Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Tuesday, August 31, 2010

Membangun Akhlak Manusia (5) Ilmu akhlak
Ilmu Akhlak sering digunakan juga untuk menyebut ethica atau filsafat ethica. Ilmu akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti baik buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia yang satu terhadap yang lain, menyatakan tujuan dari apa yang dilakukan dan membimbing bagaimana melaksanakan apa yang semestinya dilakukan.

Ethica merupakan cabang dari filsafat, dimana secara epistimologi terdiri dari: (1) Methafisika, (2) Filsafat alam/Cosmology, (3) Ilmu Jiwa/ Psikologi, (4) Logika/Ilmu Mantiq, (5) Ethics, (6) Falsafat Hukum, (7) Sosiologi dan (8) Filsafat Sejarah.
Akan tetapi jika yang dimaksud itu ilmu Akhlak dalam perspektip Epistimologi Islam, maka ia merupakan pembidangan ajaran Islam, Aqidah syari'ah dan Akhlak. Jika etika lebih pada hubungan horizontal antar manusia, maka akhlak menyangkut hubungan vertikal, horizontal dan internal.

Dalam Islam, akhlak merupakan sistem nilai yang merupakan subsistem dari sistem syariah Islam dimana aqidah, syariah (dalam pengertian khusus) dan akhlak menjadi subsistemnya. Oleh karena itu akhlak manusia mencakup hubungannya dengan Tuhan (vertikal), dengan sesama manusia, dengan hewan dan alam (horizontal) dan dengan diri sendiri (internal). Bersyukur dan beribadah adalah wujud akhlak manusia sebagai makhluk kepada Tuhannnya.

Menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, membantu yang lemah adalah wujud dari akhlak manusia kepada sesama manusia. Menyayangi binatang, memelihara habitat binatang, memelihara lingkungan sebagai ekosistem adalah wujud akhlak manusia kepada binatang dan lingkungan. Jujur dan sabar adalah wujud akhlak manusia kepada diri sendiri.

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, August 30, 2010

Membangun akhlak manusia (4) Sasaran akhlak
Sebagaimana telah diterangkan di muka bahwa akhlak bukanlah perbuatan, tetapi keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya perbuatan. Memang antara perbuatan lahir dengan keadaan batin ada hubungannya, maksudnya perbuatan baik biasanya dilakukan oleh orang yang hatinya baik, dan perbuatan jahat biasanya dilakukan oleh orang yang hatinya jahat. Meski demikian, karena menilai ketepatan keadaan batin itu tidak mudah, maka banyak orang terkecoh oleh perbuatan lahir.Penipu biasanya menampilkan diri sebagai orang yang ramah, sopan dan peduli orang lain. Pemeras biasanya memulai dengan menunjukkan kemurahan dalam memberi. Pengkhianat biasanya memulai usahanya dengan rajin bekerja.

Sasaran nilai akhlak adalah keadaan batin, oleh karena itu marah belum tentu bermakna benci, menolak belum tentu bermakna tidak simpati, tidak mau memberi belum tentu bermakna tidak mencintai, membiarkan belum tentu bermakna tak peduli, meninggalkan belum tentu bermakna marah, diam belum tentu bermakna ngambek, dan sebagainya. Di mata Tuhan, nilai suatu perbuatan bukan pada perbuatan itu sendiri, tetapi pada apa yang ada di balik perbuatan itu, yakni niatnya, keikhlasannya, kesabarannya, ketabahannya dan hal-hal lain yang bersifat rohaniah.

Untuk menilai kualitas akhlak seseorang bisa dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

Pertama: Konsistensi antara yang dikatakan dengan yang dilakukan, satunya kata dengan perbuatan. Orang yang berakhlak baik jika berbicara maka ia menyadari betul apa yang dikatakan, menyadari betul apa implikasi dan konsekwensi dari apa yang dikatakan. Oleh karena itu keputusan yang diambil juga sejalan dengan apa yang telah dikatakan. Untuk mengetahui konsistensi seseorang tidak cukup hanya dengan melihat satu kasus, tetapi beberapa kasus dan dalam waktu yang lama, karena adakalanya seseorang dalam satu hal nampaknya tidak konsisten, tetapi setelah dianalisis dengan banyak hal yang dilakukan jauh sebelumnya ternyata itu merupakan konsistensi. Orang awam memandangnya sebagai inkonsistensi, tetapi orang 'arif justeru memandangnya sebagai konsistensi.

Kedua: Konsistensi orientasi, yakni antara pandangannya dalam satu hal dengan pandangannya dalam bidang lain. Seorang yang memiliki sikap pemihakan kepada orang lemah, maka sikapnya itu akan nampak ketika berurusan dengan segala bidang, ekonomi, hukum, sosial dan juga politik. Seorang humanis akan selalu mengorientasikan perhatiannya pada masalah humanisme yang berjangka jauh, berbeda dengan politisi yang sering mengukurnya dengan kepentingan politis jangka pendek.

Ketiga: Konsistensi pola hidup. Orang yang berakhlak baik pada umumnya pola hidupnya tidak mudah berubah. Jika ia menempuh pola hidup sederhana, maka baik ketika ia miskin maupun setelah menjadi kaya raya, pola hidupnya tetap hidup sederhana. Ketika ia menjadi presiden pun ia tetap bertingkahlaku sederhana, mudah dihubungi, tetap santai, satu hal yang biasanya menyulitkan penangggung jawab protokoler dan keamanan.

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, August 29, 2010

Membangun akhlak manusia (3) Tingkatan nilai akhlak
Seorang perampok terkadang iba juga melihat penderitaan orang lain. Dari perasaan ibanya maka ia boleh jadi menyisihkan sebagian hasil rampokannya untuk menolong orang yang menderita itu, sehingga bisa terjadi seorang perampok profesional yang tak pernah tertangkap jus¬tru dikenal sebagai sosiawan di kampung halamannya. Adakah perampok yang sosiawan itu dapat disebut sebagai orang yang berakhlak?

Apa yang dilakukan oleh perampok itu adalah perbuatan baik, tetapi bukan kebaikan, karena tidak bersumber dari nilai-nilai akhlak. Kebaikan itu sifatnya utuh, tidak kontradiktip, meski boleh jadi ada perbedaan persepsi orang lain terhadapnya. Perbuatan seseorang dapat dipandang sebagai perwujudan dari akhlaknya manakala ia keluar dari keadaan batinnya. Dalam perspektip ini maka suatu perbuatan dapat diklasifikasi dengan ukuran-ukuran (a) Perbuatan baik atau buruk, (b) Kriteria atau konsep tentang baik dan buruk, (c) Pengenalan atau makrifat terhadap kebaikan atau keburukan, dan (d) kecenderungan jiwa terhadap kebaikan atau keburukan.

1. Perbuatan Baik atau Buruk

Perbuatan baik atau buruk yang dilakukan seseorang tanpa ada hubungannya dengan akhlaknya atau tabiatnya adalah hanya bernilai perbuatan. Suatu ketika seorang yang akhlaknya buruk tanpa kesadaran akan makna baik buruk melakukan suatu perbuatan yang bernilai baik. Demikian juga seseorang yang sebenarnya akhlaknya baik, suatu ketika tanpa menyadari makna keburukan melakukan sesuatu yang bernilai buruk.. Perbuatan baik dan perbuatan buruk dari dua orang itu hanya bernilai sebagai perbuatan, tetapi tidak bermakna sebagai kebaikan atau kejahatan. Dilihat dari sudut agama, maka perbuatan itu tidak men-datangkan pahala dan dosa. Seorang pencuri yang sedang mencuri di rumah seseorang karena kepergok kemudian mebunuh tuan rumah. Tetapi setelah peristiwa pembunuhan itu terungkap bahwa orang yang dibunuh oleh pencuri itu adalah tokoh pemberontak yang sangat ber¬bahaya bagi bangsa dan negara, yang telah sekian lama tidak berhasil ditangkap oleh aparat keamanan. Senyatanya pencuri itu berjasa bagi negara dan bangsa, tetapi di depan Tuhan ia tidak memperoleh apa-apa selain dosa membunuh. Demikian juga seorang peneliti, tanpa disadari produk penelitiannya itu justru menyebabkan timbulnya wabah yang menelan ratusan korban meninggal. Di depan masyarakat, peneliti tersebut bisa disebut sebagai pembunuh massal, tetapi di depan Tuhan ia tidak dihukumi sebagai pembunuh.

2. Konsep kebaikan dan keburukan

Ada orang yang memiliki pengertian yang lengkap tentang kebaikan dan keburukan. Ia bisa menerangkan dengan lancar segi-segi dan kriteria-kriteria yang berhubungan dengan kebaikan atau keburukan itu. Tetapi pengertiannnya itu tidak mengantarnya pada perbuatan kongkrit. Pengertiannya tentang kebaikan atau keburukan berhenti pada konsep, sementara perbuatan yang dilakukan sama sekali tidak diilhami oleh pengertiannya tentang kebaikan atau keburukan. Model orang seperti ini biasanya terdapat pada orang intelek yang jahat atau penjahat yang jenius.

3. Pengenalan kepada kebaikan dan keburukan

Kata mengenal mempunyai muatan yang berbeda dengan kata mengetahui. Orang Arab menggunakan kata ma'rifat untuk menyebut pengenalan dan kata 'ilm untuk menyebut pengetahuan, Pengetahuan merupakan aspek kognitip sedangkan pengenalan sudah menyentuh aspek afektip. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu belum tentu memotivisir tingkahlaku yang mendukung pengetahuannya, tetapi orang yang mengenal tentang sesuatu, kalau toh tidak melakukan sesuatu yang sejalan dengan pengenalannya, sekurang-kurangnya ia simpati atau empati terhadapnya. Orang yang memiliki banyak pengetahuan tentang nilai-nilai kebaikan boleh jadi ia bisa menjadi dosen ilmu etika atau menulis buku tentang etika, tetapi belum tentu perbuatannya sesuai dengan pengetahuan yang diajarkan dan ditulisnya. Tetapi orang yang sudah mengenal nilai-nilai kebaikan, ia bukan hanya mengetahui tetapi merasakan makna dari suatu perbu¬atan baik, dan dapat merasakan penderitaan korban dari perbuatan kejahatan. Orang yang sudah mengenal kebaikan, kalau toh ia belum menjadi orang baik, sekurang-kurangnya ia sudah bercita-cita untuk menjadi orang baik. Ia mau membantu orang lain yang sedang berusaha untuk menjadi orang baik, dan kalau toh ia belum bisa menjadi orang baik, ia selalu menyesali dirinya mengapa ia belum bisa. Ia sudah mencintai kebaikan yang sudah ia kenali meski ia belum bisa meme-luknya erat-erat.

4. Kecenderungan Jiwa kepada Kebaikan atau Keburukan

Seseorang pada tingkatan ini, pengetahuan dan pengenalannya terhadap kebaikan dan atau keburukan telah menjadi bagian dari jiwanya, sehingga jika ia orang baik, maka berbuat baik itu sudah meru¬pakan spontanitas, tanpa memikirkan untung rugi dan resikonya. Demikian juga jika ia orang jahat maka berbuat jahat sudah merupa¬kan spontanitas tanpa memikirkan resiko bagi dirinya maupun akibat buruk yang akan menimpa korban kejahatannya. Orang baik pada tingkatan ini alergi kepada perbuatan buruk, sebaliknya orang jahat pada tingkatan ini juga alergi terhadap perbuatan baik. Pada tingkatan inilah seseorang dianggap sudah berakhlak, akhlak baik atau akhlak buruk, karena nilai-nilai kebaikan atau keburukan telah mewarnai keadaan batinnya, keadaan jiwanya.

Read More
posted by : Mubarok institute

Friday, August 27, 2010

Membangun Akhlak manusia (2) Peristilahan dan Pengertian
Sebagaimana telah disebutkan diatas, manusia adalah makhluk budaya yang bekerja dengan menggunakan lambang dan konsep-konsep. Oleh karena itu banyak hal yang boleh jadi istilahnya berbeda tetapi konsepnya sama, atau sebaliknya istilahnya sama tetapi justeru konsepnya yang berbeda. Berbicara tentang akhlak, terlebih dahulu harus diketahui adanya istilah-istilah yang saling berdekatan maknanya, seperti etika, sopan santun, budi pekerti, moral dan mental.

1. Akhlak

Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Dalam Bahasa Arab kata akhlak (akhlaq) di­artikan sebagai tabiat, perangai, kebiasaan, bahkan agama. Meskipun kata akhlak berasal dari Bahasa Arab, tetapi kata akhlak tidak terdapat di dalam Al Qur'an. Kebanyakan kata akhlak dijumpai dalam hadis. Satu-satunya kata yang ditemukan semakna akhlak dalam al Qur'an adalah bentuk tunggal, yaitu khuluq, tercantum dalam surat al Qalam ayat 4: Wa innaka la'ala khuluqin 'adzim, yang artinya: Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung. Sedang­kan hadis yang sangat populer menyebut akhlak adalah hadis riwayat Malik, Innama bu'itstu liutammima makarima al akhlaqi, yang artinya: Bahwasanya aku (Muhammad) diutus menjadi Rasul tak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia.
Perjalanan keilmuan selanjutnya kemudian mengenal istilah-istilah adab (tatakrama), etika, moral, karakter disamping kata akhlak itu sendiri, dan masing-masing mempunyai definisi yang berbeda.
Menurut Imam Ghazali, akhlak adalah keadaan yang bersifat batin dimana dari sana lahir perbuatan dengan mudah tanpa dipikir dan tanpa dihitung resikonya (al khuluqu haiatun rasikhotun tashduru 'anha al afal bi suhulatin wa yusrin min ghoiri hajatin act_ fikrin wa ruwiyyatin. Sedangkan ilmu akhlak adalah ilmu yang berbicara tentang baik dan buruk dari suatu perbuatan. Dari definisi itu maka dapat difahami bahwa istilah
akhlak adalah netral, artinya ada akhlak yang terpuji (al akhlaq al mah­mudah) dan ada akhlak yang tercela (al akhlaq al mazmumah). Ketika ber­bicara tentang nilai baik buruk maka munculah persoalan tentang konsep baik buruk. Konsep baik buruk perspektip ilmu Akhlak berasal dari kata kholaqo yang artinya penciptaan, maka nilai kebaikan dari akhlaq basiknya adalah dari nilai kebaikan universal, yakni sifat-sifat kebaikan yang dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Baik. Oleh karena itu sumber utama nilai akhlak adalah wahyu. Dari sinilah kemudian terjadi perbedaan konsep antara akhlak dengan etika.

2. Etika

Etika (ethica) juga berbicara tentang baik buruk, tetapi konsep baik buruk dalam ethika bersumber kepada kebudayaan, sementara konsep baik buruk dalam ilmu akhlak bertumpu kepada konsep wahyu, mes­kipun akal juga mempunyai kontribusi dalam menentukannya. Dari segi ini maka dalam ethica dikenal ada ethica Barat, ethika Timur dan seba­gainya, sementara al akhlaq al karimah tidak mengenal konsep regional, meskipun perbedaan pendapat juga tak dapat dihindarkan. Etika juga sering diartikan sebagai norma-norma kepantasan (etiket), yakni apa yang dalam bahasa Arab disebut adab atau tatakrama. Dari khazanah sosialpun lahir konsep-konsep etika bisnis, etika politik, etika kedokteran, etika pergaulan dan sebagainya.


3. Moral

Sedangkan kata moral meski sering digunakan juga untuk menye­but akhlak, atau etika tetapi tekanannya pada sikap seseorang terhadap nilai baik-buruk, sehingga moral sering dihubungkan dengan kesusilaan atau perilaku susila. Jika etika masih ada dalam tataran konsep maka moral sudah ada pada tataran terapan..Seorang cendekiawan tetapi berbisnis secara kotor, maka ia disebut cendekiawan yang moralnya rendah. Seorang politisi yang tahan terhadap godaan money politik disebut politisi yang bermoral tinggi. Prajurit yang gagah berani di medan tempur disebut tentara yang memiliki moral prajurit.

4. Mental

Sedangkan istilah mental digunakan untuk menyebut kapasitas psikologis orang dalam merespond problem-problem kehidupan. Ada orang yang memiliki kemampuan untuk menghadapi problem seberat apapun dan seberapa lamapun. Nah orang seperti ini disebut kuat mentalnya. Adapun jika seseorang memiliki kapasitas psikologis dibawah normal sehingga ketika berhadapan dengan problem ia merasa minder, menyerah sebelum bertarung,maka ia disebut sebagai orang yang lemah mentalnya. Jika sangat parah disebut memiliki keterbelakangan mental. Jika dihubungkan dengan kemampuannya menyelaraskan diri dengan nilai-nilai, maka yang positip disebut orang yang sehat mentalnya sementara orang banyak melakukan perilaku menyimpang disebut sebagai orang yang sakit mental.

Read More
posted by : Mubarok institute
sorry
mohon maaf, hampir dua bulan blog ini tidak disentuh operator, karena operatornya berhalangan. sekarang ada operator baru, bernama yadi rosadi. Insyaalloh mulai hari ini blog ini akan selalu hadir dengan tulisan baru. syukron . Achmad Mubarok

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, August 26, 2010

Membangun akhlak manusia(1)
Manusia adalah makhluk yang bisa menjadi subyek dan obyek sekaligus. Manusia bisa mempertanyakan tentang diri sendiri. Diantara yang dipertanyakan oleh manusia adalah tentang jiwa. Pertanyaan tentang jiwa dijawab oleh filsafat, psikologi dan agama. Plato misalnya sudah menyatakan bahwa manusia adalah jiwanya, sedangkan tubuhnya hanyalah sekedar alat saja. Aristoteles, berbeda dengan Plato mengatakan bahwa jiwa adalah fungsi dari badan sebagaimana penglihatan adalah fungsi dari mata.

Kajian tentang jiwa di Yunani selanjutnya menurun bersama dengan runtuhnya peradaban Yunani. Runtuhnya peradaban Yunani Romawi memberi peluang kepada pemikir-pemikir Islam mengisi panggung sejarah. Melalui gerakan penterjemahan dan kemudian komentar serta karya orisinil yang dilakukan oleh para pemikir Islam terutama pada masa Daulah Abbasiyyah, esensi dari pemikiran Yunani diangkat dan diperkaya, dan selanjutnya melalui peradaban Islamlah Barat menemukan kembali kekayaan keilmuan yang telah hilang itu.

Psikologi (Ilmu Jiwa) yang lahir pada akhir abad 18 M mestinya dikatakan sebagai ilmu yang berbicara tentang jiwa sebagaimana lazimnya definisi ilmu pengetahuan, tetapi Psikologi tidak berbicara tentang jiwa. Ia berbicara tentang tingkah laku manusia yang diasumsikan sebagai gejala dari jiwanya. Penelitian Psikologi tak pernah meneliti jiwa manusia, yang diteliti adalah tingkah laku manusia melalui perenungan, pengamatan dan laboratorium, kemudian dari satu tingkah laku dihubungkan dengan tingkah laku yang lain selanjutnya dirumuskan hukum-hukum kejiwaan manusia.

Di Barat, perkembangan Psychology –disebut Psikologi Barat atau Psikologi Modern – sudah sangat maju , kaya dengan penelitian empirik dan metodologi hingga melahirkan cabang-cabang Psikologi yang mencakup berbagai wilayah. Psikologi lahir dari kultur sekuler dan pertumbuhannya bukan saja tidak dikawal oleh agama tetapi bahkan bermusuhan dengan agama (gereja), karena pada masa itu sedang terjadi konflik antara Gereja dengan ilmu pengetahuan. ilmuwan yang pandangannya bertentangan dengan pendapat Gereja dimusuhi, bahkan bisa dihukum mati, seperti Galileo. Oleh karena itu Psikologi tidak mengenal agama, Tuhan, dosa , nilai baik buruk, dan nilai-nilai sakral, yang ada hanya sehat atau tidak sehat secara psikologis.

Ilmu semacam Psikologi tidak lahir dari sejarah keilmuan Islam, padahal jiwa (nafs) disebut lebih dari 300 kali dalam al Qur’an. Berbeda dengan sejarah keilmuan Barat yang berlawanan dengan agama (gereja), pertumbuhan ilmu pengetahuan dalam sejarah Islam justru berada dibawah panduan para ulama. Jiwa dalam ilmu keislaman tidak dibahas sebagai perilaku, tetapi dibahas dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhan, maka yang lahir adalah Ilmu Akhlak dan Ilmu Tasawuf. Jika Psikologi bertugas menerangkan, meramalkan dan mengendalikan perilaku, Ilmu Akhlak ber¬bicara tentang perilaku yang baik dan yang buruk dan bagaimana membentuk perilaku yang baik, Ilmu Tasauf berbicara tentang bagaimana jiwa manusia dapat merasa dekat dengan Tuhan. Ilmu Tasauf dapat juga disebut sebagai filsafat Akhlak.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger