Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Wednesday, August 17, 2011

Citra Da'i di Mata Masyarakat (5)
Kualitas Konsep Diri

Konsep diri ada yang positif dan ada yang negatif. Jika seorang da’i memiliki konsep diri yang positif, maka ciri-cirinya adalah sebagai berikut :

1. Ia memiliki keyakinan bahwa ia mampu mengatasi masalah yang akan dihadapi. Apapun kesulitan yang ia bayangkan, ia merasa yakin akan dapat menemukan jalan keluarnya.

2. Dalam pergaulan dengan orang banyak, ia merasa setara dengan orang lain, ia tidak merasa rendah diri, tidak kecil hati, tidak merasa sebagai orang kampung yang ketinggalan zaman (meskipun ia berasal dari kampung), tetapi merasa sama. Jika orang lain bisa mengapa saya tidak bisa?

3. Jika suatu saat ia dipuji orang, ia tidak tersipu-sipu malu, karena ia merasa pujian itu wajar saja, sekadar mengungkapkan keberhasilan atau kelebihan yang ia miliki. Baginya pujian tidak membuatnya merasa tinggi dari apa yang ada pada dirinya, atau merasa kagum terhadap dirinya (‘ujub). ia menerima pujian itu dengan terbuka karena pujian itu sudah pada tempatnya.

4. Ia menyadari bahwa setiap orang memiliki kecenderungan yang – tidak mungkin disetujui atau memuaskan seluruh masyarakat. Ia menyadari bahwa ia dapat melakukan suatu hal yang berguna dan menyenangkan orang lain, tetapi ia juga sadar bahwa tidak semua orang dapat menerima secara positip terhadap apa yang ia lakukan. Di antara sejumlah masyarakat mad’u, atau bahkan di antara atasannya, pasti ada orang yang tidak meyukainya, tidak menyetujuinya atau tidak paham terhadap dimensi kebaikan yang ia lakukan. Oleh karena itu jika suatu saat ia disalahkan, dikritik atau dicaci maki orang, ia sama sekali tidak terkejut. Baginya pujian dan penolakan adalah wajar, ia dapat menerimanya secara wajar. Pujian tidak membuatnya besar kepala dan cacian tidak membuatnya tersinggung. Ia bisa tertawa terbahak-bahak karena dipuji dan ketika dicaci.

5. Mampu memperbaiki diri. Karena sikap yang terbuka terhadap pujian dan cacian, maka ia mampu menerima kritikan dan saran-saran dari orang lain sebagai masukan untuk memperbaiki diri.

Sedangkan da’i yang mempunyai konsef diri negatip, ciri-cirinya adalah sebagai berikut:

1. Peka terhadap kritik. Jika dikritik orang ia tidak tahan. Ia mempersepsi kritikan orang itu sebagai upaya untuk menjatuhkan dirinya. Oleh karena itu da’i yang konsep dirinya tidak dapat menjalankan dialog terbuka, ia tidak dapat menangkap pikiran-pikiran yang bagus dari para pengkritiknya, karena telinganya terlanjur “merah” dan oleh karena itu ia bersikukuh untuk mempertahankan logika berpikirnya yang keliru.

2. Ia bersifat hiperkritis, kelewat kritis terhadap orang lain, sehingga ia cenderung merendahkan dan meremehkan orang lain. Ia begitu berat mengakui kelebihan yang dimiliki orang lain, apalagi orang yang menjadi saingannya. Baginya yang benar adalah dirinya dan orang lain pasti salah. Kebenaran orang lain itu diakuinya hanya jika berhubungan dengan pujian kepada dirinya sendiri.

3. Ia merasa tidak disenangi oleh orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan, merasa tidak dianggap sebagai “orang” dan ditinggal. Oleh karena itu ia mudah mempersepsi orang lain sebagai lawan, sebagai saingan atau musuh yang mengancam keberadaan dirinya. Orang yang memiliki sifat ini biasanya susah untuk dapat bergaul secara akrab dan hangat, karena ia sendiri merasa tidak diakrabi. Jika suatu saat rivalnya itu datang dengan keakraban, maka ia mencurigai keakraban lawannya itu sebagai pura-pura. Ia susah sekali mengakui kesalahan dirinya.
Dalam pandangannya, sistem sosial, sitem organisasi dan norma-norma msayarakat hanya memojokan dirinya daja.

4. Ia pesimis untuk bersaing dengan orang lain secara terbuka. Ia enggan untuk berkompetisi dengan orang lain. Karena ia merasa bahwa sistem persaingan itu merugikan dirinya. Ia sudah memastikan bahwa jika ia ikut kompetisi pasti akan dikalahkan oleh sistem yang tidak adil terhadap dirinya.

Seorang da’i sudah sepantasnya memiliki konsep diri yang positif, karena dari konsef diri positiflah akan lahir pola konsep diri positif. Da’i diharap tidak keliru mempersepsi orang, dan mampu berekspresi diri yang menimbulkan kesan positip. Sebagai orang yang harus mengetuk hati nurani dalam dakwahnya, seorang da’i harus memiliki citra “terbuka” di hadapan mad’unya, dan hanya orang yang memiliki konsep diri positiflah yang sanggup membuka diri.

Orang yang terbuka (atau berani membuka diri) adalah orang yang tahu betul hal-hal apa yang telah diketahui orang lain tentang dirinya, sehingga tak perlu menutup-nutupi dengan topeng (kata-kata atau perilaku tertentu). Ia juga tahu betul hal-hal apa pada dirinya yang tidak perlu diketahui oleh orang lain, yang oleh karena itu tidak merasa perlu untuk memberitahukannya.
Konsep diri orang juga dapat diketahui dari pilihan kata-kata yang digunakan, pilihan selera dan pilihan perilaku yang bersangkutan. Secara sederhana kita dapat mempersepsi siapa pembaca kompas dan siapa pembaca pos kota, siapa pemakai bikini dan siapa pemakai jilbab, siapa yang selalu mengenakan topi haji dan siapa yang selalu berdasi. Orang yang memandang dirinya “siapa”, maka ia merasa pantas memakai pakaian anu, tidak melakukan ini dan tidak layak bergaul dengan si Anu. Pilihan-pilihan itu merupakan proses penyusunan lambang-lambang, sebagai terjemahan dari apa yang ada dalam pikirannya.

Seorang mubalighah yang sudah biasa dipanggil ustadzah, merasa harus selalu memakai jilbab ketika ke luar rumah atau bertemu dengan orang lain, sedangkan mahasiswa Fakultas Dakwah yang merasa belum menjadi da’i atau mubalighah menganggap: Tak apalah sekali-sekali “ bergaya” dengan pakaian trendi di jalanan, asal tidak ketahuan orang-orang tertentu. Yang penting jangan keterlaluan, katanya.

Pak Yusmin, seorang dosen muda merasa tidak pantas dan tidak bisa makan sewarung dengan mahasiswanya, tetapi Pak Zubaidi, seorang dosen senior dan disegani mahasiswanya, biasa-biasa saja makan di warung bersama mahasiswanya, terkadang mentraktir, tapi lebih sering ditraktir.
Itu semua menggambarkan terjemahan dari apa yang ada dalam pikirannya, sesuai dengan konsef dirinya.

Read More
posted by : Mubarok institute

Monday, August 15, 2011

Citra Da'i di Mata Masyarakat (4)
Faktor Personal yang Mempengaruhi Persepsi Terhadap Orang lain

Faktor personal yang mempengaruhi persepsi terhadap orang lain adalah pengalaman dan konsep diri.

a. Pengalaman
Suatu hari datang ke masjid seorang pemuda dengan penampilan bersih dan necis, memakai sorban, memegang tasbih serta membawa mushaf al-Qur’an. Banyak orang yang mempersepsinya anak mda yang alim dan saleh, mungkin baru pulang mukim dari Mekkah, tetapi bagi Joni yang telah mengenalnya lama sebagai preman di pasar, dan baru dua hari yang lalu sama-sama membobol toko pakaian busana muslim, maka ia tak akan tertipu dengan pakaian. Dalam persepsinya, anak muda itu tetap saja sebagai preman meski memasang jubah sekalipun. Jadi pengalaman seseorang dengan orang lain mempertajam persepsi interpersonalnya.

b. Konsep Diri
Konsep diri adalah pandangan dan perasaan seseorang terhadap dirinya sendiri. Konsep diri dapat bersifat fisik, psikologis maupun sosial.
Mahasiswa yang selalu lulus ujian dengan nilai A maka tertanam dalam dirinya satu konsep diri bahwa ia pintar, sebaliknya mahasiswa yang senantiasa gagal ujian, maka iapun merasa dirinya bodoh. Pesilat yang selalu memenangkan pertandingan maka iapun merasa dirinya kuat, merasa mampu mengatasi persoalan-persoalan berkelahi dengan orang lain. Demikian juga satu etnis yang kebanyakan masyarakatnya sukses dalam bidang (bisnis misalnya) maka mereka merasa secara sosial bahwa bisnis adalah keahlian etnis mereka.

Konsep diri sangat besar pengaruhnya dalam berkomunikasi. Orang yang merasa dirinya bisa menyelesaikan masalah, maka ia akan bisa, sedang orang yang merasa bodoh, pada akhirnya akan menjadi bodoh beneran. Seorang Da’i yang merasa kecil di depan jama’ahnya,maka ia benar-benar menjadi “kecil” secara sosial, sedangkan da’i yang merasa bahwa orang lain tak ada bedanya dengan dirinya dan yakin bahwa apa yang orang lain bisa pasti bisa ia kerjakan, maka pada akhirnya ia memang bisa mengatasi kesulitan yang dihadapi.

Konsep diri seseorang biasanya tumbuh karena dipengaruhi oleh dua hal :
1. Dipengaruhi orang lain, misalnya, karena sering dipuji orang sebagai orang pintar, maka ia percaya bahwa dirinya pintar. Sebaliknya jika ia dipandang rendah dan bodoh oleh orang maka akhirnya ia menjadi minder dan bodoh beneran. Dalam konteks inilah, maka seseorang yang berprestasi perlu diberi penghargaan, karena penghargaan itu (lisan, sertifikat, piala, atau tabanas) berfungsi memacu penerimanya untuk meningkatkan prestasi dan menambah rasa percaya dirinya.

2. Kelompok rujukan, seorang tokoh masyarakat yang menjadi pengurus Dewan Dakwah atau Majelis Dakwah, maka keanggotaan dalam organisasi profesi itu memberikan keyakinan kepada dirinya bahwa ia mengerti masalah-masalah dakwah. Anggota Menwa merasa dirinya mengerti tentang masalah-masalah kemiliteran, beginilah seterusnya.

Read More
posted by : Mubarok institute

Sunday, August 14, 2011

Citra Da'i di Mata Masyarakat (3)
Faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi Terhadap Orang Lain

Karena manusia itu makhluk yang berpikir dan merasa, maka dalam mempersepsi orang lain pikiran dan perasaannya bekerja, yaitu menangkap stimuli dan mengolahnya menjadi informasi (persepsi). Ketika mempersepsi orang lain, sekurang-kurangnya ada dua hal yang mempengaruhi persepsi, yaitu factor situasional dan factor personal.

Faktor Situasional yang Mempengaruhi Persepsi
Faktor-faktor situasional yang mempengaruhi persepsi kepada orang lain adalah :

a. Cara menyebut sifat orang
Kalau seorang guru disebutkan oleh kepala sekolahnya bahwa Pak Guru yang ini orangnya pintar, dan saya saya murid, hanya metode mengajarnya yang masih harus diperbaiki, maka persepsi orang kepada Pak Guru adalah positif. Tetapi jika dibalik, Pak Guru ini tidak mengerti metodologi pengajaran, meskipun ia sayang murid dan pintar, maka persepsi kepadanya menjadi negatif. Jadi secara psikologis, sifat yang pertama kali disampaikan, apalagi dengan intonasi yang meyakinkan, sangat mempengaruhi persepsi.

b. Jarak
Harian Republika edisi 2 Januari 1995 memuat foto Rektor UIA sedang menyambut kedatangan Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PB NU pada acara ceramah ilmiah di hadapan peserta musyawarah alumni UIA. Kebetulan penyelenggara musyawarah itu pada hari-hari di mana pertentangan Gus Dur dengan kelompok Abu Hasan sedang gencar-gencarnya di bahas oleh Koran, termasuk Republika. Karena dalam gambar itu kelihatan sekali Rektor UIA, Sutjipto Wirosardjono MSc, dengan dengan Gus Dur, maka besoknya banyak sekali telepon dan orang yang bertanya, dan sudah mempersepsi bahwa Pak Cip adalah pendukung Gus Dur. Beberapa teman dekat yang telah mengetahui bahwa Pak Cip bukan pendukung Gus Dur pun ada yang mempersepsi bahwa Pak Cip telah berubah. Jadi jarak keakraban, jarak sosial, jarak ide, dekat atau jauh, mempengaruhi persepsi interpersonal.

Dekat dengan presiden di persepsi orang penting, dengan dengan kyai dipersepsi saleh atau ‘alim, dengan dengan Edy Tanzil dipersepsi terlihat skandal Bapindo, pendapatnya berdekatan dengan ide-ide komunis juga bisa dipersepsi sebagai Marxis.

c. Gerakan orang
Si Alex jika berbicara dengan orang selalu berkacak pinggang dan membusungkan dada, maka hampir semua orang yang melihatnya menganggapnya sebagai orang yang sombong, sedangkan si Dolah jika berbicara dengan orang lain selalu menundukan kepala dan tangannya dilipat di depan, maka orang mempersepsinya sebagai orang yang sopan atau orang yang rendah diri.
Jadi gerakan membusungkan dada dipersepsi sombong, gerakan menengadahkan kepala ketika berbicara dipersepsi sebagai pemberani, bertopang dagu dipersepsi sedih, dan menadahkan tangan dipersepsi sedang memeinta atau memohon.

d. Petunjuk Wajah
Wajah adalah cermin jiwa, oleh karena itu sifat-sifat orang terkadang dapat diketahui melalui petunjuk wajah. Ilmu tentang ini disebut Frenologi. Akan teteapi tidak semua orang dapat membaca wajah, oleh karena itu tak jarang orang keliru mempersepsi orang lain melalui wajah, baik karena tidak memiliki pengetahuan tentang itu, atau karena tertipu oleh wajah manis hati serigala, atau wajah garang hati lembut.

e. Bagaimana cara mengucapkan Lambang-lambang Verbal
Seorang perwira tinggi yang kebetulan menjabat sebagai rektor sebuah PTS, kecewa terhadap seorang stafnya tentang suatu hal. Kepada stafnya itu ia berkata, "monyet lu”. Akan tetapi, dari cara beliau mengucapkannya, yakni tidak terlalu keras dan bernuansa humor, maka orang tahu bahwa cacian monyet itu bukan lambing kemarahan besar sehingga tidak dipersepsi sebagai cacian, malah stafnya yang dimarahi sering merespon dengan senyum-senyum. Meskipun “monyet” nya sering keluar, tetapi persepsi orang terhadap Pak Rektor yang jenderal itu tetap positif.

Sebaliknya, kata-kata “bagus”, “pantas”, “silahkan” dan sebagainya, tapi diucapkan dengan keras dan penuh meosi, maka orang yang mengucapkan itu dipersepsi sedang marah berat, atau galak atau sadis.

f. Penampilan
Dalam konsep struktural, pakaian mode, kosmetik, bahkan kaca mata, tas tangan atau model rambut termasuk dalam struktur kepribadian. Artinya orang yang berpakaian dengan mode A menunjukan pemakainya berkepribadian A, model B menunjukan kepribadian B, kosmetik C menunjukan kepribadian C pula.

Pak Ustadz Sulaiman ketika diundang ceramah Nuzulul Qur’an di sebuah mesjid datang dengan mengenakan celana jeans, jaket kulit, kaca mata hitam, rambut gondrong tidak disisir dan membawa gitar. Meskipun orang sudah kenal Pak Ustadz tersebut, tapi tak urung ketika melihanya dalam pakaian yang berada di luar konsep jama’ah, orang tergoda untuk bertanya, apa betul ini Ustadz Sulaiman, kasihan yah Ustadz Sulaiman. Atau apa gerangan yang menimpa ustadz kita ini? Jama’ah akan mempersepsi bukan ustadz Sulaiman, atau sebagai ustadz yang sedang “kumat”, atau persepsi negative lainnya. Orang memang sering tertipu oleh penampilan seseorang yakni apa yang dalam psikologi disebut hallo effect.

Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, August 11, 2011

Citra Da'i di Mata Masyarakat (2)
Sistem Komunikasi Interpersonal

Dalam ilmu Psikologi Komunikasi, bagaimana persepsi orang terhadap kita, atau bagaimana persepsi kita tentang orang lain dinamakan sebagai Sistem Komunikasi Interpersonal.
Manusia adalah makhluk yang berpikir dan berperasaan. Pikiran dan perasaannya menentukan persepsinya terhadap orang lain. Jika dua orang berkomunikasi maka berlangsunglah pengiriman dan penerimaan pesan berupa lambang-lambang, berbeda dengan ketika persepsi benda – patung misalnya - proses komunikasi itu sendiri mempengaruhi pikiran dan perasaan antar keduanya.

Sebagai contoh, seorang pengusaha yang sukses dan terpelajar (dan “sekuler), semula ia mempersepsi seorang da’i dengan persepsi buruk, bodoh, ketinggalan zaman, kampungan, dan mata duitan. Tetapi, setelah pernah bertemu di sebuah forum seminar dan menginap bersama dalam satu kamar hotel selama dua malam dimana terjadi peristiwa mental ( pengiriman dan penerimaan lambang-lambang) dalam berkomunikasi selama dua hari itu, persepsinya tentang ustadz berubah, dan persepsi Pak Ustadz terhadap “sekuler” juga berubah.

Jadi, orang yang semula dipersepsi sebagai sombong setelah berkomunikasi boleh jadi berubah persepsinya menjadi rendah hati atau tidak terlalu sombong, mubaligh yang semula dipersepsi sebagai ‘alim, setelah berdiskusi berubah persepsinya menjadi hanya padai pidato, atau yang semua dipersepsi sebagai anggun dan shaleh, setelah berkomunikasi berubah persepsinya menjadi genit.

Perbedaan persepsi terhadap benda dengan persepsi terhadap manusia (interpersonal) adalah disebabkan hal-hal sebagai berikut :

1. Terhadap benda, patung misalnya, stimuli ditangkap hanya dengan indera, sedangkan persepsi terhadap manusia, stimuli di samping ditangkap melalui indera, juga melalui lambang-lambang verbal atau grafis yang disampaikan pihak ketiga. Ketika orang pertama kali ketemu dengan Gus Dus (ketua PBNU) misalnya, sebelumnya orang sudah mendengar tentang dia melalui Koran, majalah, atau desas desus negatif yang beredar. Dengan pengenalan sebelumnya itu maka persepsinya terhadap Gus Dur menjadi kurang tepat.

2. Bila seseorang melihat benda, maka yang dilihat hanya benda itu saja, yakni sifat-sifat luarnya saja tanpa harus mempertimbangkan bahaimana perasaannya, sedang bila ia berkomunikasi dengan manusia (interpersonal) maka yang diperhatikan bukan hanya tindakan luarnya, tetapi juga memperhitungkan bagaimana perasaannya, dan apa motivasinya. Jika seseorang terlihat tersenyum, maka akan timbul pertanyaan mengapa ia tersenyum. Jika seorang ayah cemberut, maka anaknya akan tergoda untuk bertanya mengapa ayah cemberut. Karena persepsi interpersonal itu menyangkut aspek berpikir dan merasa, maka kemungkinan keliru persepsi itu selalu terjadi.

3. Ketika benda diamati ia tidak bereaksi apa pun, sedang dalam berkomunikasi dengan orang, ia pasti bereaksi, dan terjadilah saling tukar stimulus dan respon antara kedua belah pihak.
Seorang mahasiswa diberi tugas praktikum dakwah di suatu desa. Kepadanya disampaikan bahwa mahasiswa yang akan ditugaskan di desa itu orangnya simpatik, sabar, dan pintar.

Dengan demikian, maka mahasiswa mempersepsi orang desa sebagai positif, dan mereka pun mempersepsi mahasiswa juga positif. Baru dua hari bertugas, mahasiswa itu disinggung oleh penduduk desa yang memang tidak menyukai kehadirannya. Singgungan itu begitu kasarnya sehingga mahasiswa itu merespon dan sampai terlepas control. Sang mahasiswa terkejut melihat perilaku orang desa yang sudah terlanjur di persepsi baik, tapi karena ia tak dapat mengendalikan diri di hadapan masyarakat desa, maka ia pun kemudian dipersepsi sebagai mahasiswa yang tidak sabaran.

4. Benda relatif tidak berubah, sedang manusia selalu berubah. Pak Dul ketika pinjam uang sangat ramah dan sopan, tetapi ketika ditagih ia berubah menjadi galak dan kasar. Tadi pagi Evi berangkat kuliah dengan sangat riang, tetapi pulang kuliah menjadi cemberut dan pendiam. Perubahan inilah yang menyulitkan dalam mempersepsi orang.

Read More
posted by : Mubarok institute

Wednesday, August 10, 2011

Citra Da'i di Mata Masyarakat (1)
Pendahuluan

Citra adalah kesan kuat yang melekat pada banyak orang tentang seseorang, sekelompok orang atau tentang suatu institusi. Seseorang yang secara konsisten dan dalam waktu yang lama berperilaku baik atau berprestasi menonjol maka akan terbangun kesan pada masyarakatnya bahwa orang tersebut adalah sosok yang baik dan hebat. Sebaliknya jika seseorang dalam kurun waktu yang lama menampilkan perilaku yang tidak konsisten, maka akan tertanam kesan buruk orang tersebut di dalam hati masyarakatnya. Dalam perspektif ini maka citra dapat dibangun. Orang yang ingin memiliki citra baik di dalam keluarganya atau di lingkungannya, maka ia harus bisa menunjukan sebagai orang baik secara konsisten.

Citra atau kesan terbangun melalui proses komunikasi interpersonal dimana orang banyak mempersepsi kepada kita atau sebaliknya. Citra dipersoalkan biasanya hanya pada seseorang yang secara sosial menonjol kedudukannya. Meski demikian tidak semua perbuatan dipersepsi secara tidak benar, karena persepsi dipengaruhi oleh banyak faktor.

Setiap Da’i – idealnya - merasa sebagai pejuang yang bekerja untuk menyelamatkan masyarakat dari bencana dan mengantarnya pada kebahagiaan hakiki. Sebagai pejuang, maka seorang da’i tak mengenal lelah, tak mengharapkan penghargaan, dan juga upah. Kebahagiaan seorang da’i adalah apabila ia berhasil membimbing masyarakat kepada jalan yang benar, yang diridlai Allah. Bagi seorang da’i, ridla Allah lah yang dicari, oleh karena itu tantangan, hambatan dan bahkan caci-maki dari masyarakat yang belum bisa menerima dakwahnya diterima dengan ikhlas, sabar dan dijadikan cambuk perjuangan.

Demikianlah, betapa mulia tugas seorang da’i, ia bersusah payah demi kebahagiaan orang lain, tetapi pertanyaannya ialah, apakah da’i juga mulia dalam pandangan masyarakat?
Dalam kehidupan keseharian, dapat dijumpai kenyataan bahwa tidak semua orang baik dipersepsi orang baik, tidak semua tugas mulia dipersepsi sebagai kemuliaan. Memberi nasehat dipersepsi sebagai sok tahu atau mencampuri urusan orang lain, mengingatkan dipersepsi sebagai penghinaan, dan sebagainya dan sebagainya. Dengan demikian kerja keras seorang da’i belum tentu dipersepsi sebagai kebaikan oleh masyarakat mad’u, padahal persepsi mad’u terhadap da’i mempengaruhi efektifitas dakwahnya.

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger