Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Wednesday, September 30, 2009

Nabi Garis keras
Surat al Fatihah yang setiap hari berkali-kali kita baca ada ayat yang berbunyi ihdinas shirath al mustaqim; yang artinya ya Allah tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus. Apa itu jalan lurus atau shirat al mustaqim? ayat itu ditafsirkan oleh ayat berikutnya’ yakni; jalan lurus itu ialah “jalan” yang pernah dirintis dan dicontohkan oleh orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, bukan jalan dari orang yang dimurkai dan bukan jalan dari orang yang sesat. Lalu siapakah orang yang telah diberi nikmat oleh Allah itu (alladzina an`amta `alaihim)? ayat itu ditafsir oleh surat an Nisa ayat 69, alladzina an`amallohu `alaihim minan nabiyyin was syuhada was shalihin. Orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah adalah para nabi, syuhada dan orang-orang salih. Jadi shirathal mustaqim adalah jalan hidup konsisten yang telah dicontohkan oleh para Nabi, para syuhada dan para orang-orang saleh.

Pertanyaan berikutnya, Nabi siapa yang harus kita ikuti sementara tipologi para nabi juga berbeda-beda? Manusia memiliki tabiat, temperamen dan kecenderungan yang berbeda-beda. Ragamnya tipologi para nabi justeru merupakan rahmat Allah, karena setiap orang bisa memilih rujukan idolanya. Nabi Nuh misalnya adalah tipologi kepribadian yang keras dan ektrim. Dikisahkan dalam al Qur’an surah Nuh bagaimana Nabi Nuh melapor kepada Allah tentang berbagai cara yang telah dilakukan untuk mengajak bangsanya ke jalan yang benar, tetapi selalu direspon secara negatif oleh bangsanya. Nabi Nuh melapor bahwa bangsanya lebih memilih jalan dari orang-orang yang semua assetnya hanya men¬datangkan kerugian (Q/71:21). Meskipun Nuh itu seorang Nabi, tetapi setelah berusaha ratusan tahun, iapun memiliki batas kesabaran. Nabi Nuh hopless terhadap bangsanya. Ia sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi mempertahankan eksistensi bangsanya yang tidak mau menengok jalan yang benar, karena mereka fanatik kepada jalan tradisionil mereka yang jelas-jelas sesat. Di akhir pengaduannya, Nabi Nuh mengusulkan agar bangsa¬nya yang kafir dimusnahkan saja; Rabbi la tadzar ‘alal ardhi minal kafirina dayyara, ya Tuhan, jangan Engkau biarkan seorangpun dari orang-orang kafir itu tinggal diatas bumi (Q/71:26), karena mereka dan anak-anak mereka nantipun (berdasar pengalaman beliau) sudah tidak bisa diharap lagi (Q/71:27). Nabi Nuh mengakhiri laporannya dengan memohonkan ampun bagi dirinya, kedua orang tuanya dan sedikit orang yang mematuhinya, sambil terakhir kali tetap mohon agar orang-orang zalim itu tidak usah diberi peluang lagi (Q/71:28). Begitulah sikap keras Nabi Nuh setelah membutktikan kesabaran usaha sepanjang umurnya.

Jika di seberang sana ada Nabi garis keras, di ujung yang lain ada tipologi Nabi yang sebaliknya, lembut dan pemaaf. Dialah Nabi Ibrahim, bapaknya para nabi. Ketika Nabi Ibrahim melapor kepada Tuhan tentang tugas-tugas yang telah dijalankannya, beliau berkata; faman tabi‘ani fa innahu minni, waman ‘ashani fa innaka ghafurun rahim. Ya Tuhan; sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak orang, maka barang siapa yang mengikuti aku maka ia termasuk golonganku, adapun orang yang menen¬tangku, maka (solusinya kami serahkan kepada Mu, karena) sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Penyayang (Q/14:36).

Dua tipologi yang berseberangan ini ternyata menurun kepada generasi sahabat Nabi Muhammad S.a.w., yaitu Umar bin Khattab dan Abu Bakar Siddik. Dikisahkan dalam sebuah hadis; Rasul meminta masukan kepada para sahabat tentang solusi atas tawanan perang. Ada situasi dilematis ketika itu. Di satu sisi, tawanan perang wajib dijamin makan (hak azazinya), di sisi lain, jangankan untuk menjamin makan tawanan yang jumlahnya banyak, untuk makan para prajurit Islampun persediaan makan tak mencukupi. Merespon sikap demokratis Nabi itu, Abu Bakar Siddik mengajukan pendapatnya. Agar kita terbebas dari beban kewajiban memberi makan ke¬pada tawanan perang, maka saya usul bebaskan saja semuanya. Umar bin Khattab yang dikenal keras dan kritisnya, mengajukan pendapat yang sangat berbeda. Kata Umar; jika tawanan dibebaskan, maka hal itu akan membahayakan posisi kita, karena kita tidak bisa menjamin mereka tidak kembali menyerang kita. Agar kita terbebas dari ancaman mereka, dan bebas juga dari kewajiban memberi makan, saya usul disembelih saja semuanya. Nabi tersenyum melihat dua tipologi sahabatnya yang sangat berbeda, dan Nabi mnyatakan bahwa Abu Bakar memiliki hati yang sangat lembut melebihi lembutnya susu (alyanu minal laban), seperti hatinya Nabi Ibrahim, dan menyebut Umar memiliki kekerasan hati seperti kerasnya batu (asyaddu minal hajar), seperti hatinya Nabi Nuh. Mengapa? karena Rasul melihat bahwa dibalik kelembutan dan kekeras¬an hati dua orang itu ada kesamaan, yaitu mencintai Allah dan Rasulnya, bukan fanatik buta. Pemecahan yang dilakukan oleh Rasul ternyata tidak menggunakan dua pendapat itu, tetapi sebagaimana yang tersebut dalam sejarah, tawanan yang kaya harus menebus dengan harta, yang pandai menebus dengan mengajarkan tulis baca, dan tawanan yang miskin diberi ongkos pulang. Sikap ekstrim yang dilandasi oleh cinta kepada kebenaran akan dapat mengubah sikap terhadap masalah. Abu Bakar ternyata kemudian dalam mensikapi rencana ekpedisi militer yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid, (setelah Nabi wafat) bersikap lebih keras dibanding Umar bin Khattab.

Yang harus diwaspadai dalam bersikap adalah motivasi. Terkadang seseorang atau sekelompok orang bersikap keras dengan argumen agama, tetapi ter¬nyata di dalam hatinya lebih banyak interest yang tidak ada hubungannya dengan agama. Itulah ‘ashabiyyah (fanatik) yang menyesatkan. Syaitan memang pandai menyulap, apa yang sesat tetapi justeru terasa indah di dalam hati, idz zayyana lahum assyaitan ‘’a‘malahum (Q/8:48). Jarak antara kebenaran dan kesesatan dalam sikap fanatik memang sangat tipis. Kisah atsar dari literatur Syi’ah antara lain menyebutkan; suatu saat Ali bin Abi Thalib sedang dalam peperangan. Ali berhasil menjatuhkan lawan dan tinggal menusuk¬kan pedangnya, tetapi tiba-tiba musuhnya meludahi wajah Ali dengan dahak yang sangat banyak. Ali marah, dan justeru karena ia merasa sedang marah maka Ali kemudian menarik pedangnya menyuruh musuhnya pergi dari hadapannya, sambil berkata engkau bukan tandinganku. Mengapa Ali tidak me¬nusukkan pedangnya? Karena jika Ali membunuh dalam keadaan marah, maka itu bukan jihad, tetapi mengikuti hawa nafsu syaitan, karena marah adalah kendaraan syaitan. A‘udzu billahi min as syaithan ar rajim, Wallohu a‘lam.

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, September 27, 2009

Selamat Hari raya Idul Fitri 1430 H
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..

Sahabat pembaca setia blog Mubarok Institute,

Perkenankan segenap staf, karyawan dan pimpinan Mubarok Institute mengucapkan 'Selamat Hari Raya Idul Fitri 1430 Hijriyah, Mohon maaf lahir dan batin..

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
-Mubarok Institute-

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, September 13, 2009

Makna Salat
Komunikasi antara seorang manusia dengan Alloh SWT, bisa berupa permintaan (doa), pengaduan, konsultasi, bisa juga sebagai pelepas kerinduan. Salat Istikharah misalnya adalah bentuk permintaan seorang manusia kepada Alloh agar diberi kemampuan memilih (dipilihkan yang terbaik) dari pilihan-pilihan yang sulit.

Jawaban dari istikharah dapat diketahui melalui tiga jalan. (1) melalui isyarat naumiyyah, yakni isyarat mimpi yang melambangkan apa yang sebaiknya dipilih, (2) jawaban itu disampaikan melalui nasehat dan saran banyak orang, yang terasa sehat, masuk akal dan menyejukkan, dan (3) melalui ketajaman nurani dimana hati menjadi sangat yakin atas pilihannya meski boleh jadi ditentang oleh seluruh penduduk bumi.

Adapun jika seorang mukmin mempunyai permintaan khusus kepada Alloh, maka kepadanya dianjurkan untuk mengerjakan salat hajat. Al Qur'an memang mengisyaratkan bahwa permohonan pertolongan kepada Alloh SWT bisa dilakukan dengan sabar dan salat, ista'i nu bi as sobri wa as salat. (Q/2:45, 153)

Jika orang mengerjakan salat istikharah disebabkan karena kurang percaya diri dalam mengambil keputusan, maka salat hajat dilakukan sehubungan dengan telah adanya keputusan yang diambil dan langkah yang sudah dimulai. Dalam keyakinan atas pilihan itulah orang bermohon agar apa yang diyakini telah diridai Alloh itu terlaksana dengan baik. Perhatikan kandungan doa salat hajat seperti yang diajarkan oleh Rasul di bawah ini:

Artinya: Tiada Tuhan selain Alloh Yang Maha Penyantun lagi Mulia. Maha Suci Allah, Pemilik ‘Arasy yang Agung. Segala puji bagi Alloh, Tuhan semesta alam. Aku mohon kepada Mu hal-hal yang mendatangkan (a) rahmat Mu, (b) ampunan Mu, (c) perlindungan Mu dari dosa, (d) peluang meraih segala kebajikan dan (e) terbebas dari kesalahan. Ya Alloh aku mohon kepada Mu, jangan Engkau biarkan dosaku tanpa Engkau ampuni, dan jangan Engkau biarkan kesulitanku, tanpa Engkau beri jalan ke luar, dan jangan Engkau biarkan hajatku yang telah Engkau ridai, tanpa Engkau kabulkan, wahai Tuhan yang Maha Pengasih.

Read More
posted by : Mubarok institute

Friday, September 04, 2009

Permainan Politik vs Politik Permainan
Kata-kata permainan ternyata bisa menghebohkan dunia perpolitikan nasional. Bermula dari pertanyaan wartawan, apakah Demokrat sudah resmi mendukung Taufik Kiemas menjadi Ketua MPR ? waduh,ini baru komunikasi politik, ujungnya kita belum tahu karena jangan lupa,politik itu game atau permainan, tergantung bagaimana operan-operannya dan bagaimana di ujung ada nggak yang bisa memasukkan ke dalam goal, soalnya kan banyak yang bermain. Jawab saya. Wartawan lain menyimpulkan. Jadi hubungan Demokrat dengan PDIP hanya untuk main-main ? Selanjutnya dari dialog itu berkembangn menjadi ”heboh” di koran dan di TV. Sesungguhnya apa sih ?

Secara universal, politik itu memiliki tiga dimensi; sebagai ilmu,sebagai seni dan sebagai game. Dengan ilmu politik maka produk politik seperti Undang-Undang dan Peraturan Negara menjadi logik,dapat diuji secara ilmiyah. Politik sebagai game membuat yang menang maupun yang kalah mendapat aplouse, karena game itu menyenangkan, kalah dan menang menjadi sesuatu yang biasa, yang kalah mengakui kekalahannya karena permainanan sudah diatur dalam bingkai aturan permainan the rule of the game. Politik sebagai seni membuat persaingan politik bahkan pergulatan politikpun menjadi indah ditonton dan indah dirasa..

Perjuangan politik juga sama dengan game, keberhasilannya ditentukan oleh banyak pemain, oleh strategi permainan, dan akhirnya ditentukan oleh fenomena politik terakhir adakah pemain yang mampu menendang bola politik ke goal. Banyak permainan yang dimulai dengan tidak serius, tetapi kemudian berkembang menjadi sangat serius dan akhirnya berhasil, goaaal. Sebaliknya ada yang sudah diputuskan secara resmi – misalnya koalisi besar Golkan dan PDIP- dalam prosesnya berkembang menjadi seperti tidak ada karena tidakmerangsang permainan dan akhirnya memang tidak sampai ke goal.

Dalam permainan sudah barang tentu ada tekan menekan, ada taktik, ada strategi ada mobilisasi yang berimplikasi menekan lawan. Sepanjang permainannya tidak melanggar aturan permainan maka ia tetap dinilai sebagai pandai bermain. Karena pemain juga bisa bermain tidak fair,maka dalam permainan politikjuga ada wasit, ada panwaslu yang menjamin sportifitas dalam bermain. Yang sangat menarik adalah perrjuangan penekanan politik ke KPU oleh pasangan capres no 1 dan 3 agar pemilih yang tidak tercantum dalam DPT bisa memilih dengan KTP atau pasport. Goalnya dinikmati oleh yang menekan atau yang ditekan ?

Yang tidak dibenarkan adalah politik permainan, yaitu berpolitik yang hanya untuk main-main atau mempermainkan. Kita memang masing sering mudah tersentak oleh hal-hal yang sesungguhnya biasa kita alami dalam keseharian.

* Penulis, Prof.Dr.Achmad Mubarok,MA, Waketum DPP Partai Demokrat, Guru Besar Psikologi Islam, Pascasarjana UI

Read More
posted by : Mubarok institute
Makna Silaturahmi
Setiapkali lebaran, terminal bus, stasiun kereta dan bahkan pelabuhan dan bandara dipenuhi oleh calon penumpang. Jalan raya pantura macet total menjelang hari lebaran. Mau kemana mereka, dan apa sebenarnya yang mereka cari ? Yah mereka mau mudik, mau pulang kampung. Apa yang mendorong mereka mau bersusah payah mudik lebaran ? Ada dua hal; pertama tradisi lebaran yang sudah ratusan tahun. Tradisi mempunyai kekuatan luar biasa dalam menggerakkan aktifitas sosial. Tradisi juga menjadi benteng dari nilai-nilai budaya. Kedua;Tradisi mudik menjadi lebih kuat karena di dalamnya ada nuansa agama, yaitu silaturrahmi. Manusia adalah makhluk sosial, oleh karena itu dorongan untuk bertemu keluarga dan teman-teman lama di kampung halaman berasal dari fitrah sosialnya. Bagi santri, mudik menjadi bernuansa religius karena silaturrahmi memang perintah agama.

Secara harfiah, silaturrahmi artinya menyambung persaudaraan atau menyambung tali kasih sayang. Agama melarang jotekan atau marahan. Suami isteri yang sedang marahan oleh agama ditolerir hanya selama tiga hari. Lebih dari tiga hari mereka diancam dengan dosa. Sebenarnya silaturrahmi tidak dibatasi oleh Idul Fitri. Setiap saat kita dianjurkan untuk menebar salam, menebar silaturrahmi. Dengan silaturrahmi, fitnah bisa diredam, salah faham bisa terkoreksi, permusuhan bisa menurun.

Menurut hadis Nabi, siaturrahmi mengandung dua kebaikan, yaitu menambah umur dan menambah rizki. Yang dimaksud dengan nambah umur bukan tahunnya, tetapi maknanya. Ada orang yang umurnya pendek tapi maknanya panjang, sebaliknya ada orang yang umurnya panjang tetapi justeru tak bermakna. Silaturrahmi akan menambah makna umur kita karena di dalamnya ada unsur perkenalan, publikasi, belajar, apresiasi disamping rizki. Yang kedua silaturahmi bisa menambah rizki. Rizki dari silaturrahmi bisa bisa berupa uang, makanan, persaudaraan, jaringan, pekerjaan, jodoh, besanan, pengalaman, ilmu dan sebagainya. Rizki itu sendiri artinya semua hal yang berfaedah (kullu ma yustafadu). Uang yang kita terima menjadi rizki jika ia membawa faedah. Kenaikan pangkat menjadi rizki jika membawa faedah. Isteri atau suami adalah rizki jika membawa faedah. Jika kesemuanya itu tidak membawa faedah meski jumlahnya banyak, maka itu bukan rizki, tetapi bencana. Betapa banyak orang ketika penghasilannya pas-pasan hidupnya berbahagia dengan anak isterinya, tetapi ketika naik pangkat dan penghasilannya besar justeru kelakuannya menjadi berubah dan akhirnya keluarganya menjadi berantakan. Nah naik pangkat dan uang banyak itu ternyata belum tentu menjadi rizki keluarga, sebaliknya malah menjadi bencana baginya.

Lalu bagaimana caranya bersilaturahmi ? ada empat cara . Pertama dengan kirim salam. Kedua bisa dengan kirim surat, surat biasa atau kartu lebaran. Ketiga berkunjung, bertatap muka. Ke empat, meski tidak mudik tetapi jika bingkisannya nyampai, weselnya nyampai, itu juga silaturrahmi. Nah yang paling sempurna adalah gabungan dari empat cara itu; jauh-jauh sudah kirim salam, kemudian disusul surat atau telpon bahwa akan mudik, tolong di jemput di stasiun, ketiga benar-benar mudik sekaligus membawa tentengan. Selamat bersilaturrahmi, minal `a’idin wal fa’izin, kullu `amin wa antum bi khoir, taqabbalallahu minna wa minkum.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger