Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Tuesday, December 14, 2010

Militansi Minoritas
Mayoritas bisa bermakna jumlah, juga bisa bermakna kualitas. Ummat Islam adalah mayoritas di negeri Indonesia, tetapi belum menjadi mayoritas dalam arti kualitas. Jumlah orang pandai dan orang kaya dari ummat Islam Indonesia sangat kecil prosentasinya, sementara orang Kristen itu minoritas dalam jumlah tetapi mayoritas dalam kualitas.

Pada era Pak Harto misalnya pernah semua jabatan strategis diduduki oleh orang Kristen. Bidang hankam ada Jenderal Pangabean dan Jendral Beni Murdani, bidang ekonomi keuangan ada Sumarlin dan Fran Seda, dan bidang birokrasi, ketua BAKN pun dijabat oleh orang Kristen, luar biasa, dalam kurun waktu yang sama, wilayah-wilayah strategis dipegang oleh orang Kristen. Mengapa, karena minoritas itu biasanya militant. Baru setelah era demokrasi terbuka, ummat Islam sebagai mayoritas bisa menduduki kursi-kursi strategis.

NTT dan Irian atau Papua itu wilayah minoritas bagi ummat Islam. Ummat Islam di dua wilayah itu mengalami serba ketinggalan, ekonomi, pendidikan dan politik. Jika dana program humanitarian Vatican (dan dana asing lainnya) mudah masuk NTT dan Papua, orang Islam di sana sangat sulit akses dana pendidikan yang bersumber dari luar negeri. Tetapi jiwa militant yang disemangati karena keminoritasannya menutupi kekurangan itu. Banyak sekali mahasiswa dan pelajar asal Papua dan NTT yang dengan segala kekurangan finasialnya berjuang mati-matian menutut ilmu di kota-kota besar Jawa, Jakarta, Yogya, malang dan Surabaya.

Mereka memiliki obsesi bukan saja ingin sukses studi dan bekerja demi kampung halamannya, tetapi juga merasa terpanggil untuk menjadi da`i untuk meningkatakan kualitas keislaman masyarakatnya yang minoritas itu. Dari Papua yang belajar di Pesantren Assyafi`iyyah Jakarta misalnya, sekarang di Papua mereka berhasil mendirikan Pesantren, juga dengan nama Pesantren Assyafi`iyyah.

Dari NTT lain lagi kerjanya. Mereka suka membawa anak-anak miskin dari kampungnya ke Jakarta untuk bisa sekolah atau kuliah. Yang mengagumkan mereka orang miskin, tetapi semangat mencari donator untuk teman-temannya tak kenal lelah. Mereka juga mendirikan organisasi Ikatan Pemuda dan Mahasiswa Timor (IPMAT) Dikit-dikit sayapun terkadang dimintai bantuan, untuk biaya transit terutama. Mereka menaroh anak-anak kampong itu di Pesantren Yatim atau di asrama yang dibiayai donator. Sebagian bahkan sudah bisa masuk perguruan tinggi, dan obsesi mereka nanti bisa pulang kampong membangun negeri.

Belum lama ini saya membaca ada 11 remaja asal Amanuban Timur yang dihebohkan menjadi korban traficking anak-anak. Bupati, Wk.Ketua DPRD dan Polisi turun tangan. Sesungguhnya menengarai praktek traficking anak-anak itu sangat mudah, dan 11 anak yang dihebohkan itu jelas bukan korban trafiking, tetapi lebih sebagai “korban” militansi minoritas. Banyak mahasiswa asal NTT yang dulu prosesnya juga seperti itu, dibawa oleh ekponen NTT, ditampung, dicarikan donator dan akhirnya bisa kuliah. Karena modal pas-pasan mereka sering tidak melengkapi persyaratan, misalnya surat jalan atau identitas yang diperlukan.

Sesungguhnya yang mungkin merasa terganggu adalah saudara-saudara dari gereja, karena militansi mereka akhirnya harus jadi rival dalam penyiaran agama. Hal ini Nampak dari pernyataan Ketua Sinode GMIT, Pdt, Dr. Eben Nuban Timo yang begitu semangat melakukan kriminalisasi terhadap kasus itu. Nampaknya kepolisian NTT juga menjadi serba salah, menganggap sebagai traficking anak-anak seperti yang dikatakan oleh Bupati TTS Paul Mella dan wakil Ketua DPRDTTS, atau sekedar “korban” militansi minoritas. Mungkin sebagian anak-anak yang dibawa ke Jakarta masuk kategori mualaf Sehingga mengusik kemapanan gereja.

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, December 13, 2010

Fanatik dan Toleransi
Pengertian fanatik

Fanatik adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu, yang positif atau yang negatif, pandangan mana tidak memiliki sandaran teori atau pijakan kenyataan, tetapi dianut secara mendalam sehingga susah diluruskan atau diubah. (A Favourable or unfavourable belief or judjment, made without adequate evidence and not easily alterable by the presentation of contrary evidence.

Fanatisme biasanya tidak rationil, oleh karena itu argumen rationilpun susah digunakan untuk meluruskannya. Fanatisme dapat disebut sebagai orientasi dan sentimen yang mempengaruhi seseorang dalam;
(a) berbuat sesuatu, menempuh sesuatu atau memberi sesuatu,
(b) dalam berfikir dan memutuskan,
(c) dalam mempersepsi dan memahami sesuatu, dan
(d) dalam merasa.

Secara psikologis, seseorang yang fanatik biasanya tidak mampu memahami apa-apa yang ada di luar dirinya, tidak faham terhadap masalah orang atau kelompok lain, tidak mengerti faham atau filsafat selain yang mereka yakini. Tanda-tanda yang jelas dari sifat fanatik adalah ketidak mampuan memahami karakteristik individual orang lain yang berada diluar kelompoknya, benar atau salah.

Secara garis besar fanatisme mengambil bentuk:
(a) fanatik warna kulit,
(b) fanatik etnik/kesukuan, dan
(c) fanatik klas sosial.

Fanatik Agama sebenarnya bukan bersumber dari agama itu sendiri, tetapi biasanya merupakan kepanjangan dari fanatik etnik atau kelas sosial.
Pada hakikatnya, fanatisme merupakan usaha perlawanan kepada kelompok dominan dari kelompok-kelompok minoritas yang pada umumnya tertindas. Minoritas bisa dalam arti jumlah manusia (kuantitas), bisa juga dalam arti minoritas peran (Kualitas).

Di negara besar semacam Amerika misalnya juga masih terdapat kelompok fanatik seperti :
1. Fanatisme kulit hitam (negro)
2. Fanatisme anti Yahudi
3. Fanatisme pemuda kelahiran Amerika melawan imigran
4. Fanatisme kelompok agama melawan kelompok agama lain.

Analisis Terhadap Fanatisme

Fanatisme dapat dijumpai di setiap lapisan masyarakat, di negri maju, maupun di negeri terbelakang, pada kelompok intelektual maupun pada kelompak awam, pada masyarakat beragama maupun pada masyarakat atheis. Pertanyaan yang muncul ialah apakah fanatisme itu merupakan sifat bawaan manusia atau karena direkayasa?

1. Sebagian ahli ilmu jiwa mengatakan bahwa sikap fanatik itu merupakan sifat natural (fitrah) manusia, dengan alasan bahwa pada lapisan masyarakat manusia di manapun dapat dijumpai individu atau kelompok yang memilki sikap fanatik. Dikatakan bahwa fanatisme itu merupakan konsekwensi logis dari kemajemukan sosial atau heteroginitas dunia, karena sikap fanatik tak mungkin timbul tanpa didahului perjumpaan dua kelompok sosial.

Dalam kemajemukan itu manusia menemukan kenyataan ada orang yang segolongan dan ada yang berada di luar golongannya. Kemajemukan itu kemudian melahirkan pengelompokan “in group” dan “out group”. Fanatisme dalam persepsi ini dipandang sebagai bentuk solidaritas terhadap orang-orang yang sefaham, dan tidak menyukai kepada orang yang berbeda. Ketidak sukaan itu tidak berdasar argumen logis, tetapi sekedar tidak suka kepada apa yang tidak disukai (dislike of the unlike). Sikap fanatik itu menyerupai bias dimana seseorang tidak dapat lagi melihat masalah secara jernih dan logis, disebabkan karena adanya kerusakan dalam sistem persepsi (distorsion of cognition).

Jika ditelusuri akar permasalahannya, fanatik - dalam arti cinta buta kepada yang disukai dan antipati kepada yang tidak disukai - dapat dihubungkan dengan perasaan cinta diri yang berlebihan (narcisisme), yakni bermula dari kagum diri, kemudian membanggakan kelebihan yang ada pada dirinya atau kelompoknya, dan selanjutnya pada tingkatan tertentu dapat berkembang menjadi rasa tidak suka, kemudian menjadi benci kepada orang lain, atau orang yang berbeda dengan mereka. Sifat ini merupakan perwujudan dari egoisme yang sempit.

2. Pendapat kedua mengatakan bahwa fanatisme bukan fitrah manusia, tetapi merupakan hal yang dapat direkayasa. Alasan dari pendapat ini ialah bahwa anak-anak, dimanapun dapat bergaul akrab dengan sesama anak-anak, tanpa membedakan warna kulit ataupun agama. Anak-anak dari berbagai jenis bangsa dapat bergaul akrab secara alami sebelum ditanamkan suatu pandangan oleh orang tuanya atau masyarakatnya. Seandainya fanatik itu merupakan bawaan manusia, pasti secara serempak dapat dijumpai gejala fanatik di sembarang tempat dan disembarang waktu. Nyatanya fanatisme itu muncul secara berserakan dan berbeda-beda sebabnya.

3. Teori lain menyebutkan bahwa fanatisme berakar dari tabiat agressi seperti yang dimaksud oleh Freud ketika ia menyebut instink Eros dan Tanatos.

4. Ada teori lain yang lebih masuk akal yaitu bahwa fanatisme itu berakar pada pengalaman hidup secara aktual. Pengalaman kegagalan dan frustrasi terutama pada masa kanak-kanak dapat menumbuhkan tingkat emosi yang menyerupai dendam dan agressi kepada kesuksesan, dan kesuksesan itu kemudian dipersonifikasi menjadi orang lain yang sukses. Seseorang yang selalu gagal terkadang merasa tidak disukai oleh orang lain yang sukses. Perasaan itu kemudian berkembang menjadi merasa terancam oleh orang sukses yang akan menghancurkan dirinya.

Munculnya kelompok ultra ektrim dalam suatu masyarakat biasanya berawal dari terpinggirkannya peran sekelompok orang dalam sistem sosial (ekonomi dan politik) masyarakat dimana orang-orang itu tinggal. Kita bisa menelaah fenomena gerakan ektrim radikal pada masa orde baru dimana kelompok yang ektrim selalu berasal dari kelompok yang terpinggirkan atau merasa terancam, dan kelompok-krlompok itu sering bertukar peran.

Menurut Dr. Abd. Rahman Isawi, seorang psikolog dari Universitas Iskandariyah, jalan fikiran orang fanatik itu bermula dari perasaan bahwa orang lain tidak menyukai dirinya, dan bahkan mengancam eksistensi dirinya. Perasaan ini berkembang sedemikian rupa sehinga ia menjadi frustrasi. Frustrasi menumbuhkan rasa takut dan tidak percaya kepada orang lain. Selanjutnya perasaan itu berkembang menjadi rasa benci kepada orang lain. Sebagai orang yang merasa terancam maka secara psikologis ia terdorong untuk membela diri dari ancaman, dan dengan prinsip lebih baik menyerang lebih dahulu daripada diserang, maka orang itu menjadi agresif.
Dari empat teori tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mengurai perilaku fanatik seseorang/sekelompok orang, tidak cukup dengan menggunakan satu teori, karena fanatik bisa disebabkan oleh banyak faktor, bukan oleh satu faktor saja.
Munculnya perilaku fanatik pada seseorang atau sekelompok orang di suatu tempat atau di suatu masa.

boleh jadi;
(a) merupakan akibat lagis dari sistem budaya lokal, tetapi boleh jadi,
(b) merupakan perwujudan dari motiv pemenuhan diri kebutuhan kejiwaan individu/sosial yang terlalu lama tidak terpenuhi.

Cara Mengobati Perilaku Fanatik

Karena perilaku fanatik mempunyai akar yang berbeda-beda, maka cara penyembuhannya juga berbeda-beda.
Perilaku fanatik yang disebabkan oleh masalah ketimpangan ekonomi, pengobatannya harus menyentuh masalah ekonomi, dan perilaku fanatik yang disebabkan oleh perasaan tertekan , terpojok dan terancam, maka pengobatannya juga dengan menghilangkan sebab-sebab timbulnya perasaan itu. Pada akhirnya, pelaksanaan hukum dan kebijaksanaan ekonomi yang memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat secara alamiah akan melunturkan sikap fanatik pada mereka yang selama ini merasa teraniaya dan terancam.

Oleh karena itu jika dalam suatu negara keadilan dapat ditegakkan, dan rasa keadilan dapat dinikmati oleh semua aspiran, maka aspirasi garis keras akan mencair dengan sendirinya. Sebaliknya jika ditekan dengan kekerasan, maka pandangan itu semakin keras, dan semakin tidak mengenal kompromi.

Biaya memahami perilaku orang-orang yang dianggap berbahaya itu lebih murah dibanding biaya menumpas mereka dengan keras, apalagi jika berbasis teori psikologi yang tidak tepat. Nah Psikologi yang tepat untuk memahami fenomena “terorisme” di Indonesia adalah Islamic Indigenous Psychology, yang Insya Allah akan menjadi mazhab ke lima dalam sejarah ilmu Psikologi.

Pengertian Toleran

Toleransi adalah kesiapan menerima realitas adanya perbedaan. Karena perbedaan itu merupakan realitas maka orang yang toleran tidak merasa terganggu oleh adanya perbedaan, sebaliknya perbedaan itu dihormati. Etika agamapun mengajarkan bahwa seseorang boleh bekerja-sama dengan orang yang “berbeda” dalam menegakkan keadilan, dalam membangun kesejahteraan sosial, dalam membela si lemah dan hal-hal yang yang bernilai kebaikan. Di mata orang-orang yang toleran, keragaman adalah keindahan dan potensi. Tetapi toleransi juga dibatasi, tidak pada pada hal-hal yang destruktip. Orang tidak boleh toleran terhadap pengedar narkoba, terhadap kemaksiatan terbuka, terhadap korupsi dan hal-hal lain yang berdampak merusak masyarakat. Toleransi beragama wujudnya ialah setiap orang beragama bisa menerima kenyataan adanya orang lain yang berbeda keyakinannya, dan berbeda pula ritual agamanya.

Toleransi biasanya mulai terganggu ketika ada fihak yang berlaku tidak fair, melanggar kesepakatan, melanggar peraturan dan mempunyai agenda tersembunyi. Perilaku tidak fair ini lama kelamaan bisa berkembang menjadi bom waktu sehingga hal-hal yang wajarpun dipersepsi sebagai sesuatu yang tidak wajar. Fanatik dan toleransi merupakan tantangan ummat beragama, baik di wilayah yang mayoritas muslim, Hindhu maupun Kristen.

Berikut ini ada tulisan yang sangat menarik dari Lord Azyumardi Azra, Direktur Pascasarjana UIN Jakarta, tentang Toleransi dan Kristenisasi Dimuat oleh Koran Republika tanggal. 2 Desember 2010.

KRISTENISASI DAN TOLERANSI

Tidak diragukan lagi, toleransi dan kerukunan antar agama atau persisnya antar umat beragama sering terganggu karena usaha penyebaran agama yang agresif. Penyebaran agama tidak terlarang di Tanah Air. Meski demikian, pemerintah telah menetapkan agar penyebaran agama tidak menjadikan individu dan masyarakat yang telah memeluk agama tertentu sebagai target pengalihan agama, apalagi secara agresif dengan menggunakan cara-cara yang tidak pantas; menggunakan segala cara dan bahkan tipu daya. Jika ini terjadi, tidak bisa lain, ketegangan dan bahkan konflik sulit dielakan dan tidak jarang membuat sulit aparat keamanan.

Argument yang tidak baru ini sesuai dengan analisis dan kesimpulan policy briefing Internasional Crisis Group (ICG) yang diumumkan pekan silam (24/11/2010). Bertajuk ‘Indonesia “ Christianisation” and Intolerance’, ICG menyimpulkan, serangkaian kejadian yang melibatkan penggunaan kekerasan antar umat beragama di Bekasi terkait kasus gereja dan jemaat Kristen HKBP sejak 2008 dan meningkat pada pertengahan 2010 merupakan backlash (reaksi balik) kalangan umat Islam terhadap evangelisasi gereja Protestan fundamentalis yang terus meningkat di Jawa Barat, khususnya di Bekasi. Ketakutan dan kemarahan kalangan Islam memberikan justifikasi kepada kelompok-kelompok yang disebut ICG sebagai ‘fundamentalis’ untuk melakukan mobilisasi masa (Muslim) dan melakukan kekerasan terhadap gereja atau jemaat denominasi Kristen tertentu.

Seperti dilaporkan ICG, Jawa Barat merupakan wilayah yang sangat cepat pertumbuhannya bagi Kristen evangelis. Mengutip keterangan petinggi PGI, laporan ICG menyebut organisasi-organisasi besar evangelis dengan dukungan dana asing menjadikan Jawa Barat dan Banten sebagai target. Sebab, jika Kristenisasi sukses di kedua provinsi ini, mereka mendapatkan pijakan lebih kuat di ibu kota Negara, Jakarta. Pertumbuhan ini juga terkait dengan dana besar, khususnya dari AS bagi organisasi dan gereja evangelis guna melakukan evangelisasi di Jakarta dan sekitarnya- Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten.

Laporan CGI juga menyebut beberapa organisasi evangelis yang sangat aktif di wilayah ini. Ada ‘Joshua Project’ yang menjadikan suku Sunda sebagai target khusus karena penduduk Kristennya kurang dua persen. Kemudian, Lampstad (Beja Kabuhangan), didirikan seorang Misionaris Amerika pada 1969, yang memusatkan misinya pada ‘evangelisme’ dan penanaman gereja diantara orang-orang Sunda di Jawa Barat’.

Selanjutnya, Partners Internasional yang berpusat di Spokane, Washington, yang dengan mitra lokalnya, mendukung Visi Indonesia 1:1:1, yaitu satu Gereja di satu desa dalam satu generasi. Untuk mencapai tujuan ini, Partners International bekerja melalui Evangelical Theological Seminary of Indonesia (ETSI) yang memiliki sekitar 30 cabang di seluruh Indonesia.

Lalu, ada pula organisasi Campus Crusade for Christ yang berbasis di Orlando, Florida, dengan cabang lokalnya, Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia (LPMI). Lembaga ini pernah menimbulkan kehebohan ketika dalam kegiatan pelatihan ,mereka pada Desember 2006 di Batu, Malang, seorang pendeta meletakan Alquran di lantai dan meminta peserta pelatihan mengelilinginya untuk mengusir ‘roh jahat’ di dalamnya. Pedeta dan beberapa peserta pelatihan tersebut kemudian ditahan Polri atas alasan penodaan (blasphemy) terhadap Alquran dan Islam. Menurut laporan ICG, LPMI juga aktif di wilayah Jawa Barat.

Oraganisasi-organisasi evangelis yang berkomitmen mengkristenkan orang-orang Islam mendirikan apa yang dilaporkan ICG sebagai ‘shops’ (took), termasuk di Bekasi. Di wilayah Bekasi, ada Yayasan Mahanain yang disebut-sebut terkaya dan teraktif. Ada pula yayasan Bethmidrash Tamiddin pimpinan seorang Kristen yang awalnya Muslim, yang mewajibkan tamatan sekolahnya mengkristenkan sedikitnya lima Muslim. Dalam evangelisasinya, yayasan ini menggunakan kaligrafi Arab pada sampul buklet, seolah-olah isinya tentang Islam.

Pendekatan dan cara-cara tidak fair yang banyak sekali macamnya bisa diduga menimbulkan kegusaran umat Muslimin sehingga organisasi dan kelompok Islam melakukan apa yang disebut laporan ICG sebagai ‘fight back’ (perlawanan balik). Diantaranya yang paling aktif adalah DDII, KOMPAK, FUI, FPI, Forum Anti Pemurtadan Bekasi (FAPB), GP, Persis dan banyak lagi.

Dengan perkembagan ini, tidak heran kalau tensi dan ketegangan antara kedua belah pihak meningkat, yang bahkan menjadi kekerasan. Seperti disimpulkan ICG, ‘Kristenisasi memiliki potensi mendorong peningkatan ekstremisme dan menyatukan (apa yang disebut ICG sebagai ) ‘nonviolent and violent Islamists’.

Karena itu, jika toleransi dan kerukunan antarumat beragama dapat terjaga di Indonesia, patutlah penyiaran agama dilakukan dengan tetap mempertimbangkan sensitivitas agama dan sosial; tidak dengan cara-cara yang menimbulkan keberatan, kegusaran, dan bahkan kemarahan pihak lain. Meski kemarahan itu punya dasar, tetap saja tidak ada justifikasi untuk terjerumus ke dalam kekerasan; cara-cara damai tetaplah harus ditempuh.

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, December 01, 2010

Manusia Indonesia : Sebuah Cermin
waktu yang lalu, banyak diantara kita orang Indonesia yang dengan bangga menyebut kepribadian orang Indonesia yang ramah, santun dan toleran dan bahkan religius.
Atribut itu bukan hanya dipromosikan oleh Departemen Penerangan dan Departemen Luar Negeri, tetapi sebagian besar kita seperti membenarkan pernyataan itu. Gelombang reformasi menjelang Milenium ketiga memporak-porandakan semua identitas itu.

Peristiwa yang terjadi selama kurun reformasi seperti penjarahan massal atas milik orang lain, tindakan main hakim sendiri secara amat sadis kepada pelaku kriminal ( korban dibakar hidup-hidup) , fatsoen politik anggauta parlemen dan demonstran yang sangat vulgar, demontrasi yang anarkis, amuk massa dan pembakaran rumah-rumah penduduk, pembunuhan massal dan sadis dalam konflik antar etnik mencerminkan watak "asli" dari manusia Indonesia yang tidak ramah, tidak santun dan tidak menghargai hak azazi manusia, dan tidak juga mencerminkan masyarakat beragama.

Memang masih dipertanyakan, apakah fenomena ini sekedar euforia reformasi atau justru tabiat asli manusia Indonesia. Bangsa Indonesia juga dikenal sebagai bangsa yang memiliki tingkat paternalisme yang tinggi dimana rakyat mempunyai hubungan yang sangat emosionil dengan pemimpinnya. Dari segi pendidikan akhlak sebagai nation building , sesungguhnya sifat paternalis bangsa bisa dipandang sebagai aset positip, yakni perilaku bangsa akan sangat mudah dibentuk manakala para pemimpinnya mampu menjadi contoh yang baik bagi rakyatnya. Kekuatan keteladanan pemimpin bagi rakyat paternalis itu sangat tinggi efektifitasnya dibanding sistem administrasi.

Oleh karena itu pada kasus bangsa Indonesia, membangun akhlak bangsa harus dipusatkan pada mengawasi dan menjaga moralitas pemimpin. Pelang¬garan akhlak dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemimpin sama sekali tidak boleh ditolerir. Penegakan hukum dan sanksi moral kepada elit pemimpin harus menjadi prioritas utama dari penegakan sistem tersebut. Dengan itu maka rakyat di bawahnya yang paternalis itu secara psikologis akan mematuhi nilai-nilai hukum dan nilai-nilai kepatutan. Sistem keteladanan ini akan sangat kecil biayanya dibanding menyediakan infrastruktur pengawasan secara nasional.

Apa yang disebutkan tadi adalah baru sebatas gagasan. Ketika gagasan itu akan diterapkan di Indonesia, timbul pertanyaan, mana yang harus dilaksanakan lebih dahulu, mengingat problem kehancuran moral bangsa dewasa ini sudah sangat kompleks dan terjadi komplikasi. Idealnya pembangunan akhlak bangsa itu melalui sistem pendidikan dan dimulai dari anak-anak dan generasi muda. Akan tetapi, disamping membu¬tuhkan waktu yang panjang, kompleksitas moral masyarakat akan dapat menghilangkan makna pendidikan generasi muda karena pasca pendidikan, mereka akan dengan mudah terkontaminasi oleh keadaan masyarakat yang bertentangan dengan nilai-nilai akhlak yang diajarkan kepada mereka.
Di kalangan komunitas pendidikan, meski terlambat ,sudah tumbuh kesadaran bahwa sistem pendidikan nasional yang diberlakukan selama ini berikut kurikulumnya ternyata salah sehingga gagal melahirkan anak didik yang sanggup berkompetisi di dunia glo¬bal, bahkan juga gagal melahirkan anak didik yang mampu memahami potensi daerahnya, karena selama satu generasi sistem pendidikan nasional kita lebih menekankan keseragaman. Seandainya kurikulum pendidikan nasional dapat diganti sekarangpun timbul problem ketiadaan guru, karena semua guru yang tersedia sekarang merupakan produk dari sistem pendidikan yang keliru. Problem ini menyerupai telor dan ayam, mana yang harus didahulukan.

Oleh karena itu diperlukan adanya pemikiran kreatip dan bersifat alternatip dalam pendidikan yang komprehensip , serentak, menyangkut seluruh lapisan masyarakat. Meskipun tingkat kerusakan moral masyarakat sifatnya menyeluruh, tetapi sebenarnya ada beberapa kata kunci untuk mengurai problem. Kehancuran moral suatu bangsa bisa disebabkan karena banyak hal, misalnya, hukum yang tidak ditegakkan, keadilan yang tidak merata, ketidak-disiplinan yang membudaya, keteladanan yang rendah, tingkat korupsi (KKN) yang terlalu tinggi dan amanah yang tak dijaga.

Pembangunan akhlak bangsa yang rusak bisa dimulai dari satu tema yang paling strategis dari kunci-kunci tersebut diatas. Merujuk pandangan Syauqi Beik bahwa kewibawaan suatu bangsa bergantung kepada akhlaknya, jika bangsa itu tak lagi berakhlak maka bangsa itu tidak lagi memiliki kewibawaan, meski bangsa besar sekalipun. Pernyataan ini sangat menggelitik nurani kita karena bangsa Indonesia yang besar dengan kekayaan alam karunia Tuhan yang luar biasa, tetapi belum memiliki rasa percaya diri untuk menjadi bangsa yang maju,padahal semua hambatan Negara maju justeru sudah kita miliki,yaitu minyak,gas,batu bara dan kekayaan alam lainnya.

Menurut hemat penulis, sumber dari segala sumber kebobrokan moral bangsa dewasa ini adalah terletak pada budaya yang tidak lagi menjaga amanah, mulai dari tingkat elit hingga ke masyarakat umum, dalam bidang ekonomi, politik dan kebudayaan. Oleh karena itu memperbaiki bangsa Indonesia atau mendorong bangsa ini untuk maju dapat dimulai dengan membudayakan hidup amanah.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger