Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Tuesday, March 31, 2009

Memahami Takdir
Yang berbicara dan mempersoalkan “takdir” hanyalah manusia. Mengapa? Di antara sekian banyak makhluk yang mengisi alam raya ini, hanyalah manusia yang mempunyai kemampuan memikirkan perbuatannya dan kejadian-kejadian yang berlaku di sekitarnya. Pada tahap tertentu dalam kehidupannya, daya fikirnya bekerja penuh melakukan penalaran; yaitu ketika ia sudah mencapai titik pertumbuhan jasmani dan rohani yang dewasa atau akil baliq. Ketika itu manusia merasa dirinya kuat, cakap dan cerdas, dapat mengetahui dan dapat melakukan segalanya; kemam¬puannya meluap-luap menginginkan segalanya.

Bilamana manusia berada dalam keadaan sehat, kuat serba tahu dan serba mau, dia merasa dirinya mampu mandiri, dan tidak memerlukan siapa-siapa, maka pada gilirannya ia bisa menghina atau memperkosa orang lain, atau sekurang-kurangnya memandang remeh sesama orang lain. Kenyataan ini direkam dalam Alquran pada ayat 6 dan 7 Surah al-‘Alaq: Ketahuilah! Sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup.

Namun bilamana sejenak ia mampu mengendalikan diri lalu bersedia mendengarkan suara hati nuraninya, maka dia akan diberi petunjuk untuk melihat dan mengamati sekelilingnya. Apa sesungguhnya yang terjadi? Manusia akan menemukan bahwa tidak semua apa yang dinginkannya (mau diperbuat) akan senantiasa terjadi sebagaimana ia kehendaki sendiri. Tidak sedikit hal-hal yang terjadi justeru di luar kemampuannya dan tidak sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Ketika manusia berjumpa dengan kenyataan seperti itu, maka ia akan mulai merasakan keter¬batasan dirinya itu, dan pada gilirannya akan mengenal adanya batas-batas dalam kehidupan ini. Mujurlah manusia bilamana ia sempat menoleh sejenak ke belakang, melihat masa lalu yang telah dilewatinya dalam perjalanan hidup itu. Ia akan tahu bahwa kehadirannya di atas persada bumi ini, sama sekali di luar jangkauan kemampuannya, dia sama sekali tidak mempunyai pilihan tentang hal tersebut. Siapa yang menjadi ayahnya dan siapa ibu yang melahirkannya itu? Kapan ia lahir dan di mana terjadi kelahirannya? Kenapa dia lahir sebagai laki-laki atau sebagai perempuan? Semuanya harus ia terima menurut adanya, dan semua itu tidak terjangkau oleh keinginannya dan berada di luar kemampuannya sendiri: ia tidak bebas menentukan pilihan atas hal-hal tersebut. Bukankah ini semua, menjadi kenyataan hidup manusia yang sesungguhnya?

Barangsiapa yang memilih berangkat dari angka satu dalam menyusun bilangan ketika ia berhitung (dan memang itulah pilihan yang tepat dan logis) maka ia akan mencari jawaban teka-teki kehidupan itu, dari titik awal kehadirannya di bumi ini. Bukankah sebelumnya ia sendiri berada di angka nol, sebagaimana diungkapkan Alquran dalam Surah al-Insan: Bukankah telah berlalu atas manusia itu suatu kurun waktu dimana ia belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?

Ketika ia belum hadir di dalam rahim ibunya, ia belum punya nama dan belum punya wujud yang nyata, bagaimana ia dapat disebut? Dan mau disebut apa ketika itu? Bukankah awal kehadirannya di bumi ini sesuatu yang sungguh misterius? Dan bukankah kehidupan itu sendiri adalah misteri yang tak kunjung terpecahkan oleh daya nalarnya sepanjang sejarah? Hal seperti ini merupakan bentuk lain dari keterbatasan manusia di dalam hal pengetahuannya. Sementara pengetahuan manusia ini (yang melahirkan ilmu dan teknologi) merupakan kebanggaan tertinggi bagi manusia itu.

Maka apabila kita menalar kenyataan-kenyataan yang ada di sekeliling kita sebagaimana diungkap di atas, kita akan melihat bahwa masalah takdir, nasib, suratan dan perwujudan yang nyata dalam soal ajal, rezki, jodoh, dan lain sebagainya, kuncinya adalah bagaimana kita memahami hubungan antara manusia dengan kehidupan itu sendiri.

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, March 30, 2009

Nafs pada Orang Meninggal Dunia
Pengertian mati dan hidup harus dibedakan antara pengertian medis dan pengertian eskatologis. Secara medik, mati mengandung arti kebalikan dari hidup, sedangkan dalam konsep eskatologis seperti yang dianut al-Quran, disamping ada hidup di alam dunia, mamsih ada kehidupan setelah kematian, dan bahkan al-Quran menyatakan dalam surat al- Ankabut / 29:64 bahwa kehidupan setelah mati itulah kehidupan yang sebenarnya.

Tentang jasad orang mati yang hancur menjadi tanah pun, al-Quran menyatakan dalam surat Yasin / 36:78-79 bahwa kelak Allah akan menghidupkan kembali tulang belulang yang sudah hancur dan nafs akan dipertemukan dengan tubuhnya, seperti yang dipaparkan dalam surat al-Takwir / 81:7. Al-Quran juga menggunakan term nafs untuk menyebut totalitas manusia dalam arti jiwa dan raga seperti yang tersebut dalam surat al-ma idah / 52:32 dan totalitas manusia dalam arti yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di akhirat seperti yang disebutkan dalam surat Yasin / 36:54.

Dengan demikian, menurut al-Quran, nafs itu dengan sistemnya tetap berada pada manusia pemiliknya, baik ketika ia berada bersama jasadnya dalam alam kehidupan dunia maupun ketika setelah berada dalam alam kematian (kehidupan di akhirat). Yang membedakan ialah bahwa dalam alam kehidupan dunia, nafs dalam status usaha, sementara nafs di alam akhirat hanya tinggal menerima pahala atau azab.

Adapun roh, ia ditiupkan Allah ke dalam jasad yang sudah memenuhi syarat kesempurnaan seperti yang diisyaratkan dalam surat al-Sajdah / 32:7-9, dan ketika ajal telah tiba, roh dipisahkan dengan jasad oleh malaikat maut, seperti yang diisyaratkan surat al-Anam / 6:93. Jadi, dalam keadaan mati, jasad seseorang sudah tidak ada rohnya yang mmenyebabkan ia hidup. Al-Quran tidak berbicara tentang perjalanan roh setelah kematian seseorang, apakah roh pindah ke alam baqa atau hilang kembali ke asalnya. Al-Quran surat al-Isra / 17:85 telah menutup peluang untuk mengetahui lebih banyak tentang roh dengan kalimat roh itu urusan Allah SWT dan manusia hanya diberi sedikit pengetahuan itu.

Al-Quran menyebutkan bahwa manusia akan dikembalikan kepada Allah. Tentang kembalinya manusia kepada Allah SWT, al-Quran menggunakan tiga term, yaitu:

1) Bahwa setiap yang berjiwa akan merasakan mati dan kemudian akan dikembalikan kepada Allah, disebut dalam surat al-Ankabut / 29:57

2) Bahwa manusia akan kembali kepada Allah, disebutkan dalam surat al-Baqarah / 2:156

3) Bahwa Allah adalah tempat kembalinya manusia, disebut dalam surat Alu ‘Imran / 3:55 .

Tentang siapa yang kembali kepada-Nya, apakah rohnya, nafs-nya, akal dan hatinya atau totalitas jiwa raganya, al-Quran menyebut bahwa jiwa manusia harus mempertanggungjawabkan amalnya kepada Allah SWT kelak, yakni:

1)Nafs-nya, seperti yang disebutkan dalam surat Yasin / 36:54,

2) Qalb-nya, seperti yang diisyaratkan surat al-Baqarah / 2:225, dan

3) Fungsi-fungsi jiwanya, pendengaran, penglihatan dan fuad-nya, seperti yang disebut dalam surat al-Isra / 17:36.

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, March 29, 2009

8 Prinsip Tazkiyyat an Nafs
Seperti disebutkan sebelumnya, jiwa manusia oleh Tuhan didesain sempurna, diangugerahi kapasitas tertentu, berfitrah suci dan bisa ditingkatkan kesuciannya, tetapi bisa juga menjadi kotor jika dikotori.

Prinsip-prinsip kesucian jiwa tersebut dipaparkan oleh Alquran sebagai berikut.

1. Ada Nafs yang suci secara fitri, yakni suci sejak mula kejadiannya, yaitu nafs anak-anak yang belum mukallaf dan belum pernah melakukan perbuatan dosa seperti yang disebut dalam surat Alkahfi 74 dan surat Maryam 19.

Artinya : maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa pun berkata, Mengapa kamu bunuh jiwa yang suci, bukan karena dia membunuh orang lain? sesungguhnya kamu telah melakukan yang mungkar. (Q/18 : 74).

Artinya : Ia (Jibril) berkata : Sesungguhnya aku ini haruslah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci. (Q/19 : 19).

2. Nafs yang suci jika tidak dipelihara kesuciannya bisa berubah menjadi kotor, seperti tersebut dalam surat Assyams, 10.

Artinya : dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotori (jiwa) nya (Q/91:10).

3. Manusia bisa melakukan usaha penyucian jiwa seperti disebut dalam surat annaziâat : 18, al Fatir : 18 dan surat Al a'la : 1.

Artinya : dan katakanlah (kepada Firaun) adalah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan) (Q/79:18).

¦ dan barang siapa yang menyucikan dirinya, sesungguhnya ia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah lah kembali (mu) (Q/35 : 18).

Artinya : Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman) (Q/87 : 14).

4. Proses penyucian jiwa itu bisa melalui usaha, yakni dengan mengeluarkan zakat seperti tersebut dalam surat attaubah : 103, dan menjalankan pergaulan hidup secara terhormat seperti yang diisyaratkan dalam surat Annur : 28 dan 30.

Artinya : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan (hati dari kekikiran dan cinta harta) dan menyucikan mereka (dengan tumbuhnya sifat-sifat terpuji dalam jiwa mereka) (Q/9 : 103).

Artinya : Jika kamu tidak menemui seorang pun di dalam rumah (yang bukan rumahmu) itu, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: Kembali (saja) lah,maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q/24 : 28).

Artinya : Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan (Q/24 : 30).

5. Penyucian nafs juga bisa dilakukan dengan proses pendidikan seperti yang dilakukan oleh para Nabi kepada umatnya. Hal ini ditegaskan Alquran dalam surat Albaqarah : 129, 151, surat Al-Imran : 164 dan surat Jumâ'ah 2.

Artinya : Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.(Q/62 :2).

6. Di samping melalui usaha dan pendidikan, penyucian jiwa bisa juga terjadi karena karunia dan rahmat Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendaki oleh-Nya, seperti disebutkan dalam surat Annur : 21 dan surat Annisa : 49.

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Q/24 : 21).

7. Perbuatan menyucikan jiwa (tazkiyyat an nafs) merupakan perbuatan terpuji dan dihargai Tuhan seperti disebut dalam surat Taha : 75-76, Q/91 : 9, Q/87 : 14, dan Q/92 : 18.

Artinya : (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Dan itu adalah balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan) (Q/20 : 76).

8. Bahwa perbuatan mengaku jiwanya telah suci merupakan hal yang tercela, seperti yang tersurat dalam surat Annajm/53 : 32, dan Q/4 : 49.

Artinya : maka, janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa (Q/53 : 32).

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, March 24, 2009

Analisis Hubungan Harta dengan Tazkiyyat an Nafs
Manusia sebagai khalifah Allah dilengkapi dengan pelbagai kelebihan, tetapi sebagai hamba Allah, ia juga memiliki berbagai kelemahan. Di samping potensi kebaikan, manusia juga potensial terjerumus ke lembah kehinaan. Di satu sisi, manusia memiliki fitrah berketuhanan seperti yang disebut dalam surat Arrum/30 : 3 (fa aqim wajhaka liddîni hanîfa fithratallahil latî fatharannâsa ‘alayhâ) yang menyebabkan ia rindu mendekatkan diri (taqarab dan taraqqi) kepada Tuhan, tetapi pada sisi lain, manusia memiliki hawa nafsu yang cenderung mengejar kenikmatan sesaat, yang sifatnya rendah, yang jika dituruti akan menjauhkan hubungan manusia itu dengan-Nya.

Dalam surat Ali Imran 14 disebutkan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk mengikuti dorongan syahwatnya menyangkut wanita, anak-anak, perhiasan emas perak, kendaraan, ternak dan tanah lading. Kesemua hal tersebut bagi manusia mengandung makna kenikmatan, kebanggaan, dan manfaat, serta merupakan harta duniawi.
Salah satu penghambat hubungan manusia dengan Tuhannya adalah cinta harta atau hub ad dunyâ, mencintai hal-hal yang berskala dekat. Untuk mendekat kepada Tuhan, terlebih dahulu manusia harus bersih jiwanya sementara cinta harta merupakan salah satu daki yang mengotori jiwanya itu. Salah satu bentuk sifat orang yang cinta harta adalah kikir, hal ini benar-benar merusak jiwa manakala dipatuhi, seperti dikatakan dalam hadis Nabi riwayat Tabrani bahwa satu dari tiga hal yang merusak manusia adalah sifat kikir yang dipatuhi (suhhun muthô’un).

Oleh karena itu, metode melawan kekikiran adalah tidak mematuhinya yakni dengan cara mengeluarkan sebagian hartanya untuk sedekah, meski hawa nafsunya menyuruh yang sebaliknya. Perlawanan terus menerus terhadap sifat kikir itu merupakan proses tazkiyyah, dank arena kuatnya pengaruh jiwa nafsu, Alquran mengisyaratkan perlunya campur tangan kekuasaan untuk melakukan perlawanan terhadap sifat kikir manusia dalam bentuk perintah mengambil zakat bagi yang sudah berkewajiban seperti yang disebut dalam surat at Taubah/9 : 103 yu-tî mâlahu yatazakkâ.

Alquran sangat konsisten dalam menganjurkan pengeluaran harta, baik yang diwajibkan (zakat) maupun yang dianjurkan (sedekah), sampai nafs yang sudah tercemar dapat kembali manjadi nafs zakiyyah, seperti pendapat Abu Amr Ibn al A’la yang dikutip oleh ar Razi, yakni nafs yang tidak lagi terbelenggu oleh dorongan-dorongan syahwat. Apa yang dilakukan oleh Abu Bakar Sidik ketika beliau mengeluarkan harta untuk membebaskan Bilal, seorang budak Muslim yang sedang disiksa oleh majikannya karena keislamannya dipandang sebagai perwujudan dari jiwa yang sudah bersih. Seperti yang banyak disebut oleh para mufasir bahwa turunnya suart Allail/95 : 18 adalah berkenaan dengan perbuatan Abu Bakar tersebut.

Dapat disebut sebagai puncak tazkiyyah adalah apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ketika beliau siap melaksanakan perintah Tuhan menyembelih puteranya, Ismail karena posisi Ismail bagi Ibrahim adalah harta yang tidak ternilai, melebihi nilai seluruh hartanya.

Sebagaimana halnya kodrat manusia di hadapan kekuasaan Tuhan, manusia tidak bisa menjamin keberhasilan usahanya melakukan tazkiyyah, sebagaimana Rasul juga tidak bisa menjamin keberhasilan usahanya berdakwah sampai-sampai pamannya sendiri tidak beriman sebagaimana disebut dalam surat Alqasas/28 : 56. Dalam hal ini Alquran di samping memuji orang yang berusaha melakukan tazkiyyah juga menyebut tentang adanya hak otonomi Tuhan. Surat Annur 21 dan Annisa/5 : 49 menyebutkan bahwa Allah menyucikan jiwa orang-orang yang dikehendaki-Nya. (balillahi yuzakki man yasyâ-u).

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, March 22, 2009

Tazkiyyat an Nafs
Telah disebutkan dalam uraian sebelumnya bahwa pada dasarnya nafsu itu diciptakan Allah SWT dalam keadaan sempurna (Q/91 : 7-8). Akan tetapi, ia dapat tercemar menjadi kotor jika tidak dijaga (Q/91 : 9-10). Tentang Nafs yang masih suci disebutkan dalam surat Alkahfi/18 : 74, dalam rangkaian kisah Nabi Khidir yang teks ayatnya telah ditulis di bagian depan.

Istilah zakiyyah pada ayat tersebut di atas (nafsan zakiyyatan) merupakan sifat dari nafs sehingga nafs zakiyyah artinya jiwa yang suci. Dalam konteks ayat tersebut, pemiliki nafs yang suci itu adalah anak kecil sebagaimana juga disebut dalam surat Maryam : 19 ghulâman zakiyyan. Jadi, nafs yang secara fitri masih suci adalah nafs dari anak yang belum mukallaf, yang dalam hhal ini belum berdosa.

Fakhr ar Razi mengutip perbedaan makna dari kalimat zakiyyah dan zâkiyah. Sebagian Mufasir memandang sama arti kedua kalimat itu. Akan tetapi sebagian membedakannya, seperti Abu ‘Amr Ibn al ‘Ala. Menurutnya, nafs zâkiyyah (dengan alif) adalah jiwa yang suci secara fitri, yakni belum pernah melakukan dosa, sedang nafs zakiyyah adalah jiwa yang suci setelah melalui proses tazkiyyatan nafs dengan bertobat dari perbuatan dosa.

Kesucian nafs bersifat manusiawi, maka kotornya pun bersifat maknawi. Seseorang dapat memelihara kesucian nafs-nya manakala ia konsisten dalam ketakwaan. Sebaliknya, nafs berubah menjadi kotor jika pemiliknya menempuh jalan dosa atau fujur.

Surat Assyams/91 : 7-10 menyebutkan bahwa sungguh rugi orang yang telah mengotori jiwanya (wa qod khôba man dassâhâ) kata dassa berasal dari kata dassa-yadussu yang arti lughowinya menyembunyikan sesuatu di dalam sesuatu. Dalam konteks ayat ini, orang mengotori jiwanya dengan perbuatan dosa yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Oleh karena itu, sebagain mufasir berpendapat bahwa ayat Alquran ini (Q/91 : 10) berkenaan dengan nafs orang saleh yang melakukan kefasikan, bukan jiwa orang kafir. Pasalnya, orang saleh, meski ia melakukan dosa, tetapi ia malu dengan perbuatannya itu sehingga ia lakukan dengan cara sembunyi-sembunyi. Berbeda dengan orang kafir yang melakukannya dengan terang-terangan.

Alquran mengisyaratkan bahwa jiwa yang tercemar masih dapat diusahakan untuk menjadi suci kembali, baik dengan usaha sendiri, memalui pendidikan atau karena anugerah dan rahmat Allah seperti yang diisyaratkan oleh surat Q/9 : 103, Q/3: 164.

Artinya : Sungguh Allah telah member karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Alkitab dan Alhikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan nabi) itu mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata (Q/3 : 164).

Ayat Alquran tersebut mengisyaratkan bahwa orang yang sesat masih dimungkinkan untuk dibersihkan jiwanya. Usaha atau proses penyucian jiwa itu disebut tazkiyyat an nafs.

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, March 18, 2009

Pemimpin
Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lain. Arti Masyarakat itu sendiri yang berasal dari bahasa Arab musyarakah adalah saling bersekutu. Jadi masyarakat adalah wujud dari kesepakatan umum bagaimana setiap warganya dijamin peluangnya untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam sistem masyarakat, diatur yang kecil tidak dizalimi oleh yang besar, yang lemah dijamin memperoleh keadilan, yang memiliki kelebihan dijamin penghargaannya. Masyarakat juga sepakat untuk memberikan perlindungan kepada hak-hak azazi manusia, fisiknya, hartanya, fikirannya, jiwanya dan keyakinannya. Untuk itulah maka masyarakat mem¬bangun tradisi, membangun kebudayaan, membangun institusi seperti negara dan bahkan membangun badan dunia seperti Persatuan Bangsa Bangsa (PBB).

Cita-cita bangsa Indonesia dengan mendirikan negara Republik Indonesia misalnya, seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 45 adalah untuk: (1) melindungi segenap warga negara, (2) hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warganya, (3) menghargai kedaulatan rakyat, dan (4) berketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

Manusia secara pribadi adalah makhluk yang di satu sisi berfikir positif dan menyukai kebaikan, tetapi di sisi lain terkadang berfikir negatif dan kemudian melakukan perbuatan yang bukan saja merusak dirinya tetapi juga merusak atau mengganggu orang lain. Perilaku manusia juga ada yang bersifat individual dan terkadang bersifat sosial. Ada orang yang secara pribadi adalah pendiam, penakut dan cenderung patuh, tetapi ketika ia menjadi bagian dari perilaku sosial yang bringas maka ia bisa berubah menjadi pemberani, nekad dan agresif, satu perilaku yang sangat berbeda dengan perilaku individualnya.

Untuk menjamin terlaksananya kesepakatan sosial, maka masyarakat mengenal struktur pemimpin dan yang dipimpin. Pemimpin diberi kewenangan oleh orang banyak untuk mengorganisir dan mengatur strategi pencapaian tujuan, dan orang banyak harus membantu dan mentaati pemimpin yang telah di¬sepakati. Manusia mengenal sistem kepemimpinan (leadership) pada setiap lapisan. Setiap orang adalah pemimpin bagi dirinya (kullukum ra‘in). Kemudian suami adalah pemimpin dalam rumah tangga, lurah adalah pemimpin satu desa dan seterusnya Presiden adalah pemimpin dari satu negara. Tipologi pemimpin itu bermacam-macam, tetapi kontrak pemimpin dan yang dipimpin bersifat “universal”. Kepe¬mimpinan akan efektif jika rakyat yang dipimpin merasa mem¬peroleh sesuatu dari pe¬mimpinnya; memperoleh rasa keadilan, rasa aman, dan bimbingan menuju masa depan yang menjanjikan. Oleh karena itu seorang pemimpin haruslah orang yang memiliki banyak kelebihan dibanding yang dipimpin, karena seorang pemimpin harus bisa memberi. Jika tiga hal itu tidak bisa diberikan oleh seorang pemimpin, maka kepe¬mimpinannya tidak akan efektif. Jika kepemimpinan tidak efektif maka kesepakatan umum bermasyarakat akan rusak, tatanan kehidupan menjadi tidak tertib, dan masya¬rakat manusia yang semestinya berbudaya tinggi akan berubah menjadi kerumunan binatang yang saling menyerang, apa yang sekarang disebut sebagai anarki.

Sebab-sebab terjadinya anarki
Al Mawardi merumuskan sebab-sebab terjadinya anarki pada suatu masyarakat dengan kalimat yang sangat pendek tetapi jelas; La yashluhu al qaumu faudla la surata lahum, wala surata idza juhhaluluhum sadu. Artinya; Suatu bangsa tidak akan eksis jika masyarakatnya anarkis. Anarkisme terjadi karena mereka tidak memiliki tokoh teladan yang dapat dijadikan panutan dalam hidup sehari-hari. Dan masyarakat akan kehilangan panutan jika orang-orang yang menjadi pemimpin terdiri dari orang-orang bodoh. Kata juhhal tidak mesti berarti bodoh dengan IQ rendah, tetapi juga bermakna, orang pandai yang melakukan perbuatan bodoh, bisa karena egois, karena buruk akhlaknya atau karena keliru cara berfikirnya.

Kekeliruan yang dilakukan oleh rakyat biasa, paling-paling hanya dicibirkan orang lain, tetapi kekeliruan dari seorang pemimpin (apalagi jika berulang kali dilakukan, karena kebodohannya) akan berdampak pada rusaknya tatanan sosial. Oleh karena itu periksalah seteliti mungkin sebelum mengangkat seseorang menjadi pemimpin. Wallahu a‘lam. v

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, March 16, 2009

Nasib Manusia
Nasib manusia sering disebut dengan kalimat suratan nasib atau suratan tangan, atau suratan takdir, yang menggambarkan bahwa nasib manusia telah tertulis di lauh mahfudz sebagai takdir, dan manusia tak berdaya mengubahnya. Jika kita menengok al Qur’an maka kita jumpai bahwa penjelasan tentang takdir dan nasib itu tidaklah hitam putih, karena di satu sisi diungkapkan bahwa setiap peristiwa yang terjadi di alam raya hingga selembar daun yang jatuh pasti bertitik tolak dari kehendak Allah (qudrat iradat Allah) dan tidak terlepas dari kendali pengawasan Allah serta tersurat dalam ketetapan yang jelas (fi kitabin mubin). Sementara di sisi lain diungkapkan bahwa manusia memiliki daya pilih dan daya upaya, bebas menentukan perbuatannya dan mampu mempengaruhi masa depan dan nasibnya dan dapat pula mengubahnya sendiri. Al Qur’an surat al Kahfi ayat 29 misalnya memberi kebebasan memilih kepada manusia untuk beriman atau kafir, faman sya’a fal yu’min, waman sya’a fal yakfur.

Dua pola ungkapan al Qur’an itu kemudian melahirkan pola-pola pemikiran yang berlainan. Pertama pola kepercayaan “Jabbbariah” yang mengata-kan bahwa nasib manusia telah ditentukan secara pasti dan tetap oleh Allah Yang Maha Pencipta dimana manusia tinggal menjalani ketentuan-ketentuan itu sepenuhnya tanpa daya pilih dan tanpa daya upaya. Pola kedua adalah kepercayaan “Qadariyah” yang mengatakan bahwa manusialah yang menentukan segala-galanya, nasibnya tergantung pada pilihan dan usahanya karena manusia memiliki kebebasan untuk menentukan kebebasannya. Pola ketiga disebut kepercayaan “Ahlussunnah wal Jamaah”, yang mengata-kan bahwa ada keterbatasan dalam diri manusia, sehingga daya pilih dan daya upaya yang dimilikinya menjadi tidak mutlak, sekalipun keduanya sangat penting artinya sebagai landasan taklif (penunaian tugas yang diamanatkan Allah kepada manusia).

Kepercayaan yang benar tentang takdir itu adalah bagian dari ilmu yang utuh, yang mendorong manusia untuk bekerja keras, cermat dan tertib dengan segala daya dan dana yang ada padanya berdasarkan pilihannya yang timbul dari kesadaran akan amanah taklif yang diembannya untuk meningkatkan kualitas dirinya dalam menggapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Wallohu a‘lam.

Read More
posted by : Mubarok institute

Friday, March 13, 2009

Pola Hidup & Etika
Dalam kehidupan ummat manusia, kita dapat mengamati berbagai macam pola hidup, baik dalam ruang lingkup hidup kelompok, etnis, bangsa dan ummat. Itu terjadi karena pola hidup itu merupakan produk dari pandangan hidup. Pandangan hidup yang tumbuh dan berkembang dari aqidah, membentuk pola hidup tertentu yang lazimnya disebut “syari`ah”. Ajaran syari`ah itu sangat realistik dalam melihat kehidupan manusia secara universal. Dalam rangka itu diperkenalkan adanya lima komponen kehidupan, yang dijadikan acuan untuk mewujud¬kan kehidupan yang berkualitas (hayatan thayyibah), yang menjamin kehormatan dan manfaat kehidupan yang layak bagi manusia.

Lima komponen kehidupan (al kulliyyat al khoms) yang diperkenalkan syari’ah Islam ialah; (1) Diri ma¬nusia yang utuh, mencakup jiwa, raga dan kehormatan¬nya, (2) Akal fikirannya, (3) Harta benda/ kekayaannya, (4) Nasab/keturunannya, (5) Keyakinan/agamanya.

Kelima komponen kehidupan itu harus dilindungi keselamatannya dengan perangkat hukum yang menjamin keamanan hidupnya dan kesejahteraan¬nya secara adil. Itulah wujud sesungguhnya dari hukum Islam yang merupakan pengejawantahan syari‘ah. Upaya mengenal syari’ah lebih luas lazim¬nya ditangani dalam ilmu Fiqh. Yang secara specifik berhubungan dengan politik dibahas dalam Fiqh as Siyasah. Di situ kita akan melihat suatu sistem kajian yang memperkenalkan kepada kita empat bidang utama dalam penjabaran kelima komponen kehidupan manusia tersebut diatas. Dalam hubungan itu baiklah diperhatikan hal-hal berikut ini:

1. Berkaitan dengan keyakinan kepada Tuhan manusia mewujudkannya dengan ritual ibadah, hal ini merupakan kajian pertama dan utama ilmu Fiqih.

2. Berkaitan dengan hubungan antar manusia, kita akan berkenalan dengan kajian munakahat dan muamalat.

3. Berkaitan dengan tertib sosial, perlu ada penegakkan hukum dan pemberlakuan kepastian hukum. Ini merupakan bagian akhir dari kajian fiqih.

Etika Hidup
Perpaduan antara syari‘ah dan ‘aqidah dalam interaksi yang utuh/yang dilandasi kesadaran ketaqwaan, menjadi jaminan dari ber¬fungsinya iman dalam diri manusia itu, sehari-hari membentuk jati¬diri seorang manusia muslim. Ia akan tampil dalam sosok seorang yang hidup bersih, sederhana, rajin bekerja, cerdas, tulus, santun, penyayang, jujur dan benar, baik dalam ka¬pasitas kehidupan pribadinya, kehidupan keluarga, kehidupan sosial maupun dalam tanggung jawab¬nya sebagai warga negara Republik Indonesia. Jika bangsa Indonesia mengedepankan etika hidup, maka keragaman akan menjadi kekuatan, tetapi jika sebaliknya, yakni etika hidup dikesam¬pingkan maka keragaman akan menjadi potensi konflik seperti yang sedang menggejala dewasa ini. Kesemuanya terpulang kepada kemauan kita ber¬sama, bangsa Indonesia, mayoritas muslim terbesar di dunia.

Read More
posted by : Mubarok institute
Persaudaraan
Hampir tidak ada orang Islam yang belum pernah mendengar nama Ansor dan Muhajirin. Kedua nama tersebut terabadi¬kan dalam al Qur’an dan tersebut dalam teks-teks doa. Muhajirin artinya orang-orang yang hijrah. Yang dimaksud orang-orang Muhajirin dalam al Qur’an adalah penganut Islam generasi awal yang demi me¬melihara imannya dan menghindar dari gangguan musuh meninggalkan kampung halamannya di Makkah berhijrah ke Madinah. Sedangkan Ansor yang artinya penolong digunakan untuk menyebut penduduk Madinah generasi Islam pertama yang bersedia menerima hijrahnya Nabi dan pengikutnya (Muhajirin Makkah).

Kedua kelompok itu akhirnya menjadi pilar masyarakat Madinah yang mengantar sejarah Islam sampai menjadi kekuatan adidaya pada masanya. Baik Muhajirin maupun Ansor, keduanya memiliki tokoh-tokoh besar yang kemudian berperan dalam sejarah. Sebenarnya tabiat penduduk Makkah berbeda dengan penduduk Madinah. Orang Makkah yang pada umumnya pedagang bertabiat keras, lugas dan agak kasar. Sedangkan orang Madinah yang agraris pada umumnya lembut dan ramah. Kaum Muhajirin datang dalam jumlah besar ke Madinah sebagai pengungsi tanpa sempat membawa harta, satu hal yang potensil menimbulkan masalah sosial. Tetapi format persaudaraan antara pendatang (Muhajirin) dan pribumi (Ansor) dibentuk sedemikian rupa oleh Rasulullah sehingga menyatu dalam satu komunitas muslim.

Dalam sebuah dokumen tertulis (Sahifah) seperti yang disebut Ibn Hisyam dan Sirah Nabawiyyah, Nabi menetapkan batasan hubungan berikut hak dan kewajiban yang secara tradisionil telah melekat antara Muhajirin Quraisy dan Ansor Madinah di satu pihak dengan orang-orang Yahudi di pihak lain. Dokumen itu mengatur tata pergaulan semua pen-duduk menyangkut pidana, perdata dan politik. Yang sangat menarik ialah bagaimana hubungan Muhajirin dan Ansor diatur dalam format persaudaraan (mu’a khah) laiknya saudara seketurunan. Abu bakar Siddik misalnya dipersaudarakan dengan Kharijah bin Zuhair. Umar bin Khattab dipersaudarakan dengan ‘Itban bin Malik, Abu ‘Ubaidah Abdulla al Jarrah di¬persaudarakan dengan Asmah ‘Amir bin Abdullah, begitu seterusnya sehingga tak seorang Muhajirin¬pun yang tidak memiliki saudara di Madinah. Persaudaraan yang diikat dengan nama Allah ini telah mewujudkan hubungan solidaritas yang sangat tinggi, misalnya orang Ansor membagi harta¬nya menjadi dua, separoh untuk dirinya dan separoh lain untuk saudara barunya dari Muhajirin.
Hubungan persaudaraan seiman itu menjelma bagaikan persaudaraan seketurunan. Barangkali model hubungan ukhuwwah Ansor-Muhajirin ini merupa-kan model ideal yang tak pernah terulang dalam masyarakat sesudahnya hingga sekarang, meski Al Qur’an menganjurkan untuk diteruskan. Itulah mengapa al Qur’an menggunakan kata ikhwah yang artinya saudara seketurunan dan bukan kata ikhwan, dalam ayat innamal mu’minuna ikhwah, yang artinya; bahwasanya antara orang-orang mu’min itu ada hubungan persaudaraan’ dengan harapan bahwa meskipun mereka bukan saudara seketurunan tetapi hendaknya hubungan seiman itu menyerupai hubungan seketrununan. Al Qur’an memuji kaum Ansor, yang meski dalam keadaan sulit tetapi tetap solider, terhadap kesulitan orang lain.

Wayu’ tsiruuna ‘alaa anfusihim walau kaana bihim khashaashash. (QS/59:9)

Read More
posted by : Mubarok institute
Fitrah Kesucian Nafs
Telah disebutkan dalam uraian sebelumnya bahwa pada dasarnya nafsu itu diciptakan Tuhan dalam keadaan sempurna (Q/91 : 7-8). Akan tetapi, ia dapat tercemar menjadi kotor jika tidak dijaga (Q/91 : 9-10). Tentang Nafs yang masih suci disebutkan dalam surat Alkahfi/18 : 74, dalam rangkaian kisah Nabi Khidir yang teks ayatnya telah ditulis di bagian depan.

Istilah zakiyyah pada ayat tersebut di atas (nafsan zakiyyatan) merupakan sifat dari nafs sehingga nafs zakiyyah artinya jiwa yang suci. Dalam konteks ayat tersebut, pemiliki nafs yang suci itu adalah anak kecil sebagaimana juga disebut dalam surat Maryam : 19 ghulâman zakiyyan. Jadi, nafs yang secara fitri masih suci adalah nafs dari anak yang belum mukallaf, yang dalam hhal ini belum berdosa.

Fakhr ar Razi mengutip perbedaan makna dari kalimat zakiyyah dan zâkiyah. Sebagian Mufasir memandang sama arti kedua kalimat itu. Akan tetapi sebagian membedakannya, seperti Abu ‘Amr Ibn al ‘Ala. Menurutnya, nafs zâkiyyah (dengan alif) adalah jiwa yang suci secara fitri, yakni belum pernah melakukan dosa, sedang nafs zakiyyah adalah jiwa yang suci setelah melalui proses tazkiyyatan nafs dengan bertobat dari perbuatan dosa.

Kesucian nafs bersifat manusiawi, maka kotornya pun bersifat maknawi. Seseorang dapat memelihara kesucian nafs-nya manakala ia konsisten dalam ketakwaan. Sebaliknya, nafs berubah menjadi kotor jika pemiliknya menempuh jalan dosa atau fujur. Surat Assyams/91 : 7-10 menyebutkan bahwa sungguh rugi orang yang telah mengotori jiwanya (wa qod khôba man dassâhâ) kata dassa berasal dari kata dassa-yadussu yang arti lughowinya menyembunyikan sesuatu di dalam sesuatu. Dalam konteks ayat ini, orang mengotori jiwanya dengan perbuatan dosa yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Oleh karena itu, sebagain mufasir berpendapat bahwa ayat Alquran ini (Q/91 : 10) berkenaan dengan nafs orang saleh yang melakukan kefasikan, bukan jiwa orang kafir. Pasalnya, orang saleh, meski ia melakukan dosa, tetapi ia malu dengan perbuatannya itu sehingga ia lakukan dengan cara sembunyi-sembunyi. Berbeda dengan orang kafir yang melakukannya dengan terang-terangan.

Alquran mengisyaratkan bahwa jiwa yang tercemar masih dapat diusahakan untuk menjadi suci kembali, baik dengan usaha sendiri, memalui pendidikan atau karena anugerah dan rahmat Allah seperti yang diisyaratkan oleh surat Q/9 : 103, Q/3: 164.

Artinya : Sungguh Allah telah member karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Alkitab dan Alhikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan nabi) itu mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata (Q/3 : 164).

Ayat Alquran tersebut mengisyaratkan bahwa orang yang sesat masih dimungkinkan untuk dibersihkan jiwanya. Usaha atau proses penyucian jiwa itu disebut tazkiyyat an nafs.

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, March 02, 2009

Pengertian Ukhuwah
Sungguh bahwa Allah telah menempatkan manusia secara keseluruhan sebagai Bani Adam dalam kedudukan yang mulia, walaqad karramna bani Adam (Q/17:70). Manusia diciptakan Allah SWT dengan identitas yang berbeda-beda agar mereka saling mengenal dan saling memberi manfaat antara yang satu dengan yang lain (Q/49:13). Tiap-tiap ummat diberi aturan dan jalan (yang berbeda), padahal seandainya Allah mau, seluruh manusia bisa disatukan dalam kesatuan ummat.

Allah SWT menciptakan perbedaan itu untuk memberi peluang berkompetisi secara sehat dalam menggapai kebajikan, fastabiqul khairat (Q/5;48). Oleh karena itu sebagaimana dikatakan oleh Rasul, agar seluruh manusia itu menjadi saudara antara yang satu dengan yang lain, wakunu ‘ibadallahi ikhwana. (Hadis Bukhari)
Dalam bahasa Arab, ada kalimat ukhuwwah (persaudaraan), ikhwah (saudara seketurunan) dan ikhwan (saudara tidak seketurunan). Dalam al Qur’an kata akhu (saudara) digunakan untuk menyebut saudara kandung atau seketurunan (Q/4:23), saudara sebangsa (Q/7:65), saudara semasyarakat walau berselisih faham (Q/38;23) dan saudara seiman (Q/49;10). Al Qur’an bukan hanya menyebut persaudaraan kema¬nusiaan (ukhuwwah insaniyyah), tetapi bahkan me¬nyebut binatang dan burung sebagai ummat seperti ummat manusia (Q/6;38) sebagai saudara semakhluk (ukhuwwah makhluqiyyah).

Istilah ukhuwwah Islamiyyah bukan bermakna persaudaraan antara orang-orang Islam, tetapi persaudaraan yang didasarkan pada ajaran Islam atau persaudaraan yang bersifat Islami. Oleh karena cakupan ukhuwwah Islamiyyah bukan hanya menyangkut sesama orang Islam tetapi juga menyangkut persaudaraan dengan non muslim, bahkan dengan makhluk yang lain. Seorang pemilik kuda misalnya, tidak boleh membebani kudanya dengan beban yang melampaui batas kewajaran. Ajaran ini termasuk dalam ajaran ukhuwwah Islamiyyah bagaimana seorang muslim bergaul dengan hewan kuda yang dimilikinya.

Dari ayat-ayat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Al Qur’an (dan Hadis) sekurang-kurangnya memperkenalkan empat macam ukhuwwah; yaitu;

1. Ukhuwwah ‘ubudiyyah; persaudaraan karena sama-sama makhluk yang tunduk kepada Allah.

2. Ukhuwwah insaniyyah atau basyariyyah, persau¬daraan karena sama-sama sebagai manusia secara keseluruhan.

3. Ukhuwwah wathaniyyah wa an nasab. Persaudaraan karena keterikatan keturunan dan kebangsaan.

4. Ukhuwwah diniyyah, persaudaraan karena seagama.

Bagaimana ukhuwwah berlangsung, tak lepas dari faktor penunjang. Faktor penunjang yang signifi¬kan membentuk persaudaraan adalah persamaan. Semakin banyak persamaannya, baik persamaan rasa maupun persamaan cita-cita maka semakin kokoh ukhuwwahnya. Ukhuwwah biasanya melahirkan aksi solidaritas. Contohnya, di antara kelompok masyarakat yang sedang berselisih, segera terjalin persaudaraan ketika semuanya menjadi korban banjir, karena banjir menyatukan perasaan, yakni sama-sama merasa menderita.Kesamaan perasaan itu kemudian memunculkan kesadaran untuk saling membantu.

Petunjuk Al Qur’an Tentang Ukhuwwah

1. Tetaplah berkompetisi secara sehat dalam mela¬kukan kebajikan, meski mereka berbeda-beda agama, ideologi, status; fastabiqul khairat (Q/5;48). Jangan berfikir menjadikan manusia dalam keseragaman, memaksa orang lain untuk ber¬pendirian seperti kita misalnya, karena Tuhan menciptakan perbedaan itu sebagai rahmat, untuk menguji mereka siapa diantara mereka yang mmberikan kontribusi terbesar dalam kebajikan.

2. Memelihara amanah ( tanggung jawab) sebagai khalifah Allah di bumi, di mana manusia dibebani keharusan menegakkan kebenaran dan keadilan (Q/38;26), serta memelihara keseimbangan lingkungan alam (Q/30:41).

3. Kuat pendirian tetapi menghargai pendirian orang lain. Lakum dinukum waliya din (Q/112;4), tidak perlu bertengkar dengan asumsi bahwa kebenaran akan terbuka nanti di hadapan Tuhan (Q/42:15).

4. Meski berbeda ideologi dan pandangan, tetapi harus berusaha mencari titik temu, kalimatin sawa, tidak bermusuhan, seraya mengakui eksistensi masing-masing (Q;3;64).

5. Tidak mengapa bekerjasama dengan pihak yang berbeda pendirian, dalam hal kemaslahatan umum, atas dasar saling menghargai eksistensi, berkeadilan dan tidak saling menimbulkan kerugian (Q/60;8). Dalam hal kebutuhan pokok, (mengatasi kelaparan, bencana alam, wabah penyakit dsb) solidaritas sosial dilaksanakan tanpa memandang agama, etnik atau identitas lainya (Q/2:272).

6. Tidak memandang rendah (mengolok-olok) kelompok lain, tidak pula meledek atau membenci mereka (Q/49:11).

7. Jika ada perselisihan diantara kaum beriman, maka islahnya haruslah merujuk kepada petunjuk Al Qur’an dan Sunnah Nabi (Q/4;59).

Al Qur’an menyebut bahwa sanya pada hakekat¬nya orang mu’min itu bersaudara (seperti saudara sekandung), innamal mu’minuna ikhwah (Q/49;10). Hadis Nabi bahkan memisalkan hubungan antara mukmin itu bagaikan hubungan anggauta badan dalam satu tubuh dimana jika ada satu anggauta badan menderita sakit, maka seluruh anggauta badan lainnya solider ikut merasakan sakitnya dengan gejala demam dan tidak bisa tidur. Nabi juga mengingatkan bahwa hendaknya diantara sesama manusia tidak mengem¬bangkan fikiran negatif (buruk sangka), tidak mencari-cari kesalahan orang lain, tidak saling mendengki, tidak saling membenci, tidak saling membelakangi, tetapi kembangkanlah persaudaraan. (H R Abu Hurairah).

Meski demikian, persaudaraan dan solidaritasnya harus berpijak kepada kebenaran, bukan mentang-mentang saudara lalu buta terhadap masalah. Al Qur’an mengingatkan kepada orang mu’min; agar tidak tergoda untuk melakukan perbuatan melampaui batas ketika orang lain melakukan hal yang sama kepada mereka. Sesama mukmin diperintakan untuk bekerjasama dalam hal kebajikan dan taqwa dan dilarang bekerjasama dalam membela perbuatan dosa dan permusuhan, Ta‘awanu ‘alal birri wat taqwa wala ta‘awanu ‘alal itsmi wal ‘udwan. (Q/5;2). Wallohu a‘lamu bissawab.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger