Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Sunday, August 29, 2010

Membangun akhlak manusia (3) Tingkatan nilai akhlak
at 7:51 PM 
Seorang perampok terkadang iba juga melihat penderitaan orang lain. Dari perasaan ibanya maka ia boleh jadi menyisihkan sebagian hasil rampokannya untuk menolong orang yang menderita itu, sehingga bisa terjadi seorang perampok profesional yang tak pernah tertangkap jus¬tru dikenal sebagai sosiawan di kampung halamannya. Adakah perampok yang sosiawan itu dapat disebut sebagai orang yang berakhlak?

Apa yang dilakukan oleh perampok itu adalah perbuatan baik, tetapi bukan kebaikan, karena tidak bersumber dari nilai-nilai akhlak. Kebaikan itu sifatnya utuh, tidak kontradiktip, meski boleh jadi ada perbedaan persepsi orang lain terhadapnya. Perbuatan seseorang dapat dipandang sebagai perwujudan dari akhlaknya manakala ia keluar dari keadaan batinnya. Dalam perspektip ini maka suatu perbuatan dapat diklasifikasi dengan ukuran-ukuran (a) Perbuatan baik atau buruk, (b) Kriteria atau konsep tentang baik dan buruk, (c) Pengenalan atau makrifat terhadap kebaikan atau keburukan, dan (d) kecenderungan jiwa terhadap kebaikan atau keburukan.

1. Perbuatan Baik atau Buruk

Perbuatan baik atau buruk yang dilakukan seseorang tanpa ada hubungannya dengan akhlaknya atau tabiatnya adalah hanya bernilai perbuatan. Suatu ketika seorang yang akhlaknya buruk tanpa kesadaran akan makna baik buruk melakukan suatu perbuatan yang bernilai baik. Demikian juga seseorang yang sebenarnya akhlaknya baik, suatu ketika tanpa menyadari makna keburukan melakukan sesuatu yang bernilai buruk.. Perbuatan baik dan perbuatan buruk dari dua orang itu hanya bernilai sebagai perbuatan, tetapi tidak bermakna sebagai kebaikan atau kejahatan. Dilihat dari sudut agama, maka perbuatan itu tidak men-datangkan pahala dan dosa. Seorang pencuri yang sedang mencuri di rumah seseorang karena kepergok kemudian mebunuh tuan rumah. Tetapi setelah peristiwa pembunuhan itu terungkap bahwa orang yang dibunuh oleh pencuri itu adalah tokoh pemberontak yang sangat ber¬bahaya bagi bangsa dan negara, yang telah sekian lama tidak berhasil ditangkap oleh aparat keamanan. Senyatanya pencuri itu berjasa bagi negara dan bangsa, tetapi di depan Tuhan ia tidak memperoleh apa-apa selain dosa membunuh. Demikian juga seorang peneliti, tanpa disadari produk penelitiannya itu justru menyebabkan timbulnya wabah yang menelan ratusan korban meninggal. Di depan masyarakat, peneliti tersebut bisa disebut sebagai pembunuh massal, tetapi di depan Tuhan ia tidak dihukumi sebagai pembunuh.

2. Konsep kebaikan dan keburukan

Ada orang yang memiliki pengertian yang lengkap tentang kebaikan dan keburukan. Ia bisa menerangkan dengan lancar segi-segi dan kriteria-kriteria yang berhubungan dengan kebaikan atau keburukan itu. Tetapi pengertiannnya itu tidak mengantarnya pada perbuatan kongkrit. Pengertiannya tentang kebaikan atau keburukan berhenti pada konsep, sementara perbuatan yang dilakukan sama sekali tidak diilhami oleh pengertiannya tentang kebaikan atau keburukan. Model orang seperti ini biasanya terdapat pada orang intelek yang jahat atau penjahat yang jenius.

3. Pengenalan kepada kebaikan dan keburukan

Kata mengenal mempunyai muatan yang berbeda dengan kata mengetahui. Orang Arab menggunakan kata ma'rifat untuk menyebut pengenalan dan kata 'ilm untuk menyebut pengetahuan, Pengetahuan merupakan aspek kognitip sedangkan pengenalan sudah menyentuh aspek afektip. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu belum tentu memotivisir tingkahlaku yang mendukung pengetahuannya, tetapi orang yang mengenal tentang sesuatu, kalau toh tidak melakukan sesuatu yang sejalan dengan pengenalannya, sekurang-kurangnya ia simpati atau empati terhadapnya. Orang yang memiliki banyak pengetahuan tentang nilai-nilai kebaikan boleh jadi ia bisa menjadi dosen ilmu etika atau menulis buku tentang etika, tetapi belum tentu perbuatannya sesuai dengan pengetahuan yang diajarkan dan ditulisnya. Tetapi orang yang sudah mengenal nilai-nilai kebaikan, ia bukan hanya mengetahui tetapi merasakan makna dari suatu perbu¬atan baik, dan dapat merasakan penderitaan korban dari perbuatan kejahatan. Orang yang sudah mengenal kebaikan, kalau toh ia belum menjadi orang baik, sekurang-kurangnya ia sudah bercita-cita untuk menjadi orang baik. Ia mau membantu orang lain yang sedang berusaha untuk menjadi orang baik, dan kalau toh ia belum bisa menjadi orang baik, ia selalu menyesali dirinya mengapa ia belum bisa. Ia sudah mencintai kebaikan yang sudah ia kenali meski ia belum bisa meme-luknya erat-erat.

4. Kecenderungan Jiwa kepada Kebaikan atau Keburukan

Seseorang pada tingkatan ini, pengetahuan dan pengenalannya terhadap kebaikan dan atau keburukan telah menjadi bagian dari jiwanya, sehingga jika ia orang baik, maka berbuat baik itu sudah meru¬pakan spontanitas, tanpa memikirkan untung rugi dan resikonya. Demikian juga jika ia orang jahat maka berbuat jahat sudah merupa¬kan spontanitas tanpa memikirkan resiko bagi dirinya maupun akibat buruk yang akan menimpa korban kejahatannya. Orang baik pada tingkatan ini alergi kepada perbuatan buruk, sebaliknya orang jahat pada tingkatan ini juga alergi terhadap perbuatan baik. Pada tingkatan inilah seseorang dianggap sudah berakhlak, akhlak baik atau akhlak buruk, karena nilai-nilai kebaikan atau keburukan telah mewarnai keadaan batinnya, keadaan jiwanya.
posted by : Mubarok institute

Post a Comment

Home

My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger