Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Monday, December 22, 2008

Tujuan Hidup Manusia
tujuan hidup manusia adalah untuk menggapai ridla Allah, ibtigha’a mardlatillah. Jadi apapun boleh yang penting diridlai Tuhan. Apalah artinya pangkat tinggi dan gaji besar jika tidak diridlai oleh Nya. Ridla artinya senang. Jadi segala pertimbangan tentang tujuan, terpulan g kepada apakah yang kita lakukan dan apa yang kita gapai itu sesuatu yang disukai atau diridlai Tuhan atau tidak. Jika kita berusaha memperoleh ridla Nya, maka apapun yang diberikan Tuhan kepada kita, kita akan menerimanya dengan ridla (senang) pula, ridla dan dirdlai, radliyatan mardliyyah.

Pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengetahui sesuatu itu diridlai atau tidak oleh Tuhan. Tolok ukur pertama adalah syari’at atau aturan agama. Sesuatu yang diharamkan Tuhan pasti tidak diridlai, dan sesuatu yang dihalalkan pasti diridlai, sekurang-kurangnya tidak dilarang. Selanjutnya nilai-nilai akhlak akan menjadi tolok ukur tentang kesempurnaan, misalnya, memberi kepada orang yang meminta karena kebutuhan adalah sesuatu yang diridlai, tidak memberi tidaklah berdosa tetapi kurang disukai. Nah memberi sebelum orang yang memiliki kebutuhan itu meminta bantuan adalah perbuatan yang sangat diridlai Tuhan. Timbulnya perasaan ridla didasari oleh tingkat pengenalan kepada orang. Memperoleh pemberian adalah sesuatu yang menyenangkan, tetapi memperoleh pemberian dari orang yang kita sayangi dan kita tahu diapun menyayangi kita pastilah lebih menyenangkan. Orang yang mengenal (ma`rifat) kepada Tuhan akan merasa ridla atas apapun yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, selanjutnya iapun faham apa yang disukai dan yang tidak disukai oleh Nya. Jika orang merasa hidupnya diridlai Tuhan maka iapun merasa dirinya bermakna, dan dengan merasa bermakna itu ia merasa sangat berbahagia. Sebaliknya jika seseorang merasa hidupnya tak diridlai Tuhan, maka ia merasa semua yang dikerjakanya tidak berguna, dan bahkan iapun merasa dirinya tak berguna. Orang yang merasa kehadirannya berguna bagi orang lain maka ia akan memiliki semangat hidup, semangat bekerja, semangat berjuang, yang berat terasa ringan, pengorbanannya terasa indah. Sedangkan orang yang merasa dirinya tak berguna maka ia tidak memiliki semangat hidup, tidak memiliki semangat bekerja, merasa sepi di tengah keramaian dan lebih sepi lagi dalam kesendirian.

Indikator ridla Tuhan juga dapat dilihat dari dimensi horizontal. Nabi bersabda bahwa ridla Allah ada bersama ridla kedua orang tua, dan murka Allah ada bersama murka kedua orang tua. Jika ayah ibu ridla, maka Allahpun meridlainya, jika ayah ibu murka, Allahpun murka pula

Semangat mencari ridla Tuhan sudah barang tentu hanya dimiliki oleh orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang tidak mengenal Tuhan, tidak mengenal agama, maka boleh jadi pandangan hidupnya sesat dan perilakunya juga sesat, tetapi mungkin juga pandangan hidupnya mendekati pandangan hidup orang beragama minus Tuhan, karena toh setiap manusia memiliki akal yang besa berfikir logis dan hati yang di dalamnya ada nilai kebaikan.

Metode mengetahui ridla Tuhan juga diajarkan oleh Nabi dengan cara bertanya kepada hati sendiri, istafti qalbaka. Mengapa dengan hati ?, orang bisa berdusta kepada orang lain, tetapi tidak kepada hati sendiri . Hanya saja kualitas hati orang berbeda-beda. Hati yang sedang gelap, hati yang kosong, hati yang mati tidak bisa ditanya. Hati juga sering tidak konsisten, oleh karena itu pertanyaan yang pali ng tepat adalah kepada hati nurani, atau ke lubuk hati yang terdalam. Nurani berasal dari kata nur, nuraniyyun yang artinya cahaya, yakni cahaya ketuhanan yang ditempatkan Tuhan di dalam hati manusia, nurun yaqdzifuyhulloh fi al qalb. Jika hati sering tidak konsisten, maka hati nurani selalu konsisten terhadap kejujuran dan kebenaran. Orang yang nuraninya hidup maka ia selalu menyambung dengan ridla Tuhan. Problem hati nurani adalah cahaya nurani sering tertutup oleh keserakahan, egoisme dan kemaksiatan.

Read More
posted by : Mubarok institute
Kebutuhan Manusia
Manusia memiliki dua predikat, yaitu sebagai 'abdullah atau hamba Allah dan sebagai khalifah atau wakil Allah di muka bumi. Predikat pertama menunjukkan kelemahan , kekecilan dean keterbatasan serta ketergantungan manusia kepada yang lain sehingga setiap manusia potensil untuk mengidap masalah, sedangkan predikat kedua menunjukkan kebesaran manusia sekaligus besarnya tanggung jawab yang dipikul dalam kehidupannya di muka bumi.

Dari sudut pandang itu maka urgensi Bimbingan dan konseling bagi manusia merujuk kepada dua predikat tersebut.

1. Sebagai makhluk yang lemah ('abdun) suatu ketika manusia tidak tahan menghadapi realita kehidupan yang pahit, sempit dan berat. Dalam kondisi fisik tak berdaya, orang membutuhkan bantuan orang lain, dokter misalnya- untuk memulihkan kesehatannya. Demikian pula dalam kondisi mental yang kacau (lihat bab jenis-jenis gangguan jiwa) seseorang membutuhkan bantuan kejiwaan, untuk memulihkan rasa percaya dirinya, meluruskan cara berfikir, cara pandang dan cara merasanya sehingga ia kembali realistis, mampu melihat kenyataan yang sebenarnya dan mampu mengatasi problemanya dengan cara-cara yang dapat dipertanggung jawabkan.

2. Sebagai khalifah Allah, manusia dibebani tanggung jawab menyangkut kebaikan dirinya maupun untuk masyarakatnya. Setiap manusia diberi kebebasan untuk memutuskan sendiri apa yang baik untuk dirinya, asal bukan perbuatan maksiat yang dilakukan secara terang-terangan. Sebagai khalifah Allah yang dibebani tanggung jawab untuk kemaslahatan masyarakatnya, maka seorang muslim harus merasa terpanggil untuk me¬melihara ketertiban masyarakat. Oleh karena itu ia terpangil untuk meluruskan hal-hal yang menyimpang, menata hal-hal yang salah tempat, mendorong hal-hal yang mandeg dan menghentikan kekeliruan-kekeliruan yang berlangsung. Dalam perspektip Bimbimbingan dan Konseling, seorang musim sebagai khalifah Allah terpanggil untuk membantu orang lain yang sedang mengalami gangguan kejiwaan yang menyebabkan orang itu tak mampu mengatasi tugas-tugasnya dalam kehidupan.

Jadi secara kodrati manusia memang membutuhkan bantuan kejiwaan termasuk konseling agama, dan secara konsepsional harus ada orang yang menekuni bidang ini agar layanan konseling agama ini dapat diberikan secara profesional, sebagai perwujudan dari rasa tanggungjawab¬nya sebagai khalifah Allah.

Untuk mengetahui kedudukan Bimbingan dan Konseling Agama, dalam perspektip keilmuan maupun perspektip ajaran Islam, sekurangnya perlu diketahui lebih dahulu empat hal, yaitu:

1. Bahwa Kodrat kejiwaan manusia membutuhkan bantuan psikologis.

2. Gangguan kejiwaan yang berbeda-beda membutuhkan terapi yang tepat.

3. Meskipun manusia memiliki fitrah kejiwaan yang cenderung kepada keadilan dan kebenaran, tetapi daya tarik kepada keburukan lebih banyak dan lebih kuat tarikannya sehingga motif kepada keburukan lebih cepat merespond stimulus keburukan, mendahului respond motif kepada kepada kebaikan atas stimulus kebaikan.

4. Keyakinan agama (keimanan) merupakan bagian dari struktur kepribadian, sehingga getar batin dapat dijadikan penggerak tingkah laku (motif) kepada kebaikan.

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, December 18, 2008

desain kejiwaan yang sempurna
Dari al Qur’an surat as Syams dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki desain kejiwaan yang sempurna, memiliki potensi untuk memahami kebaikan dan kejahatan, bisa ditingkatkan kualitasnya menjadi suci dan dapat tercemar sehingga menjadi kotor.

artinya : dan (demi) jiwa serta penyempurnaan (ciptaan Nya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q/91:7-10).

Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa Tuhan menciptakan jiwa manusia sebagai sesuatu yang sempurna. Kata wa pada wa nafsin adalah bentuk qasam . Dalam al Qur’an, kata yang dijadikan sumpah Tuhan (yang didahului wawu qasam), seperti was syamsi, wad dluha, wal `ashri menunjuk pada sesuatu yang mengandung arti dahsyat, hebat atau rumit. Kalimat wa nafsin menunjuk bahwa nafs itu sesuatu yang memiliki kualitas hebat, dahsyat, rumit dan sempurna. Apalagi kalimat berikutnya, yakni wama sawwaha secara tegas menyebut kesempurnaan dari jiwa itu.

Wujud kesempurnaan jiwa itu antara lain diberinya potensi (ilham) untuk memahami perilaku (nilai-nilai) buruk dan membedakannya dengan perilaku takwa atau perilaku baik. Semua manusia pada desain awalnya dipersiapkan untuk mampu membedakan yang buruk dari yang baik, tetapi apakah potensi itu akan menjadi aktual atau tidak masih bergantung pada proses berikutnya. Dalam hadis Nabi disebutkan bahwa setiap bayi yang lahir, ia lahir dalam keadaan fitrah (jiwanya dalam keadaan memiliki potensi universal, dan bersih dari dosa warisan), kedua orang tuanya (lingkungan hidup)lah yang selanjutnya akan berperan mengaktualkan potensi fitrah itu menjadi Yahudi, Nasrani, Majusi atau yang lainnya.

Jika seekor kuda dilahirkan langsung bisa berdiri dan sebentar kemudian sudah bisa berlari, maka potensi fitrah manusia baru bisa beraktual jika fungsi-fungsi kejiwaan yang lain dan fisiknya mencapai kesempurnaan. Bayi manusia secara berangsur-angsur dari bisa menangis dan menyusu ke bisa ngoceh, merangkak, duduk, berdiri, berlari, berbicara, menghitung, berimajinasi, berfikir logis, merenung, berfilsafat dan seterusnya, dalam waktu yang relatip panjang. Jika potensi anak kuda berhenti pada kemampuan lari kencang, maka aktualisasi potensi kejiwaan manusia berkembanag sangat luas seakan hampir tak berbatas.


Dalam ayat 9 surat as Syams tersebut diatas disebutkan bahwa secara fitri Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia pengetahuan tentang keburukan (fujur) dan kebaikan (taqwa). Mengapa dalam ayat tersebut keburukan (fujur) disebutkan lebih dahulu, baru kebaikan (taqwa), bukanlah sekedar penyebutan, tetapi mengandung makna bahwa jiwa manusia lebih mudah mengenali keburukan dibanding kebaikan. Secara fitri, manusia akan langsung mempersepsi keburukan sebagai keburukan, karena keburukan berseberangan dengan fitrah dasar manusia sebagai makhluk yang baik. Manurut al Qur’an manusia juga secara psikologis lebih mudah mengerjakan kebaikan, karena sesuai dengan desain fitrahnya (laha ma kasabat), sedangkan untuk berbuat jahat manusia harus “berjuang” melawan suara hatinya, suara nuraninya, sehingga terasa berat (wa `alaiha ma iktasabat). Kalimat kasabat dan iktasabat dalam bahasa Arab mengandung arti dasar yang sama, tetapi kasabat mengandung arti mudah mengerjakanya dan iktasabat mengandung arti susah mengerjakannya (Q/2:286).

Dalam al Qur’an terdapat term al khair dan fahisyah. Al Khair mengandung arti kebaikan normatip yang datangnya dari Tuhan dan bersifat universal, seperti keadilan, kejujuran, berbakti kepada orang tua, menolong yang lemah dan sebagainya. Pandangan ini secara fitri dimiliki oleh semua manusia sepanjang zaman, bahkan pada masyarakat primitip yang belum mengenal pendidikan. Sedangkan bagaimana cara menegakkan keadilan dan kejujuran, atau bagaimana caranya berbakti kepada orang tua atau bagaimana caranya membela orang lemah, tidak lagi masuk kategori al khoir, tetapi masuk apa yang dalam al Qur’an disebut al ma`ruf, ya’muruna bi al ma`ruf.(Q/3:104). Ma`ruf adalah sesuatu yang secara sosial dipandang memiliki kepantasan. Secara lughawi , al ma`ruf artinya sesuatu yang diketahui, tetapi kemudian diartikan sebagai kebaikan, mengandung makna bahwa pada dasarnya secara fitri manusia mengetahui nilai-nilai kepantasan, nilai-nilai kepatutan, yang secara sosial dipandang sebagai kebaikan.

Sedangkan fahisyah mengandung arti sesuatu yang secara universal dipandang sebagai kekejian. Dalam al Qur’an (Q/4:15) fahisyah sering digunakan untuk menyebut perbuatan zina. Artinya secara fitri, semua manusia sepanjang sejarah kemanusiaan pada dasarnya mengerti bahwa hubungan seks di luar nikah (zina) adalah perbuatan keji. Para pezina professionalpun tersinggung jika isterinya dizinahi orang lain karena secara fitri zina adalah fahisyah, sesuatu yang jelas kekejiannya. Berbeda dengan fahisyah adalah munkar. Term munkar disebut al Qur’an (wa yanhauna `an al munkar) untuk menyebut perbuatan jahat yang diperdebatkan. Perbuatan munkar adalah kejahatan yang dilakukan sebagai wujud dari kecerdasan seseorang, sehingga kejahatannya bisa disembunyikan atau dilapis dengan logika, seakan perbuatan itu tidak jahat. Munkar adalah prestasi negatip dari kecerdikan. Mark up atau komisi adalah contoh perbuatan munkar, tidak nampak nyata kejahatannya, terhindar dari pasal-pasal hukum meskipun berdampak sangat buruk bagi kehidupan masyarakat.

Read More
posted by : Mubarok institute
Memelihara Cinta Di Hati
Setiap Manusia memiliki potensi; fisik, intelektual, emosionil dan spiritual yang berbeda-beda kapasitasnya. Ada orang yang sangat intelek, tetapi emosinya tidak stabil. Yang lain emosinya sangat terkendali tetapi intelektualitasnya kurang. Ada juga orang yang menonjol justeru potensi spiritualitasnya.

Perilaku manusia dalam keseharian mencerminkan aktualitas dari potensi itu. Ada orang yang berwajah garang tetapi hatinya lembut, ada orang yang fisiknya kecil dan nampak lemah tetapi hatinya bergejolak penuh dengan kebencian dan dendam. Demikian juga halnya dengan corak cinta, ada seorang lelaki yang jika jatuh cinta kepada seorang wanita, ia merasa harus menguasai dan memonopoli secara total lahir batin, tidak boleh sedikitpun si wanita memiliki perhatian kepada selain dirinya.

Ia sangat pecemburu, dan jika ia gagal “memiliki” wanita yang dicintainya itu maka ia memilih “menghancurkan” sang kekasih daripada harus melihat ia dimiliki oleh orang lain. Di sisi lain, ada seorang lelaki pecinta yang sangat penuh pengertian, ia sangat memaklumi dan sangat memaafkan atas kekurangan sang kekasih. Ia bukan saja tidak bermaksud “menguasai” tetapi justeru selalu ingin memberi kepada kekasihnya apa yang menjadi keinginannya,.

Ia sangat berbahagia jika bisa memberikan kesenangan kepada kekasihnya, meski untuk itu ia menderita. Nah cinta itu ada di dalam hati. Hadis Nabi menyebutkan bahwa di dalam tubuh setiap manusia ada qalbu (hati) yang menjadi penentu kualitas manusia, jika qalbu nya baik maka seluruh ekpressinya baik, sebaliknya jika qalbu nya buruk maka buruk pula ekpressi orang itu. Orang suka berkata; dalamnya laut dapat di duga, dalamnya hati siapa yang tahu ?. Isi hati manusia sungguh sangat sangat banyak dan beragam, diantaranaya adalah cinta. Dapat dipastikan bahwa tidak ada satupun keterangan yang obyektip tentang hati manusia yang berasal dari manusia, karena semua manusia bersifat subyektip, oleh karena itu keterangan yang paling obyektip tentang hati manusia hanya yang berasal dari sang Pencipta hati itu sendiri, yaitu Alloh.

Read More
posted by : Mubarok institute
Sistematika Dalam Konseling Psikologi Islam
Seorang klien yang semula mengidap alienasi atau keterasingan diri sehingga ia tidak berani mengambil suatu keputusan untuk melakukan suatu tindakan dan bahkan tidak tahu lagi apa sebenarnya yang diinginkan, dapat dibantu memecahkan persoalannya dengan langkah-langkah sbb. :

(a) Diajak memahami realita apa sebenarnya yang sedang dihadapi, misalnya tentang ditinggal mati keluarga, dicerai suami, kehilangan jabatan, kehilangan harta, kehilangan kekasih, sakit yang berkepanjangan, dizalimi orang yang selama ini dibantu dsb., bahwa realita itu adalah benar-benar realita yang harus dihadapi, dan harus diterima, suka atau tidak suka karena itu me¬mang realita.

(b) Diajak mengenali kembali siapa sebenarnya dia itu, apa posisinya dan apa kemampuan-kemapuan yang dimi¬likinya. Misalnya ia harus diingatkan bahwa ia adalah seorang ayah dari sejumlah anak-anak yang membu¬tuhkan kehadirannya, bahwa anak-anak semuanya merindukan dan menyayanginya. Atau misalnya disadarkan bahwa kepandaian yang dimilikinya itu bisa diajarkan kepada orang lain, dan sebenarnya banyak yang membutuhkan dirinya, atau bahwa ia adalah manusia yang sebagai hamba Allah tak bisa mengelak dari kehendak Nya, dan bahwa apa yang dialaminya itu merupakan kehendak Allah yang kita belum tahu apa makna dan hikmahnya.

(c) Mengajak klien memahami keadaan yang sedang berlangsung di sekitarnya, bahwa ada perubahan-perubahan yang sedang berlangsung, misalnya peru¬bahan nilai-nilai sosial, perubahan struktur ekonomi masyarakat, perubahan zaman dsb, dan bahwa peru¬bahan itu merupakan sunnatullah yang tidak bisa ditolak, tetapi yang penting bagaimana mensikapi dan mengantisipasinya.

(d) Diajak untuk meyakini bahwa Tuhan itu Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha pengasih dan Penyayang, dan bahwa semua manusia diberi peluang untuk bertaubat dan mendekat kepada Nya, bahwa ridla Allah adalah tujuan utama dari hidup manusia, bahwa Tuhan selalu mendengar doa hamba-hamba Nya, bahwa sifat dengki, iri hati, putus asa adalah ter¬cela dan hanya merugikan diri sendiri, juga bahwa ibadah shalat, puasa, tadarus al Qur'an, haji, bersede¬kah, membantu orang lain dsb, dapat membuat jiwa menjadi tenteram, dan bahwa berbuat kemudian salah itu lebih baik daripada tidak berbuat karena takut salah, dan bahwa niat baik akan mendorong orang berbuat baik.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, December 16, 2008

Membina Keluarga bahagia Yang islami
Pasangan ideal dari kata keluarga adalah bahagia, sehingga idiomnya menjadi keluarga bahagia. Maknanya, tujuan dari setiap orang yang membina rumah tangga adalah mencari kebahagiaan hidup. Hampir seluruh budaya bangsa menempatkan kehidupan keluarga sebagai ukuran kebahagiaan yang sebenarnya. Meski seseorang gagal karirnya di luar rumah, tetapi sukses membangun keluarga yang kokoh dan sejahtera, maka tetaplah ia dipandang sebagai orang yang sukses dan berbahagia. Sebaliknya orang yang sukses di luar rumah, tetapi keluarganya berantakan, maka ia tidak disebut orang yang beruntung, karena betapapun sukses diraih, tetapi kegagalan dalam rumah tangganya akan tercermin di wajahnya, tercermin pula pada pola hidupnya yang tidak bahagia.

Hidup berkeluarga memang merupakan fitrah sosial manusia. Secara psikologis, kehidupan berkeluarga, baik bagi suami, isteri, anak-anak, cucu-cicit atau bahkan mertua merupakan pelabuhan perasaan, ; ketenteraman, kerinduan, keharuan, semangat dan pengorbanan,semuanya berlabuh di lembaga yang bernama keluarga. Sacara alamiah, ikatan kekeluargaan memiliki nilai kesucian, oleh karena itu bukan hanya di masyarakat tradisionil kesetiaan keluarga dipandang mulia, pada masyarakat liberalpun, kesetiaan keluarga masih menjadi nilai keindahan, meski persemayaman keindahan itu di alam bawah sadar. Dibalik budaya “pergaulan bebas” yang dinikmati masyarakat liberal, tetap saja diakui di alam bawah sadarnya “kebenaran” nilai kesetiaan dalam hidup berkeluarga.

Menikah tidak terlalu sulit, tetapi membangun keluarga bahagia bukan sesuatu yang mudah. Pekerjaan membangun, pertama harus didahului dengan adanya gambar yang merupakan konsep dari bangunan yang diinginkan. Gambar bangunan (maket) bisa didiskusikan dan diubah sesuai dengan konsep fikiran yang akan dituangkan dalam wujud bangunan itu.

Demikian juga membangun keluarga bahagia, terlebih dahulu orang harus memiliki konsep tentang keluarga bahagia. Banyak kriteria yang disusun orang untuk menggambarkan sebuah keluarga yang bahagia, bergantung ketinggian budaya masing-masing orang, misalnya paling rendah orang mengukur kebahagiaan keluarga dengan tercukupinya sandang, pangan dan papan. Bagi orang yang pendidikannya tinggi atau tingkat sosialnya tinggi, maka konsep sandang bukan sekedar pakaian penutup badan, tetapi juga simbol dari suatu makna. Demikian juga pangan bukan sekedar kenyang atau standar gizi, tetapi ada “selera” non gizi yang menjadi konsepnya. Demikian seterusnya tempat tinggal (papan) , kendaraan, perabotan bahkan hiasan, kesemuanya itu bagi orang tertentu mempunyai kandungan makna budaya. Secara sosiologis pesikologis, kehadiran anak dalam keluarga juga dipandang sebagai parameter kebahagiaan.

Rumah tangga juga demikian, ada konsepnya, isteri bukan sekedar perempuan pasangan tempat tidur dan ibu yang melahirkan anak, suami bukan sekedar lelaki, tetapi ada konsep aktualisasi diri yang berdimensi horizontal dan vertikal. Orang bisa saja menunaikan hajat seksualnya di jalanan, dengan siapa saja, tetapi itu tidak identik dengan kebahagiaan. Hubungan seksual dengan perselingkuhan mungkin bisa memuaskan syahwat dan hawa nafsunya, tetapi tidak pernah melahirkan rasa ketenteraman, ketenangan dan kemantapan psikologis.

Konsep keluarga bahagia yang Islami, biasanya disebut dengan istilah Keluarga Sakinah.

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, December 15, 2008

Fungsi Kegiatan Konseling Agama
Dilihat dari beragamnya keadaan klien yang membutuhkan bantuan konseling agama, maka fungsi kegiatan ini bagi klien dapat dibagi menjadi empat tingkat.

(a) Konseling sebagai langkah pencegahan (preventif).

Konseling pada tingkat ini ditujukan kepada orang-orang yang diduga memiliki peluang untuk menderita gangguan kejiwaan (kelompok berisiko), misalnya orang-orang yang terlalu berat penghidupannya, orang-orang yang bekerja amat sibuk seperti mesin, orang-orang yang tersingkir atau teraniaya oleh sistem sosial, atau orang yang kapasitas jiwanya tidak sang¬gup menghadapi kehidupan modern, atau orang yang menghadapi keruwetan hidup. Kegiatan konseling yang bersifat preventif ini harus dilakukan secara aktif, terprogram dan bersistem. Konselor bukannya menunggu klien, tetapi merekalah yang harus men¬datangi kelompok beresiko ini, seperti hisbah yang dilakukan oleh para muhtasib pada zaman Umar bin al Khattab. Program kegiatan semacam pengajian, kun¬jungan sosial, olah raga, kerja bakti sosial dapat juga berfungsi sebagai bentuk pencegahan.

(b) Konseling sebagai langkah kuratif atau korektif.

Konseling dalam fungsi ini sifatnya memberi bantuan kepada individu klien memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Dalam hal ini informasi perlu dise¬bar¬kan kepada masyarakat luas bahwa konselor A atau bahwa lembaga Klinik Konsultasi Agama tertentu dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mem¬butuhkan untuk konseling agama. Diinformasikan bahwa konseling agama dapat membantu memecah¬kan masalah kejiwaan yang dihadapi orang. Informasi ini dapat disebar luaskan melalui media komunikasi, atau melalui masjid, majlis taklim dsb.

(c) Konseling sebagai langkah pemeliharaan (preservatif).

Konseling ini membantu klien yang sudah sembuh agar tetap sehat, tidak mengalami problem yang pernah dihadapi. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan mem¬bentuk semacam club yang anggautanya para klien atau ex klien dengan menawarkan program-program yang terjadwal, misalnya ceramah-ceramah keagamaan atau keilmuan, program aksi sosial untuk kelompok masyarakat tak mampu, misalnya secara aktif meng¬himpun dana bagi pasien tak mampu di rumah sakit, panti asuhan atau panti jompo, atau menawarkan program produktif berupa penghimpunan dana bagi beasiswa mahasiswa berprestasi tapi tak mampu, atau menawarkan program wisata ziarah . Di Jakarta lembaga yang sudah melaksanakan fungsi ini adalah Lembaga Pendidikan Kesehatan Jiwa (LPKJ) Bina Amaliah yang didirikan oleh Dr. Zakiah Darajat.

(d) Fungsi pengembangan (developmental).

Konseling dalam fungsi ini adalah membantu klien yang sudah sembuh agar dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya pada kegiatan yang lebih baik. Kegiatan konseling dalam fungsi ini dapat dilakukan dengan mendirikan semacam club, dengan penekanan pada program yang terarah, yang melibatkan anggauta, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun pengembangan. Klien yang sudah sehat dapat diajak untuk menjadi pengurus dari lembaga-lembaga yang melaksanakan kegiatan sosial, pendidikan dan keagamaan. Dengan aktif sebagai pengurus maka ia bukan hanya menyembuhkan diri sendiri tetapi bahkan menyembuhkan orang lain yang belum sembuh.

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, December 14, 2008

Makna & Pengertian Sakinah
Penggunaan nama sakinah pasti diambil dari al Qur’an surat 30:21, litaskunu ilaiha, yang artinya bahwa Tuhan menciptakan perjodohan bagi manusia agar yang satu merasa tenteram terhadap yang lain. Dalam bahasa Arab, kata sakinah di dalamnya terkandung arti tenang, terhormat, aman, penuh kasih sayang, mantap dan memperoleh pembelaan. Pengertian ini pula yang dipakai dalam ayat-ayat al Qur’an dan hadis dalam kontek kehidupan manusia. Jadi keluarga sakinah adalah kondisi yang sangat ideal dalam kehidupan keluarga, dan yang ideal biasanya jarang terjadi, oleh karena itu ia tidak terjadi mendadak, tetapi ditopang oleh pilar-pilar yang kokoh, yang memerlukan perjuangan serta butuh waktu serta pengorbanan terlebih dahulu. Keluarga sakinah merupakan subsistem dari sistem sosial menurut al Qur’an, bukan bangunan yang berdiri di atas lahan kosong.

21 item sub tema al Qur’an tersebut diatas merupakan landasan dari terbangunnya keluarga sakinah, dan permasalahan sosial seperti yang tersebut dalam item 22-53 diatas selalu berhubungan timbal balik dengan keluarga, mempengaruhi atau dipengaruhi. Uraian tentang konsep keluarga sakinah menurut al Qur’an pastilah kurang memadai , karena Al Qur’an merupakan sumber yang tak pernah kering, oleh karena itu sesunguhnya perlu kajian yang sangat mendalam, tidak sesingkat seperti ini, apa lagi jika diplot dalam sistem sosial dalam kaitannya membangun bangsa. Oleh karena itu, saya ingin membatasi pada simpul-simpul yang bisa mengantar atau menjadi prasyarat tegaknya keluarga sakinah. Hal-hal yang menyangkut pembangunan masyarakat menurut al Qur’an dibahas dalam bab-bab berikutnya. Diantara simpul-simpul yang dapat mengantar pada keluarga sakinah tersebut adalah :

1. Dalam keluarga itu ada mawaddah dan rahmah (Q/30:21). Mawaddah adalah jenis cinta membara, yang menggebu-gebu dan “nggemesi”, sedangkan rahmah adalah jenis cinta yang lembut, siap berkorban dan siap melindungi kepada yang dicintai. Mawaddah saja kurang menjamin kelangsungan rumah tangga, sebaliknya, rahmah, lama kelamaan menumbuhkan mawaddah.

2. Hubungan antara suami isteri harus atas dasar saling membutuhkan, seperti pakaian dan yang memakainya (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna, Q/2:187). Fungsi pakaian ada tiga, yaitu (a) menutup aurat, (b) melindungi diri dari panas dingin, dan (c) perhiasan. Suami terhadap isteri dan sebaliknya harus menfungsikan diri dalam tiga hal tersebut. Jika isteri mempunyai suatu kekurangan, suami tidak menceriterakan kepada orang lain, begitu juga sebaliknya. Jika isteri sakit, suami segera mencari obat atau membawa ke dokter, begitu juga sebaliknya. Isteri harus selalu tampil membanggakan suami, suami juga harus tampil membanggakan isteri, jangan terbalik di luaran tampil menarik orang banyak, di rumah “nglombrot” menyebalkan.

3. Suami isteri dalam bergaul memperhatikan hal-hal yang secara sosial dianggap patut (ma`ruf), tidak asal benar dan hak, Wa`a syiruhunna bil ma`ruf (Q/4:19). Besarnya mahar, nafkah, cara bergaul dan sebagainya harus memperhatikan nilai-nilai ma`ruf. Hal ini terutama harus diperhatikan oleh suami isteri yang berasal dari kultur yang menyolok perbedaannya.

4. Menurut hadis Nabi, pilar keluarga sakinah itu ada empat (idza aradallohu bi ahli baitin khoiran dst); (a) memiliki kecenderungan kepada agama, (b) yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda, (c) sederhana dalam belanja, (d) santun dalam bergaul dan (e) selalu introspeksi.

5. Menurut hadis Nabi juga, empat hal akan menjadi faktor yang mendatangkan kebahagiaan keluarga (arba`un min sa`adat al mar’i), yakni (a) suami / isteri yang setia (saleh/salehah), (b) anak-anak yang berbakti, (c) lingkungan sosial yang sehat , dan (d) dekat rizkinya.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, December 09, 2008

Tiga Lingkungan Membentuk karakter manusia
Menurut sebuah penelitian yang dikutip oleh DR. Zakiah Daradjat, perilaku manusia itu 83 % dipengaruhi oleh apa yang dilihat, 11 % oleh apa yang didengar dan 6 % sisanya oleh berbagai stimulus campuran. Dalam perspektip ini maka nasehat orang tua hanya memiliki tingkat efektifitas 11 %, dan hanya contoh teladan orang tua saja yang memiliki tingkat efektifitas tinggi.

Ada tiga lingkaran lingkungan yang membentuk karakter manusia;; keluarga, sekolah dan masyarakat. Meski ketiganya saling mempengaruhi, tetapi pendidikan keluarga paling dominan pengaruhnya. Jika suatu rumah tangga berhasil membangun keluarga sakinah, maka peran sekolah dan masyarakat menjadi pelengkap. Jika tidak maka sekolah kurang efektip, dan lingkungan sosial akan sangat dominan dalam mewarnai keluarga. Pada masyarakat modern, pengaruh lingkungan sangat kuat, karena ia bukan saja berada di luar rumah, tetapi menyelusup ke dalam setiap rumah tangga, sehingga menimbulkan penyakit tersendiri, yakni penyakit manusia modern.

Penyakit manusia modern terutama adalah apa yang disebut Pisikolog Humanis Rolllo May sebagai “Manusia dalam Keangkeng”. Mereka tidak tahu apa yang diinginkan dan tidak mampu memilih jalan hidup yang diinginkan. Mereka mengalami keterasingan dari lingkungan bahkan dari diri sendiri. Mereka juga dikerangkeng oleh tuntutan sosial. Dalam hidupnya mereka berusaha keras melakukan apa yang seakan-akan mereka inginkan, padahal sebenarnya keinginan sosial. Mereka sibuk meladeni keinginan orang lain sampai lupa akan keinginan sendiri. Rumah, pakaian, kosmetik, kendaraan, model rambut dan gaya hidup lainnya disesuaikan dengan pesanan sosial. Karena sulit akhirnya dalam pergaulannya mereka harus menggunakan berbagai topeng sosial, topeng tertawa, topeng tangisan, topeng serius, topeng perjuangan dan seterusnya, dan saking seringnya memakai topeng sosial sampai lupa wajah sendiri.

Read More
posted by : Mubarok institute
Bulu Jin & Blue Jean
Masrakat Indonesia sudah lama akrab dengan jin,sama akrabnya dengan celana blue jean..Kalau ada tempat yang dipandang masih angker mereka berkata, itu tempat jin buang anak. Banyak”tokoh” dicurigai mempunyai khadam (pelayan) jin. Di perkotaan bahkan pernah diramaikan adanya transaksi jual beli jin. Benarkah ?

Bagi orang Islam setiap hari dianjurkan untuk membaca a`uzu billahi min as syyaithon ar rojim., yang artinya aku berlindung kepada Alloh dari godaan syaitan yang terkutuk. Dalam al Qur’an surat annas disebutkan bahwa kekuatan kejahatan syaitan itu ada pada jin dan manusia, minal jinnati wan naas. Bahkan satu surat dalam al Qur’an bernama surat aljinn Disebutkan dalam al Qur’an Nabi Adam terusir dari sorga gara-gara jebakan iblis. Nabi (Raja) Sulaiman juga pernah dikecoh oleh jin. Kisah-kisah dalam hadis dan dalam kitab kuning, terutama kitab tasawwuf sarat dengan uraian yang menyebutkan karakteristik jin dan syaitan. Di ”lapangan” banyak sekali kisah yang menyebutkan pergaulan atau interaksi manusia dengan jin dan syaitan. Sesungguhnya bagaimana duduk soalnya ?

Tuhan sebagai Sang Pencipta (khaliq) menciptakan alam ini semua yang disebut makhluk (asalnya makhluq). Makhluk ciptaan Tuhan itu bermacam-macam, ada benda mati dan ada benda hidup, yang hiduppun ada yang bernyawa dan ada yang tidak bernyawa. Nah makhluk yang bernyawa ada yang berfisik dan ada makhluk halus. Makhluk bernyawa yang berfisik ada yang berakal (manusia) dan ada yang tidak berakal (hewan). Semua makhluk halus masuk kategori jin, karena jin artinya sesuatu yang tidak nampak atau gelap, maka gelapnya malam disebut junun allail, orang gila yang gelap akal disebut majnun. Nah malaikat itu mahluk halus juga tetapi ia tidak gelap karena diciptakan dari cahaya. Iblis adalah makhluk halus jenis syaitan. Bible menyebutnya satan atau balzebul.

Dari segi syari`at, manusia dan jin adalah makhluk yang mukallaf, makhluk yang diamanati tugas oleh Tuhan, dan diberi implikasi punishment atau reward, jika taat masuk surga, jika durhaka masuk neraka. Malaikat tidak mukallaf, mereka hanya bisa menjalankan tugas tanpa pilihan. Syaitan dan iblis sudah mengambil pilihan untuk menjadi oposisi, yaitu menyesatkan manusia dan jin untuk diajak ke neraka. Dari segi kualitas (potensi kejahatan), syaitan bisa berujud manusia bisa juga jin.

Manusia sebagai makhluk berfisik tidak bisa menghilang (menjadi jin), tetapi jin,syaitan dan malaikat dalam berkomunikasi dengan mansia bisa mewujudkan dirinya seperti makhluk berfisik sesuai dengan kebutuhan komunikasi, bisa berupa orang cantik untuk menggoda,bisa berbentuk makhluk serem untuk nakut-nakuti.

Menurut hadis Nabi, ada tiga kategori jin, pertama yang berujud ular,kala jengking dan sebangsanya. Kedua yang berujud seperti angin, dan ketiga yang berujud seperti manusia dan mukallaf. Karena status jin yang mukalaf itu maka jin ada yang baik dan ada yang jahat, ada yang mukmin dan ada yang kafir. Sesama makhluk mukallaf, manusia dimungkinkan untuk komunikasi dengan jin, bertukar informasi, dan bekerja sama. Bahkan kita sering dengar ada orang yang punya ajudan (khadam) jin.. Bagi orang yang punya khadam jin maka ia bisa menyuruhnya untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tertentu, jadi satpam dirumah, mengambil atau mengirim sesuatu dari dan ke tempat yang jauh, bisa juga untuk menutupi orang dari penglihatan orang lain (menghilang) dan sebagainya.

Pengalaman dengan jin

Sewaktu saya kecil di kampung, sudah menjadi keyakinan warga bahwa di masjid kuno milik kakek saya ada jin yang tinggal di masjid. Kata orang yang sudah dewasa waktu itu, jin terkadang ikut makmum di belakang orang yang sedang salat tahajud. Jika ada yang tidur di dalam masjid dan auratnya tersingkap,maka jin akan memindahkan orang itu keluar masjid, terkadang di dekat kolam wudu, terkadang di kuiburan yang berada di sebelah masjid.

Sewaktu tahun 1965 saya menjadi merbot masjid di Jl. Sunan Giri Rawamangun (letaknya persis berbatasan dengan kuburan), semula saya tidak peduli kata-kata orang yang mengatakan di masjid itu ada Qorin, yakni nama jin yang sering membuat orang kesurupan. Tetapi pada suatu hari ternyata sayapun digodanya. Ketika itu hati saya sedang gundah gulana karena putus pacar. Karena tidur saya memang di masjid, saya salat malam dan mengadu kepada Tuhan, kenapa setiap gadis yang saya suka mereka menolak, dan setiap gadis yang mendekati saya,saya justeru tidak tertarik. Ketika saya sedang menengadahkan tangan berdoa, tiba-tiba tangan saya ditarik oleh kekuatan gaib. Saya sadar,ini pasti ulah jin’ Untuk menetralisir kekuatan Jin jika ia jin jahat,maka saya terus menerus membaca ayat kursiy. Ternyata saya ditarik oleh tangan sendiri untuk mengelilingi masjid dua kali,kemudian naik ke menara, kemudian ambil celurit, turun kemudian mengggali tanah di dekat menara. Dari tanah galian, tangan saya cekatan sekali menseleksi tanah,kemudian tangan saya spontan menggosok- gundungan tanah yang sudah ada di lantai, dan dari gosokan tanah itu terpegang satu batu akik yang sangat menarik. Melalui gerakan yang aneh saya bisa mengambil kotak korek api , membuang isinya dan memasukkan btu akikitu ke dalam kotak korek api, lalu saya dibawa naik ke menara,menaroh kotak korek api itu di bawah bantal dan saya langsung tertidur.

Seperti biasanya paginya saya bangun subuh, azan dan mengimami salat jamaah. Ketika saya kembali ke kamar di menara masjid, saya teringat batu akik semalam, saya ambil,saya perhatikan. Sangat menarik keindahan batu akik itu, tetappi saya sadar, batu itu adalah mainan jin, maka saya ambil keputusan, saya buang agar tidak ketemu lagi dengan si Qarin.

Pengalaman kedua; adik kakek saya memang punya khadam jin. Dia memang sering dipandang sakti oleh orang,karena mampu menunjukkan keajaiban-keajaiban, misalnya menghilang,menemukan barang hilang, menemukan orang hilang, menolak santet,bahkan kadang-kadang main-main dengan harimau yang dipanggil. Kepada saya sebagai cucu, ia ceritera apa adanya. Katanya ia kenal dengan jin itu ketika masih berusia 9 tahun. Ceriteranya ia dilempar ke jurang yang sangat dalam dan gelap oleh orang yang sedang mencari jimat. Maksudnya memang supaya mati. Tetapi di jurang gelap itu katanya ia ditolong oleh orang yang ternyata jin. Sejak itu jin itu seperti menjadi ajudannya. Belakangan ketika sudah tua, ia sering mengeluh tentang jinnya itu. Katanya ia ingin furqah (cerai) tetapi tidak bisa. Ia merasa terganggu karena dalam keadaan sakitpun kakek masih harus menjalankan tugas sebagai bagian dari kontraknya dengan jin ajudannya.
Lain lagi pengalaman pak Jenderal Bardosono, almarhum,bekas Ketua Umum PSSI. Ketika sedang menjalankan ibadah haji,bertiga merekamemburu salat jamaah di masjidi lHaram, tetapi terlambat,maka mereka bertiga mampir salat di salah satu masjid di kota Makkah. Pak Bardosono tidak tahu bahwa masjid itu sudah lama disebut orang sebagai masjid Jin. Mereka salat hanya bertiga. Ketika imam takbir, tiba-tiba datang banyak orang ikut berjamaah disamping dan di belakangnya. Pak Bardosono cs berfikir mereka adalah masyarakat sekitar. Ketika usai salam,seperti biasa PakBardosono menyalami jemaah di kiri kanannya.Tiba-tiba semua orang yang banyak itu menghilang. Spontan mereka bertiga mrinding lalu lari keluar masjid. Waktu dikonfirmasi wartawan Tempo,pakBardosono mengatakan,saya kan jenderal masa lari ketakutan, malu dong, saya jalan tetapi jalannya cepat.

Saya sendiri sering bercanda. Saya sering berkata, sekarang jin sudah bisa menjadi komoditi ekport, yaitu bulunya, bulu jin (blue jean), hi hi hi ha ha ha..

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, December 01, 2008

Nabi Garis Keras
Surat al Fatihah yang setiap hari berkali-kali kita baca ada ayat yang berbunyi ihdinas shirath al mustaqim; yang artinya ya Allah tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus. Apa itu jalan lurus atau shirat al mustaqim? ayat itu ditafsirkan oleh ayat berikutnya’ yakni; jalan lurus itu ialah “jalan” yang pernah dirintis dan dicontohkan oleh orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, bukan jalan dari orang yang dimurkai dan bukan jalan dari orang yang sesat. Lalu siapakah orang yang telah diberi nikmat oleh Allah itu (alladzina an`amta `alaihim)? ayat itu ditafsir oleh surat an Nisa ayat 69, alladzina an`amallohu `alaihim minan nabiyyin was syuhada was shalihin. Orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah adalah para nabi, syuhada dan orang-orang salih. Jadi shirathal mustaqim adalah jalan hidup konsisten yang telah dicontohkan oleh para Nabi, para syuhada dan para orang-orang saleh.

Pertanyaan berikutnya, Nabi siapa yang harus kita ikuti sementara tipologi para nabi juga berbeda-beda? Manusia memiliki tabiat, temperamen dan kecenderungan yang berbeda-beda. Ragamnya tipologi para nabi justeru merupakan rahmat Allah, karena setiap orang bisa memilih rujukan idolanya. Nabi Nuh misalnya adalah tipologi kepribadian yang keras dan ektrim. Dikisahkan dalam al Qur’an surah Nuh bagaimana Nabi Nuh melapor kepada Allah tentang berbagai cara yang telah dilakukan untuk mengajak bangsanya ke jalan yang benar, tetapi selalu direspon secara negatif oleh bangsanya.

Nabi Nuh melapor bahwa bangsanya lebih memilih jalan dari orang-orang yang semua assetnya hanya men¬datangkan kerugian (Q/71:21). Meskipun Nuh itu seorang Nabi, tetapi setelah berusaha ratusan tahun, iapun memiliki batas kesabaran. Nabi Nuh hopless terhadap bangsanya. Ia sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi mempertahankan eksistensi bangsanya yang tidak mau menengok jalan yang benar, karena mereka fanatik kepada jalan tradisionil mereka yang jelas-jelas sesat. Di akhir pengaduannya, Nabi Nuh mengusulkan agar bangsa¬nya yang kafir dimusnahkan saja; Rabbi la tadzar ‘alal ardhi minal kafirina dayyara, ya Tuhan, jangan Engkau biarkan seorangpun dari orang-orang kafir itu tinggal diatas bumi (Q/71:26), karena mereka dan anak-anak mereka nantipun (berdasar pengalaman beliau) sudah tidak bisa diharap lagi (Q/71:27).

Nabi Nuh mengakhiri laporannya dengan memohonkan ampun bagi dirinya, kedua orang tuanya dan sedikit orang yang mematuhinya, sambil terakhir kali tetap mohon agar orang-orang zalim itu tidak usah diberi peluang lagi (Q/71:28). Begitulah sikap keras Nabi Nuh setelah membutktikan kesabaran usaha sepanjang umurnya.
Jika di seberang sana ada Nabi garis keras, di ujung yang lain ada tipologi Nabi yang sebaliknya, lembut dan pemaaf. Dialah Nabi Ibrahim, bapaknya para nabi. Ketika Nabi Ibrahim melapor kepada Tuhan tentang tugas-tugas yang telah dijalankannya, beliau berkata; faman tabi‘ani fa innahu minni, waman ‘ashani fa innaka ghafurun rahim. Ya Tuhan; sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak orang, maka barang siapa yang mengikuti aku maka ia termasuk golonganku, adapun orang yang menen¬tangku, maka (solusinya kami serahkan kepada Mu, karena) sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Penyayang (Q/14:36).

Dua tipologi yang berseberangan ini ternyata menurun kepada generasi sahabat Nabi Muhammad S.a.w., yaitu Umar bin Khattab dan Abu Bakar Siddik. Dikisahkan dalam sebuah hadis; Rasul meminta masukan kepada para sahabat tentang solusi atas tawanan perang. Ada situasi dilematis ketika itu. Di satu sisi, tawanan perang wajib dijamin makan (hak azazinya), di sisi lain, jangankan untuk menjamin makan tawanan yang jumlahnya banyak, untuk makan para prajurit Islampun persediaan makan tak mencukupi. Merespon sikap demokratis Nabi itu, Abu Bakar Siddik mengajukan pendapatnya. Agar kita terbebas dari beban kewajiban memberi makan ke¬pada tawanan perang, maka saya usul bebaskan saja semuanya.

Umar bin Khattab yang dikenal keras dan kritisnya, mengajukan pendapat yang sangat berbeda. Kata Umar; jika tawanan dibebaskan, maka hal itu akan membahayakan posisi kita, karena kita tidak bisa menjamin mereka tidak kembali menyerang kita. Agar kita terbebas dari ancaman mereka, dan bebas juga dari kewajiban memberi makan, saya usul disembelih saja semuanya. Nabi tersenyum melihat dua tipologi sahabatnya yang sangat berbeda, dan Nabi mnyatakan bahwa Abu Bakar memiliki hati yang sangat lembut melebihi lembutnya susu (alyanu minal laban), seperti hatinya Nabi Ibrahim, dan menyebut Umar memiliki kekerasan hati seperti kerasnya batu (asyaddu minal hajar), seperti hatinya Nabi Nuh. Mengapa? karena Rasul melihat bahwa dibalik kelembutan dan kekerasan hati dua orang itu ada kesamaan, yaitu mencintai Allah dan Rasulnya, bukan fanatik buta.

Pemecahan yang dilakukan oleh Rasul ternyata tidak menggu¬nakan dua pendapat itu, tetapi sebagaimana yang tersebut dalam sejarah, tawanan yang kaya harus menebus dengan harta, yang pandai menebus dengan mengajarkan tulis baca, dan tawanan yang miskin diberi ongkos pulang. Sikap ekstrim yang dilandasi oleh cinta kepada kebenaran akan dapat mengubah sikap terhadap masalah. Abu Bakar ternyata kemudian dalam mensikapi rencana ekpedisi militer yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid, (setelah Nabi wafat) bersikap lebih keras dibanding Umar bin Khattab.

Yang harus diwaspadai dalam bersikap adalah motivasi. Terkadang seseorang atau sekelompok orang bersikap keras dengan argumen agama, tetapi ternyata di dalam hatinya lebih banyak interest yang tidak ada hubungannya dengan agama. Itulah ‘ashabiyyah (fanatik) yang menyesatkan. Syaitan memang pandai menyulap, apa yang sesat tetapi justeru terasa indah di dalam hati, idz zayyana lahum assyaitan ‘’a‘malahum (Q/8:48). Jarak antara kebenaran dan kesesatan dalam sikap fanatik memang sangat tipis. Kisah atsar dari literatur Syi’ah antara lain menyebutkan; suatu saat Ali bin Abi Thalib sedang dalam peperangan. Ali berhasil menjatuhkan lawan dan tinggal menusuk¬kan pedangnya, tetapi tiba-tiba musuhnya meludahi wajah Ali dengan dahak yang sangat banyak. Ali marah, dan justeru karena ia merasa sedang marah maka Ali kemudian menarik pedangnya menyuruh musuhnya pergi dari hadapannya, sambil berkata engkau bukan tandinganku. Mengapa Ali tidak me¬nusukkan pedangnya? Karena jika Ali membunuh dalam keadaan marah, maka itu bukan jihad, tetapi mengikuti hawa nafsu syaitan, karena marah adalah kendaraan syaitan. A‘udzu billahi min as syaithan ar rajim, Wallohu a‘lam.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger