Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Monday, March 30, 2015

Politik Yang Efektif
Oleh : Prof. DR. Achmad Mubarok, MA.
       Jika orang berbicara tentang politik, pasti terhubungkan dengan system pemerintahan, karena pemerintahan adalah merupakan aktualisasi politik dalam kehidupan bernegara. Pemerintahan adalah factor penting bahkan paling penting dalam mempengaruhi kualitas kehidupan ummat manusia sepanjang sejarah. Tujuan utama terbentuknya pemerintahan dalam suatu Negara adalah untuk member rasa aman dan menjamin keamanan warganya, menciptakan ruang kebebasan dan sudah barang tentu kesejahteraan bagi rakyatnya.
       Untuk pencapaian itu maka dalam suatu pemerintahan ada aparat keamanan, ada kepemimpinan, ada manajemen, dan prioritas program yang menjadi komitmen dari pemerintahan itu. Bentuk pemerintahan itu sendiri bergantung kepada system politik yang dianut oleh Negara, apakah demokrasi, otokrasi atau theokrasi.
        Sejarah membuktikan bahwa tidak ada system yang menjamin kepastian tercapainya tujuan. Demokrasi belum tentu menjamin kesejahteraan rakyat, otokrasi dan theokrasi juga tidak serta merta mnyengsarakan rakyat. Disitu ada factor yang yang sangat berperan dalam pencapaian tujuan hidup bernegara, yaitu kualitas suatu kepemimpinan  pemerintahan, yakni pemerintahan yang kuat yang berbasis integritas, kompetensi dan komitmen. Semakin tinggi integritas dan kompetensi para pemimpin pemerintahan di suatu Negara, maka semakin kuat peluang keberhasilan pencapaian tujuan. Demikian juga semakin kuat komitmen para pemimpin pemerintah untuk menunaikan janjinya, maka akan semakin kokoh pula kedudukan pemerintahan itu di depan rakyatnya.
       Selanjutnya integritas, kompetensi dan komitmen itu harus diaktualkan dalam bentuk organisasi dan menejemen yang membuat kerja pemerintah menjadi produktip dan efisien. Selanjutnya kecerdasan pemimpin pemerintahan dalam menentukan skala prioritas akan sangat menentukan efektifitas kerja pemerintahan.
       Efektifitas pemerintahan tidak selalu berhubungan dengan system politik. Bisa terjadi system demokrasi justeru membuat pemborosan dan kelambanan kerja pemerintah. Sebaliknya system otoriter dengan “Raja” atau kepala pemerintahan yang adil dan kompeten bisa membuat kerja terobosan dalam pencapaian tujuan politik nasional
        Runtuhnya tembok Berlin yang kemudian diasumsikan  akan hadirnya demokrasi liberal sebagai solusi dari belenggu system totaliter ternyata hanya impian kosong. Gegap gempita menyambut system demokrasi liberal sebagai puncak peradaban politik yang berlaku secara universal ternyata juga keliru karena demokrasi liberal itu pula yang memicu konflik brutal di bekas wilayah Yugoslavia. Sebalinya China yang hanya melakukan reformasi ekonomi seraya tetap mempertahankan system otoriter komunis justeru berhasil menjadi kekuatan ekonomi nomor dua di dunia setelah Amerika.
       Kasus Lech Walenca, pemimpin buruh kharismatis yang sukses memimpin demontrasi melawan rezim totaliter Komunis ternyata gagal juga ketika menjabat sebagai presiden Polandia, bukan karena korupsi tetapi karena tidak kompeten. Popularitas saja tidak cukup untuk menjamin efektifitas politik.  Thaksin di Thailand dan Estrada di Philipina adalah juga contoh kegagalan system demokrasi. Di New York, sebuah lembaga kajian demokrasi yang bernama Fredom House  melaporkan bahwa di tahun 2009 saja terdapat 25 negara yang meninggalkan system demokrasi, akibat kejenuhan masyarakat terhadap kebebasan yang hanya melahirkan kesemrawutan, kegagalan ekonomi, ketimpangan kesejahteraan dan ancaman atas keteraturan social.
       Hal tersebut diatas kini benar-benar harus menjadi perhatian para pemimpin Indonesia, karena produk pilpres 2014 yang sangat dibanggakan sebagai sangat demokratis dengan terpilihnya Jokowi yang “merakyat” ternyata justeru baru beberapa bulan sudah melahirkan kekecewaan kolektip terhadap system demokrasi liberal yang stagnan..
       Apa yang harus dilakukan melihat ketidak menentuan ini ? sampai kapan kesabaran politik masih bisa berlangsung ? Ketika MPR masih menjadi lembaga tertinggi Negara, dapat dibayangkan solusinya, nah sekarang ketika MPR sudah dicabut kekuasaannya oleh amandemen reformasi, siapa yang bisa berinisiatip mencari jalan keluar ? Polandia dan Philipina memilih memakzulkan Presidedn dan menggantinya dengan yang dipandang lebih baik. Thailand  membiarkan militer mengambil alih kekuasaan.
       Dibutuhkan adanya” keinginan luhur” para elit pemimpin politik, karena  keinginan luhur akan menjadi infrastruktur datangnya berkat dan rahamat Alloh kepada bangsa Indonesia, seperti yang diyakini oleh para pendiri negeri ini bahwa hanya atas berkat dan rahmat Alloh didukung oleh keinginan luhur maka bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya.
        Sebagai penutup dari uraian ini, saya kutip kaidah politik dari kitab kuning pesantren yang berbunyi : Lan yaflah al qaumu faudlo la surota lahum  ** wala surota idza juhhaluhum saaduu, artinya : suatu bangsa tidak akan sukses jika mereka bertindak anarkis tak bermartabat, dan martabat bangsa itu akan hilang jika mereka dipimpin oleh-orang-orang bodoh.

Read More
posted by : Mubarok institute

Friday, March 20, 2015

Etika Politik (2)
Oleh : Prof. DR. Achmad Mubarok, MA



Etika dan Pemimpin   
  Pemimpin bangsa terutama Presiden, ia bukan hanya pilot mesin pemerintahan, tetapi juga figure keteladanan. Seluruh perilaku pemimpin tertinggi berada dalam sorotan rakyat, oleh karena itu seorang pemimpin bukan hanya harus mematuhi pasal-pasal konstitusi tetapi juga harus memenuhi rasa keadilan, kearifan, ketegasan, keberanian, kepatutan dan konsistensi. Meski sebagai manusia, seorang pemimpin juga memiliki keterbatasan, tetapi ada standard anatomis yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin, yang jika kurang dari standard minimal maka akan berdampak pada kegelisahan masyarakat. Kegelisahan public jika tidak ada jendela yang berfungsi sebagai ventilasi politik dan psikologis maka bisa berujung pada kesumpekan politik. Jika kesumpekan politik berlangsung lama maka ujungnya bisa meledak menjadi perilaku anarkis massal atau revolusi yang tidak mudah diprediksi akhir kesudahannya, .

Profil keteladanan Presiden2 RI

       Selama 69 tahun kemerdekaan RI sudah ada tujuh orang yang duduk sebagai Presiden Republik Indonesia, dan masing-masing memiliki performance yang berbeda-beda dalam kontek keteladanan politik, yaitu Sukarno, Suharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan terakhir sekarang Joko Widodo.

  1. Presiden Sukarno
       Sukarno, Sang Proklamator adalah tokoh besar kaliber dunia, intelektual, orator, seniman dan sudah barang tentu politisi.  Ia menjadi kebanggan rakyat di pertengahan masa kekuasaannya. Kreatifitas yang sekaligus kelemahannya adalah merekayasa produk-produk politik yang nampak mempesona tetapi sesungguhnya melanggar norma2 konstitusi , misalnya : Pemimpin Besar Revolusi, Presiden Seumur Hidup,  Manipol Usdek, demokrasi terpimpin dan yang melanggar nilai filsafat seperti Nasakom. Konsep-konsep yang tidak demokratis dan tidak filosofis itu akhirnya menjadi boomerang menjatuhkan dirinya berikut krisis bangsa dan negaranya.
  1. Presiden Suharto,
        Pak Harto hadir tepat waktu menyelamatkan bangsa dan Negara. Suharto berusaha menarik bandul sejarah dari otoritarian popular ke bandul konstitusi, yakni kembali ke Panca Sila dan UUD 45 secara murni dan konsekwen. Suharto juga memperioritaskan pembangunan ekonomi yang membuat tingkat kesejahteraan rakyat meningkat. Begitu” sukses” program pembangunan ekonomi nasional hingga bangsa Indonsesia “tersihir” seakan mau tingggal landas. Berbeda dengan Bung Karno yang meniadakan Pemilu, Pak Harto secara disiplin menyelenggarakan Pemilu sebagai wujud demokrasi. Sayangnya pemilu yang secara disikplin dijalankan lima tahun sekali sarat dengan rekayasa demokrasi. Jika Bung Karno bisa duduk di kursi kepresidenan selama 20 tahun, Pak Harto dengan rekayasa demokrasi yang disebut demokrasi Panca Sila bisa menduduki kursi kepresidenan selama 32 tahun. Jika Bung Karno jatuh karena krisis G 30 S, Presiden Suharto dipaksa mundur oleh Gerakan Reformasi setelaha terjadi krisis moneter.

  1. Presiden Habibie.  

       Habibie adalah seorang ilmuwan dan teknokrat ahli rancang bangun pesawat terbang yang karena jabatannya sebagai wakil Presidennya Pak Harto maka secara otomatis Habibie menggantikan Pak Harto ketika beliau mengundurkan diri. Sesungguhnya P{ak Habibie memilik banyak kelebihan, tetapi sentiment politik pada era reformasi mdembuatnya tergusur ketika MPR menolak pertanggungjawaban Presiden. Kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh Pak Habibi tidak bisa diaktualisasikan, terkendalam oleh sentimen barbarika politik era reformasi. Meski demikian beliau berjasa mengatasi krisis moneter secara tepat waktu sehingga Negara tidak mengalami keterpurukan ekonomi berkepanjangan.

  1. Presiden Abdurrahman Wahid.
       Presiden ke 4 yang lebih akrab dipanggil Gus Dur ini dipilih secara emosionil oleh MPR. Gus Dur itu seorang ulama, cendekiawan dan seniman dan pengamat yang sangat cerdas, tetapi memiliki keterbatasan fisik, yaitu buta mata. Meski kecerdasannya tak ada yang meragukan tetapi kesulitan Gus Dur adalah pada transformasi diri dari seorang kyai yang seniman menjadi Presiden dari dari Negara besar yang sedang mengidap problem besar, berat dan rumit. Fikiran-fikiran cerdas Presiden Gus Dur sering tidak difahami oleh orang pada zamannya, Gus Dur hanya sebentar menduduki kursi presiden karena dijatuhkan oleh MPR yang mengangkatnya. Gus Dur dapat disebut sebagai Pemimpin yang hadir mendahului zamannya, oleh karena itu banyak orang yang tidak faham terhadap gagasan2 beliau.. Setelah beliau wafat baru orang menyadari betapa gagasan2 Gus Dur  itu  benar dan tepat, dan kini orang lupa kekurangan  beliau dan hanya dikenang kebaikannya saja.

  1. Presiden Megawati
       Setelah Gus Dur dilengserkan, Megawati yang ketika itu menjabat sebagai wapresnya dilantik menjadi Presiden oleh MPR. Masa jabatan yang pendek dan keterbatasan pengalaman serta jejak rekam Megawati sebelum menjadi Presiden membuatnya tidak berhasil melahirkan perubahan yang signifikan. Apa lagi dampak dari reformasi ekonomi dan politik yang dilakukan sekaligus membuat iklim politik nasional menjadi “kebablasan”. Kekeliruan kebijakan BLBI pada akhir masa pak Harto mewariskan situasi yang membuat serba salah apapun kebijakan yang dilakukan oleh Presiden, termasuk oleh Presiden Megawati terutama dalam mengeluarkan SKL kepada obligor nakal.

  1. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
       Presiden ke 6 yang lebih sering dipanggil SBY adalah presiden pertama RI yang dipilih langsung oleh rakyat berdasar UU sebagai salah satu buah dari reformasi. Rakyat menaroh harapan yang sangat tinggi atau bahkan terlalu tinggi terhadap sosok presiden SBY tanpa menyadari bahwa problem yang dihadapi Pemerintah itu sangat berat, besar dan rumit. Latar belakang SBY sebagai orang terpelajar dan Jendral Angkatan Darat yang sudah menjalani karir secara sistematis membuatnya bekerja dengan system berdasar menejemen professional. Sesungguhnya SBY adalah presiden yang sangat cocok untuk Negara yang pemerintahannya jalan karena beliau sangat taat azas. Tapi iklim kebebasan yang terlalu bebas membuatnya sangat hati-hati, dan hal itu berimplikasi pada langkah yang terasa lambat, sementara public maunya serba cepat. Presiden SBY meletakkan dasar-dasar masa depan Negara di era global, dan keterpilihan dua periode menunjukkan adanya kepercayaan rakyat. Mestinya periode SBY merupakan akhir dari tikungan sejarah reformasi, untuk selanjutnya menapaki jalan lurus menuju Indonesia 2045 (satu abad kemerdekaan). Betapapun barbarika politik dari partai oposisi maupun dari partai koalisi yang tidak konsisten cukup mengganggu, tetapi data angka maupun pengakuan dunia menunjukkan prestasi yang cukup signifikan. Mestinya periode SBY yang soft dan sangat hati-hati dilanjutkan oleh Presiden yang feelingnya kuat dan cepat mengambil keputusan  dalam mengayuhkan langkah kemajauan bangsa sehingga terjadi percepatan pembangunan terutama menyongsong era MEA yang sudah didepan mata. Tetapi hasil pilpres belum tentu mengikuti analisa ahli, karena pilpres langsung lebih melibatkan emosi senang atau tidak senang public yang belum tentu sejalan dengan nalar politik pembangunan.
       Satu hal yang pantas diapresiasi, SBY adalah presiden pertama yang melakukan serah terima dan ada upacara pisah sambut di istana dengan presiden Jokowi yang menggantikiannya, satu pondasi budaya politik yang bermartabat yang mudah-mudahan akan diteruskan dalam setiap suksesi nasional  di depan.

  1. Joko Widodo

       Presiden Joko Widodo atau yang lebih dikenal dengan nama Jokowi dipilih secara emosionil oleh pendukungnya, meski dilihat dari pendidikan dan jejak rekam pengalaman politik yang dilaluinya, menurut nalar politik belum cukup  kapasitasnya untuk memimpin Negara sebesar Indonesia dengan problem-problem yang masih besar, berat dan rumit. Asumsi ini terbukti dalam seratus hari pertama menjadi presiden terjadi carut-marut politik yang tak berujung dan merembet ke ekonomi , terutama harga`harga kebutuhan pokok rakyat. Memang tidak fair kalau baru beberapa bulan sudah menfonis Jokowi sebagai tidak mampu, tetapi kita tidak bisa membayangkan jika keadaan yang susah dinalar ini berlangsung hingga satu tahun, pasti korbannya adalah rakyat, negara dan bangsa. Meski demikian kita berharap bahwa situasi ini mudah-mudahan akan berujung pada ditemukannya jalan keluar oleh pemerintah, atau berujung pada terbangunnya introspeksi nasional yang membuat segenap warga bangsa  terutama para elitnya bisa memutuskan sesuatu untuk bangsa demi untuk bangsa, bukan berlatar agenda subyektip kelompoknya.


       Bagaimanapun masyarakat Indonesia belum bisa melepaskan diri dari paternalism dimana seorang pemimpin, terutama presiden harus dipandang hebat, memiliki banyak kelebihan dibanding yang dipimpin. Pemimpin paspasan saja bisa membuat yang dipimpin kehilangan semangat, nah kalau terlalu banyak kekurangannya bisa merangsang munculnya perilaku anarkis dari rakyat yang dipimpin. Betapa sedihnya jika orang nomor satu di negeri ini justeru tiap menit menjadi bahan olok-olokan di dunia maya, oleh rakyatnya sendiri.

        Sebagai penutup dari uraian ini, saya kutip kaidah politik dari kitab kuning pesantren yang berbunyi : Lan yaflah al qaumu faudlo la surota lahum  ** wala surota idza juhhaluhum saaduu, artinya : suatu bangsa tidak akan sukses jika mereka bertindak anarkis tak bermartabat, dan martabat bangsa itu akan hilang jika mereka dipimpin oleh-orang-orang bodoh.
      


Read More
posted by : Mubarok institute

Thursday, March 19, 2015

Etika Politik (1)
Oleh : Prof. DR. Achmad Mubarok, MA 

Pidato di lingkungan politik sering didahului dengan kalimat “yang terhormat Bapak …….. atau Bapak …….yang kami hormati dan yang kami banggakan. Dua kalimat itu seakan sama padahal mempunyai makna yang sangat berbeda. Jika seorang pemimpin menyandang predikat yang terhormat, maka itu bermakna bahwa sang pemimpin itu memang orang terhormat, baik dihormati maupun tidak dihormati, karena kehormatan seseorang itu melekat pada dirinya. Sedangkan orang yang kami hormati dan kami banggakan, boleh jadi ia orang terhormat, bisa juga hanya dihormati karena jabatannya. Betapa banyak orang yang dalam upacara selalu dihormati, tetapi begitu lepas dari jabatannya ia tidak lagi dihormati, apalagi jika terlepasnya jabatan itu karena korupsi. Sedangkan orang yang terhormat, meski dipenjara sekalipun ia tetap terhormat. Sebagai contoh, Nelson Mandela dipenjara selama 27 tahun, nah begitu keluar dari penjara ia terpilih menjadi presiden pertama di Afrika Selatan pasca Apartheid.

       Kehormatan seseorang, baik pemimpin atau orang biasa adalah karena akhlak, etika dan moralnya yang tinggi


Pengertian Etika

          Etika adalah akhlak yang bersifat lahir,oleh karena itu agar jelas posisinya, berikut ini uraian tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengertian etika,yaitu akhlak, moral dan mental.

1.  Akhlak
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Dalam Bahasa Arab kata akhlak (akhlaq) di­artikan sebagai tabiat, perangai, kebiasaan, bahkan agama. Meskipun kata akhlak berasal dari Bahasa Arab, tetapi kata akhlak tidak terdapat di dalam Al Qur'an. Kebanyakan kata akhlak dijumpai dalam hadis. Satu-satunya kata yang ditemukan semakna akhlak dalam al Qur'an adalah bentuk tunggal, yaitu khuluq, tercantum dalam surat al Qalam ayat 4: Wa innaka la'ala khuluqin 'adzim, yang artinya: Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung. Sedang­kan hadis yang sangat populer menyebut akhlak adalah hadis riwayat Malik, Innama bu'itstu liutammima makarima al akhlagi, yang artinya: Bahwasanya aku (Muhammad) diutus menjadi Rasul tak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia.
Perjalanan keilmuan selanjutnya kemudian mengenal istilah-istilah adab (tatakrama), etika, moral, karakter disamping kata akhlak itu sendiri, dan masing-masing mempunyai definisi yang berbeda.
Menurut Imam Gazali, akhlak adalah keadaan yang bersifat batin dimana dari sana lahir perbuatan dengan mudah tanpa dipikir dan tanpa dihitung resikonya (al khuluqu haiatun rasikhotun tashduru 'anha al afal bi suhulatin wa yusrin min ghoiri hqjatin act_ fikrin wa ruwiyyatin. Sedangkan ilmu akhlak adalah ilmu yang berbicara tentang baik dan buruk dari suatu perbuatan. Dari definisi itu maka dapat difahami bahwa istilah Text Box: 17  •akhlak adalah netral, artinya ada akhlak yang terpuji (al akhlaq al mah­mudah) dan ada akhlak yang tercela (al akhlaq al mazmumah). Ketika ber­bicara tentang nilai baik buruk maka muncullah persoalan tentang konsep baik buruk. Konsep baik buruk perspektip ilmu Akhlak berasal dari kata kholaqo yang artinya penciptaan, maka nilai kebaikan dari akhlaq basisnya adalah dari nilai kebaikan universal, yakni sifat-sifat kebaikan yang dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Baik, seperti adil, penyayang, pemaaf, pemurah, penolong dan sebagainya. Oleh karena itu sumber utama nilai akhlak adalah wahyu.  Dari sinilah kemudian terjadi perbedaan konsep antara akhlak dengan etika.

2. Etika

          Etika (ethica) juga berbicara tentang baik buruk, tetapi konsep baik buruk dalam ethika bersumber kepada kebudayaan, sementara konsep baik buruk dalam ilmu akhlak bertumpu kepada konsep wahyu, mes­kipun akal juga mempunyai kontribusi dalam menentukannya. Dari segi ini maka dalam ethica dikenal ada ethica Barat, ethika Timur dan seba­gainya, sementara al akhlaq al karimah tidak mengenal konsep regional, meskipun perbedaan pendapat juga tak dapat dihindarkan. Etika juga sering diartikan sebagai norma-norma kepantasan (etiket), yakni apa yang dalam bahasa Arab disebut adab atau tatakrama. Di dalam al Qur’an juga dikenal istilah alma`ruf, yakni sesuatu yang secara social dipandang baik atau patut. Nah kerja Komite etik atau Dewan etik dari suatu lembaga  adalah bagian dari amar ma`ruf, yakni mengawal lembaga, Negara misalnya,  agar tidak menyimpang dari kepatutan. Dari khazanah sosialpun lahir konsep-konsep etika bisnis,  etika kedokteran, etika pergaulan , etika politik dan sebagainya.


3. Moral

        Sedangkan kata moral meski sering digunakan juga untuk menye­but akhlak, atau etika tetapi tekanannya pada sikap seseorang terhadap nilai baik-buruk, sehingga moral sering dihubungkan dengan kesusilaan atau perilaku susila. Jika etika  masih ada dalam tataran konsep maka moral sudah ada pada tataran terapan..Seorang cendekiawan tetapi berbisnis secara kotor, maka ia disebut cendekiawan yang moralnya rendah. Seorang politisi yang tahan terhadap godaan money politik disebut politisi yang bermoral tinggi. Seorang politisi yang kalah dalam pemilihan pilkada, kemudian secara terbuka memuji secara sportip kelebihan pesaingnya yang menang maka ia disebut sebagai politisi yang bermoral tinggi atau memiliki moral politik.. Tentara yang gagah berani di medan tempur disebut tentara yang memiliki moral prajurit.

4. Mental
       Sedangkan istilah mental digunakan untuk menyebut kapasitas psikologis orang dalam merespond problem-problem kehidupan. Ada orang yang memiliki kemampuan untuk menghadapi problem seberat apapun dan seberapa lamapun. Nah orang seperti ini disebut kuat mentalnya. Adapun jika seseorang memiliki kapasitas psikologis dibawah normal sehingga ketika berhadapan dengan problem ia merasa minder, menyerah sebelum bertarung,maka ia disebut sebagai orang yang lemah mentalnya. Jika sangat parah disebut memiliki keterbelakangan mental.  Jika dihubungkan dengan kemampuannya  menyelaraskan diri dengan nilai-nilai, maka yang positip disebut orang yang sehat mentalnya sementara orang yang banyak melakukan perilaku menyimpang disebut sebagai orang yang sakit mental. Ilmu yang berbicara tentang mental disebut Ilmu Kesehatan Mental atau Mental Health.

   Politik adalah ekspresi kebudayaan dari nilai kuasa,yakni bagaimana orang atau kelompok orang berusaha agar mereka bisa memimpin orang lain dan mengatur orang lain.Puncak kepuasan politik adalah jika berhasil menduduki kursi no 1, atau pemimpin tertinggi sehingga ia merasa bahwa fikirannya,norma-normanya dan kemauan-kemauannya diikuti oleh orang lain, suka ataupun terpaksa. Di mata public, politik selalu dikonotasikan sebagai kelicikan, bermain kotor, persekongkolan, politicking dan sebangsanya, tetapi sesungguhnya itu adalah persepsi dari praktek lapangan,bukan politik sebagai konsep.
       Secara konsepsional,politik adalah ilmu, game dan seni. Dengan ilmu politik maka konstitusi, struktur politik, dan gagasan politik lainnya bisa terukur,logic, ilmiah dan masuk akal.  Politik sebagai game membuat bermain politik seperti benar-benar sedang bermain sehingga mereka tetap riang gembira. Yang menang mendapat aplouse yang kalah malah ikut memberi aplouse. Politik sebagai seni bermakna bahwa perkelahian sekalipun tetap indah ditonton dan indah dirasa, karena perkelahiaanya mengikuti norma yang dipatuhi secara sportip dan bermartabat. Tinju adalah seni olah raga keras, tetapi jika berlangsung fair maka yang menonton senang,yang bertinju juga senang, yang menang langsung merangkul yang kalah.


    Dalam bahasa Arab, politik disebut dengan istilah siyasah. Ilmu agama (Islam) yang berbicara tentang politk disebut fiqh as siyasah atau fiqih politik. Secara akademik ilmu politik berdekatan dengan ilmu ushuluddin atau teologi, oleh karena itu di IIUM  (International Islamic University Malaysia) misalnya jika seorang mahasiswa S2 mengambil program mayornya ilmuUshuluddin,maka program minornya adalah ilmu politik. Jadi jika seorang sarjana alumnus Fakultas Ushuluddin (Teologi) kemudian aktif dalam dunia politik, itu sudah berada pada jalur yang benar. Politik berbicara tentang kekuasaan, sumber kekuasaan adalah Tuhan,dan Ushuluddin atau Teologi adalah ilmu yang berbicara tentang ketuhanan.
       Berpolitik yang benar adalah meniru politik Tuhan, takhollaqu bi akhlaqillah, kata hadis Nabi. Tuhan Maha Kuasa, dan kekuasaannya tak terbatas. Di sisi lain Tuhan adalah Mahas Pengasih, Penyayang dan Maha Pengampun. Menejemen dua kutub kekuasaan itu adalah keadilan, dan Tuhan Maha Adil. Jadi tujuan yang benar mengambil jalur politik adalah berusaha menggapai kursi kekuasaan agar dengan kekuasaan itu ia bisa menyebarluaskan kasih sayang kepada rakyat se adil-adilnya.

      Dari kata siyasah, bentuk isim failnya adalah sais. Orang Betawi menggunakan kata sais untuk menyebut kusir sado atau dokar yang ditarik kuda. Memang ada kesamaan antara pelaku politik dengan sais,yaitu sama-sama mengendalikan power untuk mengantar pada satu tujuan. Seorang sais yang pandai, ia dapat mengendalikan  kuda dengan lembut,sang kuda berlari dengan kecepatan yang diinginkan oleh sais,kuda juga bisa dikendalikan untuk berjalan lambat ketika melewati jalan yang jelek,bisa dibelokkan dan bisa disuruh berhenti. Karakter kuda memang mirip politik. Politik adalah juga power yang bisa dikendalikan untuk mengantar pelakunya ke kursi  atau tujuan politik. Pengendali politik juga harus memiliki kemampuan seperti seorang sais kuda, mampu memacu dan mampu menarik kekang pada saat tepat. Jika kuda bisa liar dan mencelakakan sais dan sado yang ditarik, politik yang tidak terkendali juga bisa menjadi boomerang yang mencelakakan sang pengendali berikut kendaraan (partai) politik yang dikendarainya.
       Kuda yang lapar atau terlalu lelah bisa bertindak liar bahkan menyepak sang sais, begitupun politik yang kurang  tercukupi kebutuhannya  bisa melahirkan anarki politik yang bisa mematikan atau sekurang-kurangnya mencelakakan para pemimpin politik. Karena liarnya kuda dan demi kelancaran perjalanan, maka sais menutup  sebagian pandangan kuda dengan “kacamata kuda” sehingga mata kuda focus hanya tertuju ke jalan didepan,tidak bisa nengok kiri kanan apalagi melihat ke belakang. Begitupun dalam pengendalian politik,tidak boleh seluruh realita terbuka telanjang,bisa diakses oleh semua orang pada setiap saat. Ada fakta-fakta yang harus disembunyikan dari pandangan public, karena jika terbuka, public bisa digerakkan oleh pengendali politik yang lain untuk melakukan  maneuver anarkis yang bisa menghambat berlangsungnya proses politik. Kejujuran politik bukan berarti lugu, terbuka apa adanya, tetapi harus disertai dengan kecerdasan politik, yakni tahu persis ukuran keterbukaan dan kapan dan dimana harus terbuka sehingga proses politik dapat berlangsung terkendali.

Idealisme dan Pragmatisme Politik.

       Bagi indifidu politisi, politik sering dikonotasikan secara negatip,misalnya ambisi politik,permainan politik,money politik dan sebagainya. Itu adalah sisi-sisi pragmatisme politik.  Tetapi bagi suatu masyarakat,apalagi suatu bangsa,politik adalah bagian dari menejemen kebersamaan dalam upaya mencapai kesejahteraan bersama. Dengan politik suatu bangsa bisa mencapai masa kejayaan; politik, ekonomi dan budaya sekaligus.  Kegagalan menejemen politik bisa membuat suatu bangsa kehilangan makna kehadirannya; negerinya makmur tetapi rakyatnya miskin,penduduknya banyak tetapi tidak bisa menjadi subyek, hanya menjadi obyek politik global.

         Oleh karena itu bagi suatu bangsa, tidak cukup hanya dengan konsep politik  ideal yang sarat dengan nilai-nilai etika dan kemanusiaan, tetapi juga efektifitas politik. Seperti kuda, politik juga harus dikendalikan secara tepat.  Problem,nya ialah bagaimana mengendalikan politik yang beretika tetapi juga efektip. Fraksi di DPR melambangkan idealisme politik, sedangkan koalisi menggambarkan pragmatisme politik., oleh karena itu dukungan fraksi kepada Pemerintah sering tidak kompak, karena masing-masing fraksi anggauta koalisi memiliki idealisme yang berbeda, atau juga kepentingan yang berbeda-beda.

Konflik Politik

       Manusia  sebagai makhluk social memiliki tabiat suka  bekerjasama dan bersaing sekaligus. Manusia membutuhkan kerjasama karena secara indifidu manusia tidak mampu memenuhi seluruh  kebutuhan hidupnya.Oleh karena itu sekelompok manusia yang  memiliki kebutuhan bersama membangun “organisasi” yang mengatur teknik maupun kode etik dalam bekerjasama . Meski sekelompok manusia iu bekerjasama dalam satu bingkai organisasi, tetapi masing-masing orang juga memiliki tujuan individual yang belum tentu sama. Jika banyak yang bertarget (tujuan) sama, sementara “kursi” tujuan , yakni untuk menjadi yang tertinggi ternyata hanya ada satu, maka semua kompetitor akan melakukan persaingan.. Ada yang berpegang teguh kepada etika bersaing sehingga mereka tetap bertindak fair dalam bersaing, dan ada yang tidak mempedulikan nilai-nilai etika dalam bersaing. Nah ketika itulah akan terjadi konflik antar competitor. Adakalanya konflik hanya terjadi pada tataran argument, terkadang tak terkendali hingga konflik fisik bahkan peperangan bersenjata. Sering kita saksikan perkelahian fisik dalam kongres atau forum satu partai,  bahkan dalam siding DPR pun sering terjadi konflik yang sangat demontratip, seperti membalikkan meja, membanting kursi dan sebagainya. Gus Dur sewaktu menjadi Presiden pernah mengkritik perilaku anggauta DPR yang suka konflik dengan menyebutnya sebagai Taman Kanak-Kanak.

          Suatu Negara dibangun untuk menjamin tercapainya tujuan bersama dari warga negaranya. Jika dalam suatu partai kecil bisa terjadi conflict antar pengurus partai, maka tidak ada Negara di dunia yang terbebas dari conflict , bahkan conflict berkepanjangan melahirkan teori menejemen, yaitu menejemen conflict. DPR merupakan satu dari tiga pilar negara (eksekutip,legislatip dan yudikatip). Pembagian kekuasaan ini adalah wadah kerjasama dan persaingan sekaligus, karena 200 juta lebih manusia Indonesia   tidak mungkin sama , tetapi juga bukan mustahil bisa bekerjasama. Fraksi politik di DPR bisa mewakili aspirasi rakyat pemilih, bisa juga hanya mengekploitir rakyat pemilih untuk tujuan sendiri.

            Tugas DPR adalah legislasi dan bugeting, jika melakukan sesuatu diluar tugasnya. maka implikasinya bisa  dianggap melampaui kewenangannya atau melanggar etika politik, kedua-duanya merendahkan martabat dewan. APBD suatau daerah harus disepakati oleh DPRD dan Gubernur. Jika Gubernur mengajukan APBD berbeda dengan yang disepakati dengan DPRD seperti yanag dilakukan oleh Ahok, Gubernur DKI Jaya, maka Gubernur dianggap melanggar bukan saja etika tetapi juga Undang-Undang. Kesimpulan lembaga survey akhir-akhir ini yang menempatkan DPR bersama beberapa lembaga lainya (Polri, Kejagung)  sebagai  sarang korupsi mengindikasikan bahwa banyak rambu-rambu yang terlanggar,baik rambu kewenangan maupun rambu etika.   Terbebas dari jeratan hokum formal bukan berarti pasti terbebas dari penyimpangan etika., oleh karena itu disetiap lembaga ada Badan Kehormatan, seperti BK DPRRI yang harus mampu “mengendus” perilaku anggauta yang potensil menjatuhkan martabat Dewan.  Keharusan menjaga etika politik juga berlaku bagi eksekutip maupun yudikatip; 

Read More
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger