Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Thursday, September 18, 2008

Islam & Pergumulan Budaya
Pendahuluan

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa agama Islam adalah agama langit yang kemudian “membumi”. Ketika masih di “langit” Islam adalah agama yang sempurna dan mutlak benar, tetapi ketika “membumi” maka ia mengalami proses pembudayaan atau pergumulan budaya dimana ada peran manusia yang tidak sempurna sehingga sebagai agama bumi Islam tidak lagi sebagai agama yang mutlak benar, tetapi memiliki variasi tingkat kedekatan dengan kebenaran. Dengan demikian maka ada kebudayaan Islam yang sangat dekat dengan syari`at (budaya syar`iy) disamping ada kebudayaan yang hanya merupakan sempalan saja dari Islam, karena ia lebih dekat ke kebudayaan lokal setempat. Di sisi lain ada kebudayaan ummat Islam yang malah tidak ada relevansinya dengan Islam.

Nilai Budaya
Banyak definisi tentang kebudayaan, tetapi saya memilih pandangan yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah konsep, keyakinan, nilai dan norma yang dianut masyarakat yang mempengaruhi perilaku mereka dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya. Disamping sebagai fasilitas, alam adalah tantangan yang harus diatasi. Berbeda dengan hewan, manusia tidak puas hanya dengan apa yang terdapat dalam alam kebendaan. Dengan konsep yang dimiliki manusia berusaha mengolah alam ini , dan dengan kesadaran dan cita-citanya manusia merumuskan apa yang bermakna dan apa yang tidak bermakna dalam kehidupannya. Sekurang-kurangnya ada enam nilai yang amat menentukan wawasan etika dan kepribadian manusia sebagai indifidu maupun sebagai masyarakat, yaitu : ekonomi, solidaritas, agama, seni, kuasa dan teori.

1. Nilai teori. Ketika manusia menentukan dengan obyektip identitas benda-benda atau kejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga menjadi pengetahuan, manusia mengenal adanya teori yang menjadi konsep dalam proses penilaian atas alam sekitar.

2. Nilai ekonomi. Ketika manusia bermaksud menggunakan benda-benda atau kejadian-kejadian, maka ada proses penilaian ekonomi atau kegunaan, yakni dengan logika efisiensi untuk memperbesar kesenangan hidup. Kombinasi antara nilai teori dan nilai ekonomi yang senantiasa maju disebut aspek progressip dari kebudayaan.

3. Nilai agama. Ketika manusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan dan kebesaran yang menggetarkan dimana di dalamnya ada konsep kekudusan dan ketakziman kepada yang Maha Gaib, maka manusia mengenal nilai agama.

4. Nilai seni. Jika yang dialami itu keindahan dimana ada konsep estetika dalam menilai benda atau kejadian-kejadian, maka manusia mengenal nilai seni. Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-sama menekankan intuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek ekpressip dari kebudayaan.

5. Nilai kuasa. Ketika manusia merasa puas jika orang lain mengikuti fikiranya, norma-normanya dan kemauan-kemauannya, maka ketika itu manusia mengenal nilai kuasa.

6. Nilai solidaritas. Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi cinta, persahabatan dan simpati sesama manusia, menghargai orang lain, dan merasakan kepuasan ketika membantu mereka maka manusia mengenal nilai solidaritas.

Enam nilai budaya itu merupakan kristalisasi dari berbagai macam nilai kehidupan, yang selanjutnya menentukan konfigurasi kepribadian dan norma etik individu maupun masyarakat. Nilai apa yang paling dominan pada seseorang atau sekelompok orang, akan menentukan “sosok” mereka sebagai manusia budaya (al insan madaniyyun bi at thab`i). Orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai ekonomi cenderung kurang memperhatikan halal dan haram, orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai teori cenderung menjadi ilmuwan, yang lebih dipengaruhi oleh nilai kuasa cenderung tega dan nekad, yang lebih dipengaruhi oleh nilai agama dan seni cenderung menjadi sufi dan seterusnya, sehingga ada sosok orang yang materialis, seniman, pekerja sosial an sebagainya. Bisa juga ada ilmuwan yang mengabdi kepada materi, politisi yang pejuang, ulama yang rasionil, ilmuwan yang mistis dan sebagainya.

Budaya progressip akan mengembangkan cara berfikir ilmiah dan melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, sedangkan puncak dari budaya ekpressip bermuara pada kepercayaan mitologis dan mistik. Pendukung budaya progressip pada umumnya dinamis dan siap digantikan oleh generasi penerus dengan penemuan-penemuan baru, sedangkan pendukung budaya ekpressip biasanya statis atau tradisional, memandang kebudayaan sebagai sesuatu ang sudah final.

Read More
posted by : Mubarok institute
Menuju Ruhani Yang Berkualitas
Manusia adalah makhluk memiliki kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual, atau apa yang sekarang disebut IESQ. Oleh karena itu dalam meningkatkan kualitas ruhani, maka langkah-langkahnyapun harus mengikuti tahapan tiga kecerdasan tersebut.

Pertama; Dalam mensikapi permasalahan berfikirlah logis, masuk akal. Kegunaan berfikir itu untuk (a) menjawab pertanyaan, (b) untuk mengatasi problem, (c) mengambil keputusan dan (d) menciptakan hal yang baru atau kreatifitas. Orang berfikir itu ada yang berfikir nalar atau realistis, ada yang tidak realistis, ada yang evaluatip, dan ada yang berfikir kreatip.. Ada tahapan dalam berfikir, yaitu berfikir, berzikir, kemudian tafakkur dan kemudian tadabbur. Banyak orang berfikir tetapi tidak tafakkur, banyak orang berzikir, juga belum tafakkur. Puncak dari tafakkur adalah tadabbur . Kata Nabi, jika aku diam itu karena mikir, jika aku berbicara, itu karena zikir dan jika aku melihat, itu karena mengambil pelajaran (an yakuna shumty fikran, wa nuthqy dzikran , wa bashary `ibratan)

Kedua, Tajamkan perasaan dalam memahami realita, dengan pertanyaan-pertanyaan;

1. siapa sesungguhnya anda?

2. sesungguhnya anda pejuang atau parasit?

3. lebih banyak mana yang anda berikan dengan yang anda ambil?


4. benarkah anda terhormat ?

5. siapa sebenarnya yang paling berperan?

6. Dan seterusnya.

Ketajaman perasaan akan terbangun jika kita bersentuhan langsung dengan problem mendasar manusia; menyaksikan dan terjun membantu orang kelaparan, orang kesakitan, orang kesulitan. Sekedar membaca Laporan orang tentang problem orang lain biasanya hanya masuk memori (kognitip), tetapi tidak menyentuh hati (afektip) sehingga kurang mendorong pada perilaku (psikomotorik).

Ketiga, Jangan lupa sabar (EQ). Sabar adalah tabah hati tanpa mengeluh dalam menghadapi cobaan dan rintangan, dalam jangka waktu tertentu, dalam rangka mencapai tujuan. Jadi orang yang bisa sabar adalah orang yang selalu ingat kepada tujuan, karena kesabaran itu diperlukan adalah justeru demi untuk mencapai tujuan.

Orang yang tidak sabar biasanya , karena lupa tujuan akhir, ia mudah terpedaya untuk melayani gangguan-gangguan yang tidak prinsipil, sehingga apa yang menjadi tujuan terlupakan dan segalanya menjadi berantakan. Sabarpun mengenal batas waktu, oleh karena itu jika suatu ketika mengalami kegagalan, sudah diulang gagal, diulang lagi gagal lagi, maka orang yang sabar harus berfikir mencari alternatip, karena boleh jadi sumber masalahnya justeru pada keputusan awal yang kurang tepat.

Manusia dengan kualitas penyabar adalah sosok manusia yang ulet, tak kenal menyerah, tak kenal putus asa, dan tak kurang akal. Ia bukan hanya mampu mengatasi kesulitan yang datang dari luar, kesulitan tehnis misalnya, tetapi juga mampu mengatasi kesulitan yang datang dari diri sendiri, kebosanan, kemalasan atau syahwat misalnya. Al Qur’an menghargai manusia unggul yang penyabar, yakni yang sabar dan memiliki kecerdasan intelektuil, Emosionil dan Spirituil (IQ, EQ dan SQ ) , setara dengan seratus orang kafir (yang sombong, emosionil dan tak mempunyai nilai keruhanian) (Q/al Anfal, 65). Dalam keadaan normal. Al Qur’an menghargai peribadi penyabar setara dengan dua orang biasa (Q/8: 66).

Kesabaran dibutuhkan ketika (a) menghadapi musibah (b) menghadapi godaan hidup nikmat (c) dalam peperangan (d) ketika marah (e) ketika menghadapi bencana yang mencekam, (f) ketika mendengar gossip dan fitnah (h) ketika ada peluang hidup mewah, dan (I) ketika hanya menerima sedikit.


Keempat, Nyalakan cahaya nurani (SQ). Api itu menyala jika ada bahan bakarnya dan jika tidak tertutup. Fitrah manusia memiliki potensi iman yang memancar dalam jiwanya, tetapi seringkali tidak bisa menyala karena tertutup oleh daki. Daki yang menghalangi cahaya adalah (a) materi. Orang yang hatinya mata duitan pastinya nuraninya tak bercahaya, karena cahaya itu inmateri, maka yang materialis tidak mungkin mendekat kepada yang inmateri. Mengisi bahan bakar cahaya nurani dapat dilakukan dengan ilmu (belajar, membaca dan mendengar), dengan praktek lapangan (safar, menghadapi kesulitan, berjuang membela kebenaran).



Untuk membuka tabir materi caranya dengan :

1. Memutus ketergantungan kepada hal-hal yang bersifat duniawi, dimulai dengan membayar zakat (bertarip 2,5-5-10%), infaq (menurut kebutuhan) dan sedekah (boleh 50-100%) dan puasa. Orang yang sanggup memutus ketergantungannya kepada materi pasti kaya. Kaya hati itu lebih tinggi nilainya dibanding kaya materi.

2. menjauhi maksiat, karena maksiat itu mematikan cahaya (gelap). Semua pelaku maksiat pasti hatinya gelap, dan sifat maksiat itu menular (gelap dan menutupi cahaya).

3. berwisata spiritual (salat, haji, dan safar). Wisata spiritual akan mengubah dunia yang sempit menjadi luas, yang berat menjadi ringan, yang pahit menjadi manis. Manfaat wisata ada lima : menghilangkan stress (tafarruju hammin), rizki kehidupan (iktisabu ma`isyatin), memperoleh ilmu, adab dan pengalaman bergaul dengan orang besar (suhbatu majidin).

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, September 16, 2008

Menghiasi Ramadhan Dengan Mendalami Islam
Islam sebagai agama bisa dilihat dari berbagai dimensi; sebagai keyakinan, sebagai ajaran dan sebagai aturan. Apa yang diyakini oleh seorang muslim, boleh jadi sesuai dengan ajaran dan aturan Islam, boleh jadi tidak, karena proses seseorang mencapai suatu keyakinan berbeda-beda, dan kemampuannya untuk mengakses sumber ajaran juga berbeda-beda. Diantara penganut satu agama bisa terjadi pertentangan hebat yang disebabkan oleh adanya perbedaan keyakinan. Sebagai ajaran, agama Islam merupakan ajaran kebenaran yang sempurna, yang datang dari Tuhan Yang Maha Benar. Akan tetapi manusia yang pada dasarnya tidak sempurna tidak akan sanggup menangkap kebenaran yang sempurna secara sempurna. Kebenaran bisa didekati dengan akal (masuk akal), bisa juga dengan perasaan (rasa kebenaran). Kerinduan manusia terhadap kebenaran ilahiyah bagaikan api yang selalu menuju keatas. Seberapa tinggi api menggapai ketingian dan seberapa lama api itu bertahan menyala bergantung pada bahan bakar yang tersedia pada
setiap orang. Ada orang yang tak pernah berhenti mencari kebenaran, ada juga yang tak tahan lama, ada orang yang kemampuannya menggapai kebenaran sangat dalam (atau tinggi), tetapi ada yang hanya bisa mencapai permukaan saja.

Agama Islam sebagai aturan atau sebagai hukum dimaksud untuk mengatur tata kehidupan manusia. Sebagai aturan, agama berisi berisi perintah dan larangan, ada perintah keras (wajib) dan larangan keras (haram), ada juga perintah anjuran (sunnat) dan larangan anjuran (makruh).

Sumber hukum dalam Islam adalah al Qur'an, tetapi al Qur'an hanya mengatur secara umum, karena al Qur'an diperuntukkan bagi semua manusia sepanjang zaman dan diseluruh pelosok dunia. Detail hukum kemudian dirumuskan dengan ijtihad. Karena sifatnya yang regional dan "menzaman" maka fatwa hukum bisa bisa berbeda-beda , ada yang menganggap bahwa hasil ijtihadnya itu sebagai hukum Tuhan, dan ada yang menganggap bahwa dalam hal detail tidak ada hukum Tuhan.


Memahami Ajaran Islam Dengan Pembidangan

Pembidangan yang sangat populer dari ajaran Islam adalah Aqidah, Syari`ah dan Akhlak, masing-masing sebagai subsistem dari sistem ajaran Islam. Artinya aqidah tanpa syari'ah dan akhlak adalah omong kosong, demikian juga syari`ah harus berdiri diatas pondasi aqidah, dan keduanya haruslah dijalin dengan akhlak. Syari'ah tanpa akhlak adalah kemunafikan, akidah tanpa akhlak adalah kesesatan.






Aqidah

Secara harfiah, `aqidah artinya adalah sesuatu yang mengikat, atau terikat, tersimpul (bandingkan istilah `aqad nikah). Sedangkan sebagai istilah, `aqidah Islam adalah sistem kepercayaan dalam Islam. Mengapa disebut `aqidah, karena kepercayaan itu mengikat penganutnya dalam bersikap dan bertingkah laku. Orang yang kuat akidahnya (keyakinannya) terhadap keadilan Tuhan, maka keyakinan itu mengikatnya dalam bersikap terhadap suatu nilai (misalnya berkorban dalam perjuangan) dan selanjutnya mengikat perilakunya (misalnya tidak mau kompromi terhadap kezaliman). Sebaliknya orang yang tidak kuat keyakinannya kepada keadilan Tuhan (ikatannya longgar) ia mudah menyerah dalam berjuang dan bisa dinegosiasi untuk toleran terhadap penyimpangan, mudah terpancing untuk membalas dendam dengan cara yang menyimpang dari aturan..

Sistem kepercayaan ini akhirnya berkembang menjadi ilmu, disebut ilmu Tauhid atau ilmu ushuluddin. Ilmu Tauhid berbicara tentang Rukun Imanyang enam (iman kepada Tuhan, malaikat, Rasul, Kitab Suci, Hari akhir dan takdir). Kajian filosofis dari ilmu Tauhid disebut Ilmu Kalam, disebut juga Theologi (ilmu yang berbicara tentang ketuhanan).

Secara garis besar, theologi Islam dapat dibagi menjadi dua type, yaitu Jabbariah dan Qadariah. Jabbariah lebih menekankan pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Mutlak sehingga menempatkan manusia pada posisi seperti wayang yang segalanya tergantung kepada dalang. Manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk menentukan perbuatannya, oleh karena itu seseorang masuk sorga atau neraka itu bukan karena prestasinya, tetapi sepenuhnya kehendak Tuhan. Faham Qadariyah lebih menekankan sifat keadilan Tuhan , oleh karena itu manusia ditempatkan dalam posisi yang memiliki kekuasaan untuk menentukan perbuatannya, dan dengan keadilan Nya, Tuhan akan memberi pahala kepada yang berbuat baik dan menghukum yang berdosa.

Secara sosial, penganut theologi Islam dapat dibagi menjadi dua, yaitu Sunny dan Syi`ah. Golongan Sunny memandang semua manusia sama di depan Tuhan, yang membedakan hanyalah ketaqwaannya kepada Nya, oleh karena itu setiap muslim dari manapun memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin sepanjang memenuhi syarat. Golongan Sunny memandang empat sahabat besar (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali) dalam posisi yang setara dan sah kekhalifahannya.

Sedangkan golongan Sunny mengklaim adanya hak-hak istimewa keturunan Nabi-dalam hal ini anak-anak Ali bin Abi Thalib melalui ibu Fatimah (puteri Nabi) sebagai pewaris syah kepemimpinan ummat Islam. Abu Bakar, Umar dan Usman dinilai merampas hak-hak politik Ali bin Abi Thalib. Anak cucu Ali bin Abu Thalib kemudian disebut sebagai
golongan Alawiyyin atau secara sosiologis di Indonesia disebut habaib. Syi`ah itu sendiri artinya golongan, dan sepanjang sejarah Islam, kelompok ini selalu menjadi korban politik karena mereka sangat potensil mengobarkan semangat oposisi terhadap penguasa Sunny. Baru di Iran theologi Syi`ah mewujud dalam bentuk Pemerintahan Republik Islam Iran, yang dibangun dengan konsep wilayat al faqih
(otoritas ulama) dimana para mullah (kelompok Alawiyyin yang terdidik) memiliki hak-hak istimewa politik (disebut imamat) dengan puncaknya Ayatullah al `Uzma (pertama Imam Khumaini kemudian digantikan Khameini).


Syari`ah

Secara harfiah, syari`ah artinya jalan, sedangkan sebagai istilah keislaman, syari`ah adalah dimensi hukum atau peraturan dari ajaran Islam. Mengapa disebut syari`ah adalah karena aturan itu dimaksud memberikan jalan atau mengatur lalu lintas perjalanan hidup manusia. Lalu lintas perjalanan hidup manusia itu ada yang bersifat vertikal dan ada yang bersifat horizontal, maka syari'ah juga mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan menusia dengan sesama manusia. Aturan hubungan manusia dengan Tuhan berujud kewajiban manusia menjalankan ritual ibadah (Rukun Islam yang lima). Aturan
dalam ritual ibadah berisi ketentuan tentang syarat, rukun, sah, batal, sunnat (dalam haji ada wajib), makruh. Prinsip ibadah itu tunduk merendah kepada Tuhan, tidak banyak mempertanyakan kenapa begini dan begitu, pokoknya siap mengerjakan perintah dan tidak berani melanggar sedikitpun.

Sedangkan lalu lintas pergaulan manusia secara horizontal disebut mu`amalah. Prinsip bermu`amalah adalah saling memberi manfaat, mengajak kepada kebaikan universal (alkhair) , memperhatikan norma- norma kepatutan (al ma`ruf) dan mencegah kejahatan tersembunyi (al munkar). Karena manusia sangat heterogin, maka aturan bermu`amalah
sifatnya dinamis, dan merespond perubahan, dengan prinsip-prinsip (1) pada dasarnya agama itu tidak picik, mudah dan tidak mempersulit (`adam al haraj). (2) memperkecil beban, tidak untuk memberatkan (attaqlil fi at taklif), dan (3) pengetrapan aturan hukum secara bertahap (at tadrij fi at tasyri`). Karena adanya prinsip-prinsip inilah maka peranan manusia –dalam hal ini ulama- dalam merumuskan aturan-aturan syari`at sangat besar dalam bentuk ijtihad, yakni dengan akal dan hatinya merumuskan ketentuan-ketentuan hukum berdasarkan al Qur'an dan hadis . Al Qur'an menjelaskan sangat detail tentang waris, tetapi selebihnya hanya dasar-dasarnya saja yang disebut. Tentang politik misalnya, al Qur'an tidak menentukan bentuk negara, apakah republik atau kerajaan. Contoh pemerintahan Nabi dan khulafa Rasyidin juga sangat terbuka untuk disebut kerajaan atau republik.

Dari sudut keilmuan, syari`ah kemudian melahirkan ilmu yang disebut fiqh, ahlinya disebut faqih-fuqaha. Karena fiqh itu produk ijtihad maka tidak bisa dihindar adanya perbedaan pendapat, maka lahirnya pemikian mazhab; yang terkenal Syafi`i, Maliki, Hanafi dan Hambali. Ulama yang tinggal di kota metropolitan pada umumnya memiliki
pandangan yang dinamis dan rationil, sedangkan ulama yang tinggal di kota agraris (Madinah misalnya) pada umumnya puritan dan tradisional.

Kajian fiqh berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, maka disamping ada fiqh ibadah, fiqh munakahat, fiqh al mawarits juga ada fiqh politik (fiqh as siyasah), sekarang sedang dikembangkan fiqh sosial, fiqh jender, fiqh Indonesia, fiqh gaul dan sebagainya.


Akhlak

Akhlak merupakan dimensi nilai dari syariat Islam. Kualitas keberagamaan justeru ditentukan oleh nilai akhlak. Jika syariat berbicara tentang syarat rukun, sah atau tidak sah, maka akhlak menekankan pada kualitas dari perbuatan, misalnya beramal dilihat dari keikhlasannya, shalat dilihat dari kekhusyu`annya, berjuang dilihat dari kesabaran nya, haji dari kemabrurannya, ilmu dilihat dari konsistensinya dengan perbuatan, harta dilihat dari aspek dari mana dan untuk apa, jabatan, dilihat dari ukuran apa yang telah diberikan bukan apa yang diterima.

Karena akhlak juga merupakan subsistem dari sistem ajaran Islam, maka pembidangan akhlak juga vertikal dan horizontal. Ada akhlak manusia kepada Tuhan, kepada sesama manusia, kepada diri sendiri dan kepada alam hewan dan tumbuhan. Definisi akhlak adalah ; keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya perbuatan dimana perbuatan itu lahir secara spontan tanpa berfikir untung rugi. Kajian mendalam tentang akhlak dilakukan oleh ilmu yang disebut ilmu tasauf.


Memahami Ajaran Islam Dalam Struktur ISLAM-IMAN-IHSAN

Dalam hadis yang terkenal dikisahkan adanya dialog malaikat Jibril (yang menyamar menjadi tamu) dengan Nabi Muhammad tentang Islam, Iman dan Ihsan. Nabi menerangkan bahwa Islam adalah syahadat , salat dst (rukun Islam), Iman adalah percaya kepada Allah, malaikat dst (rukun iman) sedangkan ihsan adalah kualitas hubungan manusia dengan Tuhan (merasa melihat atau sekurang-kurangnya merasa dilihat oleh Tuhan ketika sedang beribadah, an ta`budallaha ka annaka tarahu wa in lam takun tarahu fa innahu yaraka). Konsep ihsanlah nanti yang menjadi pijakan ilmu tasauf, yaitu rasa dekat dan komunikatip dengan Tuhan.

Sebagai sistem, teori struktur Islam-Iman –Ihsan dapat dimisalkan sebagai buah kelapa dimana Islam adalah kulit, Iman adalah daging kelapa, sedangkan ihsan adalah minyaknya, ketiganya saling berhubungan. Kulit kelapa yang besar biasanya dagingnya besar dan minyaknya banyak. Daging kelapa bertahan lama jika ia tetap terbungkus kulitnya, jika dipisahkan maka ia cepat membusuk. Iman akan mudah luntur jika tidak dilindungi oleh amaliah ibadah. Tetapi ada juga kelapa yang kulitnya besar ternyata tidak ada dagingnya, dan apalagi minyaknya (gabug). Demikian juga ada orang yang demontrasi Islamnya sangat menonjol, tetapi kualitas imannya lemah, apalagi moralitasnya.

Read More
posted by : Mubarok institute

Friday, September 12, 2008

Motif Dosa
Jejak perbuatan dosa bisa dilacak dari empat sumber atau motif; (1) dosa yang bersumber dari sifat ketuhanan manusia, (2) dosa yang bersumber dari sifat kesyaitanan manusia, (3) dosa yang bersumber dari sifat kebinatangan (ternak) manusia, dan (4) dosa yang bersumber dari sifat kebinatangan (buas) manusia. Manusia memang mempunyai anatomi yang berasal dari campuran dari berbagai komponen yang berbeda-beda karakteristiknya dimana setiap komponen secara spesifik berpengaruh terhadap aspek-aspek spesifik pula sebagaimana karakteristik campuran gula, cuka, minyak wangi di dalam satu adonan.

1. Perbuatan dosa yang bersumber dari sifat ke¬tuhanan manusia adalah sombong, bangga diri, otoriter, senang dipuji, merasa mulia, merasa kaya, menyukai keabadian, dan ingin menaklukkan semua yang lain hingga merasa seakan dirinya itu Tuhan. Dari dosa ini kemudian lahir cabang-cabang dosa besar tetapi sudah tidak disadari sebagai dosa. Inilah biang dosa yang melahirkan dosa-dosa maksiat.

2. Dari sifat kesyaitanan manusia lahir perbuatan yang bersifat dengki, permusuhan, kecurangan, penipuan, dan perbuatan destruktif. Termasuk dalam rumpun ini, dosanya penggelapan, kemunafikan, ajakan melakukan bid’ah dan kesesatan.

3. Sedangkan dari sifat kebinatangan (ternak) manusia lahir perilaku serakah dan tamak, ber¬hubungan dengan tuntutan perut dan seks. Dari rumpun ini lahir perbuatan dosa berupa zina, homo seksual, mencuri, manipulasi harta anak yatim, dan mengumpulkan sarana pemuas syahwat.

4. Adapun dari sifat kebinatangan (buas) manusia lahir perbuatan marah, dendam dan agresi ter¬hadap sesama manusia berupa pukulan, caci makian, membunuh dan melahap harta benda. Dari rumpun dosa ini lahir pula cabang-cabang dosa yang banyak, baik bentuk maupun jenisnya.

Secara fitri, empat kelompok dosa ini lahir secara bertingkat. Pada mulanya orang berbuat dosa karena adanya tuntutan sifat kebinatangan (ternak), yakni didorong oleh motif biologis; makan minum dan seks. Sifat tuntutan biologis itu ingin dipenuhinya sesegera mungkin, tidak suka menunda, dan kurang peduli kepada keadaan.

Setelah dorongan ini terpenuhi, dan ternyata tidak memuaskan, datang tuntutan sifat kebinatangan (buas)nya, yakni melahap sebanyak-banyaknya apa yang ada pada orang lain dengan tak segan-segan melakukan kekerasan atau membunuh jika dihalangi.

Setelah sifat kebuasannya tersalurkan, meningkat tuntutannya untuk mencari kepuasan yang bukan hanya bersifat materi, tetapi juga yang bergengsi. Pada tingkat ini di mana sifat syaitoniyyah manusia bekerja, dosa yang dilakukan sudah ber “kualitas”, karena didalamnya sudah bergabung kekuatan imajinatif inteleknya dalam menipu, memperdaya orang lain, mempecundangi orang lain, mempermalukan orang lain dan memberontak kepada pihak yang menghalangi keinginannya. Setelah kepuasan “inteleknya” tercapai, tumbuh dorongan dosa yang lebih tinggi, yang bersumber dari sifat ketuhanan manusia, yaitu ingin tetap jaya, top, agung dan berkuasa mutlak.

Inilah biang dan sumber dosa dimana dari sana menyebar dosa-dosa lain, sebagian, dosa yang khas di dalam hati seperti kufur, bid`ah, munafik, menyembunyikan keburukan, sebagian yang lain dosa yang dikerjakan oleh mata dan telinga, sebagian lagi dosa yang dikerjakan oleh lidah (mulut), dan sebagian lagi dosa yang berhubungan dengan perut dan urusan bawah perut, sebagian lagi oleh tangan dan kaki, dan ada juga dosa yang di¬dorong oleh tuntutan tubuh secara keseluruhan.

Read More
posted by : Mubarok institute
Teologi Dosa
Pengertian Dosa

Kata dosa, dalam bahasa Arab disebut dengan ungkapan dzanbun, ma‘shiat, jirm, itsm, dan lamam. Kelima term tersebut digunakan al Qur’an, dan secara bahasa mengandung arti mengerjakan sesuatu yang dilarang, (ma la yahillu an ya‘mala). Menurut hadis Nabi riwayat ad Darimi, dosa adalah perbuatan yang mengganggu hati dan menyesakkan dada (al itsmu ma haka fi an nafsi wa yuraddu fi as shudur). Selain lima term tersebut al Qur’an juga menggunakan kata fahisyah untuk menyebut perbuatan yang keji. Term itsm di¬sebut al Qur’an 48 kali dalam berbagai kata bentukan¬nya, digunakan untuk menyebut semua jenis dosa besar, yang tampak maupun yang disembunyi¬kan, yang berkaitan dengan Tuhan maupun dosa kepada manusia (Q/2:219, Q/4:20, 48, 50, 112 dan Q/53:32). Sedangkan term fahisyah digunakan untuk menyebut dosa zina, dan term selebihnya untuk menyebut dosa-dosa kecil. Secara umum, semua per¬buatan meren¬dahkan Tuhan adalah dosa besar, sedangkan dosa-dosa yang disebabkan oleh kelalaian atau kelemahan pada umumnya termasuk dosa kecil.

Dosa dalam Perspektif Teologi
Pada zaman Nabi dan dua khulafa Rasyidin berikut¬nya, belum ada peristiwa “dosa” yang sangat meng¬goncangkan sendi-sendi masyarakat. Pada masa Khalifah Usman bin Affan terjadi konflik politik yang berujung pada peristiwa terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan oleh kaum pemberontak.

Peristiwa tersebut sangat mengguncangkan sendi-sendi kemasyarakatan ketika itu sehingga oleh para ahli tarikh disebut sebagai peristiwa dahsyat (al fitnah al kubra). Peristiwa ter¬bunuhnya kepala negara ini membuat suksesi kepemimpinan daulah Islamiyyah tidak mulus. Ali bin Abi Thalib dibai`at menjadi Khalifah ke IV, tetapi sebagian masyarakat, terutama keluarga Usman bin Affan (Bani Umayyah) menjadikan peristiwa pembunuhan itu sebagai truft untuk mengganjal suksesi kepada Ali. Umayyah, Gubernur Syam mem¬belot.

Perang saudara tidak terhindar antara pen¬dukung Ali dan kelompok Bani Umayyah yang menuntut bela kematian Usman bin Affan, sekaligus menuduh Ali terlibat dalam persekongkolan pem¬bunuhan itu. Dalam perang yang sangat dahsyat dan memilukan, terdengar suara untuk berdamai dengan menjadikan Al Qur’an sebagai rujukan. Dalam perundingan damai (tahkim) di Daumatul Jandal, pihak Ali tertipu oleh strategi juru runding Umayyah, sehingga solusi damai tidak terwujud, sebaliknya bara permusuhan semakin panas.

Kegagalan perundingan itu merugikan Ali dan menguntungkan pihak Mu`awiyah. Sebagian pengikut Ali merasa sangat ke¬cewa karena Ali tertipu dan menyalahkannya karena mau diajak berdamai, padahal kemenangan sudah hampir di tangan. Kekecewaan itu semakin ber¬kembang, akhirnya kelompok itu menolak keputusan Ali berdamai, dan pandangan itu dalam waktu singkat mengental menjadi sikap yang diujudkan dalam bentuk kalimat, la hukma illa lillah, la hakama illallah, artinya tidak ada hukum yang harus diakui selain hukum Allah, dan tidak ada juru damai selain Allah.

Mereka memandang Ali melakukan dosa besar karena memutuskan untuk berdamai, dan me¬mandangnya tidak menegakkan hukum Allah karena bertentangan dengan al Qur’an. Pandangan itu berkembang menjadi; barang siapa tidak berhukum kepada hukum Allah maka hukumnya kafir, diambil pemahamannya secara tekstual dari ayat Qur’an, (Q/5:44). Selanjutnya pandangan itu semakin mengental menjadi; semua yang terlibat perundingan tahkim di Daumatul Jandal adalah kafir, dan mereka itu menjadi murtad, dan orang murtad halal darah¬nya dan wajib dibunuh. Mengentalnya pandangan fanatik pada sebagian tentara Ali yang kecewa itu merupakan awal pergumulan teologis dalam sejarah Islam. Kelompok kecewa itu akhirnya meninggalkan Ali, sehinga mereka disebut kaum Khawarij, artinya orang yang keluar dari barisan Ali.

Kelompok Khawarij selanjutnya mengembangkan fahamnya menjadi, siapa saja yang berpihak kepada Ali adalah kafir. Mereka melaksanakan keyakinan sesatnya itu dengan me¬rencakan pembunuhan secara serempak terhadap tokoh-tokoh yang terlibat dalam tahkim, yaitu Ali bin Abi Thalib, Mu`awiyah dan Amru bin ~Ash. Ali ter¬bunuh, sedang dua sisanya terhindar.

Sejak itu faham pelaku dosa besar (murtakib al kaba ir) menjadi issue teologis. Diskusi teologis yang berkembang ialah apakah seorang mukmin yang melakukan dosa besar itu masih tetap mukmin atau menjadi kafir. Menurut kelompok Khawarij, orang mukmin yang melakukan dosa besar hukumnya kafir.

Faham ini direspond oleh kelompok lain yang berpendapat bahwa seorang mukmin yang me¬lakukan dosa besar, ia tetap mukmin, bukan kafir. Menurut faham ini, dosa besar yang dilakukan oleh seorang mukmin tidak bisa dihakimi oleh manusia, tetapi ditunda keputusannya hingga kelak di depan mahkamah Allah di akhirat. Jika Allah mengampuni, ia masuk sorga, jika tidak maka ia masuk neraka. Dari pandangan inilah mereka disebut sebagai golongan Murji’ah, arti leterluxnya; golongan yang menunda.

Faham Murji’ah direspon oleh kelompok Mu‘tazilah yang terkenal dengan doktrinnya al manzilah bainal manzilatain. Golongan Mu‘tazilah berpendapat bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar tidaklah menjadi kafir, tetapi juga tidak lagi menjadi mukmin. Mereka berada dalam posisi antara mukmin dan kafir, dalam posisi diantara dua posisi, yang dalam bahasa Arab disebutkan al manzilah bainal manzilatain.

Generasi berikutnya muncul faham Qadariyah dan Jabbariah. Faham Qadariyyah menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk berbuat, ter¬masuk berbuat dosa, oleh karena itu pelaku dosa besar harus dihukum dengan neraka. Jika Tuhan tidak menghukum maka hal itu bertentangan dengan sifat adilnya Tuhan.

Sedangkan faham Jabbariyah mengajarkan tentang kekuasaan mutlak Tuhan. Manusia tidak berkuasa untuk berbuat. Seseorang tidak mungkin melakukan perbuatan dosa tanpa perkenan Tuhan. Tuhan menciptakan manusia dan perbuatannya. Tuhan berkuasa untuk mengampuni dan memasukkan pelaku dosa besar ke dalam sorga, dan berkuasa pula memasukkan orang mukmin ke dalam neraka. Tuhan Maha Kuasa secara mutlak, maka tidak ada sesuatupun yang mengharuskan Tuhan untuk mengampuni atau menyiksa.

Faham yang berseberangan ini kemudian di¬pertemukan oleh faham yang lahir kemudian, yaitu faham Ahlussunnah wal Jama‘ah. Faham Ahlussunnah wal jama‘ah merupakan faham teologi yang sangat moderat. Faham ini dianut oleh mayoritas kaum muslimin di dunia. Menurut faham ini, manusia wajib berusaha, tetapi usahanya tidak menjamin hasil. Orang masuk sorga bukan karena amalnya, tetapi karena rahmat Allah. Amal manusia tidak berarti apa-apa di depan Tuhan. Demikian juga Tuhan dapat mengampuni dosa hambanya, sebesar apapun dosa itu, kecuali dosa syrik.

Ampunan Tuhan lebih utama dibanding amal manusia. Tuhan Maha Pengampun lagi Penyayang, oleh karena itu jangan berputus asa dari rahmat Nya, karena berputus asa dari rahmat¬nya itu justru merupakan perbuatan dosa. Secara teologis, dunia Islam terbagi menjadi dua, yaitu sunny dan Syi‘ah. Nama Sunny digunakan untuk menyebut golongan Ahlussunnah wal Jama‘ah. Di Indonesia, organisasi keagamaan seperti NU, Perti dan al Washliyyah secara tegas menyebut Ahlussunnah wal Jama‘ah sebagai identitas teologisnya, dalam AD/ART nya, sementara organisasi semacam Muham¬madiyyah, meski tidak menyebut, bahkan terkadang menolak disebut, tetapi secara de facto mereka juga menganut faham Sunny. Wallohu a‘lam.

Read More
posted by : Mubarok institute
Bahaya Tiga Dosa Besar
Dalam hadis sahih yang sangat populer disebutkan bahwa Rasul pernah berkata: Sukakah kalian aku ingatkan tentang tiga yang terbesar dari dosa-dosa besar? Setelah para sahabat menyatakan kesediaannya, Nabi menyebutkan; Tiga dosa besar itu ialah; Menyekutukan Allah, durhaka kepada orang tua, dan dengan berulang-ulang Nabi menyebut dosa yang ketiga, yaitu perkataan dusta dan saksi dusta.


Tiga jenis dosa tersebut di atas memang pantas disebut dosa besar karena implikasinya juga besar.

1. Menyekutukan Allah (syrik, pelakunya disebut musyrik)) merupakan wujud dari perbuatan sangat bodoh dan zalim dari manusia (innas syirka lazulmun ‘adzim). Ada dua jenis syrik, pertama: syrik yang nyata (syirk jaliy), yakni menjadikan makhluk sebagai sesembahan selain Allah, misalnya me¬nyembah benda, alam, manusia, syaitan atau malaikat. Inilah syirk terbesar yang dalam al Qur’an disebut bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa jenis ini tetapi mengampuni jenis dosa yang lain (Q/4:48). Kedua; syrik kecil atau syrik tersem¬bunyi (syirk khofiy), yakni riya dalam beramal. Riya adalah mengerjakan perbuatan baik secara tidak ikhlas, tidak semata-mata karena Allah, tetapi ingin memamerkannya kepada sesama manusia dan mengharap pujian dari manusia. Amal yang diker¬jakan karena riya tidak dinilai ibadah. Nabi sering mengingatkan: banyak orang berpuasa tetapi ia tidak memperoleh apa-apa selain lapar dan haus. Banyak orang mengerjakan salat malam, tetapi mereka tidak meperoleh apa-apa selain kantuk. Peringatan Nabi ini ditujukan kepada orang yang dalam ibadahnya tidak ikhlas, yakni sekedar ingin memperoleh pujian dari sesama manusia.

2. Durhaka kepada orang tua merupakan wujud ke¬tidaktahudirian seseorang terhadap orang yang menjadi penyebab kehadirannya di muka bumi. Al Qur’an menempatkan orang tua dalam posisi yang sangat tinggi. Dalam al Qur’an ada tiga ayat yang menempatkan dua hal secara berdampingan, yaitu; (a) taat kepada Allah dan taat kepada Rasul (athi‘ul¬lah wa athi‘ur Rasul), (b) kewajiban salat dan kewa¬jiban zakat (aqimus salat wa a tuz zakat) dan (c) ber¬terima kasih kepada Tuhan dan kepada kedua orang tua (anisykur li wa li walidaik). Nabi juga mengingatkan bahwa ridla Allah ada bersama dengan ridla kedua orang tua, sebagai¬mana juga murka Allah bersama dengan kemurkaan kedua orang tua (ridlallah fi ridla al walidain, wa sukhthullah fi sukhthi al wa lidain). Meski orang tua dalam posisi salah, menurut al Qur’an, anak tetap harus meng¬hormatinya sebagai orang tua (wa shahib huma fi ad dunya ma‘rufa). Menurut hadis riwayat al Hakim, Nabi pernah berkata; semua dosa, (hukumannya) ditunda atas kehendak Allah hingga hari kiamat, kecuali dosa durhaka kepada orang tua, karena pelakunya akan menerima akibatnya di dunia sebelum hari kiamat. Kata Rasul juga, prioritas pertama orang yang harus dihormati dalam hidup adalah ibu, kedua ibu, ketiga ibu, dan keempat baru ayah. Banyak sekali hadis Nabi yang menyebutkan bahwa durhaka kepada kedua orang tua mengha¬langi seseorang masuk surga.

3. Sumpah palsu merupakan dosa besar karena impli¬kasinya sangat besar terhadap masalah lain. Ada empat kesalahan dalam sumpah palsu, (a) berkata bohong (al kizb wa al iftira), (b) sumpah palsu itu berimplikasi pada terjadinya kezaliman, yaitu dengan kesaksian palsu itu bisa berakibat tereng¬gutnya kehormatan, harta dan nyawa orang tak bersalah, (c) dengan kesaksian palsu pelakunya bisa memperoleh keuntungan materi secara tidak syah, yang pada hakikatnya merupakan bara api neraka, dan (d) secara sadar ia melanggar apa yang dilarang oleh Tuhan, yang berarti telah berbuat maksiat. Wallohu a‘lam bissawab.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, September 02, 2008

Jalan Menuju Ke Langit, Mendekat kepada Alloh
Bahasa sehari-hari mengenal istilah; Tuhan yang di atas, atau Tuhan yang di langit. Langit sering didefinisikan sebagai batas pandangan mata. Dalam al Qur’an langit disebut dengan nama sama’ atau samawat. Dalam bahasa Arab, sama’ mengandung dua arti, pertama; ma `ala ka, apa yang di atasmu. Dari pengertian ini maka plafon di rumah kita di sebut langit-langit. Ke dua; langit adalah ungkapan tentang sesuatu yang tidak terjangkau oleh akal manusia.

Jika di sebut sorga berada di langit artinya akal manusia tidak akan mampu melacak keberadaannya. Sorga dapat dilacak dengan keyakinan atau iman, bukan dengan ratio. Bahasa sehari-hari juga suka menggunakan istilah langit meski kurang tepat, misalnya menyebut kecantikan luar biasa dari seorang gadis dengan menyebut cantiknya selangit, kekayaan yang sangat banyak disebut kayanya selangit , dan ungkapan semisal lainnya.

Orang beriman meyakini bahwa di balik alam raya ini ada alam langit atau `alam malakut satu “tempat” yang sangat tinggi dimana blue print alam raya dengan segala kehidupannya itu berada dan dikendalikan, dan Allah bersemayam di `arasy Nya mengendalikan kekuasaanya melalui sistem sunnatulllah, dan Dia mengontrolnya secara detail hingga jatuhnya selembar daunpun berada dalam kontrol Nya.

Di mana letak alam malakut dan dimana `arasy Tuhan, akal manusia tidak mungkin menjangkaunya, karena Allah Maha Tinggi sedangkan manusia sebagai hamba memiliki keterbatasan yang sangat banyak. Meski demikian, dengan sifat Rahman dan Rahim Nya Allah memberi infrastruktur kepada manusia untuk dapat mendekat kepada Nya. Allah menempatkan sifat ketuhanan pada setiap manusia, apa yang dalam tasauf disebut nasut.

Allah juga menempatkan cahaya (nur) Nya pada setiap hati (qalb) manusia, disebut nuraniyyun (hati nurani) yang memiki kapasitas pandangan batin sebagai lawan dari pandangan mata kepala, oleh Al Qur’an disebut bashirah (Q/75:14-15). Jika sifat Tuhan al Bashir mengandung arti Tuhan mampu melihat sesuatu secara total tanpa alat bantu, maka bashirah nya manusia atau hati nurani manusia juga dapat menembus dinding-dinding pembatas, secara internal melihat diri sendiri, introspeksi secara jujur dan hati nurani tidak bisa diajak berdusta, sedangkan secara ekternal, nurani dapat menerobos ke alam malakut bercengkerama dengan ruhaniyyun (malaikat atau arwah manusia) dan bahkan bisa bercengkerama dengan Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Di alam malakut manusia bisa berjumpa dengan arwah manusia yang telah lama meninggal, dan jika beruntung bisa berjumpa dengan Nabi.

Dengan sifat Nasut itulah manusia pada suatu ketika rindu kepada Tuhan. Sifat Nasut itu bagaikan api yang selalu menyala ke atas. Orang yang sedang rindu kepada Tuhan, maka pandangannya selalu ke “atas” mencari Dia Yang Maha Tinggi di “alam atas”. Kerinduan kepada Tuhan itu memuncak ketika seseorang berhasil bekerja keras mensucikan jiwanya (tazkiyyat an nafs) hingga jiwanya mencapai tingkat nafs al muthma’innah, yakni jiwa yang tenang, atau ketika Tuhan berkenan mendekati hamba-hamba-Nya yang dikehendaki Nya sehingga orang itu dalam waktu cepat tersucikan jiwanya (Q/ 4:49)


Di sisi lain, Tuhan memiliki sifat kemanusiaan (Lahut) yang selalu merindukan kehadiran manusia ke haribaan rahmat Nya. Tuhan sangat antausias menyongsong hambanya. Jika manusia mendekati Tuhan dengan jalan kaki, maka Tuhan akan menyongsongnya dengan berlari. Itulah yang menyebabkan ada orang yang sudah sejak kecil menjadi muslim tetapi tak kunjung berkualitas, sementara ada orang yang belum lama menjadi “mu’allaf” tetapi sudah mencapai pencerahan sufistik, karena ia disongsong oleh Tuhan. Di satu pihak, manusia memang memiliki bakat kerinduan kepada Tuhan dan untuk itu ia berusaha naik ke “atas” (taraqqi), di pihak lain, Tuhan yang merindukan kehadiran manusia berlari turun dari “atas” (tanazul) menyongsong setiap hambanya yang berusaha keras mendekat (taqarrub). Ada tiga jalan yang bisa ditempuh manusia mendekat kepada Nya.

Pertama: Thariqat as Syar`iy, jalan syari’at. Siapa saja yang berusaha keras konsisten mengikuti syari’at Islam, salatnya, puasanya, berdagangnya, berpolitiknya, dan seluruh aspek hidupnya, maka dijamin ujungnya adalah dar al muqarrabin, wisma khusus untuk orang-orang dekat. Siapa saja yang secara konsisten mengikti petunjuk Tuhan dalam hidupnya, yakni mengikuti aturan Tuhan tentang halal-haram, mengerjakan perintahNya dan menjauhi larangan Nya, maka ia berpeluang untuk menjadi orang dekat Nya.

Kedua: Thariqat ahl az zikr, jalannya ahli zikir. Barang siapa yang dalam hidupnya selalu berzikir maka ia akan sampai ke tingkat dekat dengan Allah. Zikir artinya menyebut atau mengingat. Orang awam berzikir dengan mulutnya dalam bentuk menyebut asma Allah atau kalimah thayyibah, meski hatinya belum tentu ingat Allah. Lihatlah orang yang ikut zikir bersama Arifin Ilham, ia bisa menangis haru interospeksi. Jika zikir itu dipelihara, dikerjakan secara sistemik, maka lama-kelamaan hatinya menjadi dekat dengan Tuhan yang selalu disebutnya. Sementara orang khawas berzikir dengan hatinya. Keadaan apapun yang dihadapinya dalam hidup, hatinya tetap mengingat Allah. Ada beberapa tingkatan zikir, yaitu zikir jahr, zikir keras-keras, kemudian meningkat ke zikir khofiy, zikir yang tidak mengeluarkan suara tetapi penuh d dalam hati, kemudian tafakkur, berkelana secar ruhaniyyah merenungkan kebesaran Allah, dan yang tertinggi adalah tadabbur, yakni melihat benda atau alampun langsung terbayang Sang Pencipta (tadabbur `alam).

Ketiga: Thariqat mujahidat as Syaqa, memilih jalan yang sulit. Bagi penganut jalan ini, hidup secara biasa itu berarti tidak tahu diri dan kurang bersyukur kepada Tuhan. Ia wajibkan dirinya mengerjakan yang sunnat, ia haramkan untuk dirinya apa yang sesungguhnya halal, semata-mata karena tahu diri. Ia lebih suka tidur di lantai, meski memiliki kasur, ia memakan makanan yang tidak enak meski tersedia makanan lezat, ia pergi haji dengan jalan kaki meski ada pesawat terbang, pokoknya semua yang sulit menjadi pilihannya. Baginya menempuh kesulitan dalam perjalanan mendekat kepada Tuhan itu satu kenikmatan, dan baginya pula, menggunakan fasilitas kemudahan dalam perjalanan kepada tuhan itu memalukan. Wallohu a`lam.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger