Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Thursday, June 23, 2011

Proklamasi Kemerdekaan
Penjajahan Jepang, meski singkat dan sangat keras, tetapi berhasil mangakumulasi kesadaran nasional untuk merdeka. Islam merupakan agama mayoritas penduduk Indonesia, tetapi para pendiri negara Republik Indonesia pada tahun 1945 tidak merujuk sejarah Islam atau contoh di Dunia Islam dalam membangun negara bangsa. Tokoh Nasionalis Muslim sekaliber HOS Cokroaminoto dan Agus Salim rupanya memiliki kemampuan untuk memahami komunitas Indonesia yang terbuka dan egaliter partisipatif. Pendidikan modern telah membantu mereka memahami konsep-konsep nasionalisme modern yang berlawanan dengan konsep-konsep kekuasaan para raja feodal.

Tetapi religiusitas para faunding father negeri kita nampak jelas seperti yang dapat dibaca pada pembukaan UUD 45, bahwa kemerdekaan RI adalah atas berkat rahmat Allah, dan hubungan vertikal negara dengan agama dituangkan dalam fasal 29 UUD 45, negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pergumulan Nasionalisme Vs. Islamisme
Perdebatan dalam Panitia Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (PPKI) berlangsung sangat seru dan dinamis tetapi sehat, karena dilakukan oleh tokoh-tokoh negarawan yang mengedepankan kepentingan bangsa melebihi kepentingan kelompok dan pribadi. Secara garis besar mereka terdiri dari kelompok nasionalis muslim dan tokoh Islam nasionalis. Kebesaran jiwa mereka nampak sekali, tercermin pada persetujuan AA. Maramis yang beragama Kristen terhadap rancangan Piagam Jakarta, dan kesediaan tokoh-tokoh Islam untuk mencoret tujuh kata-kata dalam Piagam Jakarta demi tercapainya kemerdekaan Republik Indonesia.

Dekrit 5 Juli 1959
Pergumulan pemikiran nasionalisme dengan Islamisme dalam perumusan konstitusi Indonesia sesungguhnya justeru mencerminkan jati diri nasionalis religius dari bangsa Indonesia. Tokoh Islam yang membawa aspirasi Islamisme seperti Moh. Natsir adalah seratus persen tokoh nasionalis, sementara banyak pembawa aspirasi nasionalis seperti Bung Hatta adalah tokoh yang juga taat beribadah. Adu argumen dari para pemimpin bangsa ini sangat sehat, jauh dari trik-trik konyol. Kekentalan corak nasionalis religius juga tercermin dalam hasil Pemilu pertama 1955 sehingga tarik ulur nasionalis vs. Islamisme dalam Majelis Konstituante tak pernah melahirkan pemenang. Ujung dari pergumulan itu akhirnya diselesaikan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dimana konstitusi dikembalikan kepada UUD 45 dan dinyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai seluruh batang tubuh UUD 45.

Dari Orde Lama hingga Reformasi
Bung Karno sesunguhnya adalah tokoh besar dalam sejarah. Ia berhasil menggelorakan semangat nasionalisme Indonesia. Tetapi sebagai manusia , beliau juga mempunyai kelemahan. Bung Karno tergoda untuk melanggar konstitusi (UUD 45) yang disusunnya. Pemilu ditiadakan, anggauta parlemen diangkat, masa jabatan lima tahunan diganti menjadi presiden seumur hidup, jabatan presiden dirasa kurang besar sehingga diperkenalkan jabatan Pemimpin Besar Revolusi. Sudah menjadi sunnatulloh dalam sejarah, penyimpangan akan berakhir dengan kejatuhan (1965), dan periode Bung Karno disebut orde lama.

Pak Harto adalah sosok yang sangat tepat hadir pada tahun 1965. Orangnya muda, kuat, suka senyum tetapi kemauannya tak bisa dibantah. Pak Harto berhasil mengubah orientasi politik nasional ke jalur ekonomi. Rasanya pada pertengahan masa Suharto, bangsa hidup tenang dan berpengharapan masa depan. Tetapi, lagi-lagi Pak Harto juga tergoda untuk melanggengkan kekuasaan. Jika Bung Karno 20 tahun, Pak Harto malah duduk di kursi kekuasaan selama 32 tahun. Ketergodaan itulah yang membuat demokrasi direkayasa, ekonomi seolah-olah maju , bangsa seakan-akan mau tinggal landas, nyatanya tertinggal di landasan. Di akhir penutup abad 20 pak Harto dengan orde Barunya dijatuhkan oleh gerakan reformasi.

Amin Rais CS disebut sebagai penarik gerbong reformasi, tetapi sekali lagi, reformasi 1998 tidak konsepsional, lebih bersifat emosional, didorong oleh kemarahan kepada Pak harto, Gol Kar, ABRI dan Orde Baru. Akibatnya reformasi gagal mengantar bangsa pada sistem kenegaraan yang mapan, sebaliknya justeru menjerumuskannya pada sistem yang tumpang tindih. Kini tidak mudah bagi bangsa untuk kembali ke tatanan yang mapan. Jika di Amerika, kebebasan itu relefan dengan kesejahteraan rakyat, di Indonesia kini, kebebasan justeru sering mengganggu kesejahteraan.

Teori Sosiologi Ibn Khaldun
Menurut Ibn Khaldun, jatuh bangunnya bangsa ditandai oleh lahirnya tiga generasi; generasi pendobrak, generasi pembangun dan generasi penikmat. Jika generasi penikmat sudah menjadi mayoritas maka akan muncul generasi keempat, yaitu mereka yang tidak menghargai masa lalu dan tidak mempedulikan masa depan. Mereka tidak bisa menghormati pahlawan yang telah gugur, dan juga tidak peduli nasib generasi anak cucu. Proses jatuh bangunnya bangsa itu berlangsung selama satu abad.

Jika teori ini kita gunakan untuk membedah sejarah negeri kita, ketika bangsa ini baru berusia 60 tahun lebih, ada satu dua generasi pendobrak yang masih hidup (angkatan 45), generasi pembangun masih belum selesai bongkar pasang, sudah mulai mucul generasi penikmat, yaitu mereka yang sibuk menikmati tanpa berfikir membangun, sibuk menebang tanpa berfikir menanam. Dibutuhkan kesadaran nasional untuk jangan sampai muncul generasi ke empat. Kita masih punya waktu 35 tahun untuk membalik sejarah, meluruskan kembali kiblat hidup berbangsa.

Negeri Pesantren
Sekarang jarang sekali orang berfikir panjang, dan mendalam dalam kehidupan berbangsa. Agendanya selalu pendek lima tahunan, pilkada atau pilleg atau pilpres. Akibatnya wajah Indonesia sekarang nampak sebagai jejak improvisasi, bukan jejak konsep besar seperti yang dibayangkan oleh para pendiri negeri ini 60-75 tahun yang lalu. Dalam kegalauan ini terbayang kata-kata Syekh Nazim al Qubrusy yang mengatakan bahwa Indonesia didesain oleh para wali.

Dari itu saya sangat tergoda untuk menggulirkan budaya Pesantren sebagai pondasi psikologis dan spiritual bangsa Indonesia. Ada tiga karakter Pesantren yang bisa menjadi pondasi budaya bangsa, yaitu kesederhanaan, sikap tasamuh atau toleransi dan akrab dengan tradisi. Tiga pilar ini cukup untuk menghadapi gempuran budaya global. Kesederhanaan bisa melawan budaya hedonis materialis, tasamuh bisa melawan radikalisme, dan tradisi bisa menjadi filter gempuran budaya asing melalui media global.

Sebagai bangsa kita bisa belajar kepada pengalaman bangsa lain.Paling tidak ada lima Negara dapat diambil sebagai pelajaran pada era global ini, yaitu Cina, India, Turki, Iran dan Jepang. Kelima Negara ini dipandang mampu mensikapi perubahan dunia dengan modal pondasi budaya mereka sendiri. Khudzil hikmah walau min ayyi biladin khorojat. Kata kyai di Pesantren. Ambillah pelajaran dari negeri manapun resep itu datang. Wa
lohu a`lamu bissawab.l

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, June 22, 2011

Bhinneka Tunggal Ika
Indonesia adalah realita kebangsaan dengan ciri-ciri budaya yang dapat dikenali sebagai khas Indonesia, dengan bahasa nasional yang juga khas Indonesia. Keberadaan Indonesia sebagai satu bangsa tidak terjadi secara tiba-tiba tetapi melalui proses sejarah yang bukan saja tidak mudah, tetapi penuh dengan dinamika konflik.

Cita-cita kebangsaan tidak selamanya berada di jalan lurus, terkadang menyimpang ke kiri dan ke kanan, Dalam usia kemerdekaan yang telah mencapai lebih dari setengah abad, bangsa Indonesia masih tergolong bangsa baru, yang masih harus terus menyempurnakan proses penjadian dirinya menjadi bangsa (nation in making).

Era reformasi telah menyadarkan kepada kita bahwa problem yang dihadapi oleh bangsa dewasa ini sungguh sangat Besar, Berat dan Rumit, yang oleh karena itu kita harus mampu melihat hubungan logis antara “krisis” yang kita derita sekarang dengan dinamika kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan bangsa.

Dari Nusantara Hingga Indonesia
Sudah menjadi kodrat sejarah bahwa penghuni kawasan ribuan pulau (Nusantara) di Asia Tenggara ini disatukan dalam satu kesatuan kebangsaan, bangsa Indonesia.
Ribuan pulau, ratusan bahasa, ratusan suku, beragam-ragam tradisi, nilai budaya dan keyakinan agama, karena kodrat sejarah membuatnya tetap bersatu. Sejarah tidak bisa direkayasa. Penjajahan Barat yang berlangsung lebih dari tiga abad, meski direkayasa dengan politik pecah belah justeru mengantar pada kesatuan wilayah yang sekarang dinamakan wawasan Nusantara.

Penjajahan dan politik pecah belah justeru telah menumbuhkan kesadaran bahwa perbedaan tidak menghalangi persatuan, bahwa persatuan akan mengubah perbedaan menjadi kekuatan. Kesadaran kebangsaan ini merupakan naluri bangsa Indonesia. Oleh karena itu pergumulan pemikiran dan konflik-konflik yang pernah terjadi haruslah difahami sebagai dinamika sejarah kebangsaan.

Akar Klassik Nasionalis Religius
Kawasan Asia Tengara sudah lama menarik perhatian saudagar dari anak benua India dan Timur Tengah karena adanya komoditi yang eksotik, yaitu rempah-rempah dan wewangian. Dari kawasan Anak Benua, datang saudagar yang beragama Hindu dan Budha, dan pengaruh politik mereka tercermin pada berkembangnya budaya bercorak India dan peran utama bahasa Sanskerta. Jejak ke India-an kawasan ini secara antropologis dapat dilihat dalam nama Indonesia yang artinya “Kepulauan India”, sejalan dengan daratan tenggara Asia yang disebut Indocina, yakni “Cina-India”. Jejak agama India ini tersimbolkan dalam candi Borobudur yang lebih melebar ke segala penjuru, sesuai dengan jiwa agama Budha yang meluas dan egaliter, dan candi Roro Jongrang (Prambanan) yang vertikal dan menjulang, sesuai dengan sifat agama Hindu yang mendalam dan bertingkat.

Budhisme merupakan falsafah kerajaan luar Jawa (Sriwijaya) yang bersemangat bahari, dan Hinduisme merupakan falsafah kerajaam Majapahit yang bertumpu pada kesuburan tanah pertanian Jawa. Karena Majapahit berdiri di latar belakang kejayaan Budhisme (Borobudur) dan Hinduisme (Roro Jongrang) sekaligus maka failasuf Majapahit (Empu Tantular) mengembangkan konsep rekonsiliasi dalam semangat kemajemukan, beraneka ragam tetapi hakikatnya satu, Bhineka Tunggal Ika atau Tan Hana Dharma Mangroa.

Kehadiran Budaya Kosmopolit Islam
Pada saat memuncaknya peradaban Islam, maka budaya Islam merupakan pola budaya umum seluruh belahan bumi Timur, bahkan sekaligus merupakan budaya global, karena ketika itu benua Amerika sebagai belahan bumi barat belum ditemukan. Karakteristik peradaban Islam yang mengglobal itu memudahkan peneguhan agama Islam di Asia Tengara. Peranan saudagar anak benua India berlanjut terus tetapi mereka tidak lagi beragama Hindu dan Budha melainkan Islam. Pola budaya Perso Arab sebagai buah masuk Islamnya imperium Persia, kemudian menggeser pola budaya Sanskerta. Perkembangan selanjutnya, pola budaya Perso-Arab digantikan oleh pola budaya yang bercorak Arab dengan dominasi bahasa Arab, tergambar pada banyaknya kata-kata Arab dalam bahasa Melayu dan Indonesia. Kerajaan Hindu-Budha (Majapahit-Sriwijaya) yang memasuki masa senja digantikan oleh munculnya kerajaan-kerajaan Islam (Aceh, Demak, Mataram, Ternate dll.).

Datangnya Kolonialisme/Imperialisme Eropa
Setelah tujuh abad peradaban Islam menjadi peradaban dunia, giliran bangsa Eropa bangkit. Bersamaan dengan melemahnya peradaban Islam, bangsa-bangsa Eropa, terutama dari Semenanjung Liberia (Spanyol dan Portugis) mengembara, mencari jalan sendiri ke India dan Timur Jauh, yang sebelumnya dikuasai saudagar Islam. Mereka bahkan menemukan benua Amerika. Satu persatu pusat-pusat kekuasaan Islam ditaklukkan, termasuk Malaka yang menjadi pusat perdagangan dan peradaban Islam Asia Tenggara. Sejak itulah era kolonialisme dan imperialisme Eropa menguasai wilayah-wilayah negeri-negeri Islam. Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda mengkapling-kapling wilayah Nusantara, tetapi penjajahan terlama terhadap Indonesia dilakukan oleh Belanda. Sungguh Ironis bahwa bangsa-bangsa Barat mampu mengungguli bangsa-bangsa Muslim setelah mereka mengadopsi ilmu pengetahuan Islam, dan pandangan hidup muslim yang egalitarian, partisipasi dan keterbukaan atas dasar kebebasan memilih, sementara pada saat yang sama dunia Islam kembali tersekat oleh kejumudan, feodalisme dan politik despotik-otokratik-totaliter.

Perlawanan paling sengit terhadap kolonialis Eropa dilakukan oleh Sultan dan Ulama, terutama di wilayah bandar-bandar perdagangan, oleh karena itu pahlawan nasional kita pada masa itu kebanyakan para sultan dan ulama. Penjajahan yang berlangsung lebih dari tiga abad mengobarkan semangat perang budaya dari kaum santri, yaitu boikot total terhadap semua yang berbau Belanda. Di satu sisi boikot budaya ini sangat efektip melindungi ummat dari pengaruh kolonial, tetapi di sisi lain sangat merugikan karena boikot total menjadikan kaum santri tidak bisa melakukan interaksi sosial dengan per¬kembangan modern, yang menyebabkan mereka terpinggirkan dalam proses modernisasi. Dampak negatif dari politik boikot ini masih terasa hingga zaman kemerdekaan, dimana kaum santri tetap memandang segala sesuatu yang datang dari Pemerintah (misalnya sistem pendidikan) sebagai urusan duniawi yang haram atau makruh. Kini bahkan masih ada yang memandang Pemerintah sebagai thoghut dan hormat bendera merah putih dalam upacara bendera sebagai dosa syirik. Marginalisasi dan deprivasi ulama dan masyarakat santri dalam bidang pendidikan masih mewariskan kesulitan bangsa dan negara hingga kini, satu masalah yang tidak boleh dianggap sepele.

Tumbuhnya Kesadaran Nasionalisme Modern
Pada masa pra kolonialisme, wilayah nusantara lebih luas dibanding Indonesia sekarang, tetapi harus diakui bahwa konsep wilayah Indonesia dari Sabang hingga Merauke berasal dari administrasi Pemerintah Hindia Belanda, Meski demikian Lahirnya negara nasional Indonesia tidak berasal dari konsep Belanda. Dalam upaya melanggengkan penjajahannya di Indonesia, Pemerintah Hindia Belanda membuat kebijakan yang menghambat perkembangan kecerdasan pribumi. Dari segi hukum, stratifikasi penduduk tanah jajahan dibagi menjadi empat; tertingi penduduk Eropa, kemudian Timur Asing (Cina dan Arab), kemudian aristokrat pribumi (priyayi) dan baru rakyat biasa. Stratifikasi ini juga diwujudkan dalam sistem pendi¬dikan; khusus untuk orang Eropa (ELS), kemudian sekolah khusus untuk golongan Timur Asing (HAS dan HCS), kemudian sekolah untuk golongan priyayi (HIS), baru sekolah untuk rakyat umum, yaitu Volkse School (Sekolah Ongko Siji) dan Tweede Volkse School (Sekolah Ongko Loro). Dari sistem pendidikan yang dibuat oleh Belanda itu tidak memungkinkan orang Indonsia dapat menjadi terpelajar, kecuali priyayi yang sekolahanya justeru didesain untuk kepentingan penjajahan.
Satu hal yang tak diduga Belanda, dari STOVIA dan NIAS yakni dua sekolah kedokteran Jawa yang di Jakarta dan Surabaya muncul bibit-bibit nasionalisme modern, seperti Dr. Wahidin dan DR. Sutomo. Demikian juga priyayi yang sekolah di negeri Belanda mengalami pencerahan nasionalisme. Walhasil, pada paruh pertama abad XX, tumbuhlah kesadaran nasio¬nalisme modern, baik yang bersifat nasionalis seperti Yong Java, maupun yang bernuansa Islam, seperti Yong Islamitten Bond, Serikat Dagang Islam , Sumpah Pemuda dan lain-lain. Kesadaran nasionalis modern itulah yang nantinya mengantar pada Proklamasi Kemerdekaan 1945.

Read More
posted by : Mubarok institute
KESADARAN HIDUP BERBANGSA
Pendahuluan
Pada tahun 1998 dalam acara sarasehan sufisme international yang dihadiri 100 negara , dan diselenggarakan di ibu kota Amerika, Washington DC, saya berjumpa dengan Syekh Nazim, ~Adil al Qubrusy, mursyid tarekat Naqsyabandi Siprus Turki. Pada tahun itu bangsa Indonesia sedang dalam tikungan tajam sejarah berupa gerakan reformasi pasca jatuhnya Presiden Suharto. Dikala itu terus terang saya sebagai warga Negara dilanda kebimbangan antara optimisme reformasi dan kegamangan masa depan bangsa, karena gerakan reformasi ketika itu menginginkan reformasi ekonomi dan politik sekaligus, padahal tidak ada contohnya dalam sejarah , reformasi ekonomi yang dilakukan serentak dengan reformasi ekonomi yang berhasil.Uni Sovyet, negeri super power sebelumnya melakukan hal yang sama, glassnot dan perestoika. Hasilnya, Uni Sovyet kemudian bubar. Yugoslaviapun menyusul di belakangnya.


Didorong oleh rasa kegalauan, saya mohon doa kepada Syekh Nazim, saya berkata (dalam Bahasa Inggris pas pasan) Syekh, mohon doa, negeri kami Indonesia sedang dalam persimpangan jalan. Eh tiba-tiba beliau menjawab dengan sangat spontan. Oh iya, ini para aulia sedang sangat sibuk memikirkan Indonesia, karena negeri anda ini dulunya di desain oleh para wali. Desain itulah yang membuat Indonesia berbeda dengan Andalusia atau Spanyol.

Refleksi Kebangsaan
Ketika baru mendengar, pernyataan Syekh Tarekat Naqsyabandi itu rasanya biasa saja, mungkin karena sedang dalam kesibukan acara international. Tetapi setelah pulang ke tanah air, pernyataan itu selalu terngiang-ngiang, dan akhirnya melalui perenungan sejarah dunia, memang terasa ada jejak spiritual dalam proses terbangunnya bangsa Indonesia ini. Sekarang memang menjadi sangat berbeda antara Indonesia dan Spanyol.

Spanyol, dulu disebut Andalusia pernah menjadi negeri muslim selama 700 tahun. Istana Al Hambra, patung-patung ilmuwan antara lain al Khawarizmi dan lantunan musik Spanyol adalah tinggalan sejarah Islam. Begitu kokohnya daulah Islamiyah disana hingga mereka nyaris menaklukkan Perancis. Yang menarik, ketika kekuatan politik Islam tergusur, maka tergusur pula agama Islam dari negeri Eropa itu sehingga sekarang, Islam di sana hanya tinggal bangunan dan patung-patung. Mengapa ? karena Islam datang ke Eropa dengan pedang, maka dengan pedang pula mereka terusir dari Eropa.

Adapun ke Indonesia, Islam dibawa oleh para wali, terkenal dengan nama Wali Songo. Mereka membawa Islam tidak dengan pedang, tetapi melalui akulturasi budaya. Para wali membiarkan bentuk-bentuk budaya masyarakat Jawa, yang diubah hanya isinya, sehingga banyak orang Jawa yang tanpa disadari sudah menjadi muslim. Proses lembut dalam dakwah membuat Islam menjadi tradisi. Karena menjadi tradisi, maka Islam terasa nyaman di hati, kokoh di bumi. 350 tahun lebih penjajahan Belanda berlangsung di Nusantara ini, tetapi Islam tetap utuh hingga hari ini. Diantara “produk” akulturasi budaya yang hingga hari ini tetap membumi antara lain tumpeng, arsitektur kabupaten dan pesantren.

a. Konsep tumpeng
Dulu para wali menjumpai tradisi masyarakat Jawa berhubungan dengan kematian keluarga berupa lek-lekan pada malam ke tiga, ketujuh, ke empatpuluh, dan ke seratus. Supaya tahan lama lek-lekan maka dilengkapi minuman keras dan judi (semacam gaple). Para wali membiarkan bentuk tradisi kumpul-kumpul malam ke tiga, tujuh, empat puluh dan seratus, tetapi isinya diganti dengan bacaan kalimah tayyibah. Makanannya diganti tumpeng. Tumpeng adalah konsep tauhid. Dibawah lebar dengan berbagai lauk, kemudian mengerucut ke satu titik diatas. Makna yang diajarkan ialah bahwa manusia itu levelnya macam-macam, ada yang masih kelas tempe dan ada yang sudah maqam ayam, tetapi kesemuanya akan menuju kepada Tuhan yang Satu di atas. Karena tumpeng itu konsep tauhid, maka kemudian disakralkan, orang yang membawa pulang nasi tumpeng disebut memperoleh berkah. bahasa jawanya brekat.

b. Arsitektur kabupaten
Denah kabupaten sesungguhnya mengandung konsep teologi politik. Kabupaten adalah tempat tinggal dan kantor ulil amri. Didepannya ada alun-alun sebagai medan kehidupan rakyat, di tengahnya ada pohon beringin sebagai tempat berteduh. Jika ada rakyat yang baik maka ia dimasukkan ashabul yamin berwujud masjid kauman yang ada di sebelah kanan. Nah rakyat yang jahat masuk kategori ashabus syimal, maka mereka dimasukkan ke penjara yang ada disebelah kiri.

c. Pesantren
Awal mula model pendidikan pesantren ada di Yunani, yakni asrama tempat tinggal murid yang belajar filsafat , disebut pondok heyon. Ketika budaya Yunani runtuh dan muncul era sejarah Islam, budaya Yunani dihidupkan oleh peradaban Islam, terutama pada masa Daulah Abbasiah. Asrama musafir penuntut ilmu pada waktu itu disebut funduq. Sekarang funduq dalam bahasa Arab artinya hoitel. Di Afrika, asrama itu disebut ribath, pada masa Imam Ghazali disebut zawiyah dan haniqah. Ketika para wali berdakwah di Jawa, dijumpai sistem pendidikan berasrama yang dikenal sebagai padepokan, dengan dua unsur guru (shastri) dan murid (cantrik). Para wali mengambil oper bentuk itu dengan menyebut murid sebagai cantrik, dan asramanya menjadi pecantrikan. Lidah Arab susah menyebut huruf c, maka kata cantrik bergeser menjadi santri, pecantrikan menjadi pesantren. Lama-kelamaan konsep funduq ikut digabung menjadi fondok pesantren. Pada masa kerajaan Islam di Jawa, Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan bagi calon-calon pemimpin (keluarga raja) dan cendekiawan (ulama).

Akar sosiologis Bangsa Indonesia
Hampir setahun lalu, di Singapura saya berkesempatan nonton pagelaran seni Matah Ati-Pangeran Samber Nyowo dari kraton Mangkunegaran. Pagelaran internasional itu sangat memukau dari semua aspek, tapi inti yang terpenting pagelaran itu menggambarkan kentalnya budaya Jawa dengan segala kearifan lokalnya. Yang sangat menarik ialah epilog dari pagelaran seni adalah zikir kalimah la ilaha illalloh muhammadur Rasululloh. Maknanya, apapun bentuk dan corak budaya Jawa (baca “Indonesia”) substansinya sesungguhnya adalah Islam. Islam tidak bisa dihapus dari bumi Indonesia, karena sudah menyatu dengan tradisi. Generasi sekarang harus menyadari bahwa pondasi sosiologis Indonesia adalah spiritualisme Islam yang menyatu dalam budaya. Bangunan kebangsaan yang tidak sesuai dengan pondasinya tidak pernah akan kokoh berdiri.

Read More
posted by : Mubarok institute

Tuesday, June 07, 2011

Tujuan dan Fungsi Konseling Agama
Pemberian bantuan psikologis berupa konseling agama dapat disebut sebagai kegiatan dakwah dengan obyek khusus, yaitu orang perorang yang bermasalah. Jika dakwah bertujuan mengubah tingkah laku manusia agar mereka memperoleh kebahagiaan dunia akhirat, maka pemberian konseling juga bertujuan sama. Secara teknis, tujuan konseling agama dapat dibagi menjadi dua, tujuan umum dan tujuan khusus.

Tujuan Umum Konseling Agama
Konseling agama bukanlah penyuluhan agama dalam artian penerangan agama seperti yang dilakukan juru penerang agama atau pegawai Departemen Agama di desa-desa, tetapi merupakan bimbingan dan penyuluhan (konseling) kehidupan secara umum dengan menggunakan pendekatan agama (Islam). Penerangan agama lebih merupakan penyampaian informasi kepada umum, sedangkan konseling agama merupakan pekerjaan yang sifatnya khusus berupa pemberian batuan psikologis dan ditujukan kepada orang-orang khusus pula, yaitu orang yang bermasalah.

Tujuan umum dari konseling agama ialah membantu klien agar ia memiliki pengetahuan tentang posisi dirinya dan memiliki keberanian mengambil keputusan untuk melakukan seuatu perbuatan yang dipandang baik, benar dan bermanfaat untuk kehidupannya di dunia dan untuk kepentingan akhiratnya.
Target pertama dari konseling agama ialah membantu klien agar ia mengetahui siapa dirinya, apa posisinya dan bagaimana kapasitasnya sendiri. Perilaku menyimpang yang dilakukan seseorang biasanya karena ketika itu ia mengalami alienansi, atau keterasingan diri, tidak jelas siapa dirinya, dan apa posisinya diantara orang lain (orang tua, anak, murid, guru, atasan, bawahan, kekasih dsb). Demikian juga orang yang terang-terangan berbuat maksiat dan tidak mau menjalankan ibadah adalah juga orang yang ketika itu tidak tahu siapa dirinya dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah.

Oleh karena itu maka ia tidak merasa harus taat kepada (Tuhan) yang dia tidak mengenalnya, apa lagi untuk mensyukuri terhadap apa yang dia sendiri tidak merasa diberi apa-apa oleh entah siapa. Dalam hal ini rasul pernah bersabda yang artinya barang siapa mengenal dirinya pasti ia mengenal siapa Tuhannya.
Manusia adalah makhluk yang berfikir dan merasa setiap kali menjumpai suatu rangsang terhadap realita, maka ia merespond, menangkap, mengolah dan menyimpan dalam memorinya sebelum bereaksi. Dalam proses pengolahan persepsi sampai menjadi informasi, banyak hal mempengaruhinya dari faktor biologis, sosiologis sampai pada masalah ruhaniah yang melingkupinya. Oleh karena itu seseorang mungkin tepat persepsinya terhadap sesuatu, tetapi orang lain mungkin bisa keliru persepsi karena perbedaan hal yang mempengaruhinya.

Ada sebagian orang yang karena beratnya beban psikologis, menjadi kurang peka perasaannya, kurang cermat pengamatannya, dan kurang jelas orientasinya. Dalam keadaan tertentu, seseorang terkadang merasa dirinya kurang wajar, sehingga ia juga tidak wajar jika berasama dengan orang lain yang tampaknya tak wajar. Dalam kondisi kejiwaan seperti itu seseorang akan sulit mengambil keputusan dengan pertimbangan yang jernih. Ia tidak bisa memutuskan sesuatu, dan bahkan ia tidak tahu apa yang ia inginkan.

Orang dalam kondisi kejiwaan seperti itu biasanya kurang menyadari posisinya, bahwa ia misalnya adalah seorang ayah dimana anak-anaknya sangat menyayangi dan membutuhkan, atau sebagian orang pandai yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh orang-orang sekelilingnya. Perasaan disayangi, dihormati, dan dibutuhkan biasanya membuat hidup menjadi bermakna, maka akibat oran itu tidak tahu bahwa ia dibutuhkan dan dihormati (karena ia tidak menyadari posisinya), maka ia menjadi orang asing yang tak berdaya dan tak berkemauan. Keterasingan dari keluarganya, teman dekatnya dan dari masyarakatnya. Ia merasa tidak wajar, tidak berguna, tak berpengharapan, dan sudah barang tentu tak bahagia, meskipun sebenarnya ia memiliki banyak kemampuan dan banyak pula yang membutuhkan.

Tujuan Khusus Konseling Agama
Dari kasus-kasus klien seperti tersebut diatas, maka tujuan khusus konseling Agama adalah :
a) Untuk membantu klien agar tidak menghadapi masalah
b) Jika sudah terlanjur bermasalah, maka konseling dilakukan dengan tujuan membantu klien agar dapat mengatasi masalah yang dihadapi.
c) Kepada klien yang sudah berhasil disembuhkan, maka konseling agama bertujuab agar klien dapat memelihara kesegaran jiwanya dan bahkan dapat mengembangkan potensi dirinya supaya dirinya tidak menjadi sumber masalah bagi dirinya dan orang lain.

Fungsi Kegiatan Konseling Agama
Dilihat dari beragamnya keadaan klien yang membutuhkan bantuan konseling agama, maka fungsi kegiatan ini bagi klien dapat dibagi menjadi empat tingkat.
a) Konseling sebagai langkah pencegahan (preventif)
Konseling pada tingkat ini ditujukan kepada orang-orang yang diduga memiliki peluang untuk menderita gangguan kejiwaan (kelompok beresiko), misalnya orang-orang yang terlalu berat penghidupannya, orang-orang yang bekerja amat sibuk seperti mesin, orang-orang yang tersingkir atau teraniaya oleh sistem sosial, atau orang yang kapasitas jiwanya tidak sanggup menghadapi kehidupan modern, atau orang yang menghadapi keruwetan hidup. Kegiatan konseling yang bersifat preventif ini harus dilakukan secara aktif, terprogram dan bersistem. Konselor bukannya menunggu klien, tetapi merekalah yang harus mendatangi kelompok beresiko ini, seperti hisbah yang dilakukan oleh para muhtasib pada zaman Umar bin al Khattab. Program kegiatan semacam pengajian, kunjungan sosial, olah raga, kerja bakti sosial dapat juga berfungsi sebagai bentuk pencegahan.

b) Konseling sebagai langkah kuratif atau korektif
Konseling dalam fungsi ini sifatnya memberi bantuan kepada individu klien memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Dalam hal ini informasi perlu disebarkan kepada masyarakat luas bahwa konselor A atau bahwa lembaga Klinik konsultasi Agama tertentu dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan untuk konseling agama. Diinformasikan bahwa konseling agama dapat membantu memecahkan masalah kejiwaan yang dihadapi orang. Informasi ini dapat disebar luaskan melalului media komunikasi, atau melalui masjid, majlis taklim dsb.

c) Konseling sebagai langkah pemeliharaan (preservatif)
Konseling ini membantu klien yang sudah sembuh agar tetap sehat, tidak mengalami problem yang pernah dihadapi. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan membentuk semacam club yang anggotanya para klien atau ex klien dengan menawarkan program-program yangterjadwal, misalnya ceramah-ceramah keagamaan atau keilmuan, program aksi social untuk kelompok, masyarakat tidak mampu, misalnya secara aktif menghimpun dana bagi pasien tak mampu di rumah sakit, panti asuhan, atau panti jompo, atau menawarkan program produktif berupa penghimpunan dana bagi beasiswa mahasiswa berprestasi tapi tidak mampu, atau menawarkan program wisata ziarah. Di Jakarta lembaga yang sudah melaksanakan fungsi ini adalah Lembaga Pendidikan Kesehatan Jiwa (LPKJ) Bina Amaliah yang didirikan oleh Dr. Zakiah Darajat.

d) Fungsi pengembangan (developmental)
Konseling dalam fungsi ini adalah membantu klien yang sudah sembuh agar dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya pada kegiatan yang lebik baik. Konseling dalam fungsi ini dapat dilakukan dengan mendirikan semacam club, dengan penekanan pada program yang terarah, yang melibatkan anggota, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun pengembangan. Klien yang sudah sehat dapat diajak untuk menjadi pengurus dari lembaga-lembaga yang melaksanakan kegiatan social, pendidikan, dan keagamaan. Dengan aktif sebagai pengurus, maka ia bukan hanya menyembuhkan diri sendiri tetapi bahkan menyembuhkan orang lain yang belum sembuh.

Sistematika Terapi Psikologis Dalam Konseling Agama
Seseorang klien yang semula mengidap alienasi atau keterasingan diri sehingga ia tidak berani mengambil suatu keputusan untuk melakukan suatu tindakan dan bahkan tidak tahu lagi apa sebenarnya yang diinginkan, dapat dibantu memecahkan persoalannya dengan langkah-langkah sbb:
a. Diajak memahami realita apa sebenarnya yang sedang dihadapi, misalnya tentang ditinggal keluarga, dicerai suami, kehilangan jabatan, kehilangan harta, kehilangan kekasih, sakit yang berkepanjangan, dizalimi orang yang selama ini dibantu dsb., bahwa realita itu adalah benar-benar realita yang harus dihadapi, dan harus diterima, suka atau tidak suka karena itu memang realita.

b. Diajak mengenali kembali siapa sebenarnya dia itu, apa posisinya dan apa kemampuan-kemampuan yang dimilikinya. Misalnya ia harus diingatkan bahwa ia adalah seorang ayah dari sejumlah anak-anak yang membutuhkan kehadirannya, bahwa anak-anak semuanya merindukan dan menyayanginya. Atau misalnya didasarkan bahwa kepandaian yang dimilikinya itu bisa diajarkan kepada orang lain, dan sebenarnya banyak yang membutuhkan dirinya, atau bahwa ia adalah manusia yang sebagai hamba Allah tak bisa mengelak dari kehendak Nya, dan bahwa apa yang dialaminya itu merupakan kehendak Allah yang kita belum tahu apa makna dan hikmahnya.

c. Mengajak klien memahami keadaan yang sedang berlangsung disekitarnya, bahwa ada perubahan-perubahan yang sedang berlangsung, misalnya, perubahan nilai-nilai social, perubahan struktur ekonomi masyarakat, perubahan zaman dsb, dan bahwa perubahan itu merupakan sunatullah yang tidak bisa ditolak, tetapi yang penting bagaimana mensikapi dan mengantisipasinya.

d. Diajak menyakini bahwa Than itu Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha Pengasih dan Penyayang, dan bahwa semua manusia diberi peluang untuk bertaubat dan mendekat kepada Nya. Bahwa ridla Allah adalah tujuan utama dari hidup manusia, bahwa tuhan selalu mendengar doa hamba-hamba Nya, bahwa sifat dengki, iri hati, putus asa adalah tercela dan hanya merugikan diri sendiri, juga bahwa ibadah shalat, puasa, tadarus al Qur’an, haji, bersedekah, membantu orang lain dsb, dapat membantu jiwa menjadi tenteram dan bahwa membuat kemudian salah itu lebih baik dari pada tidak berbuat karena takut salah, dan bahwa niat baik akan mendorong orang berbuat baik.

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, June 06, 2011

Konseling Agama Pada Masyarakat Islam (2)
Konseling Agama Dalam Tradisi Islam Klasik dan Hisbah dalam Tinjauan Konseling Modern

Sebagaimana disebutkan dalam pendahuluan, bahwa Bimbingan dan Konseling Agama dapat dimasukan dalam rumpun dakwah, yakni dakwah kepada orang-orang yang bermasalah. Dalam tradisi Islam klasik, pemberian konseling yang dijumpai juga berada dalam satu nafas dengan kegiatan dakwah.

Menurut Dr. Kamal Ibrahim Mursi, aktivitas konseling agama yang dijumpai pada zaman klasik Islam dikenal dengan nama hisbah, atau ihtisab, konselornya disebut muhtasib, dank lien dari hisbah tersebut dinamakan muhtasab ‘alaih.

Pengertian hisbah

Hisbah menurut pengertian syara’ artinya menyuruh orang (klien) untuk melakukan perbuatan baik yang jelas-jelas ia tinggalkan, dan mencegah perbuatan munkar yang jelas-jelas dikerjakan oleh klien (amar ma’ruf nahi munkar) serta mendamaikan klien yang bermusuhan. Hisbah merupakan panggilan, oleh akrena itu muhtasib melakukannyta semata-mata karena Allah, yakni membantu orang agar dapat mengerjakan hal-hal yang menumbuhkan kesehatan fisik, mental dan sosial, dan menjauhkan mereka dari perbuatan yang merusak. Panggilan untuk melakukan hisbah didasarkan kepada firman Allah:
Artinya: hendaknya ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.merekalah orang-orang yang beruntung. (Q/3:104).
Artinya: Tidak ada kebajikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) member sedekah, atau berbuat ma’ru, atau mengadakan perdamaian diantara manusia. Dan barang siapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar. (Q/:114)

Bentuk amar ma’ruf dalam hisbah ialah menyuruh dan menghendaki kliennya mengerjakan yang ma’ruf, yakni semua hal yang dituntut syara, termasuk perbuatan dan perkataan yang membawa kemaslahatan bagi individu dan masyarakat, yang wajib maupun yang sunat. Sedangkan bentuk nahi munkar, yakni semua yang dilarang syara’, termasuk perbuatan dan perkataan yang mendatangkan kesulitan bagi pribadi dan masyarakat.

Sudah barang tentu hisbah dilakukan dengan prinsif suka sama suka, bersifat sugesti dan intropeksi, sehingga klien menyadari betul manfaat berbuat ma’ruf dan bahayanya perbuatan munkar, kuat motivasi positifnya dn padam motivasi negatipnya.
Hisbah juga dilakukan dengan lemah lembut. Nabi pernah mencontohkan bagaimana menanamkan suatu pengertian kepada orang yang memang belum memiliki pengertian tentang suatu kebaikan dan kemunkaran.
Artinya: Seorang pemuda mendatangi Rasul dan bertanya secara lantang di hadapan orang banyak; Wahai Nabi Allah, apakah engkau dapat mengijinkan aku untuk berzina? Mendengar pertanyaan yang tidak sopan itu orang-orang rebut mau memukulinya, tetapi Nabi segera melarang dan memanggil, Bawalah pemuda itu dekat-dekat padaku. Setelah pemuda itu duduk di dekat Nabi, maka nabi dengan santun bertanya kepada pemuda itu: Bagaimana jika ada orang yang akan menzinahi ibumu? Demi Allah tidak akan membiarkannya, kata pemuda itu. Nabipun meneruskan, nah begitu pula orang tidak akan membiarkan hal itu terjadi pada ibu mereka. Bagaimana jika terhadap anak perempuanmu? Tidak, demi Allah, aku tidak akan membiarkannya, kata si pemuda. Nabi meneruskan, Nah begitu juga orang tidak akan membiarkan putrinya atau saudara perempuannya atau bibinya dizinahi. Nabi kemudian meletakan tangannya ke dada pemuda itu sambil berdoa; Ya Allah bersihkanlah hati pemuda ini, ampunilah dosanya dan jagalah kemaluannya. ( H.R. Ahmad dari Abu Umamah).

Menurut perawi hadist tersebut, sejak peristiwa itu sang pemuda tidak lagi menengok kiri kanan untuk berbuat zina. Dalam hadis itu jelas digambarkan bahwa dalam menghadapi pemuda itu nabi tidak menempatkan diri sebagai subyek yang melarang atau memberi nasehat, tetapi hanya mengantar sang pemuda untuk berfikir jernih tentang implikasi zina bagi orang lain, dan selanjutnya sang pemuda itulah yang harus menjadi subyek dirinya untuk memutuskan sendiri apa yang terbaik bagi dirinya. Secara psikologis, manusia memang satu-satunya makhluk yang bisa menjadi subyek dan obyek sekaligus.

Tentang hukum hisbah, para fuqaha berbeda pendapat antara fardlu ‘ain dan fardlu kifayah. Yang pertama berdasarkan pendapatnya pada firman Allah :
Artinya: orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, yang satu dengan lainnya adalah kekasih dan orang kepercayaannya, mereka selalu beramar makruf dan nahi munkar. (Al taubah, 71)
Artinya: Demi masa, Sesungguhnya manusia senantiasa merugi, kecuali orang yang beriman, beramal saleh dan saling berwasiat tentang kebenaran dan kesabaran (Q/103: 1-3)

Yang berpendapat hukumnya fardlu kifayah mendasarkan pendapatnya pada ayat al Qur’an:
Artinya: hendaklah ada diantara kalian sekelompok orang yang bekerja mengajak kebaikan, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran, merekalah orang-orang yang beruntung. (Ali Imran 104).

Khalifah Umar bin al Khattab adalah orang pertama yang mengatur pelaksanaan hisbah sebagai suatu sistem dengan merekrut dan mengorganisir muhtasib (konselor) dan kemudian menugaskan mereka ke segala pelosok kaum muslimin guna membantu orang-orang yang bermasalah. Khalifah berikutnya juga meneruskan kebijaksanaan Umar, sehingga itu jabatan muhtasib menjadi jabtan yang terhormat di mata masyarakat.

Menurut Ibnu Khaldun, hisbah itu merupakan tugas keagamaan dalam bidang / amar makruf nahi munkar, yang merupakan kewajiban yang harus dijalankan oleh pemerintah.
bentuk-bentuk ihtisab/hisab ketika itu menurut Kamal Ibrahim Mursi antara lain :
a) Pemberian nasehat (mau’idzah hasanah)
Secara umum, yakni dilakukan secara perorangan atau kelompok, di mesjid, di rumah atau di tempat kerja. Tahap ini sifatnya merupakan langkah prefentip.
b) Bimbingan ringan secara individuil
Bentuk hibah ini diberikan kepada orang-orang yang nyata-nyata membutuhkan, diminta atau tidak diminta. Objek bimbingannya bisa menyangkut masalah keagamaan, kerumah tanggaan, kepribadian, pekerjaan dsb.
Dalam menjalankan hisbah dalam bentuk ini, muhtasab ‘alaihi (klien) bedua saja. Bentuk hisbah ini dilakukan untuk mendorong motivasi klien pada kebaikan, dan mendorongnya alergi terhadap kemunkaran, dan menyadarkannya untuk menerima kenyataan secara ikhlas.
c) Bimbingan berat secara individuil
Metode ini dilakukan terhadap orang yang sudah terang-terangan menjalankan perbuatan tercela/ keji, dan terang-terangan pula tidak mau mengerjakan perbuatan baik, orang yang sudah akrab dengan kejahatan dan alergi terhadap kebaikan. Orang pada tingkat seperti ini biasanya sidah tidak mempan terhadap nasehat-nasehat yang lemah lembut.

Kepada orang semacam ini, muhtasib dalam percakapannya sengaja mengunakan kata-kata yang kereas seraya mengingatkan resiko yang akan diterimanya di dunia maupun di akhirat. Jika tidak mau mengubah perilakunya. Muhtasib dengan memposisikan dirinya sebagai seorang sahabat yang mempunyai kepedulian, secara sengaja mengetuk keras-keras pintu hati klien –semacam schok terapi- pintu hatinya bisa terkuak, karena ketukan halus tidak akan pernah didengar atau bahkan ditertawakan.
d) Bimbingan missal
Metode ini digunakan dalam kasus pertikaian, yakni bimbingan untuk mendamaikan perselisihan yang sudah terlanjur terbuka, antara buruh dan majikan, peminjam dan yang dipinjami, penjual dan pembeli, perselisihan anak dan ayah, suami dan isteri dsb. Karena persoalannya sudah terbuaka maka hisbah yang diberikan juga dilakukan secara terbuka, misalnya dalam forum perdamaian.

Sistem hisbah seperti ini berakhir pada akhir masa khalifah Usman bin Affan, selanjutnya pada masa-masa sesudahnya fungsi-fungsi hisbah ini diambil oper oleh aparat pemerintah, dengan nuansa yang berbeda. Pengambil operan hisbah oleh Negara nantinya memunculkan istilah wilayat al hisbah dalam Fiqh Siyasah/ sistem politik Islam seperti yang dibahas oleh al Mawardi dalam al Ahkam as Sulthoniyyah.

Hisbah dalam Tinjauan Konseling Modern
Era globalisasi dunia telah menjadikan planet bumi ini menjadi kecil, jarak menjadi sangat pendek. Peristiwa yang terjadi di suatu pojok dunia dapat diketahui secara serempak oleh manusia-manusia di belahan bumi lainya. Batas budaya, batas peradaban menjadi kabur karena informasi, peristiwa dan perilaku manusia di dunia bisa dilihat secara serempak melalui layar kaca (TV) di rumah-rumah penduduk bumi tanpa memperdulikan norma-norma yang diaut oleh suatu komunitas budaya. Anak-anak, kyai dan pendeta bisa menyaksikan adegan telanjang di TV, atau melalui internet. Gadis kampong yang sedang bekerja menjadi pembantu rumah tangga di kota juga ditawari produk-produk kecantikan yang aduhai di iklan TV majikannya. Pakaian, plesiran, kenyamanan, kenikmatan, gaya hidup dan juga kemaksiatan ditawarkan kepada semua orang yang sudah siap atau yang belum, yang bisa membeli atau yang hanya tergiur, yang siap budaya maupun yang terbelakang, padahal realita menunjukan bahwa strata manusia di muka bumi ini tidaklah sama, sebagian kecil sudah hidup dengan gaya ultra modern, kaum JetSet dan sebangsanya, sebagian baru mencapai taraf modern, sebagian besar masih berada dalam kondisi radisionil, dan masih ada komunitas manusia yang hidup pada zaman batu seperti di Irian Barat atau sangat terbelakang seperti di sebagian Afrika.

Pada zaman globalisasi dunia ini, masyarakat terbelakang dan tradisionil dipaksa untuk menyaksikan perilaku bangsa lain yang sudah maju atau sudah sangat maju dengan segala norma-normanya yang sangat longgar dan liberal. Komunikasi gegap gempita ini akhirnya memakan korban, yakni orang-orang yang belum siap untuk hidup pada era lain yang lebih “maju”. Fenomena dari korban-korban ini dapat dibaca di surat kabar atau televisi yaitu terjadinya proses dehumanisasi dan lunturnya nila-nilai kemanusiaan, melorotnya martabat manusia, melonggarnya nila-nilai etika, merebaknya perilaku menyimpang, meluasnya tindakan kejahatan dan banyaknya pengidap gangguan mental.

Para ahli dan para professional sudah berteriak-teriak mengingatkan bahaya dari fenomena tersebut, tetapi “roda kemajuan” nampaknya tak bisa dihentikan. Pembangunan ekonomi dan fisik semakin menjulang tinggi, tetapi harkat manusia semakin melorot kebawah, sampai-samapi GBHN Indonesia harus secara tegas mengingatkan bahwa hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia.

Di kota-kota besar di dunia dimana banyak penduduknya yang menderita stress, frustasi, depressi, “gila”, ketergantungan obat terlarang dan gangguan kejiwaan lainnya, muncul upaya-upaya untuk membangun meringankan beban mereka atau membuka usaha jasa bagi yang membutuhkan dengan membuka lembaga-lembaga konsultasi kejiwaan. Pada masyarakat dengan gaya hidup Barat, konsep konsultasi kejiwaan atau konseling juga tak terhindar dari paradigm konseling Barat, sehingga konsep kebahagiaan, ketentraman yang dimaksud terhenti kepada ketenteraman dan kebahagiaan hidup di dunia, tanpa menghubungkan dengan nilai-nilai ukhrawi. Konsep konseling Barat, seperti yang telah diuraikan di muka, dalam perspektif Islam hanyalah menawarkan kebahagiaan sementara, yakni kebahagiaan di dunia,

Hisbah, jika ditinjau dengan sudut kekinian, maka ia merupakan pemberian konseling secara dini yang sifatnya aktif atau agressif, yang mengutamakan pencegahan dari pada mengobati, sejalan dengan jargon bahwa menjaga kesehatan itu nilainya lebih baik dari pada mengobati penyakit (yang terlanjur diderita karena tidak dijaga kesehatannya). Jika klinik konselor pada umumnya hanya siap menerima klien yang dating, maka hibah lebih agressif, yakni semacam gerakan menjemput bola agar potensi-potensi gangguan kejiwaan tidak sempat berkembang.
Hisbah bukan hanya membantu klien menemukan kebahagiaan sementara, tetapi lebih dari itu mengenalkannya dengan konsef kebahagiaan universal, kebahagiaan dunia akhirat.
Ditinjau dari sudut kegiatan dakwah, jika dewasa ini para da’i dan muballigh diibaratkan menawarkan dagangannya kepada public, maka muhtasib (konselor) lebih memfokuskan perhatiannya kepada kelompok sasaran tertentu, yakni orang-orang yang berpeluang menderita gangguan kejiwaan, atau orang-orang yang sudah terkena masalah kejiwaan. Rekruitmen muhtasib dengan kualifikasi keahlian yang memadai, serta pengelolaan membantu masyarakat Islam dalam mengarungi kehidupan dalam era globalisasi ini. Salah satu kelebihan hisbah adalah filosofi yang mendasarinya, yaitu semangat beribadah.

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, June 05, 2011

Konseling Agama Pada Masyarakat Islam (1)
Filosofi Konseling Agama dan Prinsip-prinsif Konseling Agama

telah diuraikan dimuka bahwa konsep Konseling lahir di Barat berdiri diatas falsafah hidup Barat pula. Pertanyaan yang muncul selanjutnya ialah seperti apa model konseling yang berdiri diatas pandangan hidup masyarakat Islam? Sebelum memperkenalkan bentuk konseling yang dipandang Islami, terlebih dahulu harus diketahui dulu filosofi dari konseling Agama itu sendiri.

Filosofi Konseling Agama
Dasar dari pemikiran konseling agama ialah satu asumsi bahwa agama itu merupakan kebutuhan fitri dari semua manusia. Allah telah menciptakan manusia dan telah meniupkan ruh-Nya, sehingga iman kepada Allah merupakan sumber ketentraman, keamanan dan kebahagiaan manusia, seperti firman Allah:
Artinya: ingatlah bahwa dengan mengingat Allah maka hati menjadi tenteram.
Sebaliknya, dalam paradigma ini, maka ketiadaan iman kepada Allah menjadi sumber kegalauan, kegelisahan dan kesengsaraan bagi manusia.
Agama, seperti yang dikatakan oleh Hasan al Banna, seorang pembaharu dakwah dan pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, adalah merupakan alat yang pas untuk terapi psikologis, karena agama dapat membantu menajamkan hati nurani, menghidupkan perasaan dan mengingatkan hati. Agama juga berfungsi sebagai polisi yang selalu mengawasi, serta penjaga yang tak pernah tidur.
Agama secara konsisten selalu mendorong jiwa kepada kebaikan, dan secara konsisten pula menolak kekejian. Agama juga senantiasa mengajak manusia untuk meningkatkan kualitas jiwanya.

Dengan demikian maka pekerjaan yang sifatnya menyuburkan keimanan kepada Allah adalah juga termasuk dalam ruang lingkup konseling agama. William james pun berkata bahwa, kepercayaan kepada Tuhan sangat besar pengaruhnya dalam mengobati kegelisahan, karena iman dapat membuat hidup menjadi lebih bermakna, dan membantu bagaimana cara menikmati kehidupan ini secara benar. Imam Ghazali bahwakn mengatakan bahwa tidak ada satu kesulitan pada manusia yang asal usulnya bukan dari kelemahan iman, atau dari tidak mengikuti petunjuk agama. Seseorang, kata al Ghazali- pada hakikatnya tidak dapat melepaskan diri dari kesulitannya, kecuali ketika imannya sedang menguat, dan ketika sedang berpedoman kepada petunjuk agama dalam menghadapi realita hidup. Seorang mukmin, kata Nabi senantiasa beruntung, karena jika sedang memperoleh keberuntungan ia bersyukur, dan jika sedang dilanda cobaan, ia bersabar. Sementara itu orang yang tidak beriman, ketika sedang dalam puncak keberuntungan ia lupa daratan, dan ketika ia dilanda kesulitan yang amat sangat ia lupa ingatannya.

Prinsip-prinsif Konseling Agama
Secara teknis, praktek konseling agama dapat menggunakan instrument yang dibuat oleh Bimbingan dan Konseling Modern, tetapi secara filosofis, konseling agama harus berdiri diatas prinsif-prinsip ajaran Islam, antara lain :
a. Bahwa nasehat itu merupakan salah satu pilar agama, seperti yang tersebut dalam hadis; bahwa agama adalah nasehat.
b. Bahwa konseling kejiwaan adalah merupakan pekerjaan yang mulia,karena bernilai membantu orang lain mengatasi kesulitan, seperti yang dimaksud oleh hadis Nabi yang artinya: sebaik-baik pekerjan di sisi Allah adalah membuat gembira hati seorang muslim, atau menghilangkan kesusahan darinya atau membayarkan hutangnya atau menghilangkan rasa laparnya. (H.R. Tabrani).
c. Konseling agama harus dilakukan sebagai pekerjan ibadah yang dikerjakan semata-mata mengharap ridla Allah.
d. Uli Amri atau Pemerintah berkewajiban mendukung program-program konseling misalnya memberi fasilitas atau membuka program pendidikan konseling agama.
e. Setiap muslim yang memiliki kemampuan bidang konseling memiliki tanggung jawab moral dalam pengembangan konseling agama.
f. Tujuan praktis konseling agama adalah mendorong klien agar selalu ridla terhadap hal-hal yang bermanfaat dan alergi terhadap hal-hal yang madlarat.
g. Konseling agama menganut prinsip bagaimana klien dapat menarik keuntungan dan menolak keruksakan.
h. Meminta bantuan konselor agama hukumnya wajib bagi setiap orang yang membutuhkan.
i. Memberikan bantuan psikologis/ konseling agama hukumnya wajib bagi konselor yang sudah mencapai derajat spesialist.
j. Proses pemberian konseling harus sejalan dengan tuntunan syariat Islam.
k. Pada dasarnya manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perbuatan baik yang akan dipilih, dan bahkan juga memiliki kebebasan untuk melakukan perbuatan maksiat secara sembunyi-sembunyi (tetapi ia berdosa).
l. Tidak ada orang yang diberi kebebasan untuk melakukan perbuatan maksiat atau perbuatan destruktif secara terang-terangan, yang mengganggu pikiran dan perasaan orang lain, langsung atau tidak langsung, atau perbuatan yang menjurus pada kekejian yang merusak masyarakat. Dalam Islam setiap individu ikut bertanggung jawab atas kemaslahatan masyarakatnya, seperti yang dilukiskan oleh hadis Nabi tentang penumpang kapal.yang artinya: perumpaan tanggung jawab penegak hukum terhadap pelaku pelanggar hukum adalah seperti orang banyak yang bersama-sama menjadi penumpang sebuah kapal. (karena banyaknya penumpang) maka ada yang duduk di lantasi dasar dan ada yang duduk di lantai atas. Jika penumpang lantai dasar membutuhkan air maka mereke langsung naik ke atas dan sudah barang tentu mengganggu penumpang yang di atas (atas pertimbangan praktis) ada penumpang di bawah yang mengusulkan :Di bawah kita ini ada air, jika kita membuat lubang, maka air kita peroleh tanpa harus mengganggu orang diatas. Jika penumpang yang diatas membiarkan perbuatan orang yang dibawah melubangi perahu, maka semua penumpang akan tenggelam. Tetapi jika mereka mencegah, maka semua penumpang selamat. ( H.R. Bukhari dari Nukman bin Basyir).

Bimbingan dan konseling agama harus memperhatikan norma-norma sosial Islam, misalnya tentang kesucian perkawinan, kehormatan wanita dan tanggung jwab individu dalam bermasyarakat.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger