Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Sunday, October 31, 2010

Sistem Kejiwaan Menurut al Qur’an
Jika teori Psikoanalisa Freud menyebut adanya tiga pilar jiwa; Id, Ego dan Super Ego, maka menurut al Qur’an, jiwa manusia itu merupakan sisi dalam manusia, disebut nafs yang sistemnya bisa disebut sistem nafsani dengan pilar-pilar sebagai subsistem yang terdiri dari ; qalb (hati), bashirah (hati nurani), `aql (akal), syahwat dan hawa (hawa nafsu).

Kelima subsistem itu saling berhubungan dalam proses menangkap stimulus, dalam mempersepsi, dalam memanggil memori, dalam berfikir dan dalam mengambil keputusan. Sistem kerjanya sangat sempurna, indah dan sangat menarik. Jika dalam alqur’an manusia (insan) disebutkan sebagai ciptaan yang ahsani taqwim (kontruksi yang sangat indah) maka yang dimaksud adalah kontruksi jiwanya, karena yang dimaksud insan adalah makhluk yang berjiwa, makhluk psikologis, bukan sekedar basyar (fisik manusia).

Jika kita pernah mendengar istilah manajemen qalbu, maka yang dimaksud ialah bahwa sistem nafsani itu bekerja seperti team work dengan kendali manajemen dipegang oleh qalb (hati). Oleh karena itu dikatakan bahwa jika seseorang qalbu (hati) nya baik maka baik pula keseluruhan sistem kerja dirinya, term,asuk perilakunya. Sebaliknya jika hatinya buruk, maka buruk produk kerja jiwanya, yakni fikiran, perasaan dan kehendaknya atau perilakunya secara keseluruhan. Kita juga biasa mengunakan ungkapan; dalamnya laut dapat diduga, dalamnya hati siapa yang tahu? Untuk menunjuk betapa rumitnya sistem kerja jiwa.

Tentang Qalb

Dalam bahasa Arab, kata al-qalbu diucapkan untuk menyebut jantung, bukan hati, sementara untuk hati disebut al-kabid. Dalam bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan qalbu adalah hati, baik dalam arti maknawi maupun fisik (liver). Secara lughawi, qalbu artinya bolak-balik, merujuk pada sifat hati manusia yang tidak konsisten atau bolak-balik (summiyat al-qalbu qalban litaqallubihi). Dalam al-Qur’an, kata al-qalbu dan qulub digunakan untuk menyebut ruh (QS. 33 : 10), alat untuk memahami (QS. 7 : 179), keberanian (QS. 3 : 126) dan alat ketakutan (QS. 33 : 26).

Dalam perspektif psikologi, qalbun atau kalbu atau hati adalah bagaikan kamar kecil di dalam ruang nafs yang luas. Berbeda dengan nafs yang hanya menampung hal-hal yang sudah tidah disadari, maka memori qalb atau hati menampung hal-hal yang sepenuhnya disadari. Oleh karena itu, apa yang harus dipertanggungjawabkan manusia dihadapan Tuhan-nya adalah dalam hal perbuatan yang didasari oleh hati (QS. 2 : 225) bukan yang berada di dalam memori nafs. Qalbu berhubungan erat denga aktivitas berpikir yang dilakukan oleh akal, sementara nafs lebih berhubungan dengan perasaan.

Hati memang memiliki karakter tidak konsisten (taqallub) berubah-ubah, terkadang bergejolak, terkadang lembut, terkadang benci, lain kali terhanyut oleh perasaan cinta, terkadang merasa yakin, tapi esoknya ragu-ragu. Mesti demikian ia tetap sadar terhadap apa yang diputuskannya. Karena sifatnya yang potensial untuk berubah itulah maka menurut al-qur’an, hati dapat diuji (QS. 49 : 3), dapat diperlonggar dan dipersempit (QS. 6 : 125) dan bahkan bisa ditutup rapat (QS. 2 : 7).. Sebagai instrumen, qalb adalah alat untuk memahami realitas. Hal-hal yang tidak masuk akal, yang tidak logis, bisa difahami oleh hati.

Isi atau kandungan hati sangat banyak, ada; kesombongan, penyakit, rasa takut, getaran, kedamaian, keberanian, cinta, kebaikan, kufur, dengki, iman, kesesatan, penyesalan, panas hati, keraguan dan juga kemunafikan.

Sedangkan potensinya juga banyak; bisa perpaling, kecewa dan kesal, memutuskan, berprasangka, menolak, mengingkari, dapat diuji, dapat ditundukkan, dapat diperluas dan dipersempit, dapat ditutup rapat, tergesa-gesa dan berkeluh kesah.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, October 26, 2010

FITRAH DAN SYAHWAT MENURUT AL-QUR'AN
FITRAH

Dari segi bahasa, kata “fitrah” (fathara) mempunyai arti belahan, muncul kejadian dan penciptaan. Jika disebut fitrah manusia, maka yang dimaksud adalah “apa yang menjadi kejadiannya atau bawaannya sejak lahir."

Dalam al-Qur’an, kata fitrah dengan berbagai bentuknya disebut sebanyak dua puluh kali, empat belas kali diantaranya dalam konteks uraian tentang bumi dan langit, sisanya disebut dalam konteks pembicaraan tentang manusia, baik berhubungan dengan fitrah penciptaan maupun fitrah keberagaman yang dimilikinya.

Fitrah keagamaan misalnya, disebutkan dalam surat ar-rum sebagai berikut:
" Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. " (QS. 30: 30).

Dalam surat di atas disebutkan bahwa sejak asal kejadiannya manusia telah diciptakan membawa fitrah (potensi) keberagamaan yang benar (hanif atau tauhid ), ia tidak bisa menghindar (la tabdila), walaupun ia mengabaikan atau tidak mengakuinya.
Berbeda dengan teologi Kristen yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang fitrahnya rendah sebagai makhluk yang berdosa (dosa asal), menurut al-Qur’an manusia mempunyai potensi positif lebih besar dibanding potensi negatif. Jadi dalam perspektif al-qur’an pada dasarnya manusia adalah mulia dan positif

Dalam surat al-Baqarah aat 266 disebutkan :
Kata kasabat merujuk kepada usaha baik, yang dalam bahasa Arab digunakan untuk menggambarkan pekerjaan yang dilakukan dengan mudah. Sedangkan kata iktasabat merujuk kepada hal-hal yang lebih sulit dan berat. Jadi ayat ini mengisyaratkan bahwa pada dasarnya fitrah manusia itu lebih cenderung kepada kebaikan, dan disuruh untuk melakukan keburukan maka sebenarnya ia harus bersusah payah melawan fitrah dirinya, melawan hati nuraninya.

Dalam kaitannya dengan perilaku, meskipun pada dasarnya manusia itu memiliki fitrah positif, tetapi daya tarik keburukan lebih kuat dibanding daya panggil kebaikan, maka disinilah sebenarnya medan perjuangan dakwah, yakni menciptakan iklim agar hati nurani manusia terjaga sehingga potensi positifnya yang berfungsi sambil menekan pengaruh keburukan.

Termasuk ke dalam fitrah ciptaan Allah ialah bahwa manusia itu juga memiliki syahwat atau keinginan yang mempengaruhi perilakunya.

SYAHWAT

Kalimat syahwat disebut al-Qur’an dalam bentuk mufrad sebanyak dua kali (QS. Al-Naml: 55), berhubungan dengan syahwat seksual, dan tiga kali dalam bentuk jamak. Pada surat an-Nisa’ ayat 27, ungkapan syahwat berhubungan dengan pikiran-pikiran tertentu, yakni mengikuti pikiran orang karena menuruti hawa nafsu, sedangkan dalam surat Ali Imran ayat 14 dan Maryam ayat 59, ungkapan syahwat dihubungkan dengan keinginan manusia terhadap kelezatan dan kesenangan.

Secara lughawi, Syahwat artinya menyukai dan menyenangkan ( syahiya, syaha-yasha atau syahwatan), sedangkan maknanya adalah kecenderungan jiwa terhadap apa yang dikehendakinya (nuzu’an nafsi ila ma turiduhu). Dalam Al-Qur’an, kata syahwat terkadang dimaksudkan untuk obyek yang diinginkan, di ayat lain dimaksudkan untuk menyebutkan potensi keinginan manusia, sebagaimana yang disebutkan oleh ayat berikut:

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).(QS. Ali Imran: 14)

Ayat tersebut di atas menyebut syahwat sebagai potensi keinginan manusia, yakni pada dasarnya manusia menyukai terhadap wanita (seksual), anak-anak (kebanggaan), harta kekayaan atau benda berharga (kebanggaan, kenyamanan, kesenangan), binatang ternak (kesenangan, kemanfaatan) dan sawah ladang (kesenangan, kemanfaatan) jadi kecenderungan manusia terhadap seksual, harta benda dan kenyamanan dalam pandangan al-Qur’an adalah manusiawi.

Kecenderungan syahwati manusia, jika dihubungkan dengan psikologi dakwah, maka contohnya adalah sebagai berikut: jika seorang mubaligh dihadapkan pada dua pilihan, undangan tabligh yang pertama menjanjikan uang transport Rp. 50.000,- dan undangan kedua menjanjikan honorarium Rp. 500.000,- maka sangat manusiawi jika mubaligh tersebut tergoda untuk membatalkan undangan pertama dan mengejar yang kedua, meskipun boleh jadi kehadirannya di kelompok undangan pertama lebih penting dilihat dari sudut kepentingan dakwah. Akan tetapi jika pilihannya antara uang Rp. 500.000,- dengan gadis cantik yang dia harap dapat jadi istrinya, maka dorongan untuk uang mungkin terkalahkan.

Jadi pilihan-pilihan yang dilakukan oleh seorang da’i atas hal-hal yang sifatnya memuaskan syahwat adalah manusiawi belaka. Oleh karena itu tidak dapat dibenarkan melongarkan ketentuan hukum agama dengan dalil imannya kuat, misalnya; membolehkan seorang gadis tidur sekamar dengan seorang ulama yang bukan muhrim dengan asumsi bahwa ulama dan da’i yang imannya kuat itu tidak mungkin melakukan perbuatan terlarang. Karena beliau mengerti dosa. Demikian juga tidak dapat dibenarkan memberi kepercayaan kepada da’i untuk mengelola dana masyarakat tanpa sistem pengawasan dengan alasan bahwa orang yang beriman itu tidak mungkin berbuat korupsi.

Dalam hal syahwati, baik yang menyangkut seksual maupun harta, semua manusia memiliki potensi untuk berperilaku menyimpang meski kadarnya berbeda. Memang iman dapat menjadi benteng dari godaan syahwat, tetapi benteng juga dapat roboh. Serangan bertubi-tubi dan dorongan syahwat dapat merobohkan benteng keimanan seseorang. Memang, kecenderungan positif manusia lebih besar, tetapi daya tarik syahwati lebih kuat dibanding ajakan kebaikan. Kata Nabi Saw. Iman itu sifatnya pasang surut, al’imanu yazidu wayangqush. Banyak hadist dan kisah sufi yang menceritakan seorang pendeta terjerumus pada lingkaran dosa perzinahan, seorang ahli ibadah tergoda oleh urusan harta dan sebagainya.

Dalam membangun sumber daya manusia dalam sebuah lembaga, misalnya, harapan kenaikan kesejahteraan (gaji, honor, atau tunjangan) yang dijanjikan oleh direksi atau rektor, misalnya. Lebih efektif dalam menaikan tingkat disiplin dan dedikasi karyawan (dan dosen) dibanding iming-iming pahala, meskipun lembaga itu lembaga keagamaan (UIA misalnya). Jika mahasiswa UIA lebih tertarik menghadiri pengajian di kampus yang dekat, secara psikologis hal itu adalah wajar-wajar saja.

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, October 25, 2010

AKAL DAN MOTIVASI PERILAKU
Akal

Akal berasal dari bahasa Arab aqala artinya adalah mengingat atau menahan, tetapi secara umum akal itu dipahami sebagai potensi yang disiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan (al-quwwah al-mubayyi’ah liqobul al-‘ilmu). Dalam psikologi modern, akal dipahami sebagai kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity).

Dalam al-Qu’an, kata aqal (berbeda dengan qalb) tidak pernah disebut dalam bentuk kata benda atau isim,tetapi selalu dalam bentuk fi’il atau kata kerja, yaitu 1 ayat berbunyi ‘aqaluhu, 24 ayat ta’qiluna, 1 ayat na’qilu, 1 ayat ya’qiluna dan 22 ayat berbunyi ya’qiluna.

Dari 49 ayat tersebut, kata aqal mengandung pengertian : mengerti, memahami dan berpikir. Tetapi pengertian berpikir juga diungkapkan dalam al-Qur’an dengan kata lain, seperti :
1. Nazara,( ingat makna nalar atau penalaran), yang artinya melihat secara abstrak (QS. 50 : 6-7; (QS. 86 : 5-7; QS. 88 : 17-20).
2. Tadabbara atau tadabbur, yang artinya merenungkan (QS. 38 : 29; QS. 47 : 24).
3. Tafakkara atau tafakkur, yang artinya berpikir (QS. 16 : 68-69; QS. 45 : 12-13).
4. Faqiha atau fiqh atau tafaqquh, yang artinya mengerti (QS. 17 : 44; QS. 16 : 97-98; QS. 9 : 12).
5. Tazakkara, yang artinya mengingat, memperoleh pengertian, mendapatkan pelajaran, memperhatikan dan mempelajari (QS. 16 : 17; QS. 39 : 9; QS. 51 : 47-49).
6. Fahima, yang artinya memahami (QS. 21 : 78-79).
Selain itu, al-Qur’an juga menyebut orang yang berpikir dengan istilah lain ; seperti ulu al-‘ilmi, ulul al-albab, ulu al-abshar dan ulu an-nuha. (QS. 2 : 179-197; QS. 20 : 54; QS. 24 : 44).
Meski banyak istilah dalam al-qur’an, tetapi kata ‘aqala mengandung arti yang pasti yaitu mengerti, memahami, dan berpikir. Hanya saja al-Qur’an tidak menerangkan bagaimana proses berpikir seperti yang dibahas dalam psikologi. Al-Qur’an juga tidak menerangkan mana yang merupakan daya pikir dan mana yang alat pikir, tidak juga menerangkan apakah pusat kegiatan berpikir itu di kepala atau di dalam dada, tetapi menyebut bahwa qalb yang di dada juga berpikir (yafqahu) seperti akal (QS. 7 : 179; QS. 9 : 93 dan QS. 47 : 24).

Motivasi Perilaku

Teori Psikoanalisa Freud menyebutkan bahwa manusia memiliki Id yang menjadi pusat lahirnya dorongan-dorongan nafsu atau libido, yang menjadi motif dari tingkah laku manusia. Nampaknya al-Qur’an juga membahas semacam motif perilaku, yaitu apa yang disebut dengan syahwat. Tetapi berbeda dengan teori psikoanalisa yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang “rendah”, yang tunduk kepada keinginan bawah sadarnya, atau teori behaviourisme yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang sangat rapuh, yang tidak mampu melawan lingkungan, maka al-Qur’an menempatkan manusia sebagai makhluk yang memiliki fitrah, dan manusia tidak bisa tidak tunduk kepada fitrahnya.

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, October 24, 2010

hubungan pikiran dan perasaan dengan Qalb dan hati nurani
Dalam bahasa Arab, kata al-qalbu diucapkan untuk menyebut jantung, bukan hati, sementara untuk hati disebut al-kabid. Dalam bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan qalbu adalah hati, baik dalam arti maknawi maupun fisik (liver). Secara lughawi, qalbu artinya bolak-balik, merujuk pada sifat hati manusia yang tidak konsisten atau bolak-balik (summiyat al-qalbu qalban litaqallubihi).

Dalam al-Qur’an, kata al-qalbu dan qulub digunakan untuk menyebut ruh (QS. 33 : 10), alat untuk memahami (QS. 7 : 179), keberanian (QS. 3 : 126) dan alat ketakutan (QS. 33 : 26).
Dalam perspektif psikologi, qalbun atau kalbu atau hati adalah bagaikan kamar kecil di dalam ruang nafs yang luas. Berbeda dengan nafs yang hanya menampung hal-hal yang sudah tidah disadari, maka memori qalb atau hati menampung hal-hal yang sepenuhnya disadari. Oleh karena itu, apa yang harus dipertanggungjawabkan manusia dihadapan Tuhan-nya adalah dalam hal perbuatan yang didasari oleh hati (QS. 2 : 225) bukan yang berada di dalam memori nafs. Qalbu berhubungan erat denga aktivitas berpikir yang dilakukan oleh akal, sementara nafs lebih berhubungan dengan perasaan.
Hati memang memiliki karakter tidak konsisten (taqallub) berubah-ubah, terkadang bergejolak, terkadang lembut, terkadang benci, lain kali terhanyut oleh perasaan cinta, terkadang merasa yakin, tap esoknya ragu-ragu. Mesti demikian ia tetap sadar terhadap apa yang diputuskannya. Karena sifatnya yang potensial untuk berubah itulah maka menurut al-qur’an, hati dapat diuji (QS. 49 : 3), dapat diperlonggar dan dipersempit (QS. 6 : 125) dan bahkan bisa ditutup rapat (QS. 2 : 7).

B.3. Tentang Nurani
Perasaan manusia yang paling mendalam biasanya disebut dengan kata hati, atau hati nurani. Nurani berasal dari kata Arab nur (nuraniyyun) yang artinya cahaya. Jadi hati nurani dapat disebut sebagai cahaya hati, atau lubuk hati yang terdalam.
Dalam al-Qur’an, nurani atau kata hati disebut dengan kata bashirah yang dapat diterjemahkan dalam pandangan mata hati (QS. 75 : 15) sebagai lawan dari pandangan mata. Jika qalbu yang memiliki karakter tidak konsisten itu masih dapat menipu diri dan pura-pura tidak tahu, maka nurani tetap jujur dan peka. Nurani yang terpelihara, ibarat cermin yang bersih, yang dapat menampakan wajah apa adanya. Orang yang sering melakukan kejahatan, nuraninya bagaikan cermin yang tersiram cairan hitam sehingga hanya sedikit saja yang menampakan wajah asli pemiliknya, sedangkan orang yang melakukan kejahatan secara terbuka sebagaimana ia melakukan kebaikan (mencampur adukan kebaikan dan kejahatan) cermin nuranina retak sehingga tdak mampu menampakan wajah pemiliknya seperti apa adanya. Jadi, jika nafs digambarkan seperti ruang yang luas di dalam diri manusia, dan qalbu merupakan kamar kecil di dalam ruang itu, amak nurani merupakan kotak kecil yang tersembunyi secara rapih dan kuat di dalam kamar qalbu.

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, October 21, 2010

hubungan pikiran dan perasaan dengan Jiwa (Nafs)
Ada yang menterjemahkan psikologi ke dalam bahasa Arab dengan ‘ilm an-nafs (ilmu jiwa), tetapi kalimat nafs tidak berarti jiwa. Dalam bahasa Indonesia, nafs diartikan sebagai dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik. Dalam terminologi tasawuf, nafs juga diartikan sebagai sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk.

Tetapi jika kembali kepada al-Qur’an, maka kalimat nafs mempunyai makna totalitas manusia (QS. 5 :32), juga bermakna sesuatu di dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku (QS. 13 : 11) dan bermakna sisi dalam manusia yang berpotensi untuk kebaikan dan keburukan, tidak semata-mata buruk (QS. 91 : 7-8).

Sebagai makluk yang dimuliakan Tuhan,jiwa manusia memiliki potensi positif lebih kuat dibanding potensi negatifnya (Q/91:8), tetapi (menurut hadis Nabi) daya tarik keburukan lebih kuat dibanding daya tarik kebaikan. Oleh karena itu menurut al-Qur’an, manusia dituntut untuk menjaga kesucian nafs-nya dan tidak mengotorinya dengan perbuatan dosa dan sebagaimana firman Allah SWT:

Sesungguhnya berbahagialah orang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. ( QS. 91 : 9- 10)
Nafs itu bagaikan kamar yang luas dan dalam, tetapi ia hanya menampung apa-apa yang sudah tidak disadari (alam bawah sadar?). Walaupun manusia tidak lagi menyadari apa yang ada di dalam nafs-nya, tetapi Tuhan mengetahuinya (QS. 17 : 25). Apa yang sudah berada di bawah alam sadar itu dapat muncul dalam impian seseorang. Mimpi ada dua macam, yaitu simbol dari apa yang telah, sedang dan akan terjadi, disebut ra’yu, sementara impian yang berasal dari keresahan, atau dari perhatian manusia terhadap sesuatu ,menurut al-Qur’an disebut adhghatsu ahlam. (QS. 12 : 44).

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, October 20, 2010

Psikologi Manusia Menurut Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an (dan juga dalam al-hadist) banyak disebut tentang manusia menyangkut statusnya, hak dan kewajibannya serta sifat dan kecenderungannya. Dalam konteks berkomunikasi, pembahasan yang relevan adalah sisi dalam yang ada pada manusia yang mempengaruhi, baik akal, hati, maupun tabi’at-tabiat dasar manusia lainnya.

Ada dua status yang disandang manusia seperti yang disebut dalam al-Qur’an menggambarkan kebesaran sekaligus kelemahan manusia, yaitu status sebagai khlaifah Allah (lihat surat Al-Baqarah,30, Shad, 29) dan sebagai Hamba-Nya , atau Abdullah (lihat Surat al-baqarah,221, an-Nahl, 77).

Dalam hubungannya dengan Sang Pencipta, manusia adalah kecil dan lemah karena ia hanya sebagai abd, tetapi hubungannya dengan sesama ciptaan Allah di muka bumi ini, manusia memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia, yakni sebagai khalifah-Nya, sebagai wakil Allah dimana ia diberi tanggung jawab untuk atas nama Allah meneegakan hukum-hukum –Nya di muka bumi, dan sebagai imbalannya, seluruh isi bumi diserahkan pengelolaannya dan pemanfaatannya untuk manusia.

Jadi, manusia menurut al-Qur’an adalah besar pada satu dimensi, tetapi juga kecil menurut dimensi yang lain. Barang kali karena dua dimensi yang bertentangan inilah maka manusia dalam merespon suatu masalah terkadang berjiwa besar, sportif, siap memberi dan pemberani, sementara di lain kesempatan ia berjiwa kecil, penakut, curang, putus asa dan lari dari tanggung jawab. Manusia memang unik, dan ia memiliki kecenderungan-kecenderungan tertentu, baik yang positif maupun yang negatif, dan dalam perspektif al-Qur’an kecenderungan itulah kemanusiaan manusia.
Psikologi membahas bagaimana manusia berpikir dan merasa. Dalam al-Qur’an, aktivitas berpikir dan merasa dihubungkan dengan apa yang disebut qalbu (hati), nafs (jiwa), aqal, dan bashirah (hati nurani).

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, October 19, 2010

Kritik Terhadap Teori Psikologi Barat
Sebagaimana telah diketahui bahwa suatu teori diciptakan oleh penciptanya atas dasar penemuan-penemuan pada zaman tertentu oleh ilmuan yang hidup dalam lingkungan tertentu. Latar belakang kehidupan seorang ilmuwan sering mempengaruhi teori-teori yang diciptakannya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika konsepsi manusia dirumuskan secara berbeda oleh teori yang berbeda . Kritikan terhadap teori lama dan munculnya teori baru dalam bidang keilmuan adalah merupakan satu keniscayaan.

Kritik yang cukup mendasar misalnya ditujukan kepada teori Psikoanalisa dan Behaviourisme. Kedua teori ini tidak menghargai manusia sebagai manusia. Tetapi makhluk yang dikendalikan oleh kekuatan luar. teori Psikoanalisa menganggap manusia tidak memiliki kebebasan, karena dikendalikan oleh keinginan dan dorongan-dorongan bawah sadarnya. Seluruh tingkah laku manusia hanya berpusat pada motif Eros dan Thanatos, motif kehidupan dan motif kematian. Jiwa manusia sebagai eksistensi manusia yang terhormat dan mulia justru tidak ada dalam konsef Freud.

Behaviourisme juga tidak menghargai manusia sebagai makhluk yang terhormat dan mulia, karena menurut teori ini manusia dipandang sebagai makhluk yang lemah dalam menghadapi lingkungan. Ia dibentuk begitu saja oleh lingkungan tanpa sanggup mengubahnya. Manusia dinilai tidak memiliki kebebasan karena ia tunduk dibawah hukum S-R (Stimulus-Respons), yakni hanya bergerak jika ada rangsangan. Manusia dipandang hanya sebagai obyek, bukan subyek. Ia adalah makhluk yang reaktif, mekanistik, dan determinitik.

Semua aliran psikologi barat memusatkan perhatiannya pada tingkah laku lahir manusia sebagai gejala jiwanya, sedangkan jiwa yang justru menjadi judul ilmu tersebut yaitu ilmu jiwa atau ‘ilm an-nafs tidak dipelajari. Unsur rohaniah manusia dalam kaitannya dengan kesehatan mental juga tidak diperhatikan dalam teori-teori tersebut.
Menurut Prof. Dr. Hasan Langgulung, teori-teori psikologi yang dicipta oleh beberapa tokoh seperti Freud, Watson dan lain-lainnya tidak terlepas dari pengaruh latar belakang kehidupan mereka.

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, October 18, 2010

Manusia Menurut Teori Psikologi Humanistik
Jika teori psikoanalisa dan behaviourisme kurang menghargai manusia, karena dalam psikoanalisa, manusia dipandang hanya melayani keinginan bawah sadarnya, behaviourisme memandang manusia yang takluk kepada lingkungan, maka Psikologi humanistik memandang manusia sebagai eksistensi yang positif dan menentukan. Manusia dipandang sebagai makhluk yang unik yang memiliki cinta, kreativitas, nilai, dan makna serta pertumbuhan pribadi.

Pusat perhatian teori humanistik, adalah pada makna kehidupan, dan masalah ini dalam psikologi humanistik disebut sebagai Homo Ludens, yaitu manusia yang mengerti makna kehidupan.
Menurut Teori Psikologi humanistik ini, setiap manusia hidup dalam dunia pengalaman yang bersifat pribadi (unik), dan kehidupannya berpusat pada dirinya itu. Perilaku manusia bukan dikendalikan oleh keinginan bawah sadarnya (seperti teori psikoanalisa), bukan pula tunduk pada lingkungannya (seperti teori behaviourisme), tetapi berpusat pada konsep diri, yaitu pandangan atau persepsi orang terhadap dirinya yang bisa berubah-ubah dan fleksibel sesuai dengan pengalamannya dengan orang lain. Seorang penjahat yang merasa hebat karena berani nekad dalam perbuatan jahatnya misalnya, karena pengalamannya dengan jagoan lain yang lebih hebat tetapi baik perilakunya, dapat saja ia menemukan makna kehidupan, dan kemudian memiliki konsep diri bahwa ia pasti dapat mengubah dirinya menjadi orang baik.

Psikologi humanistik memandang positif manusia. Menurut teori ini, manusia selalu berusaha untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas dirinya. Manusia juga ingin selalu mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan yang bermakna. Setiap individu bereaksi terhadap situasi yang dihadapinya (stimuli) sesuai dengan konsep diri yang dimilikinya, dan dunia dimana ia hidup. Kecenderungan batiniah manusia selalu menuju kesehatan dan keutuhan diri. Jadi, dalam keadaan normal, manusia cenderung berperilaku rasional dan membangun (konsruktif). Ia juga cenderung memilih jalan (pekerjaan, karier atau jalan hidup) yang mendukung pengembangan dan aktualisasi dirinya.

Dalam kehidupan keseharian, terkadang kita jumpai seseorang gadis dari keluarga kaya, tapi justru memilih menjadi guru SD di kampung terpencil, seorang mahasiswa yang cerdas tapi justru aktif dalam kegiatan sosial di daerah kumuh sampai studinya tertinggal oleh kawan-kawannya yang kurang cerdas, seorang pengusaha sukses yang kemudian lebih senang menjadi da’i dan sebagainya. Fenomena itu dipandang positif oleh teori Humanistik, apa yang mungkin dipandang tak lebih sekadar mengikuti dorongan libido oleh teori psikoanalisa, atau sekadar terbawa arus oleh teori behaviourisme.

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, October 17, 2010

Manusia Menurut Teori Psikologi Kognitif
Jika behaviorurisme memandang manusia sebagai makhluk yang bersifat pasif terhadap lingkungan, maka psikologi kognitif menempatkan manusia sebagai makhluk yang bereaksi secara aktif terhadap lingkungan, yakni dengan cara berpikir. Manusia berusaha memahami lingkungan yang dihadapinya dan meresponnya dengan pikiran yang dimilikinya. Oleh karena itu, maka manusia menurut teori kognitif ini disebut sebagai Homo Sapiens, yakni manusia yang berpikir.

Pusat perhatian teori kognitif adalah bagaimana manusia memberi makna kepada stimuli. Orang yang selalu ditakut-takuti, misalnya tidak mesti jadi penakut seperti yang dikatakan dalam teori behaviorurisme tetapi boleh jadi ia berpikir bahwa sesuatu yang menakutkan itu harus dilawan. Iapun mungkin berpikir bahwa ia ingin membalik keadaan yaitu justru ingin membuat takut kepada orang yang suka menakut-nakuti.

Jadi, menurut teori ini, manusia tidak secara otomatis memberikan respon kepada stimuli, tidak otomatis takut jika ditakut-takuti, tidak otomatis senang jika ada orang tersenyum kepadanya, tidak otomatis patuh jika atasan menyuruhnya, tapi ia aktif menafsirkan stimuli yang dihadapinya. Ia berpikir apakah orang yang menakut-nakuti itu memang orangnya kuat, apakah senyuman itu senyuman kasih sayang atau senyuman gombal, apakah perintah atasan itu pantas dikerjakan atau tidak, dan sebagainya. Jadi, secara psikologi manusia adalah organisme yang aktif menafsirkan, bahkan mendistorsi lingkungan.

Jika seseorang mendengar suara “ana”, mungkin saja ia menafsirkannya dengan ada (bahasa jawa), atau aku (bahasa aarab), atau anak (dialek semarang), atau nama Kepala SD Negeri 3 (Bu Anna). Jika anda melihat tulisan II, boleh jadi anda menafsirkannya dengan huruf I, atau dua romawi, atau dua tiang yang berdiri sejajar. Dalam pandangan teori kognitif, manusialah yang memberi makna terhadap stimuli, bukan stimuli itu sendiri. Words don’t mean, people mean, “kata-kata tak mempunyai arti apa-apa, manusialah yang member arti”,demikian kata ahli komunikasi.

Setiap awal semester, di berbagai kampus Universitas dipasang pengumuman, bahwa batas akhir registrasi adalah tanggal 19 September, misalnya, lewat tanggal tersebut mahasiswa dinyatakan telah mengundurkan diri. Pengunduran itu tidak otomatis direspon oleh seluruh mahasiswa dengan langsung membayar uang kuliah, boleh jadi terjadi banyak reaksi karena penafsiran yang berbeda, misalnya:
1. Ach, itu kan pengumuman rutin, dari dulu juga begitu,
2. Cepat bayar yuk, dari pada kena DO nanti kita malu,
3. Kalau terlambat Cuma seminggu saya kira tidak apa-apa,
4. Biarin sajalah, yang penting sebelum ujian kita bayar,
5. Bagaimana sih rektor kita, katanya universitas kita membela kaum dhu’afa, terlambat saja kita di DO, kita kan orang miskin, untung masih mau kuliah, dan sebagainya.

Jadi, dalam mereaksi terhadap stimuli, manusia berpikir dan berusaha menemukan jati dirinya. Teori Kognitif memang telah menempatkan kembali manusia sebagai makhluk yang berjiwa, yang bukan hanya berpikir, tetapi juga berusaha menemukan identitas dirinya (bandingkan dengan teori behaviourisme).

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, October 14, 2010

Manusia menurut Teori Behaviorisme
Jika Psikoanalisa memfokuskan perhatiannya pada totalitas kepribadian, yakni apa yang ada di balik tingkah laku manusia (yang tidak nampak), maka teori psikologi behaviorurisme memfokuskan perhatiannya pada perilaku yang nampak saja, yakni perilaku yang dapat diukur, diramal, dan dilukiskan. Jadi, nampak sekali bahwa behaviourisme merupakan reaksi terhadap teori psikoanalisa.

Manusia, oleh teori behaviorurisme disebut sebagai Homo Mechanicus, artinya manusia mesin.Mesin adalah suatu benda yang bekerja tanpa ada motif dibelakangnya.Mesin berjalan tidak karena adanya dorongan alam baawah sadar tertentu, ia berjalan semata-mata karena lingkungan sistemnya. Jika mobil kehabisan bensin pasti tidak hidup, jika businya kotor juga mesin mati, jika unsur-unsur lingkungannya lengkap pasti berjalan lancer. Tingkah laku mesin dapat diukur, diramal, dan dilukiskan. Manusia, menurut teori behaviorurisme juga demikian. Selain instink, seluruh tingkah lakunya merupakan hasil belajar. Belajar ialah perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Orang batak yang hidupnya di pinggir pantai laut bicaranya selalu keras, karena lingkungan menuntut keras, yakni bersaing dengan suara ombak, sedangkan orang jawa yang hidupnya di perkampungan yang lenggang, bicaranya seperti bisik-bisik, karena lingkungan tidak menuntut suara keras, bisik-bisik pun terdengar.

Behaviorurisme tidak mempersoalkan apakah manusia itu baik atau jelek, rasionil atau emosionil. Behaviorurisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilaku manusia dikendalikan oleh lingkungan. Manusia dalam pandangan teori behaviorisme makhluk yang sangat elastis, yang perilakunya sangat dipengaruhi oleh pengalamannya. Manusia menurut teori ini dapat dibentuk dengan menciptakan lingkungan yang relevan. Seorang anak misalnya dapat dibentuk perilakunya menjadi seoarang penakut jika secara sistematis ia ditakut-takuti. Demikian juga manusia dapat dibentuk menjadi pemberani, disiplin, cerdas, dungu dan sebagainya dengan menciptakan lingkungan yang relevan.

Dalam teori ini manusia dipandang sangat rapuh tak berdaya menghadapi lingkungan. Ia dibentuk begitu saja oleh lingkungan tanpa mampu melakukan perlawanan. Aristoteles, yang dianggap sebagai cikal bakal teori behaviorurisme memperkenalkan teori tabula rasa, yakni bahwa manusia itu tak ubahnya meja lilin yang siap dilukis dengan tulisan apa saja. Jika kita berpegang pada teori ini maka kita dapat mengatakan bahwa mahasiswa dapat dibentuk menjadi apa saja (penurut, pemberontak, dan sebagainya) oleh dosennya atau Universitasnya, dan untuk itu kurikulum serta alat alat stimulasi bisa dirancang.

Sudah barang tentu teori ini banyak juga yang mengkritik karena teori ini tidak dapat menjawab fenomena perilaku yang hanya bisa diuraikan dengan motif, misalnya bagaimana seorang raja muda yang justru meninggalkan tahtanya untuk hidup bersufi-sufi, (Sidharta Ghautama, atau Ibrahim bin Adham), atau para pendaki gunung yang mempertaruhkan nyawanya, atau para pejuang yang melakukan serangan kamikaze (bunuh diri) dengan meledakan dirinya bersama bom yang dibawanya.

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, October 13, 2010

Prof. Dr. Achmad mubarok, MA GEGER RESHUFLE KABINET
Sudah lebih dua minggu issue reshufle kabinet menghiasi media elektronik dan juga media cetak nasional. Dan yang lebih aneh adalah banyak orang yang menyebut nama saya sebagai orang pertama yang menggulirkan issue tersebut, padahal saya bicara datar-datar saja, normatif saja.
Yang pasti, reshuffle kabinet itu bukan barang tabu bagi Presiden, karena beliau adalah pemegang hak preogratip. Yang membuat orang berspekulasi akan ada reshuffle adalah adanya raport merah menteri-menteri yang dikeluarkan oleh UP3R pimpinan pak Kuntoro.
Orang lalu berfikir praktis, kalau menterinya raportnya merah berarti gak naik kelas alias diberhentikan. Para spekulan langsung mencecar beberapa menteri yang menurut pak Kuntoro raportnya merah. Para politisi riuh rendah memberi komentar, para pengamat politik memperkuat alasan-alasan mengapa harus ada reshuffle.
Memang sih, tugas Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II memang lumayan berat. Orang juga membandingkan dengan kualitas Kabinet periode lalu, ada yang mengatakan bahwa KIB I lebih baik dibanding KIB II. Tetapi situasi memang berbeda. Kabinet SBY-JK dulu ketika start gigi satu ke gigi dua relatif lancar. Nah kabinet SBY-Budiono, baru start gigi satu langsung dihajar dengan prahara Century. Berbulan-bulan pemberitaan kasus Century menghantui fikiran dan merusak syaraf publik, sementara kerja kabinet sebaik apapun tidak pernah diliput oleh pers. Media dan pers lebih tertarik memberitakan yang negatif secara berulang-ulang, seperti demo anarkis, tawuran, konflik horizontal, pelanggaran HAM oleh aparat dan sebagainya. Jadi pada tahun pertama kabinet ini ada kehampaan psikologis publik terhadap kabinet, bahkan berpengaruh pada tingkat kepuasan publik terhadap Presiden.
Ketika ada release lembaga survey yang menyebut penurunan kepuasan rakyat kepada Presiden, respond pengamat dan politisi sangat gemuruh, padahal fenomena turunnya tingkat kepuasan kepada presiden pada tahun pertama adalah fenomena international. Presiden Obama Barack dari Amerikapun yang meski berhasil menggolkan UU pro kesejahteraan rakyat, tingkat kepuasan publik juga menurun, bahkan lebih rendah dibanding kepuasan publik Indonesia kepada Presiden SBY. Malah ketika disandingkan dengan hasil survey dunia, yang mensurvey kepuasan rakyat suatu Negara kepada kinerja presidennya, kepuasan publik Indonesia kepada Presiden SBY justeru tertinggi di dunia. Presiden Arroyo dari Pilipina misalnya, tingkat kepuasan public hanya 22 %. Mestinya survey di Indonesia menjadi berita kebanggaan, tetapi ya itu, yang ditonjolkan oleh media justeru penurunannya dalam setahun, bukan perbandingannya dengan Presiden-presiden di dunia.
Kembali ke issu reshuffle, pengalaman kabinet SBY –Jk 2004-2009, setelah usia setahun ada reshuffle kabinet. Nah publik juga menebak-nebak, Oktober ini usia kabinet sudah satu tahun, berarti akan ada reshufle. Padahal reshufle itu hak preogratip Presiden, bukan agenda tahunan. Presiden boleh melakukan reshuffle boleh juga tidak. Memang sih ada reasoningnya jika reshuffle terjadi setelah satu tahun, yakni jika memang ada menteri yang perfomen kerjanya dibawah standard, ya sekarang waktunya diganti, karena sisa waktu empat tahun itu pendek.
Tetapi sekali lagi, reshuffle adalah hak preogratip Presiden. Presiden bisa mereshufle menterinya kapan saja dan siapa saja yang beliau pandang perlu. Presiden boleh menerima masukan dari siapa saja, tetapi kewenangan sepenuhnya pada Presiden. Partai atau setgab koalisi tidak punya kewenangan untuk mengatur-atur reshuffle.
Ada dua peristiwa yang menarik, pengangkatan Jaksa Agung dan Kapolri. Presiden tidak langsung mengangkat jaksa Agung setelah Hendarman Supanji diberhentikan, tetapi melalui tahap pengangkatan wakil Jaksa Agung menjadi pejabat Jaksa Agung sambil menunggu jaksa agung definitip. Kedua pengangkatan Kapolri. Kapolri sudah melakukan rekruitmen calon kapolri secara sistemik hingga menemukan 8 nama dan mengajukan dua nama ke Presiden, tetapi ternyata Presiden memilih nama yang tidak diusulkan Kapolri. Pro kontra terhadap pilihan Presiden boleh saja, tetapi tetap saja tidak ada yang boleh menginterfensi hak preogratip Presiden.
Jadi, reshuffle boleh dilakukan, boleh juga tidak, semua terpulang kepada kebijakan pemilik hak preogratip.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, October 12, 2010

Manusia Menurut Manusia
Manusia adalah makhluk yang bisa berfikir dan mempertanyakan diri sendiri. Renungan tentang diri sendiri tak pernah habis hingga hari ini, bahkan menurut Dr. Alexis Careel, pertanyaan tentang manusia hingga hari ini sesungguhnya tetap tanpa jawaban. Kesimpulan yang dibuat dari renungan panjang berbeda-beda, bergantung kepada “alam pikiran” dan “alam perasaan” si perenung. Para ahli psikologi juga berusaha menjawab pertanyaan mereka, manusia itu apa?

Manusia menurut Psikologi

Petanyaan tentang apa hakikat manusia sebenarnya merupakan pertanyaaan kuno. Sepanjang sejarah manusia, pertanyaan tentang hakikat manusia selalu muncul, dan jawaban yang diberikan oleh teori-teori hanya dapat memuaskan bagian manusia pada zamannya. Pada generasi berikutnya akan muncul teori baru yang mengkritik teori terdahulu dan memberikan teori yang dianggapnya benar. Begitulah seterusnya hingga sekarang, teori tentang manusia tetap menarik untuk dibicarakan baik dalam konteks keilmuan murni maupun dalam konteks operasional. Manusia memiliki kepribadian yang unik, ia adalah makluk sosial (ijtima’iyyun bi at thobibi at thob’i) dan juga makhluk budaya (madaniyyun bi at thob’i).

Meskipun banyak teori psikologi yang berusaha menjawab pertanyaan tentang hakikat manusia itu, sekurang-kurangnya ada empat pendekatan yang akan dibahas disini, yaitu pendekatan yang mengenengahkan teori psikoanalisa dengan konsepsi manusia sebagai manusia berkeinginan (Homo Volens).teori behaviorisme dengan konsepsi manusia mesin (Homo Mechanicus), teori kognitif dengan konsefsi manusia berpikir (Homo Sapiens) dan Teori Humanisme dengan konsepsi manusia yang mengerti makna kehidupan (Homo Ludens).
Keempat teori tersebut memandang manusia dengan cara yang berlainan, tapi meski begitu keempat teori itu justru dapat digunakan sekaligus untuk memahami perilaku manusia karena nampaknya manusia merupakan sintesa dari keempat teori tersebut.

Teori Psikoanalisa

Tokoh dari teori ini adalah Sigmund Freud. Fokus perhatiannya ditujukan kepada struktur manusia, yakni kepada totalitas kepribadian manusia, bukan pada bagan-bagiannya yang terpisah. Menrut teori psikoanalisa, perilaku manusia merupakan hasil interaksi dari tiga subsistem dalam kepribadian manusia, yaitu Id, Ego, Superego. Manusia dalam teori psikoanalisa disebut sebagai Homo Volens, artinya manusia berkeinginan, yakni makhluk yang digerakan oleh keinginan-keinginan yang terpendam.

Penjelasan tentang subsistem kepribadian manusia menurut teori psikoanalisa ini adalah sebagai berikut:

1. Id, Id adalah bagian kepribadian manusia yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia. Id merupakan pusat instink, atau pusat hawa nafsu menurut bahasa agama. Menurut freud, ada dua instink yang dominan pada subsistem Id ini, yaitu Libido dan Thanatos.
a. Libido. Libido merupakan instink reproduktif yang menyediakan energi dasar untuk kegiatan-kegiatan manusia yang konstruktif, seperti seks dan hal-hal lain yang mendatangkan kenikmatan; termasuk kasih ibu, pemujaan kepada Tuhan dan cinta diri (narcisisme). Tingkah manusia memakai baju, menyisir rambut dan sebagainya, menurut teori ini adalah karena dorongan seks. Bahkan mengapa pemuda kuliah di Perguruan Tinggi adalah karena dorongan libido seks, status sosialnya tinggi dan dengan begitu peluang untuk mencari istri menjadi lebih mudah. Libido juga disebut instink kehidupan (Eros).
b. Thanatos adalah instink destruktif danagresif. Dorongan-dorongan untuk melawan dan merusak bersumber dari instink ini. Motif-motif manusia sebenarnya merupakan gabungan antara eros dan thanatos, antara instink kehidupan dan instink kematian.
Id- seperti halnya hawa nafsu ingin segera memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang bersifat kesenangan (Pleasure Principle). Karena prinsif-psinsif kesenangan yang selalu ingin dipuaskan itulah maka Id sifatnya egois, tidak bermoral dan tidak peduli terhadap realitas. Id adalah tabiat hewan manusia.
2. Ego. Ketika seorang pemuda terserempet oleh mobil ugal-ugalan, maka Id-nya (baca:hawa nafsu) ingin memukul kepada sopir yang kurang ajar itu. Tetapi ketika diketahui bahwa supir ugal-ugalan itu ternyata anak dari orang yang selama ini menolong membiayai studi anak muda itu maka ketika itu Ego bekerja menjembatani nafsu yang tidak bermoral dan tidak peduli dengan realitas dengan realitas bahwa supir itu adalah anak dari orang yang berjasa. Ego memperingatkan bahwa indakan hakim sendiri terhadap orang sudah dikenal akan berakibat serius di belakang hari. Jadi, Ego adalah subsistem yang berfungsi menjembatani tuntutan Id dengan realitas di dunia luar. Ego menjadi penengah antara dorongan-dorongan hewani manusia dengan perimbangan-pertimbangan rasional dan realistic. Ego bekerja berdasakan prinsif realitas. Dengan Ego maka manusia mampu menundukan hasrat hewaninya untuk hidup secara rasional sesuai dengan realitas yang dihadapinya.
3. Superego, Subsistem ketiga ini dapat dikatakan mewakili hal-hal yang ideal. Superego menyerap norma-norma sosial dan cultural masyarakat. Ia bukan hanya rasional tapi juga bekerja atas prinsip-prinsip nilai yang normatif. Oleh karena itu. Superego dapat disebut sebagai hati nurani dan sebagai pengawas kepribadian. Jika suatu ketika ego seseorang menuntut untuk menikahi seorang gadis karena lamaran sudah diterima dan ia mampu untuk itu, tetapi di sisi lain orang itu tahu bahwa gadis itu telah meiliki kekasih yang sangat dicintainya dan bahwa ia hanya terpaksa menurut kemauan ayahnya yang “mata duitan”, maka superego akan menekan hasrat ego ke alam bawah sadar. Meski dengan uang dan kekuasaan seseorang mampu mengatur perkawinan, tetapi hati nuraninya tidak sanggup menzalimi dua orang yang sedang berkasih-kasihan. Jika ia memaksakan diri menikahi gadis itu tetapi kemudian sang gadis bunuh diri, maka ia akan merasa dihukum superego berada di alam bawah sadar manusia, Ego-lah yang berada di tengah, yaitu antara memenuhi tuntutan moral (hati nurani atau superego).
Jadi, menurut toeri psikoanalisa, tingkah laku manusia itu sebenarnya merupakan interaksi antara tiga subsistem itu, yaitu komponen biologis (hawa nafsu, Id), komponen psikologis (ego),komponen social (Superego), antara unsur hewani, akali dan nilai atau moral.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger