Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Wednesday, January 20, 2010

Hadis Psikologi 2
Hadis Psikologi lainnnya adalah yang berbunyi; al mu’minu yatazawwadu, wa al munafiqu yatazayyanu wa al kafiru yatamatta`u. artinya orang mu’min ketika hidup di dunia psikologinya seperti orang yang bekerja mencari bekal (seperti orang mencangkul di sawah), orang munafiq berhias diri (seperti pemain sandiwara di panggung), dan orang kafir bersenang-senang (seperti didalam acara pesta).

• Al mu’minu yatazawwadu. Psikologi orang mukmin dalam hidupnya seperti petani. Petani yang sedang mencangkul di sawah, ia berada di tempat yang becek, pakaiannya kotor kena lumpur, dan terkena terik panas matahari, tetapi ia tetap semangat dan bertahan lama. Kenapa?, karena ia tidak membayangkan kotornya lumpur dan panasnya matahari, tetapi membayangkan hasil panen ke depan . Perhatian kepada yang besar dan jauh membuat derita lumpur dan panas terik di depan mata tidak terasakan. Perhatian orang mukmin terhadap sesuatu yang besar (kebajikan) dan jauh (akhirat) juga membuat derita perjuangan dan ibadah tidak terasa.

Karakteristik seperti ini sesungguhnya khas milik orang besar. Orang besar atau pemimpin besar adalah orang yang cita-rasa dan perhatiannya jauh ke depan menembus sekat ruang dan waktu. Ruang kerjanya mungkin hanya seluas 5 x 10 m2, tetapi pusat perhatiannya luas, seluas wilayah yang menjadi tanggungjawabnya. Masa jabatannya mungkin hanya lima tahun, tetapi pusat perhatiannya justeru terhadap 50 – 100 tahun ke depan, yakni untuk generasi cucu-cicitnya. Sedangkan orang yang berjiwa kecil, meski ia telah menduduki kursi kebesaran, perhatiannya hanya terhadap kursinya, yaitu bekerja keras agar kursinya tidak lepas. Orientasinya juga sebatas hanya kepada masa dimana ia duduk, yaitu mumpung lagi menjabat.

• Wa al munafiqu yatazayyanu; Sedangkan psikologi orang munafik dalam hidupnya, ia seperti orang yang sedang main sandiwara di panggung. Pusat perhatiannya adalah bagaimana ia bisa kelihatan bagus di mata penonton. Ia selalu menyembunyikan watak aslinya (yang buruk) dan menampilkan kebaikan (yang palsu) di depan penonton, karena target orang munafik adalah dipandang baik oleh penonton (pers, TV atau orang banyak), bukan kebaikan yang diyakini hatinya atau kebaikan menurut ajaran agama. Orang munafik bisa bermanis muka dan memberikan pujian kepada orang yang dibencinya, padahal ia sedang berfikir bagaimana mencelakakannya. Karakteristik munafik itu tidak satunya kata dengan perbuatan. Dalam aksi jahatnya orang munafik bahkan bisa menjadi musuh dalam selimut

• Wa al kafiru yatamatta`u. Adapun orang kafir dalam hidupnya selalu mengutamakan kesenangan dan kelezatan seperti orang yang berada dalam ruang pesta. Segala bentuk kelezatan ingin direguknya. Ia menganggap bahwa kepuasan berpesta dapat menjadi solusi hidupnya. Mengapa orang kafir begitu ? kafir, kufur artinya tertutup, bahasa Inggrisnya menjadi cover. Orang kafir itu mata hatinya tertutup dari kebenaran, oleh karena itu baginya yang ada adalah hanya yang kelihatan dari dekat. Baginya realitas adalah apa yang bias dilihat, diraba dan dicicip. Tuhan, akhirat dan kebajikan baginya adalah sesuatu yang tidak riil, bukan realitas. Dalam perspektip komunikasi, orang kafir lebih aman untuk berhubungan disbanding orang munafik, karena orang kafir relatip jujur dalam penolakan, sementara orang munafik justeru bias menyembunyikan penolakannya untuk selanjutnya menjadi gangguan yang selalu mengancam, menjadi musuh dalam selimut.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, January 19, 2010

Hadis Psikologi
Sumber utama Psikologi Islam adalah al Qur’an, kemudian hadis dan tradisi keilmuan Islam. Psikologi Barat yang sudah kaya dengan berbagai penilitian berfungsi sebagai alat bantu dalam memahami teks al Qur’an. Lebih dari 300 kali kata nafs yang artinya jiwa dalam berbagai bentuk disebut dalam al Qur’an (dan hadis), tetapi ilmu seperti Psikologi tidak lahir dari peradaban Islam. Psikologi lahir dari kultur sekuler, dimana ketika itu ilmuwan bermusuhan dengan agama (Gereja), oleh karena itu Psikologi (dan juga ilmu yang lain) tidak mengenal Tuhan, dosa, akhirat dan sebangsanya, bahkan tidak mengenal baik buruk. Sementara itu ilmu pengetahuan dalam sejarah Islam justeru di motivasi oleh al Qur’an hadis, dan dikawal oleh para ulama, oleh karena itu jiwa dibahas oleh para ulama dalam kontek hubungan manusia dengan Tuhan. Oleh karena itu ilmu yang lahir dari kajian jiwa adalah ilmu akhlak dan ilmu tasauf. Ilmu Akhlak berbicara tentang nilai baik buruk dan bagaimana membentuk perilaku yang baik, sedangkan ilmu tasauf berbicara tentang bagaimana jiwa manusia bisa merasa dekat dengan Tuhan.

Ada sebuah hadis yang cukup popular, sesunguhnya ia merupakan hadis psikologi, tetapi jarang sekali yang memahaminya. Hadis itu berbunyhi, “addunya sijnul mu’minin wa jannatul kafirin”, artinya dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan sorga bagi orang kafir. Dalam pemahaman non psikologi, hadis ini menilai dunia sebagai hal yang negatip bagi orang mukmin, dan sebagai hal yang positip bagi orang kafir. Hadis ini dulu pada zaman penjajahan Belanda bahkan digunakan oleh Vanderplass untuk mempengaruhi ulama agar mereka tidak usah memikirkan urusan dunia, karena dunia adalah domain orang klafir, termasuk tidak usah memikirkan kehidupan bernegara.

Sesungguhnya hadis ini adalah hadis psikologi. Dunia sebagai penjara bagi orang mukmin maknanya, seorang mukmin ketika hidup di dunia hendaknya psikologinya seperti orang yang berada dalam penjara. Penghuni penjara tidak ada yang berfikir untuk berlama-lama di dalamnya. Ia selalu memikirkan apa yang akan dikerjakan nanti setelah keluar dari penjara. Kerinduan penghuni penjara adalah terbebas dari penjara untuk selanjutnya menikmati kebebasan diluar penjara. Nah begitulah psikologi seorang mukmin semasa hidupnya. Ia tidak berfikir untuk menumpuk kekayaan duniawi. Yang menjadi perhatiannya adalah bagaimana melakukan sesuatu yang bermakna agar kelak nanti setelah meninggal memperoleh kebahagiaan surgawi. Ia mau berlapar-lapar puasa demi untuk nanti. Ia mau bersusah payah bekerja atau menolong orang demi ridla Tuhan yang akan dinikmati nanti di akhirat. Bagi orang mukmin, kematian disongsong dengan riang gembira seperti riang gembiranya orang yang keluar dari penjara.

Adapun orang kafir, ia memandang dunia sudah final, dunia adalah surge, oleh karena itu yang dilakukan adalah sepuas-puasnya menikmati kehidupan dunia. Semua yang membawa kesenangan dan kenikmatan dalam hidup ia kejar dan ia hirup. Baginya akhirat itu tidak ada, oleh karena itu ketika sadar mau mati ia bingung dan takut seperti takut menghadapi kegelapan. Ia tidak tahu apa yang ada disana, dibalik kematian, dan ia tidak siap menghadapi kegelapan. Ia takut kehilangan kesenangan hidup di dunia, dan ia takut menghadapi ketidakpastian.

Read More
posted by : Mubarok institute
Akhlak Kepada Orang Tua dan Kerabat
Al Qur'an secara tegas mewajibkan manusia untuk berbakti kepada kedua orang tuanya (Q/17:23). Berbakti kepada kedua orang tua (birrul walidain) merupakan alkhoir, yakni nilai kebaikan yang secara universal diwajibkan oleh Allah SWT. Artinya nilai kebaikan berbakti kepada orang tua itu berlaku sepanjang zaman dan pada seluruh lapisan masyarakat. Akan tetapi bagaimana caranya berbakti sudah termasuk kategori al ma'ruf, yakni nilai kebaikan yang secara sosial diakui oleh masyarakat pada suatu zaman dan suatu lingkungan. Dalam hal ini al Qur 'anpun memberi batasan, misalnya seperti yang disebutkan dalam surat al Isra, bahwa seorang anak tidak boleh berkata kasar apalagi menghardik kepada kedua orang tuanya(Q/17:23).

Seorang anak juga harus menunjukkan sikap berterima kasihnya kepada kedua orang tua yang menjadi sebab kehadirannya di muka bumi. Di mata Allah SWT sikap terima kasih anak kepada orang tuanya dipandang sangat penting, sampai perintah itu disampaikan senafas dengan perintah bersyukur kepadaNya (anisykur li wa liwa lidaika (Q/31:14)).

Meski demikian, kepatuhan seorang anak kepada orang tua dibatasi dengan kepatuhannya kepada Allah SWT. Jika orang tua menyuruh anaknya melakukan hal-hal yang bertentangan dengan perintah Allah SWT, maka sang anak dilarang mematuhi perintah orang tua tersebut, seraya tetap harus menghormatinya secara patut (ma'ruf) sebagai orang tua (Q/ 31:15). Seorang anak, oleh Nabi juga dilarang berperkara secara terbuka dengan orang tuanya di forum pengadilan, karena hubungan anak —orang tua bukan semata-mata hubungan hukum yang mengandung dimensi kontrak sosial melainkan hubungan darah yang bernilai sakral.

Sementara itu orang tua harus adil dalam memberikan kasih sayangnya kepada anak-anaknya. Diantara kewajiban orang tua kepada anak-anaknya adalah; memberi nama yang baik, menafkahi, mendidik mereka dengan agama (akhlak kehidupan) dan menikahkan jika sudah tiba waktunya.

Adapun jika orang tua sudah meninggal, maka kewajiban anak kepada orang tua adalah (a) melaksanakan wasiatnya, (b) menjaga nama baiknya, (c) meneruskan cita-citanya, (d) meneruskan silaturahmi dengan handai tolannya, (e) memohonkan ampun kepada Allah SWT.

Dalam hubungan dengan kerabat, secara umum semangat hubungan baiknya sejalan dengan semangat keharusan berbakti kepada orang tua. Paman, bibi, mertua dan seterusnya harus dideretkan dalam deretan orang tua, saudara misan yang muda dan seterusnya dideret¬kan pada saudara muda atau adik, yang tua dideretkan kepada kakak. Secara spesifik kerabat harus didahulukan dibanding yang lain, misal¬nya jika seseorang mengeluarkan zakat, kemudian diantara kerabatnya ada orang miskin yang layak menerima zakat itu, maka ia harus didahulukan dibanding orang miskin yang bukan kerabat. Semangat etik hubungan kekerabatan diungkapkan oleh Rasulullah dengan kalimat menghormati kepada yang lebih tua dan menyayangi kepada yang lebih muda. (laisa minna man lam yuwagir kabirana wa lam yarham soghirana).

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, January 17, 2010

Agama, Pesantren dan Terorisme
Oleh; Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA

Disampaikan dalam Workshop Nasional Pengasuh Pesantren, PBNU, 16 Januari 2010
Pendahuluan

Fenomena global telah berhasil membangun perspesi tentang adanya hubungan antara agama, pesan trend an terorisme. Persepsi ini terbangun oleh adanya “fakta”2 empirik yang menghubungkan tiga hal tersebut, yaitu adanya kejadian terror, adanya symbol agama dan “orang pesantren”. Persepsi adalah pandangan orang tentang sesuatu, terlepas pandangan itu benar atau tidak. Adalah tugas kita meluruskan mispersepsi yang nampaknya secara sengaja dibangun secara sistemik oleh “kekuatan” luar biasa dari dunia global.

Pengertian Terorisme
Terorisme telah didenifisikan mengacu kepada ke¬pentingan pemberi definisi, sehinga ada definisi terorisme perpespktif penguasa, perspektif inteljen dan perspektif ilmu. Definisi terorisme perspektif penguasa antara lain: “Terrorism is premediated threat or use of violence by subnational groups or cladestine individuals intended to intimidate and coerce governments, to promote political, religius or ideological outcomes, and to inculcate fear among the public at large”2 ((kekerasan yang dilakukan oleh pemberontak untuk menekan pemerintah berlatar belakang politik, agama atau ideology, untuk menyebarkan rasa takut kepada public)
Sedangkan FBI misalnya mendefinisikan sese¬orang menjadi teroris atau tidak bergantung kepada opini publik di Amerika, sebagai berikut: “The unlawful use of force or violence against person or property to intimidate or to coerce a government, the civilian population, or any segment thereof, in furtherance of political or social goals”3

Adapun definisi yang lebih netral misalnya apa yang dikatakan oleh Ali A Mazrui dan Raymond Hamden. Menurut Ali A Mazrui, harus dibedakan antara teroris yang me¬ngerikan (horrific terrorism) yang membunuh manusia tak berdosa tanpa pandang bulu dengan bentuk terorisme yang dilakukan oleh para pejuang kemerdeka¬an (heroic terrorism) dalam menghadapi kekuatan pe¬nindas, atau bahkan negara adidaya penindas. “Terrorist” yang terakhir ini me-ngandung nuansa patriotic dan kepahlawanan.4 Sementara itu Raymond Hamden mem¬bedakan typology terorisme, dimana ada yang dilatar¬belakangi oleh pan¬dangan politik, ideologi suatu agama, oleh pertarungan politik melawan pemerintah yang mapan, dan terorisme yang dilakukan oleh orang yang mengidap sakit mental.5

Meski mustahil menyatukan definisi terorisme, tetapi pada akhirnya yang diterima oleh oleh banyak orang adalah definisi yang dibuat oleh pemilik kekuasaan yang bisa memaksakan kehendaknya, baik kekuasaan politik, militer, ekonomi maupun teknologi.
Pasti tidak mudah ketika orang harus memahami cara berfikir Amerika yang memandang Arafat sebagai teroris, sementara Israel yang menjajah Palestina, pe¬langgar HAM dan pemilik senjata pemusnah massal dibela habis-habisan oleh Amerika. Terorisme tidak pernah dibahas akar masalahnya, tetapi dilihat dari kepentingan Amerika. Semua yang mengancam ke¬pen-tingan Amerika di cap sebagai teroris, dan sayangnya PBB tidak cukup kuat untuk menentang hegemoni Amerika. Akar terorisme adalah ketidak adilan. Dimana¬pun wilayah konflik dimana terjadi ketidakadilan yang menyolok, pasti akan muncul tindakan kekerasan. Palestina, Afganistan, Pilipina Selatan dan Irak sekarang adalah produsen kekerasan. Ditujukan kepada siapa? kepada pihak yang sangat kuat, yang me¬maksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah dengan du¬kungan kekuatan senjata, legalitas formal dan ekonomi. Jadi sebenarnya ada dua kelompok teroris.

1. Pertama, Teroris kuat, dalam hal ini negara besar (kuat), yang dengan dalih melindungi kepentingan nasionalnya merasa berhak untuk menghancurkan lawan, dimanapun berada. Amerika (di Afgan dan Irak) dan Israel (di Palestin) serta Uni Sovyet (ketika men¬jajah Afganistan) dalam perspektip ini adalah negara teroris, maksudnya, terorisme yang dilakukan oleh negara, lounching by state.

2. Kedua, Teroris Terpojok, yakni mereka yang lemah dan kalah dalam percaturan resmi, tetapi tidak mau menyerah. Kelompok ini merasa berhak untuk mem¬bela diri, dan melakukan gerilya sesuai dengan kemampuan minimal yang mereka miliki.
Jadi peperangan teror dan anti teror dewasa ini se¬benar¬nya merupakan peperangan antara dua teroris, pertama teroris yang berusaha mempertahankan dominasi kekuasaanya (terutama ekonomi) di dunia, dan kedua, teroris yang dalam posisi terpojok dan dengan segala keterbatasan yang dimilikinya merasa harus mempertahan¬kan eksistensinya dengan segala cara.

Internasionalisasi Terorisme
Ada dua hal yang menjadi titik internasionalisasi “terrorisme”, dewasa ini yaitu sosok Usamah bin Laden dan Afganistan atau Peshawan.

1. Sesungguhnya kasus Usamah bin Laden lebih meru¬pakan limbah politik dalam negeri Saudi Arabia. Usamah sebagai seorang muslim dan nasionalis Saudi bersama dengan 50 orang ulama/cendekiawan Saudi, protes keras terhadap kerajaan atas kehadiran tentara Amerika di bumi kota suci Makkah Madinah. Kerajaan Saudi bukan saja tidak menghormati aspi¬rasi Usamah dan 50 tokoh Saudi lainnya, tetapi lebih suka me¬nunjukkan komitmen kerjasamanya dengan Amerika Serikat. Usamah terusir dari tanah kelahiran¬nya dan akhirnya ia menjadikan seluruh negeri Islam sebagai tanah airnya. Ia pernah di Sudan, kemudian menetap di Afghan, sekarang kemungkinan besar sudah gugur tetapi tetap “dipelihara” kemunculannya guna me¬ngawal “proyek” perang melawan terorisme global.

2. Ketika Uni Sovyet menduduki Afganistan, Amerika sangat berkepentingan untuk mengusirnya. Dalam upaya mengusir tentara Komunis itu Amerika mem¬bantu, melatih dan mempersenjatai Mujahidin Afghan. Invasi negara Komunis ke bumi Afghanistan sangat menyentuh panggilan jihad kaum muslimin dari se¬luruh dunia. Amerika merasa menemukan potensi yang dapat digunakan sebagai kekuatan pengganggu Uni Sovyet, maka Amerika menfasilitasi partisipasi mujahidin non Afghan yang datang dari seluruh pen-juru negeri Islam, termasuk dari Indonesia di Peshawar Pakistan. Nah ketika Uni Sovyet telah berhasil diusir dari bumi Afghanistan tanpa disadari telah lahir veteran perang (mujahidin) yang jumlahnya sangat besar.

Pengalaman keberhasilan Mujahidin mengusir tentara super power Uni Sovyet melahirkan konsep diri positif, yakni merasa sanggup mengatasi masalah. Oleh karena itu gelombang veteran perang Afghanpun mengalir ke Bosnia bahkan ke Chehnya, Daghestan dan Moro, juga Poso dan Ambon. Pokok¬nya dimana¬pun terjadi penindasan terhadap kaum muslimin, para mujahidin itu siap untuk jihad dan syahid. Ketika para pahlawan perang yang tangguh itu kemudian tidak lagi menemukan medan jihad, maka sebagian besar kem¬bali ke habitatnya sebagai orang biasa, ada petani, pedagang dan guru agama, tetapi ada juga yang mengalami problem psikologis seperti veteran perang Vietnam di Amerika. Hambali, Amrozi dan yang lain-lain yang jumlahnya cukup banyak adalah orang desa (lokal) yang masuk pusaran global. Mereka tinggal di desa kecil, tetapi jiwanya mudah terguncang ketika melihat arogansi Amerika yang selalu menggunakan standar ganda. Mereka bukanlah terrorist seperti yang di stigmakan oleh publik opini media Barat, tetapi mereka adalah pejuang ideologis yang sedang membutuhkan tempat berpijak yang tepat. Oleh karena itu memperlakukan kelompok itu secara “gebyah uyah” dengan menggunakan pa¬radigma perang melawan terorisme international seperti yang dikumandangkan oleh presiden Bush, bukan saja tidak efektif, tetapi akan membangkitkan kembali jiwa perang veteran yang sudah tenang di habitat asalnya.
Laporan Badan Penasehat Pentagon, Defence Science Board yang bertajuk Strategic Communication sebagaimana dikutip situs BBC (Kamis 25-11-2004) secara terbuka menyalahkan perang melawan terorisme yang justeru melebarkan jaringan terorisme terhadap Amerika, karena diplomasi publik oleh AS soal demokrasi ke dunia Islam tak lebih sebagai kepura-puraan semata. Tindakan AS terhadap dunia Islam, kata laporan tersebut didorong oleh motif tersembunyi dan secara sengaja dikendalikan demi memenuhi kepentingan nasional AS dengan me¬ngorbankan dunia Islam.

Agama dan Aspirasi Garis Keras
Aspirasi garis keras muncul di kalangan ummat Islam pada umumnya merupakan respon yang kurang tepat terhadap ketidak adilan yang dialami. Pada umumnya mereka tidak bisa membedakan antara kebudayaan dan agama, padahal Islam memandang; pada dasarnya semua kebudayaan bersifat mubah sepanjang tidak mengandung elemen-elemen haram (al aslu fil‘adat wal mu‘amalat al ibahah hatta yakun dalil fi buthlanihi). Kebudayaan adalah konsep, oleh karena itu wujud suatu perilaku harus dilihat apa konsepnya, baru dapat ditetapkan nilainya. Kita pernah berjumpa dengan kelompok yang mengharamkan penghor¬matan kepada bendera dalam upacara apel bendera, juga kelompok yang menolak memiliki KTP dan surat2 lain yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan alasan hanya perintah Tuhan yang harus dipatuhi. Kita juga pernah menjumpai fenomena ada kelompok yang tidak mau menghormati ayah ibunya dengan argumen meskipun orang tua tetapi mereka tidak masuk golongan kita. Pernah juga ada organisasi yang memilih mati membubarkan diri daripada menerima azas Pancasila.

Nah itu semuanya sebenarnya adalah wilayah kebudayaan, bukan wilayah agama. Panca Sila bukan agama tetapi kebudayaan, bendera adalah simbol, bukan benda suci. Partai politik, meski berazas agama sekalipun adalah kebudayaan, bukan agama. Demikian juga ordo-ordo tarekat tasauf adalah juga kebudayaan, bukan agama. Pencampuradukan agama dan kebudayaan itu terjadi karena adanya sikap fanatik.

Pengertian fanatik
Fanatik adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu, yang positif atau yang negatif, pandangan mana tidak memiliki sandaran teori atau pijakan kenyataan, tetapi dianut secara mendalam sehingga susah diluruskan atau diubah. (A Favourable or unfavourable belief or judjment, made without adequate evidence and not easily alterable by the presentation of contrary evidence)

Fanatisme biasanya tidak rationil, oleh karena itu argumen rationilpun susah digunakan untuk meluruskannya. Fanatisme dapat disebut sebagai orientasi dan sentimen yang mempengaruhi seseorang dalam;

(a) berbuat sesuatu, menempuh sesuatu atau memberi sesuatu,
(b) dalam berfikir dan memutuskan,
(c) dalam mempersepsi dan memahami sesuatu, dan
(d) dalam merasa.

Secara psikologis, seseorang yang fanatik biasanya tidak mampu memahami apa-apa yang ada di luar dirinya, tidak faham terhadap masalah orang atau kelompok lain, tidak mengerti faham atau filsafat selain yang mereka yakini. Tanda-tanda yang jelas dari sifat fanatik adalah ketidak mampuan memahami karakteristik individual orang lain yang berada diluar kelompoknya, benar atau salah. Secara garis besar fanatisme mengambil bentuk:

(a) fanatik warna kulit,
(b) fanatik etnik/kesukuan, dan
(c) fanatik klas sosial.
Fanatik Agama sebenarnya bukan bersumber dari agama itu sendiri, tetapi biasanya merupakan kepanjangan dari fanatik etnik atau kelas sosial.
Pada hakikatnya, fanatisme merupakan usaha per¬lawanan kepada kelompok dominan dari kelompok-kelompok minoritas yang pada umumnya tertindas. Minoritas bisa dalam arti jumlah manusia (kuantitas), bisa juga dalam arti minoritas peran (Kualitas). Di negara besar semacam Amerika misalnya juga masih terdapat kelompok fanatik seperti :
1. Fanatisme kulit hitam (negro)
2. Fanatisme anti Yahudi
3. Fanatisme pemuda kelahiran Amerika melawan imigran
4. Fanatisme kelompok agama melawan kelompok agama lain.

Pesantren di Indonesia
Siapa yang menyangka bahwa model pesantren pertama itu berasal dari Yunani. Dulu pada masa Socrateds, orang yang belajar filsafat tinggal di asrama yang diberi nama Pondokheyon. Ketika budaya Yunani runtuh dan diteruskan oleh dunia Islam, penginapan untuk musafir thalibul `ilmi disebut funduq, dari kata pondokheyon. Ketika zaman al Gazali, asrama mahasiswa disebut haniqah. Di asrama thullab di Afrika utara disebut ribath, dari kata min ribath al khoil, karena mahasiswa juga sekaliggus sebagai mujahid. Ketika para wali sampai ke Jawa, ditemukan padepokan Hindhu yang yang bernama pecantrikan dimana penghuninya adalah shastri (guru) dan cantrik (murid). Para wali mengadopsi system ini untuk mendirikan lembaga pendidikan, yakni asrama yang dihuni guru dan murid, gurunya disebut kyai, dan muridnya disebut cantrik. Kata cantrik lama-lama bergeser menjadi santri, dan kata pecantrikan menjadi pesantren. Untuk lebih sempurnanya, maka kata funduq dilekatkan menjadi fondok pesantren.

Pesantren dulu dan sekarang
Sebelum sistem pendidikan sekolah masuk ke Nusantara, bangsa Indonesia telah mengenal sistem pendidikan yang disebut Pesantren. Pesantren pada mulanya bersifat elit, santrinya terdiri dari anak-anak orang kaya, dan keluarga kerajaan. Calon raja dari kerajaan Jawa Islam pada umumnya terlebih dahulu disekolahkan di Pesantren. Sistem pendidikan Pesantren zaman dahulu berpusat kepada figur seorang ulama; biasanya disebut Kyai. Sosok seorang kyai pengasuh pesantren pada masa awal mencerminkan ketinggian ilmu agama, luasnya pengalaman, darah biru, kaya dan “sakti”. Oleh karena itulah maka kedudukan kyai sebagai sentral sistem menjadi sangat efektif. Santri ada yang bermotif mencari ilmu (thabul `ilmi), ada yang lebih didorong untuk mencari “ngelmu” olah kanuragan dan ada juga yang lebih bermotif “ngalap berkah” atau tabarrukan. Karena elit, maka santri merupakan simbol sosial, dihormati dan diperebutkan calon mertua. Pusat perhatian sistem pendidikan pesantren kuno lebih pada mendidik santri agar menjadi “insan kamil”dan sama sekali belum menghubungkan dengan konsep pasar tenaga kerja. Sosok kyai pengasuh pesantren juga sekaligus sebagai “kurikulum” dari pesantrennya. Artinya seluruh program akademik sebuah pesantren yang pada umumnya berupa pengkajian kitab klassik, ditentu¬kan oleh klassifikasi keilmuan dari kyainya. Jika kyainya ahli ilmu fiqh, maka kitab-kitab yang dikaji kebanyakan kitab fiqh, jika kyainya ahli ilmu tasauf maka kitab-kitab yang dikaji juga kitab-kitab tasauf, begitu seterusnya. Prin¬sip ini sebenarnya sangat modern, seperti yang berlaku di universitas-universitas terkenal di Barat, yakni bahwa pembukaan suatu program studi tergantung ada tidaknya guru besar dari cabang keilmuan tersebut.

Lokasi Pesantren pada mulanya berada di dekat pusat kekuasaan. Seandainya tidak terjadi sejarah kolonialisme yang berkepanjangan di Indonesia, maka Pesantren itulah yang menjelma menjadi Universitas, seperti universitas-universitas di Barat yang pada mulanya merupakan “pesantren” gereja. Penjajahan Barat yang terlalu lama, mengubah peta dimana pesantren justru berada di kampung-kampung, jauh dari pusat kekuasaan (penjajah), karena para kyai secara konsisten melakukan konfrontasi budaya dengan penjajah kafir.

Ketika Indonesia merdeka, masyarakat pesantren belum sepenuhnya terbebas dari semangat konfontasi dengan budaya Barat. Penyelenggaraan hidup berbangsa oleh pe-merintahan RI yang belum bisa mengganti sistem Belanda yang telah mapan (termasuk sistem pendidikan), memper¬panjang masa konfrontasi budaya tersebut, sehingga pesantren tidak berusaha masuk ke dalam sistem pendidikan nasional, tidak tercantum dalam GBHN dan tidak nampak dalam APBN. Sistem madrasah, apalagi madrasah diniyyah juga hanya diakui setengah hati oleh sistem nasional, yang implikasinya nampak pada perbedaan anggaran negara yang sangat “jomplang”. Tersisihnya pesantren dan madrasah dari sistem pendidikan nasional nampaknya bersumber dari dua pihak sekaligus. Pertama ; sebagian “kaum muslimin” secara budaya masih memandang sekolah umum sebagai sekolah kafir warisan penjajah dan tidak mendatangkan pahala. Kedua; ada oknum dalam elit pemerintahan kita yang secara sadar berusaha menghambat kemajuan masyarakat pesantren dan madrasah.

Pesantren Zaman Orba
Bersamaan dengan dinamika politik dimana Golkar membutuhkan dukungan masyarakat Pesantren, mulailah terjadi interaksi sosial dimana Pemerintah sedikit menaruh perhatian kepada dunia pesantren, dan dari kalangan pesantren sendiri muncul kaum intelektual santri yang secara sadar berusaha meningkatkan kualitas pesantren sekaligus berusaha memperoleh hak pembiayaan dari anggaran belanja negara. Bermula datang gagasan untuk mengajarkan ketrampilan di pesantren, misalnya peternakan ayam, kemudian datang lagi SKB tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Menteri Dalam Negeri, yang menyetarakan Madrasah dengan SLP/SLA. Dinamika ini juga nampak pada sikap IAIN terhadap pesantren. Sekitar tahun 60-70, pesantren memiliki kontribusi yang cukup besar dalam memasok calon mahasiswa IAIN. Tetapi, sesuai dengan dinamika politik dan dinamika sistem pendidikan nasional, IAIN menolak alumni pesantren Gontor misal¬nya, hanya karena ijazah Gontor tidak diakui Pemerintah, padahal untuk menjadi mahasiswa IAIN, kualitas allumnus Pesantren Gontor diakui lebih baik dibanding lulusan Madrasah Aliyah versi SKB 3 Mentri.

Pesantren Sekarang
Sekarang tipologi pesantren dapat dibagi menjadi empat kelompok. Pertama pesantren yang tetap konsisten seperti pesantren zaman dulu, disebut salafi. Kedua Pesantren yang memadukan sistem lama dengan sistem pendidikan sekolah, disebut pesantren “modern”. Ketiga Pesantren yang sebenar¬nya hanya sekolah biasa tetapi siswanya diasramakan 24 jam. Keempat pesantren yang tidak mengajarkan ilmu agama, karena semangat keagamaan sudah dimasukkan dalam kurikulum sekolah dan kehidupan sehari-hari di asrama. Disamping itu ada pesantren yang bersifat khusus, misalnya pesantren tahfidz al qur’an.

Bagaimanapun bentuknya, meski pesantren masih di¬tengok sebagai nostalgia, kelemahan kebanyakan pesantren dewasa ini justeru terletak pada lemahnya figur kyai, baik kelemahan keilmuan, “keanggunan kepribadian” maupun distorsi lingkungan.
Era reformasi dimana kegagalan sistem pendidikan nasio¬nal terungkap secara transparan mengusik kembali keunggulan pesantren sebagai sistem pendidikan. Sejalan dengan meningkatnya jumlah SDM santri, yakni allumnus pesantren yang dewasa ini telah bergelar master , Doktor, dan Profesor, semangat mencari format baru sistem pendidikan pesantren sebagai pendidikan alter¬natif cukup tinggi. Optimisme terhadap pesantren justru sangat menonjol pada kelompok intelektual yang bukan alumnus pesantren. Terlepas dari subyektifitas pendapat, pada hemat kami, menengok sistem pesantren sebagai alter¬natif dari kegagalan sistem pendidikan nasional sebenarnya sangat wajar, dan relevan. Insya Allah.

Menghubungkan terorisme dengan pesan tren sangat tidak relefan, meski ada satu dua “teroris” yan g pernah belajar di pesantren, karena jiwa teroris itu bukan terbentuk di pesantren tetapi di luar pesantren dalam dunia konflik global.

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, January 14, 2010

Ilmu Akhlak
Manusia adalah makhluk yang bisa menjadi subyek dan obyek sekaligus. Manusia bisa mempertanyakan tentang diri sendiri. Diantara yang dipertanyakan oleh manusia adalah tentang jiwa. Pertanyaan tentang jiwa dijawab oleh filsafat, psikologi dan agama. Plato misalnya sudah menyatakan bahwa manusia adalah jiwanya, sedangkan tubuhnya hanyalah sekedr alat saja. Aristoteles, berbeda dngan Plato mengatakan bahwa jiwa adalah fungsi dari badan sebagaimana penglihatan adlah fungsi dari mata. Kajian tenbtang jiwa di Yunani selanjutnya menurun bersama dengan runtuhnya peradaban Yunani. Runtuhnya peradaban Yunani Rumawi memberi peluang kepada pemikir-pemikir Islam mengisi panggung sejarah. Melalui gerakan penterjemahan dan kemudian komentar serta karya orisinil yang dilakukan oleh para pemikir Islam terutama pada masa Daulah Abbasiyyah, esensi dari pemikiran Yunani diangkat dan diperkaya, dan selanjutnya melalui peradaban Islamlah Barat menemukan kembali kekayaan keilmuan yang telah hilang itu.

Psikologi (Ilmu Jiwa) yang lahir pada akhir abad 18 M mestinya dikatakan sebagai ilmu yang berbicara tentang jiwa sebagaimana lazimnya definisi ilmu pengetahuan, tetapi Psikologi tidak berbicara tentang jiwa. Ia berbicara tentang tingkah laku manusia yang diasumsikan sebagai gejala dari jiwanya. Penelitian Psikologi tak pernah meneliti jiwa manusia, yang diteliti adalah tingkah laku manusia melalui perenungan, pengamatan dan laboratorium, kemudian dari satu tingkah laku dihubungkan dengan tingkah laku yang lain selanjutnya dirumuskan hukum-hukum kejiwaan manusia.

Di Barat, perkembangan Psychology –disebut Psikologi Barat atau Psikologi Modern – sudah sangat maju , kaya dengan penelitian empirik dan metodologi hingga melahirkan cabang-cabang Psikologi yang mencakup berbagai wilayah. Psikologi lahir dari kultur sekuler dan pertumbuhannya bukan saja tidak dikawal oleh agama tetapi bahkan bermusuhan dengan agama (gereja), karena pada masa itu sedang terjadi konflik antara Gereja dengan ilmu pengetahuan. ilmuwan yang pandangannya bertentangan dengan pendapat Gereja dimusuhi, bahkan bisa dihukum mati, seperti Galileo. Oleh karena itu Psikologi tidak mengenal agama, Tuhan, dosa , nilai baik buruk, dan nilai-nilai sakral, yang ada hanya sehat atau tidak sehat secara psikologis.

Ilmu semacam Psikologi tidak lahir dari sejarah keilmuan Islam, padahal jiwa (nafs) disebut lebih dari 300 kali dalam al Qur’an. Berbeda dengan sejarah keilmuan Barat yang berlawanan dengan agama (gereja), pertumbuhan ilmu pengetahuan dalam sejarah Islam justeru berada dibawah panduan para ulama. Jiwa dalam ilmu keislaman tidak dibahas sebagai perilaku, tetapi dibahas dalam konteks hubungan manusia dengan Alloh SWT, maka yang lahir adalah Ilmu Akhlak. Jika Psikologi bertugas menerangkan, meramalkan dan mengendalikan perilaku, Ilmu Akhlak berbicara tentang perilaku yang baik dan yang buruk dan bagaimana membentuk perilaku yang baik, Ilmu Tasauf berbicara tentang bagaimana jiwa manusia dapat merasa dekat dengan Alloh
SWT.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, January 12, 2010

Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Disamping sebagai makhluk yang unik, manusa juga menjadi makhluk social. Makhluk social adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri dan membutuhkan kehadiran orang lain. Sebagai makhluk social ia memiliki tabiat suka kerjasama dan bersaing sekaligus. Jika dalam bekerjasama dan bersaing mereka berlaku fair maka harmoni social akan tercipta. Tetapi jika mereka bersaing secara tidak fair maka konflik antar manusia bisa terjadi. Sebagai makhluk social manusia merindukan harmoni social (perdamaian) tetapi juga tak pernah berhenti dari konflik. Desain manusia sebagai makhluk social bukan fikiran manusia, tetapi juga berasal dari Tuhan Sang Pencipta. Kitab Suci penuh dengan pesan-pesan harmoni social; antara lain.


a. Bahwa manusia itu diciptakan Tuhan memiliki identitas bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh masing-masing etnis, tetapi perbedaan itu dimaksud untuk menjadi sarana pergaulan, saling mengenal dan saling bekerjasama dalam kebaikan (ta'aruf) (Q/al hujurat;13)

b. Sebagai makhluk sosial, manusia pasti membutuhkan orang lain, dan bagaimana sosok kedirian seorang manusia terbentuk oleh lingkungan yang menjadi sosiokulturnya. Manusia menjadi manusia jika ia berkumpul dengan manusia. Manusia menjadi siapa tergantung pengalamannya dengan siapa.

c. Bahwa di hadapan Tuhan, manusia diperlakukan sama dalam martabat kemanusiaannya.Tuhan tidak memandang identitas etnis (bahasa, warna kulit) dan sosok fisiknya sebagai suatu kelebihan. Hanya takwa (kualitas rohani) manusia yang dinilai oleh Tuhan.(Q/al hujurat;13). Tuhan tidak menilai rupa dan warna kulit, tetapi hatinya yang dinilai (hadis)

d. Bahwa pergaulan sosial dan silaturrahmi dapat menumbuhkan rasa indah dalam kehidupan serta menimbulkan suasana dinamis dan merangsang pertumbuhan ekonomi.

e. Bahwa berfikir positif kepada orang lain akan meringankan beban hidup. Sebaliknya buruk sangka dan curiga/berfikir negatip kepada orang lain hanya akan mempersempit ruang lingkup pergaulan, memojokkan diri sendiri. Berfikir negatip dan buruk sangka bukan hanya merugikan secara psikologis, tetapi juga secara ekonomi, yakni menjadi kontra produktif.

f. Bahwa Tuhan yang Maha Pengasih itu telah memberi kepada manusia begitu banyak kenikmatan yang tak terhitung jumlah dan nilainya (al kautsar). Adanya perbedaan kapasitas pada manusia (pintar-bodoh, kaya miskin, lancar-tersendat, dsb.) merupakan bagian dari ujian dan tantangan hidup yang di dalamnya terkandung hikmah yang tak ternilai.

g. Kesanggupan seseorang untuk mengambil hikmah dari keragaman keadaan, akan membuat hidupnya menjadi indah dan dinamis, sebaliknya dendam, iri hati dan dengki hanya akan menguras energi, bagaikan api yang membakar dirinya (amal ibadahnya) dan membakar orang lain (fisik, psikis dan materiil)

h. Iri hati yang positip hanya ada pada dua hal; yaitu;

(1) iri kepada orang yang dianugerahi Tuhan harta banyak, tetapi ia menggunakan hartanya itu untuk kemaslahatan masyarakat dan hal-hal lain yang terpuji;

(2) iri kepada orang yang dianugerahi Tuhan ilmu yang banyak, dan orang itu mengamalkan ilmunya serta mengajarkannya kepada orang lain.
i. Iri dan dengki timbul pada manusia disebabkan karena mereka bersaing untuk menjadi yang tertinggi dalam bidang yang sempit, yaitu harta dan pangkat (al mal wa al jah). Jika manusia bersaing dalam bidang yang luas, misalnya dalam bidang kebajikan dan kebaikan universal niscaya tidak terjadi iri dan dengki karena medan kebajikan sangat luas untuk menampung semua peserta.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, January 05, 2010

Gus Dur dan Suharto: Pahlawan Rasa dan Pahlawan Logika
Wafatnya Gus Dur benar-benar menjadi fenomena luar biasa bagi masyarakat Indonesia yang sedang kebingungan nonton sinetron bank Century. Ketika syaraf masyarakat menjadi rusak dan tumpul ketika dipaksa harus menonton berita yang diulang-ulang selama beberapa minggu ditambah acting politisi yang sedang asyik berjoget terlalu ketara motif politikingnya tiba-tiba menyeruak berita wafatnya Gus Dur’ Berita Gus Dur sakit sudah menu mingguan, tetapi wafatnya Gus Dur tetap mengejutkan . Langsung seluruh media mengusung berita Gus Dur.

Bahkan Presidenpun menunda agenda kenegaraan untuk melayani pemakaman Gus Dur. Selanjutnya seperti yang kita saksikan, seluruh media TV dan Koran berhari-hari menampilkan serba serbi sosok Gus Dur semasa hidupnya. Rasanya dalam perspektip respond masyarakat, Gus Dur adalah tokoh terbesar dalam sejarah. Bukan hanya masyarakat tetap berduyun-duyun menziarahi makamnya hingga berminggu-minggu, tetapi semua golongan agama pun mengadakan upacara doa bagi Gusd Dur. Di Gereja-gereja upacara doa bagi Gus dur dilangsungkan juga Tokoh-tokoh pengkritik Gus Durpun terbungkam mulutnya kecuali untuk berbicara tentang kebaiakannya. Saya kira Gus Dur tidak akan habis dibicarakan orang hingga 2-3 bulan ke depan. Secara politis, Gus Dur berjasa meredakan tensi politik nasional yang disulut oleh kasus bank Century’

Gus Dur itu tokoh kontroversil, tokoh nyeleneh, tokoh yang konsisten dalam ketidak konsistenannya. Tetapi siapa Gus dur justeru dikukuhkan oleh kewafatannya. Kualitas kemuliaan manusia dapat dilihat disaat kematiaanya, yaitu waktu mati berbeda dengan waktu lahir. Ketika manusia lahir ke dunia, dia menangis, sementara yang menonton; ayahnya, kakek-neneknya dan seluruh kerabatnya tersenyum gembira menyongsong kelahirannya. Jika ia orang ber”bobot” di depan Tuhan maka sewaktu meninggal, keadaannya kebalikan dibanding waktu lahir, yaitu ia tersenyum ria karena akan berjuampa dengan Tuhan yang Maha Pengasih, sementara yang menonton; keluarga dan komunitasnya menangis sedih ditinggalkan. Jika orang jahat maka sewaktu lahir ia menangis yang menonton tertawa, maka ketika matipun ia menangis dan yang menonton tertawa senang. Tokoh Gus Dur membuktikan bahwa ia benar-benar seorang yang berada di hati begitu banyak orang. Ratusan ribu manusia mengiringi kepergian Gus Dur dengan air mata dan gelombang doa, tahlil dan tadarus. Arwah Gus Dur benar-benar merupakan magnit spiritual yang sangat kuat gaya tarikannya.

Yang sedang heboh sekarang adalah usulan agar Gus Dur ditetapkan sebagai pahlawan Nasional. Tidak ada satupun suara menentang yang terdengar. Di DPR pun suaranya sangat kencang. Yang dipersoalkan adalah bagaimana prosedurnya, siapa yang usul dan siapa yang menetapkan. Orang yang tak sabar kepada prosedur bahkan mengatakan bahwa Gus Dur tidak perlu gelar pahlawan karena beliau sudah menjadi pahlawan yang sebenarnya di hati rakyat. Gelombang perasaan public mengisyaratkan hal yang sama bahwa Gus dur adalah pahlawan, diberi gelar oleh Negara atau tidak. Bahkan terhadap gagasan diselenggarakannya sidang MPR untuk merehabilitir nama baik Gus Dur karena MPR dulu memakzulkannya, dikatakan bahwa tidak perlu ada sidang MPR karena Gus Dur memang tidak terbukti kesalahannya. Gus Dur dulu dilengserkan MPR bukan karena kesalahan tetapi karena intrik politik ketika itu.

Yang menjadi lebih menarik adalah gagasan yang numpangi, yaitu yang mengatakan bahwa jika Gus dur ditetapkan sebagai pahlawan nasional maka Suharto juga harus ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Ditinjau dari sudut jasa formal, Suharto jauh lebih besar dibanding Gus Dur. Suharto menjadi Presiden RI selama 32 tahun, Gus Dur hanya dua tahun. Sebagai Presiden, Suharto tangannya kuat dan panjang, Gus Dur tangannya pendek hingga dekritpun di jegal. Meski demikian tidak ada respond public ketika Golkar mengusulkan agar Presiden Suharto dikukuhkan sebagai pahlawan nasional. Sementara Gus Dur, baru lima menit wafat sudah mengalir SMS ke istana agar Gus Dur dimakamkan di makam pahlawan. Pada malam tahlilan tujuh harinya sudah lebih lima juta facebooker mendukung usulan tersebut. Jadi Gus Dur adalah pahlawan yang diusulkan oleh perasaan banyak orang, sementara Suharto diusulkan menjadi pahlawan nasional oleh logika yang menumpangi kepahlawanan Gus Dur.

Tapi betapapun harus diakui, Suharto adalah orang besar. Beliau adalah komandan dan manager yang sangat efektip. Jejaknya nampak pada tatanan fisik ekonomi dan stabilitas social yang terkendali, bahkan perilaku anarkispun berlangsung terkendali. Sedangkan Gus Dur lebih sebagai budayawan yang efektip. Jejaknya terasa dalam getaran fikiran dan perasaan masyarakat luas menembus sekat ruang dan waktu. Di sini kita masih meributkan gelar kepahlawanan untuk kedua presiden kita, tetapi disana Gus Dur dan Pak harto sudah ketemu berhaha hehe, hanya mungkin kelas kamarnya yang berbeda, wallohu a`lam.

Read More
posted by : Mubarok institute
Manusia Sebagai Makhluk Yang Unik
Unik artinya satu-satunya. Setiap orang adalah dirinya, satu-satunya, berbeda dengan yang lain, berbeda dengan sudara kandungnya bahkan saudara kembarnya,. Mengapa berbeda ? karena proses kehadiran setiap orang melalui waktu yang berbeda, “cara” yang berbeda, ruang yang berbeda dan suasana psikologis yang berbeda.

Seorang ibu misalnya memiliki 5 anak, ternyata kelima-kelimanya berbeda. Ternyata suasana batin sewaktu hamil mewujud pada pembawaan anak-anaknya. Perbedaan suasana batin mewujud pada lima typology bawaan lima anaknya, ada yang periang, ada yang melangkolis, ada yang pemarah, ada yang pemaaf, dan ada yang cuekan. Suasana batin juga dipengaruhi oleh gizi, stimulus yang hadir dan persepsi terhadap stimulus.

Stimulus bisa datang dari suami, dari anak-anak yang sudah lahir, dari kakek neneknya, dari tetangga, dari berita TV dan sebagainya. Ragam stimulus dan ragam persepsi membentuyk suasana batin yang berbeda dan mewujud pada pribadi-prbadi anak yang berbeda satu sama lain. Selanjutnya pengalaman orang sejak kecil hingga dewasa juga berbeda-beda. Perbedaan stimulus dan perbedaan persepsi terhadap obyek melahirkan perbedaan selera dan perbedaan cara pandang serta perbedaan pola respond.

Disamping perbedaan yang terbentuk oleh proses interaksi, juga ada keunikan yang berasal dari desain Sang Pencipta, yaitu wajah, suara dan sidik jari. Dari milyaran manusia tidak ada orang yang sama persis wajahnya, sama persis suaranya dan yang sama persis sidik jarinya. Keunikan manusia juga merupakan perwujudan (tajalli) dari kesempurnaan Tuhan Sang Pencipta. Hanya Yang Maha Sempurna yang bisa menciptakan keunikan yang sempurna.

Read More
posted by : Mubarok institute

Saturday, January 02, 2010

Peluang Mengubah Manusia
Seekor bayi kuda, begitu lahir langsung ia bisa berdiri, tak lama kemudian ia bisa berjalan dan hanya butuh beberapa hari ia sudah bisa berlari. Perkembangan kemampuan seekor kuda berlangsung sangat cepat, tetapi sampai akhir hidupnya tidak ada lagi kemmpuan lain selain berlari. Kuda yang berkualitas baik adalah kuda yang mampu berlari cepat. Tidak ada peluang lain bagi kuda kecuali berlari.

Manusia dilahirkan ibunya dalam keadaan lemah, tidak tahu apa-apa dan hanya bisa menangis. Dbutuhkan waktu panjang untuk bis duduk, berdiri, berjalan dan berlari. Juga dibutuhkan waktu panjang untuk bisa berbicara. Berbicara adalah ekpressi fikiran dan perasan manusia . Fikiran dan perasaan manusia juga berkembang bersamaan dengan mas kanak-kanak, remaja dan dewasa. Ternyata perkembangan lambat dan lama yang dialami manusia mengambarkan peluang yang sangat banyak bagi manusia untuk memilih segmen kualitas diri. Jika kualitas kuda terhenti pada kemampuannya untuk berlari, manusia memilik peluang yang sangat luas nyaris tak terbatas untuk mengembangkan dirinya menjadi apa dan siapa. Potensi diri manusia sangat besar untuk bisa dikembangkan , hingga manusia bisa menjadi makhluk yang tinggi martabatnya, disamping bisa menguasai ilmu dan teknologi yang memungkinkan akses ke alam ciptaan Tuhan ini guna meraih kesejahteraan setingi-tinginya bagi kehidupan manusia. Hanya saja manusia juga mempunyai potensi menyimpang, sehingga penguasaan ilmu dan teknologi juga bisa disimpangkan ke tujuan yang justeru merendahkn martabat manusia, merusak keseimbangan alam serta menyengsarakan kehidupan ummat manusia. Inilah sisi-sisi dri sebuah kelebihan. Jika kuda secepat apapun larinya , tidak ada kuda yang bersekongkol melakukan tindak criminal, manusia dengan ragam kemampuannya juga berpotensi menjadi teroris di muka bumi, dengan (a) menyebarkan rasa takut, (b) menghancurkan infrastruktur public dan (c) menimbulkan korban tak berdosa dalam jumlah besar.

Ragam kualitas manusia inilah yang menyebabkan kajian tentang manusia tidak pernah tidak menarik.Kajian tentang manusia selalu menarik perhatian Meski perenungan tentang manusia telah berlanggsung sepanjang sejarah manusia, tetapi pem¬bicaraan tentang manusia hingga kini (dan masa mendatang) tetap menarik. Daya tarik pembicaraan tentang manusia antara lain seperti yang dikatakan oleh Dr. Alexis Careel dalam bukunya Man The Unknown, adalah karena pengetahuan tentang makhluk hidup dan terutama tentang manusia belum mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya. Pertanyaan tentang manusia, kata Careel, pada hakikatnya hinga kini masih tetap tanpa jawaban.'

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger