mereka tidak mampu mengetahui hakekat dari kehidupan itu sendiri. Di dalam pengetahuan manusia yang begitu luas dan berkembang terus, minat untuk mengetahui pangkal dan ujung (mabda’ dan ma’ad) kehidupan itu, kurang seimbang dengan minat dan upaya mengetahui proses kehidupan itu. Sehingga pada umumnya pengetahuan manusia itu menjadi pincang dan tidak utuh. Upaya mengetahui proses kehidupan yang berkembang sepanjang sejarah peradaban manusia, telah mengantarkan manusia mengenal adanya hukum-hukum yang pasti dan teliti menguasai alam raya ini.

Gambaran yang nyata dari pengetahuan ini terlihat dengan jelas dalam ilmu-ilmu fisika, kimia, biologi dan astronomi. Ilmu-ilmu tersebut mengungkapkan betapa alam raya ini tercipta secara teratur dan terkontrol sedemikian teliti dengan hukum-hukum yang pasti. Ilmu pengetahuan astronomi memper¬kenalkan betapa teraturnya gerakan bintang-bintang pada garis edarnya masing-masing.

Bumi tempat kita hidup, yang berputar pada sumbunya dan beredar pada orbitnya di sekeliling matahari dalam jangka waktu tertentu dan pasti menyebabkan silih bergantinya siang dan malam, dan bertukarnya satu musim ke musim yang lain dengan sangat teratur, semuanya berjalan secara eksakta (tepat) dan dapat dihitung secara matematik. Selanjutnya ilmu pengetahuan alam memperkenalkan adanya hukum fisika, kimia, serta biologi, seperti hukum propors, hukum konservasi, hukum gerak, hukum gravitasi, hukum relativitas, hukum Pascal, kode genetik, hukum reproduksi dan embriologi.

Penemuan hukum-hukum alam (natuurwet) sebagaimana disinggung di atas memberikan informasi yang jelas betapa alam raya ini mulai dari bagian-bagiannya yang terkecil seperti partikel-partikel dalam inti atom yang sukar diba¬yangkan kecilnya sampai kepada galaksi-galaksi yang tak terbayangkan besar dan luasnya, semua bergerak menurut ketentuan-ketentuan hukum alam yang mengaturnya. Dan yang lebih dekat dapat diamati ialah pada tubuh jasmani kita sendiri. Ilmu pengetahuan mengungkapkan bahwa tubuh manusia terdiri dari 50 juta sel, jumlah panjang jaringan pembuluh darahnya sampai 100.000 km dan lebih 500 macam proses kimiawi terjadi di dalam hati.

Tubuh manusia jauh lebih rumit dan lebih menakjubkan daripada pesawat kom¬puter. Fungsi-fungsi tubuh yang tidak tampak, lebih mengesankan lagi. Tanpa kita sadari tubuh mengatur suhu badan kita, tekanan darah kita, pencernaan dan tugas-tugas lain yang tidak terbilang banyaknya. Pusat pengatur tubuh, yakni otak, memiliki daya rekam dan kemampuan me¬nyimpan lebih banyak informasi dibandingkan dengan pesawat apapun. Organ-organ tubuh itu bekerja secara otomatis di luar kehendak dan pengetahuan kita. Peredaran darah, paru-paru, jantung, ginjal dan pernafasan terus bekerja secara rutin dengan teliti, meskipun tidak diperintahkan sang manusia itu sendiri. Bahkan mungkin sekali ia tidak mengetahui betapa sibuknya organ-organ tubuh itu melaksanakan tugasnya masing-masing, demi kelangsungan hidup manusia.

Perkembangan mutakhir dari ilmu pengetahuan, yang ditandai dengan lahirnya ilmu-ilmu sosial, bermuara kepa¬da suatu kesimpulan yang sama, bahwa manusia dan masyarakatnya dikuasai juga oleh hukum-hukum yang teliti dan pasti, tidak ada bedanya dengan alam di luar manusia. Ilmu-ilmu ini mengungkapkan bahwa kehidupan dan peri¬laku manusia diatur oleh ketentuan-ketentuan yang ada di luar kemauan manusia itu, seperti hukum-hukum ekologi (pengaruh lingkungan), dorongan naluriah, warisan genetik, kekuatan supranatural, dan hukum sejarah.

Di balik penemuan-penemuan ilmiah tersebut di atas muncul suatu teori ilmiah baru yang disebut “deteminisme ilmiah” (al-jabriyah al-‘ilmiyah) yang melukiskan manusia sebagai pion-pion nasib (sesuatu yang sudah ditentukan semula). Stoicisme melihat bahwa manusia bahkan seluruh alam telah ditentukan secara rasional oleh akal universal (ini istilah filsafat yang berarti kekuatan yang merupakan sumber pengaturan alam semesta). Menurut teori ini, tugas manusia hanyalah memahami dan menempatkan dirinya dalam kerangka akal universal tersebut.

Adanya sejumlah ketentuan yang pasti dan berlaku sebagai hukum yang mengatur segala makhluk dan gerak di alam raya ini, biasanya dalam bahasa ilmu pengetahuan disebut ‘natuurwet’ atau hukum alam. Di dalam bahasa Al¬quran, kadangkala disebut “sunnatullah” seperti dalam surat al-Fathir ayat 43: Maka sekali-kali kamu tidak akan men¬dapat pergantian bagi sunnatullah itu dan sekali-kali kamu tidak pula menemui penyimpangan dari sunnatullah itu.

Dalam terminologi teologi, hal semacam itu termasuk dalam kategori qadha dan qadar (takdir). Namun istilah ini lebih mendominasi hal-hal yang bersangkutan dengan perilaku manusia, dan seringkali secara kurang hati-hati dianggap identik dengan faham Jabariah (teori determinisme).

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, August 13, 2008

Pandangan Hidup Bangsa Indonesia
Keragaman budaya bangsa Indonesia diungkapkan dengan kalimat Bhinneka Tunggal Ika yang mengandung arti, meskipun bangsa Indonesia itu terdiri dari berbagai suku bangsa, budaya dan bahasa, tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia itu satu sebagai bangsa. Secara konsepsional, kera¬gaman budaya itu merupakan asset bangsa, oleh karena itu perbedaan tidak harus dipersoalkan, sepanjang perbedaan itu dalam kerangka persatuan. Pancasila sering disebut sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Artinya nilai-nilai dari sila-sila Pancasila memang digali dari khazanah kebudayaan bangsa. Dari itu maka setiap pandangan hidup warga bangsa dijamin eksistensinya. Setiap warga negara dijamin oleh Undang-Undang untuk menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Dalam perjalanan bangsa, pandangan Komunismepun pernah diakomodir dalam poros Nasakom. Hanya karena kesalahan PKI yang menggunakan kekerasan dalam peristiwa G.30.S lah yang menyebabkan faham komunis terlarang secara konstitusional di Indonesia.

Data sejarah bangsa menunjukkan bahwa aspirasi Islam sebagai way of life tak pernah berhenti terlibat dalam pergumulan ideologis, termasuk dalam proses perumusan UUD 45, dan kesemuanya berjalan sangat wajar karena mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam. Oleh karena itu tak bisa dipungkiri bahwa di dalam Pancasila sebagai pan¬dangan hidup bangsa sebenarnya terkandung butir-butir pandangan hidup Islam.

Berbicara mengenai Islam sebagai pandangan hidup dapat terungkap jika kita dapat memahami masalah HIDUP yang pada garis besarnya meliputi tiga permasalahan, yaitu (a) pandangan hidup, (b) Pola Hidup, dan (c) Etika hidup.

Pandangan Hidup
Ummat manusia sepanjang sejarahnya mencatat banyak ragam pandangan hidup, baik yang dikenal sebagai filsafat maupun yang dikenal sebagai ajaran leluhur, maupun yang dikenal sebagai agama/ajaran Tuhan. Dalam Islam, pandangan hidup itu disebut aqidah (suatu keyakinan yang mengikat batin ma¬nusia). Karena mengikat batin maka aqidah menjadi pegangan hidup. Aqidah Islam memperkenalkan kepada manusia tentang Tuhan, tentang alam raya dan tentang makhluk manusia, dimana setiap individu ter¬masuk di dalamnya.

Semua manusia secara naluriah mengenal dirinya dan alam sekitarnya sampai kepada alam raya. Secara naluriah manusia juga mengenal Tuhan (sekalipun dalam berbagai macam persepsi) dan pengenalannya itu saat menjadi keyakinan, memberikan pandangan hidup tertentu yang dijadikannya pegangan hidup bagi dirinya. Pandangan hidup yang diajarkan Islam menjelaskan kepada manusia bahwa ke-HIDUP-an itu adalah sesuatu yang amat mulia dan amat berharga. Hidup yang dianugerahkan Allah kepada manusia merupakan modal dasar untuk memenuhi fungsinya dan menentukan harkat dan martabatnya sendiri.

Oleh karena itu pesan-pesan al Qur’an dan hadis Rasulullah sendiri memberikan banyak peringatan kepada manusia supaya menggunakan modal dasar tersebut secermat mungkin dan jangan sekali-kali menyia-nyiakannya, karena ia sangat terbatas, baik waktunya maupun ruangnya. Lebih jauh lagi dijelaskan tentang adanya dua jenis ke-HIDUP-an, yaitu kehidupan manusia di bumi yang sangat terbatas ruang dan waktunya, dan karena keterbatasannya itu ia tidak bersifat kekal abadi, namun sifatnya nyata sehingga setiap orang mudah mengenalnya dan merasakannya.

Pada dasarnya kehidupan ini menyenangkan bagi manusia, karena bumi dan alam sekitarnya sudah dipersiapkan sedemikian rupa oleh Allah untuk mendukung ke¬hidupan manusia. Ciri kesenangan inilah kemudian mendominasi pandangan hidup kebanyakan orang sehingga menjadikan “kesenangan” itu sebagai identifikasi dari kehidupan itu sendiri. Pandangan yang demikian itu direkam dalam surah al Hadid; di mana digambarkan bahwa yang dianggap kehidupan yang sesungguhnya ialah; permainan, senda gurau, kemegahan, perlombaan memperkaya diri, dan mem¬perbanyak keturunan/pendukung (Q/57:20). Hal ini lebih diperjelas dalam surat Ali `Imran di¬mana di¬gambarkan bahwa manusia menjadi tertarik mencintai segala yang menggiurkan, diantaranya; wanita-wanita, putera-puteri, emas dan perak yang bertumpuk-tumpuk, kendaraan pilihan, ternak dan sawah ladang. Semua itu adalah kenyataan-kenyataan yang sudah sangat dikenal oleh semua manusia, dan sebagian mereka sempat merasakan nikmatnya.

Pada dasarnya hal itu semua tidak pada tempatnya untuk dibenci atau diremehkan, karena kesemuanya itu adalah sebahagiaan dari nikmat Allah yang dipersiapkan untuk mendukung kehidupan manusia. Namun pemanfaatannya harus sesuai dengan petunjuk penggunaannya, dan ini terkait dengan pola hidup.

Selanjutnya jenis kehidupan lain yang diperke¬nalkan Islam adalah kehidupan di alam akhirat yang mutunya lebih tinggi, karena tidak terbatas dan bersifat kekal abadi. Segala kenikmatan yang ada di dalam kehidupan akhirat adalah lebih sempurna. Kedua jenis kehidupan tersebut itu bukan berdiri sendiri-sendiri, tetapi yang kedua merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari yang pertama. Alam akhirat merupakan tempat dan saat perhitungan akhir, dan penentuan nilai tetap bagi setiap manusia yang pernah menjalani kehidupan di alam dunia. Alam akhirat bukan lagi tempat dan waktu bekerja dan berbuat, tetapi hanyalah tempat dan saat menerima hasil akhir kerja dan perbuatan yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu selama kita hidup di bumi ini. Dengan demikian, nyatalah bahwa kehidupan sebelumnya itu (yakni di dunia) sangat penting artinya. Kesempatan bekerja dan berbuat hanyalah didapatkan dalam kehidupan di alam dunia ini saja. Jadi benar-benarlah bahwa kehidupan di alam dunia ini merupakan modal dasar bagi manusia.

Read More
posted by : Mubarok institute
Hakekat Dakwah
Berbicara tentang hakikat adalah berbicara sesuatu secara mendasar. Seorang penyanyi dangdut dengan lenggak lenggok erotik di atas panggung menyanyikan lagu ajakan berbakti kepada Tuhan, adakah ia seorang da’i ? Jawabannya jelas, yaitu bahwa penyanyi itu membawakan lirik-lirik dakwah, tetapi pada hakikatnya ia tidak sedang ber¬dakwah. Dakwah bukan hanya bunyi kata-kata, tetapi ajakan psikologis yang bersumber dari jiwa da’i. Gebyar-gebyar aktifitas dakwah banyak kita jumpai, tetapi hakikinya, itu belum tentu suatu dakwah, sebaliknya boleh jadi justeru kontra dakwah. Lalu dakwah itu apa? Hakikat dakwah bisa dilihat dari sang da’i, bisa juga dari makna yang dipersepsi oleh masyarakat yang menerima dakwah.

1. Dakwah sebagai tabligh. Tabligh artinya menyampaikan, orangnya disebut muballigh. Dakwah sebagai tabligh wujudnya adalah muballigh menyampaikan materi dakwah (ceramah) kepada masyarakat. Materi dakwah bisa berupa keterangan, informasi, ajaran, seruan atau gagasan. Tabligh biasanya dilakukan dari atas mimbar, baik di masjid, di majlis taklim atau di tempat lain.

Pusat perhatian tabligh adalah pada menyampaikan, illa al balagh, setelah itu bagaimana respond masyarakat sudah tidak lagi menjadi tanggungjawab muballigh. Bagi masyarakat, tabligh yang tidak jelas hanya bermakna bunyi-bunyian, tabligh berupa informasi akan mengha¬silkan pengertian, tabligh berupa renungan bisa menjadi penghayatan, dan dakwah berupa gagasan bisa menggelitik masyarakat untuk terus berfikir. Bagi muballigh, menyampaikan materi pesan Islam yang ia sendiri tidak faham, pada hakikatnya ia adalah kaset yang tak berjiwa. Kekuatan tabligh adalah jika sang muballigh benar-benar menjadi fa‘il (subyek), menjadi pelaku yang merasa ter¬panggil tanggung jawabnya untuk melakukan tabligh. Banyak muballigh yang tidak menjadi fa‘il, tetapi menjadi maf‘ul (obyek), Ia tidak memiliki program tetapi diprogram oleh orang lain. Ia hanya bekerja memenuhi pesanan pasar, yakni menunggu undangan tabligh. Fa‘il jelas prestasinya, tetapi maf‘ul susah diukur prestasinya.

2. Dakwah Sebagai Ajakan. Orang akan tertarik ke¬pada ajakan jika tujuannya menarik. Oleh karena itu da’i harus bisa merumuskan tujuan kemana masyarakat akan diajak. Ada dua tujuan, makro dan mikro. Tujuan makro cukup jelas yaitu mengajak manusia kepada kebahagiaan dunia akhirat. Da’i dan muballigh pada umumnya tidak pandai merumuskan tujuan mikro, tujuan jangka pendek yang mudah terjangkau, yang menarik hati masyarakatnya.

3. Dakwah sebagai pekerjaan menanam. Berdakwah juga mengandung arti mendidik manusia agar mereka bertingkahlaku sesuai dengan nilai-nilai Islam. Mendidik adalah pekerjaan menanamkan nilai-nilai ke dalam jiwa manusia. Nilai-nilai yang ditanam dalam dakwah adalah keimanan, kejujuran, keadilan, kedisiplinan, kasih sayang, rendah hati dan nilai-akhlak mulia lainnya. Laiknya pekerjaan menanam, benihnya harus unggul, tanahnya harus subur, disiram dan di¬jauhkan dari hama serta butuh waktu lama hingga benih itu tumbuh berkembang menjadi rumput hijau yang indah atau menjadi pohon tinggi yang rindang dan berbuah. Guru di sekolah (dan lembaga pendi¬dikkannya) adalah da’i yang berdakwah berupa menanam. Sudah barang tentu tidak semua guru menjadi da’i. Guru yang da’i adalah guru yang sudah bisa menjadi pendidik, bukan guru yang sekedar menjadi pengajar. Pengajar hanya mentransfer pengetahuan, sedangkan pendidik mentranfer pola tingkah laku atau kebudayaan.

4. Dakwah berupa akulturasi budaya. Dakwahnya Wali Songo di Pulau Jawa merupakan contoh konkrit dakwah akulturasi budaya. Para Wali tidak mengubah bentuk-bentuk tradisi masyarakat Jawa, tetapi mengganti isinya. Tradisi selamatan tiga hari, tujuh hari, seratus hari, dulunya adalah tradisi masyarakat Jawa jika ada keluarganya yang me¬ninggal dunia. Dalam acara itu diisi dengan begadang, makan, judi dan minuman keras. Oleh para wali, bentuknya dipertahankan, makannya dipertahankan tetapi yang maksiat diganti dengan hal-hal yang Islami, yakni membaca kalimah-kalimah tahlil. Makananyapun diganti berupa nasi tumpeng yang melambangkan tauhid, dan setiap orang pulang dari tahlilan dengan membawa brekat (berkah). Dengan akulturasi budaya, orang Jawa tanpa disadari kemudian telah menjadi Islam. Kelemahannya, sinkretisme tidak bisa dihindar.

5. Dakwah berupa pekerjaan membangun. Secara makro dakwah juga bermakna membangun, membangun apa? Sebagaimana dicontohkan dalam sejarah, dakwah juga bisa dimaksud untuk membangun tata dunia Islam (daulah Islamiyah), lebih kecil lagi membangun negara Islam (nasional), lebih kecil lagi membangun masyarakat Islam atau Islami, dan lebih kecil lagi membangun komunitas Islam. Dalam membangun sering tak bisa menghin¬dar dari membongkar bangunan lama, dan ini sering bermakna konflik. Laiknya pekerjaan mendirikan bangunan, dakwah dalam bentuk membangun harus melalui tahapannya. Pertama ada desain atau maket dari bangunan yang akan didirikan. Kedua, harus dilakukan uji tata guna tanah (land use), dalam hal ini budaya setempat, yang akan menjadi pijakan berdirinya sebuah bangunan. Pekerjaan pertama dan kedua bisa bertukar tempat urutannya, artinya ada konsep dulu baru mencari tempat atau konsep dibangun sesuai dengan keadaan tanah. Ketiga, harus ada tenaga ahli, dari arsitek hingga kenet tukang batu, dan keempat tersedianya bahan bangunan. Membangun negara Islam tanpa konsep yang telah diuji sahih hanya akan melahirkan madlarrat, sebagaimana juga membangun tanpa tenaga ahli dan biaya. Bagi kaum muslimin Indonesia, yang paling relevan adalah membangun komunitas Islam dan masyarakat Islam atau masyarakat Islami, karena Indonesia tanahnya (budayanya) kondusif, konsepnya tinggal menyempurnakan, tenaga SDM nya relatif ada dan biaya tidak terlalu mahal. Wallohu a‘lam.

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, August 10, 2008

Keadilan Sebagai Prinsip Hukum Alam
Keadilan adalah kata jadian dari kata adil yang terambil dari bahasa Arab ‘adala - ‘adl. Dalam bahasa Arab kata ‘adl mengandung arti “sama”, terutama dalam hal yang bersifat immateriil. Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata adil diartikan sebagai (a) tidak berat sebelah/tidak memihak, (b) berpihak kepada kebenaran, dan (c) sepatutnya/tidak sewenang-wenang. Jadi dibalik kata adil terkandung arti memperlakukan secara sama, tidak berpihak kecuali atas dasar prinsip kebenaran dan kepatutan, atau seperti yang disebut dalam ungkapan bahasa Arab, wadl‘u assyai’ fi mahallihi, artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya. Kata adil mengisyaratkan adanya dua pihak atau lebih yang harus diperlakukan secara “sama”.
Dalam al Qur’an. Keadilan disebut dengan kata al ‘adl, al qisth dan al mizan.


Kata al qisth mengandung arti “bagian” yang wajar dan patut, sehingga pengertian sama tidak harus persis sama, tetapi bisa beda bentuk asal substansinya sama. Sedangkan kata al mizan mengandung arti seimbang atau timbangan, merujuk pengertian bahwa keadilan itu mendatangkan harmoni (tidak jomplang) karena segala sesuatu diperlakukan atau ditempatkan sesuai dengan semestinya. Alam tata surya misalnya, diciptakan Tuhan dengan mengetrapkan prinsip keseimbangan, wassama a rafa‘aha wa wadla‘a al mizan (Q/55:7). Dengan keseimbangan itu maka alam berjalan harmoni, siang, malam, kemarau, musim hujan, musim panas, musim dingin, gerhana, yang dengan itu manusia bisa menikmati keteraturan keseimbangan itu dengan menghitung jam, bulan, tahun, cuaca, arah angin dan sebagainya. Dengan keseimbangan (mizan) alam ini , manusia kemudian menyadari tentang ozon, efek rumah kaca dan sebagainya.

Demikian juga keseimbangan yang ada pada tata bumi, struktur tanah, resapan air, habitat makhluk hidup, kesemuanya diletakkan dalam sistem keadilan, yakni sistem yang menempatkan seluruh makhluk dalam satu siklus dimana kesemuanya diperlakukan secara “sama”, proporsional dan sepantasnya. Semua makhluk hidup sampai yang sekecil-kecilnya disediakan rizkinya oleh sistem tersebut. Sistem keadilan dan harmoni itu membuat semua makhluk memiliki makna atas kehadirannya. Kotoran manusia yang oleh manusia dipandang najis, menjijikkan dan membahayakan kesehatannya, ternyata ia sangat bermakna bagi ikan gurame di kolam, yang dengan menu najis itu ikan gurame menjadi gemuk. Kehadiran ikan gurame yang gemuk selanjutnya menjadi sangat bermakna bagi manusia, karena dibutuhkan gizinya.

Allah menciptakan dan mengelola alam ini dengan keadilan sebagai sunnatullah, maka Allahpun mengetrapkan prinsip keadilan ini pada kehidupan manusia. Hukum sunnatullah itu bersifat pasti dan tidak bisa diganti, oleh karena itu siapapun yang berlaku adil maka dialah yang berhak menerima buahnya berupa kehidupan yang harmoni, sebaliknya siapapun yang menyimpang dari prinsip keadilan (zalim) ia akan memetik buahnya berupa ketidak harmonisan.

Sunnatullah berlaku pada alam, pada tubuh manusia, pada kehidupan indifidu manusia, pada kehidupan keluarga, kehidupan masyarakat, kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu ada perintah untuk berlaku adil meski kepada diri sendiri, berlaku adil kepada orang yang menjadi tanggung jawabnya dan ada juga keharusan menegakkan keadilan sosial.

Read More
posted by : Mubarok institute
MISTERI KEADILAN TUHAN
Bahwa Tuhan Maha Adil, secara akademik tak seorangpun yang menolak, tetapi bahwa banyak individu-individu yang secara diam-diam mempertanyakan keadilan Tuhan juga tak bisa dibantah. Pembicaraan tentang keadilan Tuhan bukanlah hal baru. Persoalan ini hadir sejak manusia mengenal baik buruk. Pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa ada kejahatan, ada kemiskinan, ada penyakit, atau pertanyaan mengapa si A yang baik dan pintar nasibnya buruk sedang si B yang jahat dan bodoh selalu sukses usahanya ?

Sesungguhnyalah bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas menjadi sangat musykil jika jawabannya dimaksud untuk memuaskan semua nalar, tetapi jika ingin mencari hikmah dari suatu peristiwa yang tidak menyenangkan, maka boleh jadi suatu peristiwa yang semula dinilai negatip, lama-kelamaan akan berubah menjadi positip setelah kita bisa mendudukkan peristiwa itu dalam konteks yang lebih panjang. Suatu golongan meratap-ratap ketika ketuanya yang terpilih menjadi presiden dijatuhkan oleh lawan di tengah masa jabatannya. Segala macam usaha, bahkan doa-doa andalan istighasah pun sudah dipanjatkan untuk mempertahankan kedudukan sang presiden. Kecewa, sedih, marah dan dendam bercampur aduk dalam hati kelompok itu mengiringi jatuhnya sang presiden. Tetapi setelah setahun berlalu, setelah berbagai peristiwa terjadi, nampak bahwa dibalik hal yang mengecewakan itu terdapat hikmah yang luar biasa besarnya.

Sebagian ulama menyatakan bahwa yang di-namakan kebaikan atau keburukan dalam perspektip diatas sebenarnya tidak ada, atau paling tidak adanya itu hanya dalam nalar manusia yang memandang secara parsial, karena segala hal yang datang dari Tuhan itu pastilah kebaikan., karena sebagaimana disebutkan al Qur’an, Dialah yang membuat segala sesuatu dengan sebaik-baiknya (Q/32:7). Keburukan itu ada hanya karena keterbatasan pandangan manusia saja. Segala sesuatu sebenarnya tidak buruk, tetapi nalar manusia yang terbatas itulah yang mengiranya buruk. Nalar tidak dapat menembus semua dimensi. Seringkali ketika seseorang memandang sesuatu secara mikro, hal itu dinilainya buruk dan jahat, tetapi jika dipandang secara makro dan menyeluruh, justeru hal itu me-rupakan unsur keindahan. Tahi lalat jika dilihat secara mikro, yakni tahi lalat itu sendiri maka pasti ia nampak buruk, tetapi jika dilihat dalam kerangka wajah pemiliknya, maka tahi lalat itu justeru bisa menjadi faktor utama kecantikan wajah pemiliknya. Sama halnya ketika kita melihat orang yang kakinya di-potong, terasa ada kekejaman di dalamnya, tetapi jika kita tahu bahwa yang mengampputasi itu dokter sebagai upaya penyelamatan hidup orang itu, maka kita bisa berkata, untung ada dokter yang sempat mengamputasinya, dan di dalamnya ada nuansa terima kasih kepada yang memotong kaki. Oleh karena itu kita tidak boleh memandang kebijaksanaan Allah secara mikro, atau, sekurang-kurangnya ketika kita belum bisa memahami hal itu, kita harus meyakini bahwa dibalik itu ada hikmah tersembunyi.

Perhatikan bagaimana al Qur’an membimbing kita melihat masalah, seperti yang tersebut dalam surat al Baqarah ayat 216; …..Boleh jadi engkau membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu, dan boleh jadi engkau menyenangi sesuatu padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui (Q/2:216).
Renungkan pula bagaimana proses yang mengantar manusia (dan makhluk lain) pada kebahagiaan, ternyata di sana ada pihak yang harus menjadi korban. Pesta perkawinan yang sangat membahagiakan ternyata harus didukung oleh pengorbanan banyak hewan yang harus disembelih. Kemerdekaan suatu bangsa juga harus didukung oleh pengorbanan sebagian dari warganya, yakni dengan gugurnya para pahlawan di medan perang. Disadari atau tidak, sebenarnya setiap pribadi harus bersedia berkorban demi kebahagiaan bersama, dan untuk itu harus ada diantara mereka yang bersedia menjadi korban demi kebahagiaan makhluk secara keseluruhan. Pengor-banan itu merupakan syarat kesempurnaan jenis makhluk, termasuk manusia.

Korban (yang mengalami “keburukan”) harus ada demi mewujudnya kebaikan dan keindahan. Suatu bahaya yang mencekam ternyata melahirkan keindahan berupa munculnya orang-orang pemberani yang berhasil mengusir bahaya itu. Pengalaman menderita sakit parah ternyata bisa mendatangkan rasa keindahan, yakni ketika merasakan betapa nikmatnya kesehatan. Kesabaran dipuji orang, tetapi apa artinya kesabaran jika tidak ada malapetaka? Nah, siapa yang harus mengalami semuanya itu jika bukan makhluk?. Jika penderitaan itu terjadi karena kesalahan, maka hal itu sudah setimpal dengan ulahnya, sedangkan jika seseorang tidak bersalah tetapi menjadi korban, maka pengorbanan manusia akan dibalas oleh Allah dengan ketinggian derajat di akhirat (Q/2:155-157) .

Menurut al Qur’an, Allah memberikan potensi kepada manusia untuk mampu memikul kesedihan dan melupakannya. Dalam surat at Taghabun disebutkan : ….”Tidak satupun petaka yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia (Allah) akan memberi petunjuk kepada hatinya, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (Q/64:11).

Dapat disimpulkan bahwa untuk memahami tujuan keberadaan dirinya, manusia harus bekerjasama memikul bencana. Tanpa memahami kerjasama itu maka manusia tidak akan mampu memahami makna kehadirannya sebagai manusia.

Tuhan Maha Sempurna, sementara nalar manusia tidak sempurna. Keadilan Tuhan adakalanya dapat difahami oleh nalar manusia dan seringkali tidak. Kita pernah diributkan oleh lirik lagu yang mengatakan bahwa takdir itu kejam, padahal takdir Tuhan pastilah adil. Persoalan keadilan Tuhan dalam sunnatullah memang bukan problem nalar, tetapi problem rasa, sebagai akibat dari keinginana manusia untuk selalu mendapatkan yang terbaik untuk dirinya, keluarganya atau kelompoknya saja hingga melupakan yang lain. Jika problemnya demikian maka yang mampu menanggulanginya adalah rasa juga. Disinilah agama dan keyakinan berperan besar. Wallohu a‘lam bissawab.

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, August 04, 2008

Bagaimana Cara Bertaubat?
Dalam menempuh perjalanan hidup, ada orang yang dapat dimisalkan dengan (1) orang buta tetapi ia merasa tidak memerlukan penuntun, dan (2) orang yang sehat penglihatannya, tetapi bahkan ia selalu berhitung cermat kemana langkah akan diayunkan.

Dalam perspektif keberagamaan, juga ada (1) orang yang rendah langitnya atau sempit dadanya. Dalam setiap hal ia membutuhkan petunjuk tekstual dari al Qur’an atau hadis, tetapi ketika harus menangkap substansi masalah, ia malah ke¬bingungan. Orang seperti ini meskipun usianya panjang tetapi langkah hidupnya tetap pendek. (2) ada juga orang yang beruntung memiliki dada yang lapang. Dari kelapangannya itu ia dapat menangkap cahaya ketuhanan, cahaya iman dan cahaya al Qur’an, yang oleh karena itu ia dengan mudah dapat me¬lampaui “jurang-jurang” kehidupan tanpa harus setiap saat membuka teks al Qur’an atau hadis. Karena ia dapat menangkap substansi masalah, maka ia dapat cepat mengambil keputusan, termasuk keputusan untuk mengakui kesalahannya, dan keputusan untuk segera bertaubat. Orang yang gelap hati sering ber¬fikir untuk menunda taubat meski ia sudah berada di ambang bencana, sedang orang yang tajam mata hatinya, ia merasa tersiksa oleh perbuatan dosa sehingga bersegera untuk bertaubat seperti bersegera¬nya orang yang ingin cepat sembuh dari rasa sakit.


Taubat adalah penyesalan yang timbul dari kesadaran akan beratnya resiko dosa, yang mendorong untuk melakukan perbuatan sebagai koreksi atas kesalahan yang dilakukan. Ada orang yang kesadarannya labil. Semula ia sadar telah berbuat dosa, tetapi lama kelamaan penyesalannya berkurang dan akhirnya aktifitas taubatnya berhenti. Taubat akan menjadi sempurna jika kesadarannya stabil, penyesalannya juga stabil dan pertaubatannya kekal. Ciri dari penyesalan yang benar adalah kelembutan hati dari air mata. Orang-orang ahli taubat (tawwabin), hatinya lembut (araqqu af’idatan) dan airmatanya mudah berlinang dan menetes. Dalam salat terkadang ia menangis, dalam membaca atau mendengarkan bacaan al Qur’an matanya berkaca-kaca, bahkan ketika duduk sendirian bertafakkur, air matanya berlinangan membayangkan keagungan Tuhan.

Dosa itu sama dengan penyakit fisik, ia melebar jika tidak diobati. Sebagaimana penyakit fisik memerlukan pengobatan dengan lawannya, misalnya penyakit panas perlu dikompres pakai es yang dingin, penyakit kedinginan perlu diselimuti dan memakan makanan atau obat yang menghangatkan, maka memelihara taubat caranya juga dengan melakukan lawan dari dosa yang dilakukan. Secara “mekanis”, perbuatan baik yang dilakukan secara kontinyu akan menghi¬langkan dosa-dosa (maksiat) yang diperbuat seseorang, inna al hasanat yudzhibna as sayyi’at (Q/11:114).
Bertaubat dari dosa terlalu banyak mendengarkan musik hedonis misalnya, adalah dengan banyak membaca al Qur’an atau berzikir. Sedangkan bertaubat dari perbuatan bercanda di masjid misalnya, adalah dengan melakukan duduk I‘tikaf di masjid. Orang yang me¬megang al Qur’an dalam keadaan hadas, taubatnya dengan menghormati, membaca dan mencium mushaf al Qur’an. Sedangkan bertaubat dari dosa meminum minuman keras adalah dengan bersedekah minuman yang halal kepada orang-orang yang membutuhkan.

Adapun bertaubat dari dosa sosial, yakni dosa yang mengandung implikasi merugikan orang lain (madzalim al ‘ibad), maka pertaubatanya, disamping mohon ampun kepada Tuhan, disesuaikan juga dengan di¬mensi-dimensinya; menyangkut jiwa, harta, kehor¬matan atau hati, yang telah diatur oleh syari’at, antara lain:

1. Dosa dari perbuatan membunuh orang tanpa sengaja, maka disamping menyesali ketidak sengajaanya, maka ia harus membayar diat (semacam ganti rugi) yang dibayarkan kepada ahli waris korban. Sedangkan dosa membunuh secara sengaja, maka disamping bertaubat kepada Tuhan, harus ditegakkan syari’at berupa hukum qisas, hukuman balas yang setimpal dengan perbuatannya, membunuh, dihukum mati. Penyesalan atas perbuatan yang menyebabkan hilangnya nyawa manusia harus diabadikan dengan perbuatan yang menghindarkan manusia dari kecelakaan.

2. Dosa mencuri, maka disamping harus mengembalikan harta yang dicuri maka taubatnya pencuri harus ikhlas menerima hukuman had – hudud dari syari’at, jika mahkamah memutuskan bahwa pencurian itu memenuhi syarat untuk dilakukan hukuman had berupa potong tangan.

3. Dosa korupsi, taubatnya harus mengembalikan harta yang dikorupsi ke asalnya, disamping penyesalan dan hukuman lainnya (penjara atau pemecatan). Setelah harta korupsi dikembalikan, maka untuk menyempurnakan taubatanya, ia harus banyak bersedekah dengan harta yang halal kepada masyarakat yang membutuhkan, bisa secara langsung (konsumptif) bisa juga secara tidak langsung (produktif).

4. Dosa kepada manusia yang menyangkut HAM, taubatnya harus dengan meminta maaf dan ishlah yang disepakati dengan korban; dan selanjutnya berbuat kebaikan kepada orang-orang sejenis korban HAM lainnya. Jika korban HAM sudah tidak bisa ditemui, maka komitmen ishlahnya bisa dialihkan kepada ahli waris atau masyarakat lain (kemanusiaan pada umumnya).

Read More
posted by : Mubarok institute
Taubat Nasuha
Taubat adalah satu ungkapan yang didalamnya terkandung unsur-unsur yang saling berkait; terdiri dari ilmu, keadaan dan perbuatan. Orang bertaubat karena (1) memiliki ilmu atau pengetahuan tentang resiko dosa, yaitu satu perbuatan yang bisa merusak hubunganya dengan Tuhan, oleh karena itu ia menyesal, sedih dan tersiksa oleh dosanya itu. (2) dari penyesalan itu lahir satu keadaan dimana seseorang ingin melakukan sesuatu yang dapat menghapus keterlanjuran masa lalu, agar bisa tetap eksis sekarang dan mempunyai prospek masa depan. (3) keinginan itu mendorongnya untuk melakukan sesuatu, yakni amaliah taubat, seperti membaca istighfar sekurang-kurangnya, atau mengembalikan hak orang lain yang terlanjur diambil secara haram, atau menebus kesalahan itu dengan perbuatan lain yang setara atau lebih baik.

Taubat ada yang sungguhan dan ada yang kurang sungguh-sungguh. Taubat yang sungguh-sungguh, dalam Islam disebut dengan istilah taubat nasuha. Kalimat nasuha mengandung arti bersih dari kepalsuan dan cacat atau campuran benda asing. Jadi taubat nasuha adalah taubat yang membersihkan diri dari segala kepalsuan, kekurangan dan kerusakan serta menempatkan dirinya pada sisi-sisi yang lebih sempurna. Ada beberapa definisi yang dirumuskan oleh para ulama:

1. Taubat nasuha adalah berhenti dari perbuatan dosa kemudian tidak pernah lagi mengu¬langinya seperti tidak mungkinnya air susu kem¬bali ke dalam payudara seorang ibu (Umar bin Chattab).

2. Taubat nasuha adalah menyesali dosa yang telah lalu dan kemudian secara mutlak tidak pernah kembali kepadanya (Imam Hasan Basry).

3.Taubat Nasuha ialah mohon ampun dengan lisan, menyesal dengan hati, dan menahan diri dengan angauta badan (al Kalaby).

4. Taubat Nasuha ialah memohon ampun dengan lisan, menolak dengan badan, bertekad untuk tidak kembali, dan menghindar dari keburukan teman-teman (Muhammad bin Ka‘ab al Qurdzy).

Menurut Ibn al Jauzy, di dalam taubat nasuha terkandung tiga unsur:

1.Memandang sama semua perbuatan dosa dan menghabiskannya tanpa ada yang tertinggal.

2.Membulatkan tekad sepenuh keyakinan untuk menghadapinya sehingga tiada lagi keraguan, tidak merasa hina, tidak menunda, tetapi secara bulat merasa harus bersegera melakukan taubat.

3.Membersihkan diri dari segala penyakit yang mengotori keikhlasan taubatnya, dan melakukan taubatnya itu murni semata-mata karena takut kepada Allah, rindu akan anugerah-Nya, ngeri terhadap murka-Nya, tidak seperti orang yang bertaubat karena ingin mempertahankan ke¬dudukan sosialnya, atau karena ingin dipuji orang atau malu kepada orang lain.
Taubat Nasuha itu diperlukan jika seseorang melakukan dosa besar, sedangkan dosa kecil akan terhapus dengan melakukan amal kebaikan. Jenis-jenis dosa yang hapusnya harus melalui taubat nasuha adalah: kufur, syirik, nifaq, fasiq, durhaka, dosa murni (itsm), melawan kebenaran (‘udwan) , perbuatan yang jelas kejinya (fahsya’), kejahatan tersembunyi (munkar), kezaliman, mencatut nama Tuhan dan dosa dari perilaku menyimpang. Wallohu a‘lam.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger