Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Tuesday, March 29, 2011

Akhlak manusia Terhadap manusia (8)
Akhlak Manusia Terhadap Diri Sendiri

Sebagaimana telah disebutkan di muka bahwa akhlak adalah keadaan batin seseorang yang menjadi sumber lahirnya perbuatan dimana perbuatan itu lahir dengan mudah tanpa difikir untung ruginya. Keadaan batin yang sehat akan melahirkan perbuatan yang benar dan sehat, sebaliknya keadaan batin yang kacau apalagi yang gelap akan melahirkan perbuatan yang kacau dan buruk. Kualitas akhlak seseorang mencerminkan kecerdasan emosi dan rohaninya, dan berhubungan dengan cara berfikir dan cara merasa yang dipergunakannya.

Orang yang cara berfikirnya benar cenderung akan sangat berhati-hati dalam mempertimbangkan suatu perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya, sementara cara merasa yang benar akan membuat orang memiliki kepekaan atas orang lain terhadap perbuatan yang ia lakukan.

Oleh karena itu orang yang berakhlak mulia, bagaikan matahari yang bukan saja dapat menghangatkan orang lain, tetapi dirinya memiliki derajat panas yang lebih tinggi, atau seperti minyak wangi yang bukan hanya bisa mengharumkan orang tetapi dirinya memang harum. Bagi orang yang berakhlak mulia, berbuat baik bukan hanya kepentingan orang, tetapi lebih kepada kepentingan diri sendiri, berterima kasih kepada orang lebih kepada mensyukuri diri sendiri dan menghormati orang lebih pada menghormati diri sendiri.

Dalam berbuat baik ia tidak membutuhkan penghargaan dari orang lain, karena ia melakukannya untuk dirinya, seperti matahari yang memanasi dirinya, atau minyak wangi yang mengharumkan dirinya. Di antara akhlak manusia kepada diri sendiri adalah: Sabar, jujur, iffah, qana'ah, syukur, tawaddlu' dan sebagainya.

9.1. Sabar. Menurut Imam Gazali, sabar ialah tabah hati tanpa mengeluh dalam menghadapi cobaan dan rintangan dalam waktu tertentu dalam rangka mencapai tujuan. jadi urgensi sabar adalah pada pencapaian tujuan. Oleh karena itu orang yang bisa sabar hanyalah orang yang selalu sadar akan tujuan yang sedang dicapai. Demi perhatiannya pada tujuan maka ia tidak mengeluh ketika harus menghadapi rintangan, dan demi tercapainya tujuan maka ia mampu bertahan terhadap proses waktu yang harus dilalui.

Ia tidak ingin melakukan jalan pintas yang belum pasti hasilnya, dan ia juga tidak putus asa serta menyerah di tengah jalan. Ia juga selalu sadar untuk tidak melakukan hal yang justeru bertentangan dengan tujuan yang ingin dicapai.

Menurut Al Qur'an kesabaran manusia diuji ketika mengalami rasa takut, ketika lapar, kekurangan atau kehilangan harta benda, kehilangan/ditinggal mati keluarga, dan kekurangan bahan makanan (Q/2:155). Kesabaran diuji, baik ketika menghadapi kesulitan yang datang dari luar dirinya (seperti bencana) atau dari dalam dirinya (sakit misalnya) (Q/2:177). Kesabaran juga diuji ketika harus mendengar caci maki orang (Q/73:10), ketika dalam posisi kalah perang dan ketika dalam posisi menang dalam perang (Q/16:126).dan ketika harus menjalankan secara konsekwen hukum Tuhan (Q/76:24).

Ciri orang sabar ialah ketika mengalami musibah ia mengembalikan persoalannya kepada Allah Yang Maha Kuasa dengan mengucap Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un (Q/2:156). Kesabaran menempatkan seseorang pada kedudukan yang tinggi, mengantar pada derajat taqwa. Oleh karena itu dikatakan bahwa Allah selalu menyertai orang yang sabar (Q/2:153) dan kita diperintahkan untuk selalu saling mengingatkan yang lain agar bersabar dalam kebenaran dan kasih sayang (Q/90:17 dan Q/ 103:3).

Ujian paling berat dalam sabar adalah ketika mula pertama mendapati sesuatu yang tidak diinginkan, atau ketika menghadapi gempuran pertama (as sobru 'inda as shodmat al ula). Jika pada gempuran pertama seseorang tabah menghadapinya maka pada tahapan berikutnya beban itu menjadi lebih ringan.

9.2. jujur (Amanah). Dalam bahasa sehari-hari, karakteristik orang jujur sering digambarkan sebagai orang yang tidak suka bohong, bisa dipercaya dan gaya hidupnya lurus. Kebalikan dari sifat jujur adalah suka dusta dan berkhianat yang oleh karena itu gaya hidupnya penuh dengan tipu daya. Dalam perspektip ilmu akhlak, sifat ini disebut amanah, dan contoh orang jujur yang disebut Al Qur'an adalah Nabi Muhammad dan Nabi Musa. Pada masa mudanya, yakni sebelum menjadi Rasul, Muhammad diberi gelar oleh masyarakatnya dengan sebutan al Amin, Muhammad al Amin, artinya orang yang amanah, yang dapat dipercaya. Predikat ini diberikan oleh masyarakat karena mereka belum pernah menjumpai Muhammad berdusta. Apapun yang dikatakan oleh Muhammad, masyarakat pasti percaya, karena selama hidupnya Muhammad tak pernah dijumpai berdusta. Nabi Musa juga disebut Al Qur'an sebagai sosok yang kuat dan jujur (al qawiyyu al amin/ Q/al Qasas:26).

Dalam bahasa Arab, maupun dalam istilah syara', amanah mengandung banyak arti, tetapi secara umum seorang yang berakhlak amanah atau jujur adalah orang yang bisa memelihara hak-hak Allah dan hak-hak manusia pada dirinya, yang dengan itu ia tidak pernah menyia-nyiakan tugas yang diembannya, baik tugas ibadah maupun tugas mu'amalah. Amanah juga berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak dan patut.

Dari pengertian ini maka secara lebih rinci, karakteristik orang jujur atau amanah adalah sebagai berikut:
(a) Bisa memikul tanggung jawab dari apa yang menjadi kewajibannya.
(b) Menempatkan orang dalam tugas sesuai dengan kapabilitasnya, bukan karena pertimbangan mengambil keuntungan tersembunyi, materiil atau nepotis.
(c) Jika diberi titipan ia bisa menjaga apa yang dititipkan dalam keadaan utuh.
(d) Jika menjalankan tugas ia tidak mengambil keuntungan pribadi dari tugasnya itu (korupsi).
(e) Tidak menyembunyikan apa-apa yang semestinya dibayarkan, baik menyangkut hubungannya dengan Tuhan (zakat), dengan negara (pajak) maupun keluarga (nafkah).
(f) Mampu menyimpan apa yang harus dirahasiakan, baik rahasia tugas maupun rahasia kehormatan.
(g) Jika berjanji ia menunaikan janjinya.

Kejujuran merupakan nurani yang ada di dalam batin, bukan pengetahuan yang ada di fikiran. Oleh karena itu pengetahuan agama, pengetahuan tentang nilai kejujuran tidak cukup untuk membuat orang menjadi jujur. Kejujuran tidak berlangsung begitu saja tetapi membutuhkan dukungan infrastruktur yang kondusif untuk itu . Tak jarang orang baik yang benar-benar jujur kemudian hilang kejujurannya ketika ia memikul tanggung jawab tugas yang menggoda tanpa sistem pengawasan yang memadai.

Managemen kejujuran. Meskipun fitrah manusia pada dasarnya baik, jujur, lugu , berketuhanan dan memiliki rasa keadilan , tetapi ia juga memiliki syahwat dan nafsu yang cenderung menuntut pemuasan mendesak. Sudah menjadi sunnah kehidupan bahwa daya tarik keburukan itu lebih kuat dibanding daya tarik kebaikan.Untuk menggapai kebaikan, orang harus berfikir dengan skala jauh, sementara keburukan justeru menggoda dengan argumen praktis dan langsung, dengan slogan; yang penting sekarang. Banyak orang mendalami ilmu kebaikan dalam kurun waktu yang panjang hingga menguasai teori dan hukum-hukumnya, tetapi tiba-tiba ia terjerumus kepada keburukan yang barn saja dikenalnya.

Secara individu, manusia harus meminij hidupnya secara amanah, membiasakan tingkahlaku yang termonitor oleh keluarga, yang dengan itu suasana menjadi kondusip untuk jujur. Secara nasional, kejujuran juga dapat disosialisasi dan direkayasa melalui sistem politik, ekonomi, sosial budaya dan seterusnya. Tentang mamangemen kejujuran secara nasional akan dibahas secara lebih terperinci di bab belakang.

9.3. Iffah dan Qana'ah. Diantara kelengkapan psikologis manusia adalah syahwat, yakni kecenderungan terhadap apa yang diinginkan. Secara fitri sebagaimana disebutkan Al Qur'an bahwa manusia dihiasi dengan keinginan kepada lawan jenis, anak-anak, perhiasan emas perak, kendaraan yang bagus, kebun yang luas dan hewan ternak (Q/3:14). Jika manusia menuruti dorongan syahwatnya maka keinginan itu tak pernah terpuasi berapapun besarnya yang telah tercapai.

Oleh karena itu syahwat harus dikendalikan hingga sekedar mendorong manusia untuk bekerja, bercita¬cita dan berkehendak.
Sifat iffah atau 'afaf adalah bersihnya hati dari menginginkan apa yang ada pada orang lain, sedangkan qana'ah adalah perasaan menerima apapun yang diberikan Tuhan kepadanya sehingga hatinya merasa kaya dengan apa yang dimilikinya. 'Iffah terkadang diterjemahkan dengan suci hati, sedangkan qana'ah diterjemahkan dengan kaya hati
Qana'ah akan membuat pemiliknya hidup dengan tenteram dan selalu berfikir untuk memberi karena merasa kaya meski yang dimilikinya sedikit, sedangkan sifat 'ffah dapat meredam perasaan iri dan dengki kepada orang lain karena ia memang tidak tertarik dan tidak mengharap apa yang telah dimiliki oleh orang lain itu. Kebalikan qana'ah dan 'iffah adalah serakah, yakni merasa yang dimilikinya masih sedikit dan menginginkan setiap apa yang telah dimiliki oleh orang lain. Orang serakah sama sekali tak sempat berfikir untuk memberi meski yang telah dimilikinya sangat banyak, karena pusat perhatiannya terletak pada bagaimana merebut apa yang ada pada orang lain.

9.4. Tawaddlu' atau Rendah Hati. Rendah hati berbeda dengan rendah diri. Rendah diri merupakan sifat negatip, yaitu tidak percaya diri atau minder dalam pergaulan. Sedangkan rendah hati adalah secara sadar merendahkan dirinya di hadapan orang lain.Rendah diri merupakan kelemahan, tetapi merendahkan diri hanya bisa dilakukan oleh orang kuat. Kebalikan dari rendah hati adalah sombong atau takabbur. Takabbur adalah merasa dirinya besar dan memandang orang lain lebih rendah darinya. Seorang yang rendah hati senantiasa menghormati orang lain, karena ia menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempuma. Seseorang bisa nampak rendah (penampilannya) tetapi, boleh jadi ia memiliki kelebihan yang justeru disembunyikannya dari penglihatan orang lain. Sementara orang yang rendah hati itu tahu persis kelemahan dirinya meski orang lain boleh jadi tidak mengetahuinya.
Adapun sifat takabbur, merasa dirinya besar, hanya milik Allah, karena memang sebenarnyalah Tuhan itu Maha Besar, oleh karena itu salah satu nama Allah (al Asma al Husna) adalah al Mutakkbir, yang merasa diri Nya Besar. Manusia yang merasa dirinya besar pastilah keliru, disamping sebagai wujud tidak tahu diri, senya¬tanya diatas orang kaya ada yang lebih kaya, di atas orang pandai ada yang lebih pandai, di atas orang kuat ada yang lebih kuat, dan seterusnya.
Akhlak mengajarkan logika terbalik. Barang siapa ingin terhormat, ia justeru harus merendahkan dirinya, tetapi barang siapa ingin terpuruk jatuh, silahkan menyombongkan diri (man tawa dlo'a rofa'ahullah, waman takabbara wado'ahullah/Hadis). Artinya Barang siapa merendahkan dirinya, Allah akan memuliakan derajatnya, dan barang siapa menyombongkan dirinya, Allah akan menjatuhkannya. Keharusan merendahkan diri ditujukan terhadap sesama manusia, apa lagi terhadap Tuhan. Larangan takabbur juga terhadap sesama manusia, terlebih-lebih terhadap Tuhan.

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, March 28, 2011

Imam Politik
Dalam bahasa Arab, pemimpin politik bisa disebut dengan istilah imam, amir, khalifah, qa’id, za’im, rais, malik dan sulthan, tetapi dalam sejarah perpolitikan klasik Islam, gelar imam politik yang dominan adalah al Imam, khalifah dan amir al mu’minin.
Pertama, Al-Imâm. Bagi kalangan Syiah, imam berarti seorang pemimpin atau orang yang berada di muka.
Menurut Thaba’thaba’i, imam adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang memegang pimpinan masyarakat dalam suatu gerakan sosial, atau suatu ideologi politik, atau suatu aliran pemikiran keilmuan atau keagamaan.

Sedangkan Murtadha Muthahhari berpendapat, bahwa imam adalah pribadi yang memiliki beberapa pengikut, terlepas dari kenyataannya apakah dia saleh atau tidak. Dalam Al-Qur’an disebutkan, “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai imam-imam yang memberi petunjuk dengan seizin Kami.” (Al-Anbiyâ’: 73).

Secara harfiah, imam adalah seorang pemimpin. Imâm berarti orang yang diikuti, baik sebagai kepala, jalan, atau sesuatu yang membuat lurus dan memperbaiki perkara. Selain itu, ia juga bisa berarti Al-Qur’an, Nabi Muhammad, khalifah, panglima tentara, dan sebagainya. Dengan demikian, jelaslah bahwa kata imâm memiliki banyak makna. Yaitu, bisa bermakna: maju ke depan, petunjuk dan bimbingan, kepantasan seseorang menjadi uswah hasanah, dan kepemimpinan.

Kata imâm banyak disebutkan dalam Al-Qur’an. Misalnya; “(Ingatlah) pada suatu hari (yang pada hari itu) kami memanggil setiap umat dengan pemimpinnya ….” (Al-Isrâ’: 71); “… dan sebelum Al-Qur’an itu telah ada Kitab Musa sebagai imam (pedoman) dan rahmat …?” (Hûd: 17); “… dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqân: 74); “Dan (ingatlah) tatkala Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan kami imam (pemimpin) bagi seluruh manusia ….” (Al-Baqarah: 124); “Dan kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim) Ishaq dan Ya’qub sebagai suatu anugerah (dari Kami) dan masing-masing Kami jadikan orang-orang saleh.

Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan Kami telah wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan salat, menunaikan zakat ….” (Al-Anbiyâ’: 72-73); “Dan Kami ingin memberikan karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang yang mewarisi (bumi)” (Al-Qashash: 5); “dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka, dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong.” (Al-Qashash: 41); dan “…, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang kafir, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar mereka berhenti.” (Al-Tawbah: 12)

Dari ayat-ayat Al-Qur’an di atas, kita bisa memetik dua pengertian dari makna imâm, yaitu: (1) Kata imâm tersebut yang sebagian besar digunakan dalam Al-Qur’an membuktikan adanya indikasi yang bermakna “kebaikan”. Pada sisi lain—pada dua ayat terakhir di atas, bahwa kata imâm menunjukkan makna jahat. Karena itu, imâm berarti seorang pemimpin yang diangkat oleh beberapa orang dalam suatu kaum. Pengangkatan imâm tersebut mengabaikan dan tidak memperdulikan, apakah ia akhirnya akan berjalan ke arah yang lurus atau arah yang sesat. (2) Kata imâm dalam ayat-ayat Al-Qur’an itu bisa mengandung makna penyifatan kepada nabi-nabi: Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, dan Musa—sebagaimana juga menunjukkan kepada orang-orang yang bertakwa.

Kedua, Al-Khalîfah. Gelar ini sangat berkaitan dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam. Setelah Nabi Muhammad wafat, para sahabat berkumpul untuk memilih dan memutuskan seorang yang akan menjadi pengganti kepemimpinannya. Dan, Abu Bakar terpilih untuk menggantikan Rasulullah dalam memimpin dan memelihara kemaslahatan umat Islam pada masa-masa berikutnya. Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, yang berarti penerus atau pengganti untuk mengurus masalah umat Islam.

Abu Bakar menegaskan, “Aku bukan khalifah Allah, melainkan khalifah Rasulullah.” Jadi, Abu Bakar diangkat oleh para sahabat sebagai pengganti dan penerus kepemimpinan Rasulullah. Gelar khalifah setelah Rasulullah digunakan untuk menjadi antitesis dari sistem kekisraan dan kekaisaran—sebuah pemerintahan individu yang otoriter, zalim dan keji, yang berkembang pada saat itu.

Ketiga, Amîr Al-Mu’minîn. Gelar ini diberikan kepada khalifah kedua: Umar ibn Khathtab—setelah menggantikan Khalifah Abu Bakar yang wafat. Dalam bukunya, Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun menjelaskan sebab pemberian nama ini. Ia menulis, “Itu adalah bagian dari ciri khas kekhalifahan dan itu diciptakan sejak masa para khalifah. Mereka telah menamakan para pemimpin delegasi dengan nama amir; yaitu wazan (bentuk kata) fa’il dari imarah. Para sahabat pun memanggil Sa’ad ibn Abi Waqqash dengan Amîr Al-Mu’minîn karena ia memimpin tentara Islam dalam Perang Qadisiyyah. Pada waktu itu, sebagian sahabat memanggil Umar ibn Khathtab dengan sebutan yang sama juga: Amîr Al-Mu’minîn.

Secara umum, ketiga gelar di atas menunjukkan keharusan adanya kepemimpinan dalam Islam. Bagi suatu kaum atau ummat, keberadaan seorang pemimpin merupakan suatu keharusan yang tak mungkin dipungkiri. Menurut Imam Al-Mawardi dalam karyanya Al-Ahkâm Al-Sulthâniyyah wa Al-Wilâyât Al-Dîniyyah, dalam lembaga negara dan pemerintahan, seorang kepala atau pemimpin wajib hukumnya menurut ijma’.

Alasannya, karena kepala lembaga dan pemerintah dijadikan sebagai pengganti fungsi kenabian dan menjaga agama serta mengatur urusan dunia.
Al-Mawardi menyebut tujuh syarat yang harus dipenuhi calon kepala negara (seorang pemimpin). Syarat-syarat itu, antara lain: keseimbangan atau keadilan (al-‘adâlah); punya ilmu pengetahuan untuk berijtihad; punya panca indera lengkap dan sehat; anggota tubuhnya tidak kurang untuk menghalangi gerak dan cepat bangun; punya visi pemikiran yang baik untuk mendapatkan kebijakan yang baik; punya keberanian dan sifat menjaga rakyat; dan punya nasab dari suku Quraisy. Persyaratan terakhir ini dapat dibandingkan dengan UUD 45 yang mensyaratkan Presiden harus warga Negara Indonesia asli.

Secara umum Al-Qur’an tidak menentukan corak kepemimpinan politik tertentu yang harus diambil oleh ummat Islam, oleh karena itu pada era modern, Pemerintahan negeri-negeri Islam mengambil bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan probabilitasnya. Negeri-negeri Sunni kebanyakan memilih bentuk Republik seperti negeri kita, sebagian memilih bentuk kerajaan, baik dalam bentuk mamlakah yang dipimpin oleh malik, atau kesultanan di bawah seorang sulthan, atau emirat di bawah seorang amir.

Sedangkan Iran sebagai satu-satunya negeri kaum Syi’ah, memiliki sistem politik yang didasarkan atas konsep wilayat al faqih dimana ayatul-lah ‘uzma memiliki otoritas keagamaan dan politik sekaligus.

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, March 27, 2011

Imam: Tinjauan Akhlak
Seseorang dapat menjadi pemimpin (imam) dari orang banyak manakala ia memiliki (a) kelebihan dibanding yang lain, yang oleh karena itu ia bisa memberi (b) memiliki keberanian dalam memutuskan sesuatu, dan (c) memiliki kejelian dalam memandang masalah sehingga ia bisa bertindak arif bijaksana. Secara sosial seorang pemimpin (imam) adalah penguasa, karena ia memiliki otoritas dalam memutuskan sesuatu yang mengikat orang banyak yang dipimpinnya. Akan tetapi menurut etika keagamaan, seorang pemimpin pada hakekatnya adalah pelayan dari orang banyak yang dipimpinnya (sayyid al-qaumi khodimuhum).

Pemimpin yang akhlaknya rendah pada umumnya lebih menekankan dirinya sebagai penguasa, sementara pemimpin yang berakhlak baik lebih menekankan dirinya sebagai pelayan masyarakatnya.

Dampak dari keputusan seorang pemimpin akan sangat besar implikasinya pada rakyat yang dipimpin. Jika keputusannya tepat maka kebaikan akan merata kepada rakyatnya, tetapi jika keliru maka rakyat banyak akan menanggung derita karenanya. Oleh karena itu pemimpin yang baik disebut oleh Nabi dengan sebutan pemimpin yang adil (imamun ‘adilun), sementara pemimpin yang buruk digambarkan Al-Quran, dan juga hadis, sebagai pemimpin yang zalim.

Adil artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya, sedangkan sebaliknya zalim artinya menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Hadis Riwayat Bukhari menempatkan seorang Pemimpin yang adil dalam urutan pertama dari tujuh kelompok manusia utama. Hadis Riwayat Muslim menyebutkan bahwa pemimpin yang terbaik adalah pemimpin yang dicintai rakyatnya dan iapun mencintai rakyatnya.

Sementara pemimpin yang terburuk menurut Nabi, adalah pemimpin yang dibenci rakyatnya dan iapun membenci rakyatnya, mereka saling melaknat satu sama lain. Hadis lain menyebutkan bahwa dua dari lima golongan yang dimurkai Tuhan adalah (1) Penguasa (amir) yang hidupnya ditopang oleh rakyat (sekarang-pajak), tetapi ia tidak memberi manfaat kepada rakyatnya, dan bahkan tidak bisa melindungi keamanan rakyatnya. (2) Pemimpin kelompok (za‘im) yang dipatuhi pengikutnya tetapi ia melakukan diskriminasi terhadap kelompok kuat atas yang lemah, serta berbicara sekehendak hatinya (tidak mendengarkan aspirasi pengikutnya).

Hadis Riwayat Dailami bahkan menyebut pemimpin yang sewenang-wenang (imam jair) sebagai membahayakan agama.
Kisah Al-Qur’an yang menyebut Nabi (Raja) Sulaiman yang memperhatikan suara semut mengandung pelajaran bahwa betapa pun seseorang menjadi pemimpin besar dari negeri besar, tetapi ia tidak boleh melupakan kepada rakyat kecil yang dimisalkan semut itu. (Q/27:16). Meneladani kepemimpinan Rasulullah, akhlak utama yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah keteladanan yang baik (uswah hasanah), terutama dalam kehidupan pribadinya, seperti; hidup bersih, sederhana dan mengutamakan orang lain. Tentang betapa tingginya nilai keadilan pemimpin, Hadis Riwayat Tabrani menyebutkan bahwa waktu satu hari dari seorang imam yang adil setara dengan ibadah tujuh puluh tahun.


Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, March 24, 2011

Imam: Tinjauan Akidah
Konsep imâmah dalam Islam dapat dipelajari dari tiga perspektif yang berbeda, yaitu, masing-masing:
(1) dari perspektif pemerintahan , (2) dari perspektif pengetahuan dan ketentuan-ketentuan Islam, serta (3) dari perspektif kepemimpinan dan bimbingan pembaharuan kehidupan kerohanian. Berikut penjelasannya.

Pertama, imâmah dari perspektif pemerintahan . Ketika dikaitkan dengan masalah kenegaraan, konsep imâmah memunculkan perbedaan pendapat di dalam kalangan umat Islam: Sunni dan Syiah.

Berbeda dari Sunni, kalangan Syiah, khususnya yang Imamiyah, menyebutkan bahwa imâmah adalah masalah utama dan bagian dari rukun iman. Masalah imâmah bukan termasuk kepentingan umum, tapi menjadi tiang agama dan dasar Islam yang telah digariskan oleh Allah melalui ayat-ayatnya dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi.

Bagi kalangan Syiah, seperti disebutkan Murtadha Muthah hari, imâmah bisa berarti pimpinan umum suatu masyarakat. Salah satu tugas yang lowong pada masa setelah Rasulullah wafat adalah kepemimpinan masyarakat. Lalu, siapa yang berhak menggantikan Nabi? Di sinilah masalah khilafah muncul. Kaum Syi`ah mengklaim bahwa imamah adalah hak preogratip keturunan Nabi lewat Alibin Abi Talib, disebut ahl al bait. Klaim inilah yang membuat Iran, satu-satunya negeri Syi`ah bisa dikontrol oleh para mullah yang masuk kategori ahl albeit.

Sementara manurut kaumSunni, imamah merupakan kebudayaan,oleh karena itu diserahkan kepada masyarakat untuk memilih dan menentukan bentuknya, boleh dipilih oleh lembaga perwakilan (ahl alhalli waal`aqdi) atau dipilih secara demokratis oleh rakyat. Terbukti ketika Nabi wafat,masyarakat sepakat memilih Abu Bakar Siddik menjadi khalifah, dan selanjutnya melalui berbagai bentuk variasi terpilih penggantinya, Umar bin Khattab (melalui dekrit) ,Usman bin `Affan (melalui tim ahli yang didektritkan) dan Ali bin Abi Thalib (aklamasi terbatas).

Setelah periode ini yang disebut Khulafa rasyidin, masyarakat memilih sistem yang berbeda meski masih bernama khilafah,yakni khilafah Umayyah yang berpusat di Damaskus, kemudian khilafah Abbasiah yang berpusat di Baghdad. Kini setiap bangsa muslim memilih sistem yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan regional,ada yang memilih bentuk kerajaan absolute, kerajaan konstitusionil, atau republik.

Kedua, imâmah dari perspektif pengetahuan dan ketentuan-ketentuan Islam. Kalangan Syi'ah tidak hanya membatasi imâmah pada kepemimpinan politis. Mereka mengatakan, bahwa imâmah juga berkaitan dengan pengertian kepemimpinan religius. Menurut kalangan Syi'ah, sebelum wafat, Nabi Muhammad telah mendidik Imam Ali, penggantinya, sebagai seorang berilmu yang luar biasa dan mengajarkan kepadanya segala sesuatu tentang Islam. Imam Ali adalah salah seorang sahabat Nabi yang paling menonjol. Imam Ali suci sebagaimana Nabi juga suci. Dengan alasan ini, maka yang paling pantas menggantikan Nabi setelah wafat adalah Imam Ali. Ali menerima ilmu secara langsung dari Nabi, dan para imam berikut juga memperoleh ilmu melalui Imam Ali.

Karena itu, kalangan Syi'ah percaya adanya dua belas imam. Yaitu, Ali ibn Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husain ibn Ali, Ali ibn Husain, Muhammad ibn Ali, Ja’far ibn Muhammad, Musa ibn Ja’far, Ali ibn Musa, Muhammad ibn Ali, Ali ibn Muhammad, Hasan ibn Ali, dan Mahdi. Sementara menurut kaum Sunni, keulamaan tidak berhubungan dengan nasab, maka siapa saja yang memiliki kapasitas keilmuan (Islam) dan akhlak yang prima, mereka menempati kedudukan sebagai ulama, yakni pemimpin dalam bidang keilmuan dan keagamaan.

Ketiga, imâmah dari perspektif kepemimpinan dan bimbingan pembaharuan kehidupan kerohanian, yakni imâmah yang berkaitan dengan pengertian wilayah atau kewalian. Wilayah menjadi fokus utama para sufi , sama seperti persoalan mengenai manusia sempurna dan wali zaman. Kalangan sufi Syiah percaya bahwa wali dan imam adalah pemimpin zaman. Dan wali itu selalu ada, dan karena itu mereka percaya akan selalu ada seorang manusia sempurna di dunia.

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, March 23, 2011

PEMIMPIN DALAM BERIBADAH
Sebagai makhluk sosial budaya, manusia mengenal lembaga kepemimpinan, termasuk ketika menjalankan ritual ibadah. Dalam bahasa Arab, pemimpin disebut dengan istilah imam, amir, za`im, ra’is, dan qa’id, tetapi istilah imam dipergunakan untuk menyebut kepemimpinan secara umum, termasuk dalam ritual ibadah. Dalam menjalankan salat jamaah kaum muslimin juga dipimpin oleh seorang imam. Layaknya kepemimpinan dalam masyarakat, dalam salat jamaah juga dikenal kriteria-kriteria (a) siapa yang layak menjadi imam salat, (b) apa etika seorang imam, (c) apa kewajiban makmum, dan (d) hak-hak makmum.

Secara fiqhiyyah, siapa saja dengan syarat-syarat tertentu bisa menjadi imam salat, tetapi pada hakekatnya, karena salat merupakan amal ibadah dimana manusia menghadap, melapor dan berdialog dengan Tuhan Yang Maha Agung, maka hanya orang-orang tertentu yang layak menjadi imam salat jamaah.

Imam Ghazali dalam Ihya ‘Ulum ad Din, kitab fiqh yang sufistik, menyebut enam kriteria persyaratan etis seorang imam.
(1) Mempunyai kredibilitas moral dan senioritas keilmuan agama; Bermakmum kepada orang yang dikenal rendah kredibilitasnya akan membuat makmum tidak dapat tuma’ninah
(2) Tidak boleh rangkap jabatan, sebagai muazzin dan imam sekaligus,
(3) Sang imam sendiri harus terbiasa disiplin salat awal waktu setiap harinya,
(4) Imam harus ikhlas menjalankan amanah Allah,
(5) Sebelum bertakbir harus meyakinkan dirinya bahwa barisan makmum di belakangnya telah berbaris rapih, dan
(6) Bertakbir dengan suara lantang serta membaca Al-Qur’an dengan fasih.

Salat berjamaah melambangkan sistem kepemimpinan dalam masyarakat, oleh karena itu, karena seorang imam akan menjadi panutan yang diikuti secara patuh oleh makmum di belakangnya, maka seorang imam harus mengerti aspirasi makmum di belakangnya. Seorang imam salat berjamaah tidak boleh beruku’ atau sujud berlama-lama, karena belum tentu semua makmum di belakangnya sanggup melakukannya.

Ia juga tidak boleh membaca ayat Qur’an terlalu panjang sekiranya ia tahu bahwa jamaah di belakangnya sedang berpacu dengan berbagai urusan pekerjaan. Imam juga harus memberi peluang makmum menggenapi kekurangannya, yakni diam sejenak sebelum membaca ayat Qur’an, memberi kesempatan makmum yang belum sempurna membaca Fatihah. Layaknya sistem kepemimpinan, makmum harus patuh total mengikuti gerak imam yang sudah dipilih secara syah, tidak boleh pula mendahului gerakan imam, tetapi jika imam melakukan kekeliruan, makmum diberi hak untuk mengingatkan, yakni dengan mengucapkan kalimat Subhanallah.

Sebagai imbangan dari keharusan makmum mematuhi imam, seorang imam secara sportif langsung harus mengundurkan diri jika di tengah-tengah salat ia terkena hadas, buang angin misalnya, karena buang angin membatalkan wudu, dan batalnya wudu membuat salatnya tidak sah.

“Jabatan” Imam salat sangat tinggi kedudukannya dalam agama, melebihi jabatan muazzin. Tetapi profesi imam bukan bersifat duniawi, oleh karena itu banyak orang justru merasa tidak layak menjadi imam salat jamaah. Para sahabat dulu juga tidak berebutan untuk menjadi imam, sebaliknya justru saling dorong-mendorong yang lain. Seorang imam salat yang ideal adalah imam yang bisa meneladani perilaku Rasulullah dan sahabat model Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Imam salat adalah teladan bagi makmum, karena semua gerakan imam akan diikuti oleh makmum di belakangnya.

Karena itu Imam Ghazali membuat bab tentang imam dengan judul (al-bab fi al imamah wa al qudwah) Bab tentang keimaman dan keteladanan di dalam buku karya utamanya Ihya.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, March 22, 2011

Akhlak Manusia Terhadap manusia (7)
Akhlak Manusia Kepada Pemimpin (Etika Struktural)

Manusia adalah makhluk social disamping sebagai makhlukyang unik. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki tabiat suka kerjasama dan bersaing sekaligus. Untuk mencapai tujuan bersama manusia biasa melakukan kerjasama agar pencapaian tujuan bersama bisa lebih dipercepat. Tetapi dalam bekerja sama manusia juga memiliki tabiat bersaing untuk memperebutkan posisi yang tertinggi, misalnya untuk menjadi Ketua, bupati, gubernur atau presiden.

Dalam bersaing manusia terkadang bertindak fair, terkadang tidak. Jika persaingan berlangsung fair maka kehidupan masyarakat menjadi dinamis tetapi tetap indah.
Jika persaingan berlangsung curang dan licik maka harmoni sosial terganggu,bahkan bisa menjurus kepada konflik sosial. Oleh karena itu pada tatanan masyarakat dimanapun selalu dikenal adanya lembaga kepemimpinan , yakni mereka yang bertindak memelihara ketertiban sosial, menengahi konflik dan membimbing masyarakat pada peningkatan kesejahteraan.

Lembaga kepemimpinan masyarakat itu dalam al Qur'an disebut uli al amri, dan kewajiban mematuhi perintah ulil amri disebutkan senafas dengan kewajiban mematuhiTuhan dan Rasul, athi`ulloh wa athi`ur rasul wa uli alamri minkum (Q/…..) Bahkan dalam menjalankan ibadah kepada Tuhanpun dikenal adanya imam yang bertugas memimpin ritus ibadah agar berlangsung tertib.


Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, March 21, 2011

Akhlak Manusia terhadap manusia (6)
Akhlak Kepada Kemanusiaan

Manusia adalah makhluk yang berfikir dan merasa. Fikiran yang dimiliki memungkinkannya mencapai kemajuan kehidupan di muka bumi dengan peradaban yang tinggi. Dengan fikirannya pula manusia dapat memanfaatkan kekayaan alam secara optimal untuk kepentingan hidupnya. Di sisi lain, manusia dengan perasaannya, baik perasaan yang bersumber dari hati maupun hati nuraninya menyebabkan manusia memiliki martabat kemanusiaan, yang mengerti tentang makna hidup dan mengenal apa yang disebut peri kemanusiaan.

Dengan perasaannya pula manusia mengenal harga diri dan kehormatan sebagai manusia yang terhormat, sehingga manusia bisa merasa terhormat, tersanjung, disamping terhina dan teraniaya. Kesadaran akan harga diri kemanusiaan bisa datang dari dalam diri manusia itu sendiri sebagai produk dari perenungan falsafi atas hakikat dirinya, bisa juga datang dari pengetahuan yang diterima dari luar dirinya, dari ajaran agama misalnya.

Agama Islam misalnya memberikan apresiasi yang sangat tinggi terhadap manusia dengan memberikannya predikat sebagai khalifah Allah, sebagai wakil Allah di muka bumi. Predikat ini membawa implikasi yang sangat besar kepada manusia, yaitu bahwa manusia diberi tanggung jawab atau amanah untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran di tengah-tengah kehidupan manusia, dan untuk itu manusia diberi hak untuk mengelola bumi dan kekayaannya sebagai fasilitas hidup. Dari wacana kemanusiaan itulah lahir pemikiran-pemikiran yang substansinya bermaksud melindungi eksistensi manusia dengan segala kehormatannya di muka bumi ini, seperti apa yang disebut dengan HAM (Hak Azazi Manusia).

Akhlak manusia kepada kemanusiaan adalah dimaksud untuk meningkatkan martabat kemanusiaan itu sendiri.

Diantara akhlak manusia kepada kemanusiaan adalah:

6.1. Memperlakukan manusia sebagai manusia, tanpa membeda-bedakan jender, suku, keyakinan agama, maupun warna kulit, terutama dalam kasus-kasus murni kemanusiaan ; menyangkut kebutuhan kesehatan dan pangan.
6.2. Melindungi Hak-Hak Kemanusiaan. Dalam ajaran Islam disebutkan bahwa tujuan syariah agama (magasid as syari'ah) adalah untuk melindungi lima aspek kemanusiaan (Ushul al Khamsah);

(a) Melindungi jiwa raga manusia (khifdz an nafs)
(b) Melindungi akalnya (khifdz al 'aql)
(c) Melindungi keyakinannya (khifdz addin)
(d) Melindungi hartanya (khifdz al mg])
(e) Melindungi keturunannya (khifdz an nasl).

Tubuh manusia sebagai anugerah Tuhan dimana jiwa bersemayam adalah sempurna, oleh karena itu penyiksaan yang merusak tubuh sangat dilarang. Demikian juga mengubah bagian tubuh (dengan operasi plastik misalnya) yang bukan disebabkan karena tidak berfungsinya bagian tubuh tersebut merupakan perbuatan yang tak terpuji. Sedangkan operasi plastik yang dimaksud untuk menyempurnakan kekurangan, misalnya operasi bibir sumbing dan sebangsanya tidaklah dilarang.

Demikian juga perbuatan menghilangkan nyawa (membunuh) tanpa hak merupakan perbuatan dosa besar. Hukuman mati bagi pembunuh (qisas) adalah wujud perlindungan kepada jiwa manusia, karena seorang pembunuh akan sangat mudah membunuh kembali. Meskipun hukuman mati diperbolehkan, tetapi etika pelaksanaannya harus diikuti, yaitu dengan proses yang tidak menyiksa, yakni mematikan dengan proses yang cepat. Perbuatan sadis terhadap jenazah merupakan perbuatan terlarang, karena tidak menghormati raga manusia.

Akal sebagai wujud aktifitas psikologis juga harus dilindungi. Melarang orang untuk mengemukakan fikiran dan pendapatnya merupakan kezaliman, karena pada dasarnya setiap manusia secara kodrati memiliki kemerdekaan untuk berpendapat. Meminum minuman keras yang memabukkan merupakan bentuk pelecehan terhadap akal, karena orang yang mabuk justeru akalnya menjadi tidak berfungsi secara baik. Demikian juga penggunaan obat-obat terlarang, narkoba dan zat adiktip lainnya.

Keyakinan agama dan akidah juga merupakan hak azazi yang harus dilindungi, tak seorangpun boleh memaksakan keyakinannya kepada orang lain. Tuhan sendiri membebaskan manusia untuk beriman atau kafir (faman sya'a fal yu'min waman sya'a fal yakfur (Q/ 18:29)), dan Tidak boleh ada paksaan dalam agama (la ikraha fid din (Q/ 2:256)).

Harta milik manusia juga harus dilindungi. Pelaku pencurian dan perampokan boleh dihukum secara setimpal, dan mati karena membela hartanya yang halal dari kejahatan orang, dihukumkan mati syahid.
Kesucian keturunaan juga perlu dilindungi, karena hal itu menyangkut jatidiri seorang manusia,. Manusia yang tidak mengenali jati dirinya sebagai makhluk bermartabat akan mengalami konflik batin dan bias jatidiri. Oleh karena itu untuk melindungi manusiadari krisis jati diri perzinaan di-haramkan, bayi tabung dengan sperma bukan suami dilarang, ter¬masuk kloning dan hal-hal lain yang mengkacaukan silsilah terlarang hukumnya.

7. Akhlak Terhadap Orang Yang Telah Mati

Manusia adalah makhluk yang dimuliakan oleh Tuhan (walaqad karromna bani adam(Q/17:70), oleh karena itu agama mengajarkan agar manusia, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, tubuhnya dan jiwanya, dihormati secara wajar.

7.1. Secara fisik jenazah manusia, siapapun dia tidak boleh diperlakukan secara tidak terhormat, dicampakkan begitu saja atau dikubur begitu saja seperti hewan, tetapi harus "diselenggarakan" jenazahnya sesuai dengan kehormatan martabat manusia. Jika ada bagian tubuhnya yang terpisah , maka ia hams disatukan kembali dalam kuburnya.

7.2. Agama Islam bahkan memberikan tuntunan penyelenggaraan jenazah dengan sangat terhormat; dimandikan, dikafani, disalati dan dikubur, di talqin, diantar dengan azan dan iqomah serta doa orang yang masih hidup. Hanya orang mati syahid yang dikubur tanpa dimandikan dan dikafani, melainkan dengan pakaian dan darah dimana ia gugur syahid. Jika manusia mati di daratan maka ia dikubur di tanah, dan jika mati di lautan maka ia ditenggelamkan ke dalam laut dengan perangkat penyelenggaraan yang sama dengan penguburan di darat.

7.3. Etikanya, jika seseorang meninggal dunia, maka segera diselenggarakan jenazahnya, jangan ditunda penguburannya hingga esok, kecuali jika ada hal-hal yang sangat prinsip.
7.4. Dianjurkan ikut mengiringkan jenazah orang yang kita kenal ke kubur.
7.5. Secara spiritual orang yang masih hidup dianjurkan mendo'akan kepada orang yang sudah mati agar diampuni Tuhan, terlebih jika yang sudah meninggal itu orang tua atau kerabat. Bagi seorang anak juga diwajibkan meneruskan tradisi baik orang tuanya yang sudah meninggal, termasuk bersilaturrahmi dengan handai tolan orang tuanya, dan menyelesaikan urusan perdata (hutang piutang) kepada pihak lain.
7.6. Ahli waris orang yang meninggal hendaknya tidak bersengketa tentang pembagian waris, sebaliknya dapat mewakafkan sesuatu yang monumental dengan nama orang yang meninggal.
7.7. Adapun tentang kuburan, tidak ada anjuran untuk membangun monumen diatasnya selain sekedar tanda kuburan.

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, March 20, 2011

Akhlak manusia Terhadap manusia (5)
Akhlak Terhadap Masyarakat

Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial (al insanu ijtima'iyyun bi at tob'i). Integritas manusia dapat dilihat secara bertingkat, integritas pribadi, integritas keluarga dan integritas sosial. Diantara ketiga lembaga; pribadi, keluarga dan masyarakat terdapat hubungan saling mempengaruhi. Masyarakat yang baik terbangun oleh adanya keluarga-keluarga yang baik, dan keluarga yang baik juga terbangun oleh individu-individu anggauta keluarga yang baik, sebaliknya suasana keluarga akan mewarnai integritas individu dan suasana masyarakat juga mewarnai integritas keluarga dan individu.

Hubungan antar anggauta masyarakat ada yang diikat oleh faktor domisili pertetanggaan, ada juga yang diikat oleh kesamaan profesi, atau kesamaan asal usul dan kesamaan sejarah. Oleh karena itu disamping ada masyarakat lingkungan juga ada masyarakat pers, masyarakat pendidikan, masyarakat ekonomi, masyarakat politik dan sebagainya, juga ada masyarakat etnik dan masyarakat bangsa.

Dalam perspektip ini kita mengenal ungkapan yang mengatakan bahwa seorang pemimpin adalah anak zaman, artinya kualitas masyarakat seperti apa akan melahirkan pemimpin seperti apa. Seorang penulis juga anak dari zamannya, artinya pemikiran yang muncul dari seorang penulis mencerminkan keadaan masyarakat zamannya. Bagi orang yang sadar akan makna dirinya sebagai makhluk sosial maka ia bukan hanya dibentuk oleh masyarakatnya, tetapi secara sadar berusaha membangun masyarakat sesuai dengan konsep yang dimilikinya.

Secara berencana ia membangun institusi-institusi yang akan menjadi pilar terbangunnya masyarakat yang diimpikan, satu pekerjaan yang sering disebut dengan istilah rekayasa sosial, social enginering. Islam mengajarkan bahwa antara individu dengan individu yang lain bagaikan struktur bangunan (ka al bun yan), yang satu memperkuat yang lain. Masyarakat yang ideal adalah yang berinteraksi secara dinamis tetapi harmonis, seperti yang diumpamakan oleh Nabi bagaikan satu tubuh (ka al jasad al wahid), jika satu organ tubuh menderita sakit maka organ yang lain ikut merasakannya dan keseluruhan organ tubuh melakukan solidaritas.

Dari sudut tanggung jawab anggauta masyarakat, suatu masyarakat itu diibaratkan Nabi dengan penumpang perahu, jika ada seorang penumpang di bagian bawah melubangi kapal karena ingin cepat memperoleh air, maka penumpang yang di bagian atas harus mencegahnya, sebab jika tidak, yang tenggelam bukan hanya penumpang yang di bawah, tetapi keseluruhan penumpang perahu, yang bersalah dan yang tidak.

Jadi disamping setiap individu memiliki HAM yang perlu dilindungi, dan setiap keluarga memiliki kehidupan privacy yang perlu dihormati, maka suatu masyarakat juga memiliki norma-norma dan tatanan sosial yang harus dipelihara bersama. Pelanggaran atas norma-norma sosial akan berakibat terjadinya kegoncangan sosial yang dampaknya akan dirasakan oleh setiap keluarga dan setiap individu. Akhlak terhadap masyarakat adalah bertujuan memelihara keharmonisan tatanan masyarakat agar sebagai lembaga yang dibutuhkan oleh semua anggauta masyarakat ia berfungsi optimal.

Di dalam lingkungan masyarakat yang baik, suatu keluarga akan berkembang secara wajar, dan kepribadian individu akan tumbuh secara sehat.

Diantara akhlak terhadap masyarakat adalah:

5.1. Memelihara perasaan umum. Masyarakat yang telah terjalin lama akan memiliki nilai-nilai yang secara umum diakui sebagai kepatutan dan ketidakpatutan. Setiap individu hendaknya menjaga diri dari melakukan sesuatu yang dapat melukai perasaan umum, meski perbuatan itu sendiri halal, misalnya berpesta di tengah kemiskinan masyarakat, memamerkan kemewahan di tengah masa krisis ekonomi, menunjukkan arogansi kekuasaan di tengah masyarakat yang lemah, menyelenggarakan kegiatan demontratif yang mengganggu kekhustyu'an orang beribadah, dan sebagainya.

5.2. Berperilaku disiplin dalam urusan publik. Disiplin adalah mengerjakan sesuatu sesuai dengan kemestiannya, menyangkut waktu, biaya, dan prosedur. Seorang yang disiplin, datang dan pulang kerja sesuai dengan jadwal kerja, membayar atau memungut bayaran sesuai dengan tarifnya, menempuh jalur urusan sesuai dengan prosedurnya. Pelanggaran kepada disiplin, misalnya' menyuap atau menerima suap, meski dirasa ringan secara ekonomi, tetapi bayarannya adalah rusaknya tatanan dan sistem kerja. Demikian juga nepotisme dalam menggolkan urusan, meski tidak terbukti secara administratip, tetapi sebenarnya merusak aturan main, yang pada gilirannya akan menjadi bom waktu. Korupsi waktu sebenarnya juga suatu perbuatan yang merugikan orang lain, meski tak diketahui secara pasti siapa yang dirugikan. Mark up atau manipulasi biaya/kualitas dari suatu proyek pelayanan publik pada dasarnya merupakan perbuatan penghancuran terhadap masa depan generasi.

5.3. Memberi kontribusi secara optimal sesuai dengan tugasnya. Ulama dan cendekiawan menyumbangkan ilmunya, Pemimpin (umara) mengedepankan keadilan dan tanggungjawab(amanah), pengusaha mengutamakan kejujuran, orang kaya mengoptimalkan infaq dan sedekah, orang miskin mengutamakan keuletan, kesabaran dan doa, politisi memelihara kesantunan dan kelompok profesional mengedepankan profesionalitasnya.

5.4. Amar makruf nahi munkar. Setiap anggauta masyarakat harus memiliki kepedulian terhadap hal-hal yang potensil merusak masyarakat, oleh karena itu mereka harus aktip menganjurkan perbuatan baik yang nyata-nyata telah ditinggalkan masyarakat dan mencegah perbuatan buruk yang dilakukan secara terang terangan oleh sekelompok anggota masyarakat

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, March 17, 2011

Akhlak Manusia Terhadap manusia (4)
Akhlak Kepada Tetangga

Dalam kehidupan sosial, tetangga merupakan orang yang yang secara fisik paling dekat jaraknya dengan tempat tinggal kita. Dalam tatanan hidup bermasyarakat, tetangga merupakan lingkaran kedua setelah rumah tangga, sehingga corak sosial suatu lingkungan masyarakat sangat diwarnai oleh kehidupan pertetanggaan. Pada masyarakat pedesaan, hubungan antar tetangga sangat kuat hingga melahirkan norma sosial.

Demikian juga pada lapisan masyarakat menengah kebawah dari masyarakat perkotaan, hubungan pertetanggaan masih sekuat masyarakat pedesaan. Hanya pada lapisan menengah keatas, hubungan pertetanggaan agak longgar karena pada umumnya mereka sangat individualistik.

Tradisi ke Islaman memberikan kontribusi yang cukup besar dalam pembentukan norma-norma sosial hidup bertetangga. Adanya lembaga salat berjamaah di masjid atau mushalla, baik harian lima waktu, mingguan Jum'atan maupun tahunan Idul Fitri dan Idul Adha cukup efektip dalam membentuk jaringan pertetanggan. Demikian juga tradisi sosial keagamaan, seperti tahlilan, ratiban, akikah, syukuran, lebaran dan sebagainya sangat efektip dalam mempertemukan antar tetangga.

Tentang betapa besarnya makna tetangga dalam membangun komunitas tergambar pada hadis Nabi yang memberi petunjuk agar sebelum memilih tempat tinggal hendaknya lebih dahulu mempertimbangkan siapa yang akan menjadi tetangganya, al jaru qablad dar, bahwa faktor tetanga itu harus didahulukan sebelum memilih tempat tinggal.

Selanjutnya akhlak bertetangga diajarkan sebagai berikut:
(a) Melindungi rasa aman tetangga. Kata Nabi, ciri karakteristik seorang muslim adalah, orang lain (tetangga) terbebas dari gangguannya, baik gangguan dari kata-kata maupun dari perbuatan fisik.
(b) Menempatkan tetangga (yang miskin) dalam skala prioritas pembagian zakat.
(c) Memberi salam jika berjumpa.
(d) Menghadiri undangannya.
(e) Menjenguk tetanggga yang sakit.
(f) Melayat atau mengantar jenazah tetangga yang meninggal dunia.

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, March 16, 2011

Akhlak Manusia terhadap manusia (3)
Akhlak Terhadap Guru

Yang dimaksud dengan guru ialah orang yang berjasa mengajarkan ilmu pengetahuan kepada murid. Dalam hal guru, bisa dibedakan antara guru pengajar dan guru pendidik. Pengajar adalah orang yang berjasa mentranfer ilmu pengetahuan, sedangkan pendidik adalah orang yang berjasa menanamkan pola tingkahlaku tertentu. Ukuran keberhasilan guru pengajar terletak pada kemampuannya mentransfer ilmu pengetahuan sehingga si murid menguasai ilmu yang diajarkan.

Penguasaan ilmu oleh si murid dapat diketahui melalui metode ujian atau test, dan tingkat penguasaannya dapat dituangkan dalam bentuk nilai 0-100 atau indek prestasi 0-4. Sedangkan ukuran keberhasilan guru pendidik dapat dilihat pada ketrampilan, kedisiplinan dan konsistensi tingkahlaku anak didik sepanjang hidupnya.

Kedudukan guru dan orang tua dari segi etik adalah sejajar. Orang tua berjasa membesarkan anak, sementara guru berjasa mengenalkan ilmu pengetahuan dan menanamkan pola tingkahlaku sehingga memungkinkan seseorang mengembangkan konsep dirinya beraktualisasi diri menjadi sosok manusia yang didambakan, baik oleh dirinya maupun oleh keluarganya atau bahkan oleh masyarakatnya.

Peran orang tua dan peran guru bisa dilakukan oleh dua orang yang berbeda, bisa juga oleh orang yang sama. Maksudnya bisa terjadi seorang ayah atau ibu adalah juga seorang guru bagi anaknya, baik guru dalam bidang ilmu pengetahuan maupun guru dalam bidang kehidupan.
Dalam dunia persilatan, seorang guru atau suhu sangat dihormati dan dipatuhi, baik secara teknis maupun secara etis. Kepatuhan adalah sikap mental, oleh karena itu seorang guru tidak otomatis dipatuhi oleh muridnya, melainkan terlebih dahulu harus membuktikan "kelebihan" yang dimilikinya di mata murid.

Dalam dunia pendidikan, seseorang dapat tiba-tiba menjadi pengajar dari suatu cabang ilmu pengetahuan, tetapi tidak untuk menjadi pendidik. Dari pengalaman penulis dalam dunia pendidikan menjadi guru di SD/SLP dan SLA, sepuluh tahun pertama penulis menjadi guru belum cukup mengantarnya menjadi pendidik. Baru pada tahun ke tiga belas, penulis merasa menjadi pendidik, bukan hanya sekedar menjadi pengajar.

Pusat perhatian seorang pengajar adalah pada transfer ilmu pengetahuan di kelas, dan kriterianya sudah diatur dalam metodologi pengajaran. Seorang pengajar merasa telah menyelesaikan tugasnya di kelas, dan apa yang terjadi di luar kelas merasa bukan menjadi bagian tugasnya. Oleh karena itu seorang pengajar pada umumnya hanya jengkel menghadapi problem murid, bukan memprihatinkannya. Perasaan seorang pengajar kepada murid lebih terfokus pada konteks dirinya sebagai petugas, bukan pada kontek murid sebagai anak didik.

Sedangkan pusat perhatian seorang pendidik adalah pada anak didik sebagai kesatuan pribadi manusia. Seorang pendidik akan sangat sedih jika melihat anak didiknya mengalami penurunan prestasi, dan ia berusaha mencari akar permasalahannya, tak peduli apakah permasalahannya di kelas atau di luar kelas.

Seorang pengajar akan dengan mudah tidak masuk kelas hanya karena merasa terganggu kesehatannya, tetapi seorang pendidik tetap akan berusaha hadir di kelas meski kesehatannya kurang mengizinkan.
Penulis, pada tahun ke tigabelas menjadi guru, baru merasa menjadi pendidik setelah bertemu dengan dua pengalaman:

Pertama: bergaul dengan seorang kepala sekolah yang sungguh sangat dedikatip dalam dunia pendidikan. Kepala Sekolah tersebut seorang yang sebenarnya berstatus sosial tinggi, tetapi perhatiannya kepada tugas kependidikannya sangat tinggi. Ia selalu menengok murid yang sakit, menjenguk guru yang sakit, hadir dalam setiap undangan hajatan wali murid, satu hal yang bagi penulis pada mulanya sangat merepotkan, tetapi lama-kelamaan ikut menghayati makna tugas kependidikan secara konprehensip.

Kedua: setelah penulis berkenalan dengan tugas-tugas guru Bimbingan dan Penyuluhan (BP), atau Konseling pendidikan. Sebagai guru BP, penulis akhirnya mengetahui problem yang sebenarnya dari seorang murid sebagai anak manusia. Penulis menjumpai seorang murid yang sebenarnya cerdas, religius, tetapi terkadang tiba-tiba berperilaku aneh. Dari pendekatan yang selalu penulis lakukan akhirnya penulis tahu bahwa murid tersebut mengalami problem krisis identitas. la meragukan siapa jati dirinya setelah mengetahui dari guru biologinya bahwa dari golongan darah yang dimilikinya tak mungkin lahir dari dua orang yang selama ini dikenal sebagai ayah ibunya.

Perasaan galau itu menjadi lebih dalam setelah memperoleh informasi dari rumah sakit bahwa pada tahun-tahun kelahiran dirinya pernah terjadi kasus bayi tertukar. Krisis identitas itu ternyata berakibat sangat serius dalam hubungan interpersonalnya dengan keluarga-nya, yang dampaknya melebar ke prestasi belajarnya, dan integritas dirinya. Kasus lain pernah penulis jumpai, seorang murid perempuan, kelas tiga SLP sangat agresip kepada lelaki, termasuk kepada penulis. Penulis sering dibuat terkesima dan kikuk oleh agressifitas murid tersebut yang bernuansa seksual. Dari pendekatan yang penulis lakukan dapat diketahui bahwa anak tersebut ditinggal mati ayahnya ketika umur dua tahun dan sejak itu ibunya hidup menjanda. Gadis kecil itu rupanya tumbuh dalam rumah tangga yang sangat memprihatinkan. Karena rumahnya yang sempit ia sering memergoki ibunya berhubungan intim dengan lelaki kekasihnya yang tidak pernah menikahinya. Gadis belia itu telah teracuni oleh pemandangan yang tidak semestinya, tetapi keadaan tidak membantu mencarikan jalan keluar.

Gadis itu rajin mengaji dan rajin menjalankan salat, dan prestasi sekolahnya juga tidak terlalu mengecewakan, tetapi alam bawah sadarnya sering datang muncul dalam wujud perilaku agressip, bahkan terhadap guru lelakinya seperti yang dia lakukan kepada penulis.
Sebagai guru BP penulis bukan hanya berhubungan dengan murid tetapi juga dengan orang tua dari murid yang bermasalah, oleh karena itu penulis banyak sekali berjumpa dengan problem-problem "kemanusiaan" atau problem manusiawi, menyangkut murid, orang tua murid (masyarakat) dan juga rekan guru.

Sebagai manusia, penulis sering mengalami konflik batin dalam menangani kasus-kasus konseling, tetapi sebagai pendidik, keprihatinan seorang guru lebih dominan. Penulis sangat akrab dengan problem anak didik, begitu akrabnya hingga terkadang terjadi bias cinta, antara cinta seorang guru dan cinta seorang lelaki.

Pengalaman berhubungan dengan problem anak didik (dan masyarakat) itu mengantar penulis pada keindahan perasaan seorang guru, baik ketika berhasil membantu orang lain maupun ketika menerima penghormatan yang tulus dari murid-murid. Sebagai pendidik, penulis sangat tertantang oleh problem yang dihadapi oleh murid (dan orang tuanya), seperti gairahnya seorang petinju menemukan lawan tanding yang seimbang atau lebih. Penulis sangat terharu ketika mengetahui bahwa ada sejumlah murid, meski tidak berjumpa selama lebih dari duapuluh tahun tetapi masih sering menyebut nama penulis sebagai gurunya ketika ia menasehati anaknya atau muridnya.

Dalam tradisi Islam, akhlak seorang murid kepada guru diwujudkan dalam berbagai bentuk, misalnya silaturrahmi secara berkala kepada guru, memperioritaskan sedekah atau infaq materiil kepada nya, memberi nama anaknya dengan nama guru, mohon nasehat dan doa restu kepada guru setiap mempunyai hajat strategis, sampai kepada mengirim fatihah dan menempatkan nama guru dalam susunan orang-orang yang tercatat dalam teks doa setiap ba'da salat atau pada event-event tertentu.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, March 15, 2011

Akhlak Manusia Kepada manusia (2)
Akhlak Kepada Orang Tua dan Kerabat

Al Qur'an secara tegas mewajibkan manusia untuk berbakti kepada kedua orang tuanya (Q/17:23). Berbakti kepada kedua orang tua (birrul walidain) merupakan alkhoir, yakni nilai kebaikan yang secara universal diwajibkan oleh Tuhan. Artinya nilai kebaikan berbakti kepada orang tua itu berlaku sepanjang zaman dan pada seluruh lapisan masyarakat. Akan tetapi bagaimana caranya berbakti sudah termasuk kategori al ma'ruf, yakni nilai kebaikan yang secara sosial diakui oleh masyarakat pada suatu zaman dan suatu lingkungan.

Dalam hal ini al Qur 'an pun memberi batasan, misalnya seperti yang disebutkan dalam surat al Isra, bahwa seorang anak tidak boleh berkata kasar apalagi menghardik kepada kedua orang tuanya(Q/17:23). Seorang anak juga harus menunjukkan sikap berterima kasihnya kepada kedua orang tua yang menjadi sebab kehadirannya di muka bumi. Di mata Tuhan sikap terima kasih anak kepada orang tuanya dipandang sangat penting, sampai perintah itu disampaikan senafas dengan perintah bersyukur kepadaNya (anisykur li waliwa lidaika (Q/31:14)).

Meski demikian, kepatuhan seorang anak kepada orang tua dibatasi dengan kepatuhannya kepada Tuhan. Jika orang tua menyuruh anaknya melakukan hal-hal yang bertentangan dengan perintah Tuhan, maka sang anak dilarang mematuhi perintah orang tua tersebut, seraya tetap harus menghormatinya secara patut (ma'ruf) sebagai orang tua (Q/ 31:15). Seorang anak, oleh Nabi juga dilarang berperkara secara terbuka dengan orang tuanya di forum pengadilan, karena hubungan anak —orang tua bukan semata-mata hubungan hukum yang mengandung dimensi kontrak sosial melainkan hubungan darah yang bernilai sakral.

Sementara itu orang tua harus adil dalam memberikan kasih sayangnya kepada anak-anaknya. Diantara kewajiban orang tua kepada anak-anaknya adalah; memberi nama yang baik, menafkahi, mendidik mereka dengan agama (akhlak kehidupan) dan menikahkan jika sudah tiba waktunya.

Adapun jika orang tua sudah meninggal, maka kewajiban anak kepada orang tua adalah (a) melaksanakan wasiatnya, (b) menjaga nama baiknya, (c) meneruskan cita-citanya, (d) meneruskan silaturahmi dengan handai tolannya, (e) memohonkan ampun kepada Tuhan.
Dalam hubungan dengan kerabat, secara umum semangat hubungan baiknya sejalan dengan semangat keharusan berbakti kepada orang tua. Paman, bibi, mertua dan seterusnya harus dideretkan dalam deretan orang tua, saudara misan yang muda dan seterusnya dideretkan pada saudara muda atau adik, yang tua dideretkan kepada kakak.

Secara spesifik kerabat harus didahulukan dibanding yang lain, misalnya jika seseorang mengeluarkan zakat, kemudian diantara kerabatnya ada orang miskin yang layak menerima zakat itu, maka ia harus didahulukan dibanding orang miskin yang bukan kerabat. Semangat etik hubungan kekerabatan diungkapkan oleh Rasulullah dengan kalimat menghormati kepada yang lebih tua dan menyayangi kepada yang lebih muda. (laisa minna man lam yuwagir kabirana wa lam yarham soghirana).

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, March 14, 2011

AKHLAK MANUSIA TERHADAP MANUSIA (1)
Akhlak terhadap Nabi

Manusia sebagai obyek atau partner bermu`amalah yang mengharuskan adanya pertimbangan nilai-nilai akhlak dapat dikelompokkan menjadi enam kelompok. Pertama, karena adanya hubungan nasab seperti ayah ibu berikut kerabat yang menyertainya. Kedua, karena kedekatan tempat tinggal,yakni tetangga. Ketiga, karena adanya hubungan keilmuan seperti hubungan guru-murid, Ke empat, karena adanya hubungan strukrural atasan-bawahan. Kelima, karena adanya keyakinan yang bersifat sakral,seperti para Nabi dan wali,dan keenam, semata-mata karena hubungan kemanusiaan.

Tuhan memberikan petunjuk kepada manusia dalam empat tingkatan. Yaitu (1) instink, (2) panca indera, (3) akal, dan (4) wahyu. Petunjuk pertama dan ke dua disamping kepada manusia juga diberikan kepada hewan. Petunjuk ke tiga, yakni akal adalah hal yang menyebabkan manusia berbeda dengan hewan. Dengan akalnya manusia bisa memecahkan masalah yang dihadapi (problem solving) sehingga manusia mampu merencana, mengevaluasi dan merekayasa apa apa yang diperlukan. Meskipun manusia memiliki keterbatasan fisik, misalnya tidak dapat terbang seperti burung atau tidak dapat menyelam seperti ikan tetapi dengan akalnya, manusia mampu mengatasi kekurangan itu. Dengan akalnya manusia mampu mengerjakan semua hal yang dikerjakan binatang. Dengan teknologi yang dibuatnya manusia mampu menguasai bumi dan atsmosfirnya bagi keperluan hidupnya.

Disamping hal-hal yang bersifat teknis, manusia dengan akalnya dapat pula membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang secara etis harus dikerjakan dan mana yang tidak boleh dikerjakan. Oleh karena itu dengan akalnya manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatanya, baik kepada masyarakatnya sebagai sistem sosial maupun kepada Tuhan kelak di akhirat. Meski demikian, akal tidak bisa menentukan kebenaran universal, karena setiap orang berbeda pula akalnya. Kebenaran menurut akal sangat relatip, karena manusia masih dipengaruhi oleh hal-hal yang subyektip sehingga manusia tidak bisa mencapai kebahagiaan hakiki jika hanya menggunakan akal. Akal hanya bisa menemukan kebenaran, bukan menentukan.Untuk melengkapi rahmat Nya, Tuhan memberikan hidayah ke empat, yaitu wahyu. Wahyu adalah kebenaran universal yang diturunkan Tuhan untuk membimbing manusia mencapai kebahagiaan hakiki. Sesuai dengan tingkat kemampuan manusia menyerap informasi, maka Tuhan mengirimkan Nabi atau Rasul sebagai pembawa wahyu sekaligus sebagai contoh teladan hidup yang benar.

Jika dalam agama Kristen Yesus dikatakan sebagai firman yang hidup, maka dalam Islam, nabi Muhammad dianggap sebagai perwujudan dari nilai-nilai kebenaran wahyu Al- Qur'an (kana khuluquhu al Qur'an) dan teladan utama manusia (uswah hasanah). Nabi adalah utusan Tuhan kepada masyarakat manusia. Ada Nabi yang diperuntukan bagi sekelompok masyarakat pada suatu zaman, ada yang diperuntukkan bagi ummat manusia secara keseluruhan dan sepanjang masa. Menurut pandangan Islam, Nabi Muhammad adalah nabi penutup atau Nabi terakhir yang ajarannya berlaku bagi seluruh ummat manusia hingga akhir zaman. Secara mendasar tidak ada pertentangan antara wahyu yang dibawa oleh Nabi terdahulu dengan yang dibawa oleh Nabi terkemudian, karena kesemuanya berasal dari sumber yang sama (min manba'in wahid).

Wujud Akhlak manusia kepada Nabi. Ketika seorang Nabi masih hidup, maka secara etis dan rasionil, perilaku manusia yang hidup pada masanya dalam menyongsong kehadiran seorang utusan Tuhan adalah menerima dan menghormati serta percaya kepadanya. Dalam Al Qur'an disebutkan bahwa seorang mukmin harus percaya kepada Nabi (Q/ 7:157) tidak boleh mendustakan Nabi (Q/3:184), tidak boleh berbicara terlalu keras di hadapannya atau sopan (Q/49:2),tidak boleh menyakiti hatinya, (Q/33:53) apalagi membunuhnya (Q/3:21). Selanjutnya manusia diperintahkan untuk mencintai dan membelanya dan mengikuti sunnahnya.

Setelah Nabi wafat, perilaku seorang mukmin terhadap Nabinya adalah:
(a) Mengikuti sunnahnya. Sunnah mengandung pengertian lebih luas dibanding hadist. Sunnah Nabi adalah perilaku keseharian yang dicontohkan oleh Nabi, baik ketika beliau sedang menjalankan ibadah, sedang menjadi kepala keluarga, sedang menjadi kepala negara, sedang menjadi sahabat, menjadi warga masyarakat, menjadi panglima perang dan seterusnya. Yang sering diperdebatkan adalah apakah sunnah Nabi yang harus diikuti itu terbatas kepada perbuatan Nabi sebagai Rasul, atau juga perbuatan nabi sebagai basyar, sebagai manusia biasa.

Jumhur ulama berpendapat bahwa seluruh perilaku Nabi, baik ketika menjalankan tugas kerasulan maupun sebagai manusia biasa adalah sunnah yang harus diikuti, karena perbuatan Nabi sebagai manusia biasapun disinari oleh wahyu sehingga tidak ada satupun perbuatan Nabi yang tercela. Kritikan orientalist kepada perilaku Nabi Muhammad —tentang poligami misalnya— pada umumnya tidak cermat karena analisisnya tidak konprehensip.

(b) Mencintai Nabi. Wujud cinta kepada Nabi antara lain dalam bentuk mengikuti sunnahnya, membaca salawat kepada nya, memberi nama anak-cucu dengan nama-nama yang berhubungan dengan Nabi, dan mengutamakan mengikuti sunnah nabi dari mengikuti hal-hal lain. Salawat adalah doa ma'tsurah, doa yang diajarkan Nabi bahkan diperintahkan dalam al Qur'an. Bagi Nabi sendiri sebagai Rasul yang ma'sum sebenarnya doa ummatnya tidak berpengaruh apa-apa, tetapi salawat lebih merupakan kebutuhan orang yang membaca karena mengharap syafaat Nabi kelak di akhirat. Adapun memperingati maulid Nabi lebih merupakan kebudayaan dan kebutuhan sosial masyarakat Islam, bukan anjuran Nabi.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger