Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Tuesday, July 04, 2006

AGAMA DAN GANGGUAN KEJIWAAN
at 7:35 PM 
Oleh : Prof.Dr. Achmad Mubarok, MA
Disampaikan dalam Seminar Umum yang dikerjasamakan oleh Kajian Kang Jalal dengan Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina, di Jakarta, 7 Juli 2006

Pendahuluan

Sesungguhnya sudah menjadi tabiat kehidupan bahwa ada orang sehat dan ada orang sakit, ada orang normal dan ada yang abnormal, ada yang memiliki tingkat kesehatan mental sangat tinggi, ada yang lemah mental. Ada yang jiwanya sehat, ada yang terganggu kejiwaannya dan bahkan ada yang sakit jiwa. Masalahnya menjadi heboh ketika ada orang yang terpelajar dan dikenal sebagai orang yang mengerti agama serta menjalankan ibadah agamanya secara taat tetapi melakukan sesuatu yang menurut suatu ukuran disebabkan karena mengidap gangguan kejiwaan. Publik menjadi sangat tergoda untuk mengetahui, adakah hubungan antara corak keberagamaan seseorang dengan perilaku menyimpang? Makalah ini bukan membahas kasus yang terjadi di Bandung beberapa waktu yang lalu karena penulis tidak mengenal mereka, meski ide penyelenggaraan seminar ini dari kasus tersebut.


Konsep Sehat wal Afiat

Term sehat wal afiat biasanya digunakan untuk menyebut tingkat kesehatan yang prima, terkadang hanya untuk menyebut kesehatan fisik, terkadang dimaksud untuk menyebut kesehatan lahir batin. Tetapi jika kita melacak asal-usul istilah itu, maka sesungguhnya ada perbedaan yang nyata antara sehat dan afiat. Sehat (al shihhah) merujuk kepada fungsi, sedang afiat (al `afiyah) merujuk kepada maksud penciptaan. Mata yang sehat adalah mata yang berfungsi untuk melihat tanpa membutuhkan alat Bantu, sedangkan mata yang afiat adalah mata yang mudah untuk melihat obyek yang halal, tetapi susah untuk melihat obyek yang diharamkan –ngintip misalnya- karena maksud diciptakannya mata adalah untuk membantu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang halal dan mana yang haram. Begitulah seterusnya pada telinga, kaki, tangan dan seluruh anggauta badan. Dengan demikian maka suami yang perkasa di rumah saja, maka ia adalah suami yang sehat wal afiat, tetapi jika di luar rumah juga perkasa, maka ia adalah suami yang sehat tetapi tidak ,afiat. Oleh karena itu sesudah salat witir kita diajarkan untuk berdoa, Allohumma inna nas aluka al `afiyah, wa nas aluka tamam al `afiyah, wanas aluka as syukra `ala al fiyah.. Jadi sehat wal `afiyat sesungguhnya juga mencakup kesehatan mental.

Agama Sebagai Konsep

Sesungguhnya agama –dalam hal ini Islam- adalah konsep hidup yang disusun oleh Tuhan untuk manusia. Sebagai konsep yang disusun oleh Tuhan yang Maha Sempurna, konsep Islam pastilah sempurna, dan ia terpelihara di lauh mahfudz (langit) yang duplikatnya bisa digali dari wahyu al Qur’an. Jika orang mengatakan Islam adalah sempurna dan benar secara mutlak, (al islamu ya`lu wa la yu`la `alaih) maka yang dimaksud adalah dalam pengertian ini.
Ketika konsep itu diturunkan ke muka bumi dan dicontohkan oleh Muhammad s.a.w sebagai utusan Tuhan, maka pada tingkat ini Islam juga sempurna dan benar secara mutlak. Tetapi apa yang diperspesi oleh para sahabat (masyarakat Islam pertama) tidak lagi bersifat sempurna dan tidak lagi mengandung kemutlakan, karena pemahaman manusia yang kodratnya tidak sempurna tidak pernah sempurna. Pemahaman para sahabat Nabi, bahkan sahabat besar seperti Abu baker, Umar, Usman dan Ali apa lagi sahabat-sahabat lain, dipengaruhi oleh karakter, kapasitas intelektual dan frekwensi komunikasi mereka dengan Rasul.Dari itu maka kita sudah dapat membedakan karakteristik sosok Abu baker yang ektrim lembut dan sosok Umar bin Khattab yang ektrim keras. Kita pun dapat melihat adanya perbedaan pendapat bahkan konflik antar sahabat. Tetapi kedekatan psikologi mereka dengan Rasul, tarikan cinta masih lebih kuat disbanding tarikan interest. Oleh karena itu Nabi menggambarkan perbedaan para sahabat dengan ragam bintang di langit, sahabat2wku semua itu ibarat bintang gemintang di langit, dengan siapapun kalian mengikuti, kalian akan memperoleh petunjuk (ashaby ka an nujum, biayyi iqtadaitum ihtadaitum).

Pada saat generasi sahabat sudah habis, para ulama menjadi dominant. Konsep Islam dikembangkan melalui ijtihad, dengan sumber teks al Qur’an dan tradisi Nabi. Pada tingkat ini sudah barang tentu konsep Islam sudah tidak lagi “sempurna” karena ijtihad memang tidak melahirkan kesempurnaan. Lahirnya mazhab-mazhab menunjukkan ketidak sempurnaan konsep tetapi sekaligus menunjukkan fleksibelitas ajaran Islam, karena kata Nabi, ijtihad yang benar memperoleh pahala dua, ijtihad yang salah memperoleh pahala satu.

Berikutnya, konsep Islam bercampur dengan budaya masyarakat kaum muslimin, ada yang lebih kental sebagai budaya Islam, ada juga yang sudah bisa disebut sebagai budaya muslimin.

Corak Keberagamaan

Manusia memiliki karakteristik psikologis yang berbeda-beda, yang berdampak pula pada perbedaan karakteristik keberagamaannya. Dalam perspektip Psikologi Islam, system nafsani manusia bekerja dengan sinergi subsitem `aql, qalb, bashirah, syahwat dan hawa. `Aql (akal) merupakan problem solving capacity yang kerjanya berfikir, Qalb (hati) merupakan alat untuk memahami realita, Bashirah (nurani) merupakan cahaya ketuhanan yang ada dalam hati (nurun yaqdzifuhulloh fi al qalbi), syahwat merupakan penggerak tingkah laku (motiv) dan hawa (hawa nafsu)merupakan penguji system. Orang yang lebih menggunakan akalnya biasa logic, terkadang kering, orang yang lebih menggunakan hatinya biasanya perasa, orang yang lebih mengunakan nuraninya biasanya pilihannya selalu tepat, orang yang lebih memanjakan syahwatnya mudah tergoda oleh kemewahan, dan orang yang lebih mengikuti hawa nafsunya cenderung sesat dan destruktip.

Nah beregamaan seseorang juga diwarnai oleh karakteristik kejiwaannya, apakah lebih logic, lebih perasa, lebih mengikuti cahaya, lebih mengabdi syahwat atau lebih mengikuti hawa nafsu.
Keberagamaan Yang Logik.
Produk logika agama adalah pada ilmu yang bernama fiqh. Ilmu fiqh selalu menggunakan ilmu manthiq (logika) dalam merumuskan hokum-hukumnya, sah tidak sah, halal, haram dan seterusnya. Ketika orang yang berfiqih juga kuat dorongan syahwatnya maka ia bias menjadi munafiq, karena dalil agama bias dibelokkan menjadi halal atau haram bergantung kepada interestnya.

Keberagamaan yang penuh perasaan

Setiap kali ummat dilanda krisis materialisme (hubbul mal wal jah) maka fenomena tasauf selalu muncul.Tasauf merupakan olah rasa dimana merasa dekat dengan Tuhan lebih diutamakan daripada kebenaran logic. Nah ketika seorang mutasawwif sudah sama sekali tidak memperhatikan logika (fiqh atau syari’at) maka ketika itulah ia berpeluang menjadi zindiq, menjadi kafir, karena ia tertipu oleh perasaannya. Ia merasa sudah mikraj ke langit, padahal ia berada di dalam ruang simulasi jin atau syaitan.

Keberagamaan Yang Syahwati

Manusia dilengkapi Tuhan dengan dorongan syahwat atas lain jenis (seksual)anak-anak (kebanggaan naluriah), benda berharga (manfaat dan gengsi), kendaraan bagus (manfaat dan gengsi) ternak dan lading (manfaat dan gengsi). Orang sering tak sadar, dalam ekpressi keagamaan sesunguhnya mereka didorong oleh motiv syahwati. Ia merasa sangat bersemangat dalam membela syi`ar agama, tanpa disadari (dalam alam bawah sadar) mereka sesungguhnya sedang melakukan pemenuhan syahwat. Bahkan ketika mereka berteriak-teriak membela agama dari ancaman luar, sesungguhnya mereka sedang mengamankan kepentingan syahwat sendiri.

Keberagamaan hawiyyi (mengikuti hawa nafsu)

Ali bin Abi Talib r.a. ketika dalam medan perang jihad sudah hampir berhasil membunuh musuh. Tiba-tiba si kafir yang sudah terpojok meludahi wajah Ali dengan ludah yang banyak. Spontan Ali terusik perasaannya dan marah. Begitu sadar sedang dalam kemarahan, maka Ali mengalihkan jihadnya dari membunuh musuh ke menekan hawa nafsunya agar tidak membunuh ketika hati sedang marah, dan musuhnya justeru disuruh pergi dari mukanya. Mengapa Ali berbuat demikian ? karena jika Ali membunuh musuh dalam keadaan marah karena diludahi, maka ia tidak lagi sedang berjihad di jalan Allah, tetapi di jalan syaitan, karena marah (ghadlab) memang media syaitan dalam menyesatkan manusia. Nah bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Amrozi cs., apakah mereka sedang berjihad atau sedang melakukan perilaku menyimpang. Memerangi hawa nafsu itulah jihad al akbar (perjuangan besar) sedangkan perang fisik adalah jihad al asghar (perjuangan kecil).

Keberagamaan yang nuraniyy

Nuraniyyun artinya bersifat cahaya. Nurani atau hati nurani dalam al Qur’an disebut bashirah yang artinya pandangan mata batin sebagai lawan dari pandangan mata kepala. Nurani bercahaya manakala hati bersih dari kotoran batin. Cahaya nurani dapat menembus sekat-sekat ruang dan waktu , sehingga ia seperti bisa meramalkan masa depan. Dalam bahasa tasauf, orang yang nuraninya hidup dapat melihat dengan penglihatan Tuhan dan dapat mendengar dengan pendengaran Tuhan. Cahaya nurani redup oleh dosa kecil, dan tertutup oleh keserakahan dan maksiat. Orang yang keberagamaanya bersifat nuraniyy pada umumnya ia akrab dengan penderitaan manusia, dan bahkan makhluk. Cahaya nurani merupakan perwujudan dari rahmat Allah dimana ia memperolehnya karena ia menyayangi makhluk Alloh. Hal ini selalu diingatkan oleh Nabi, sayangi yang di bumi, niscaya Tuhan yang di langit menyayangimu, irhamu man fi al ardhi yarhamukum man fi as sama. Orang yang sadis kepada hewan apalagi kepada manusia pasti nuraninya mati. Jika orang nuraninya mati maka ia seperti orang yang berjalan di tengah kegelapan, dan karena kegelapan ia tidak bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya. Kegelapan dalam bahasa Arab disebut dzulm-dzulumat, orangnya disebut dzalim.. Praktek terorisme misalnya dapat dilihat akar sejarahnya pada tokoh Syi`ah ekstrim Hasan bin Sabah dari sekte Hassyasyin (1057) yang diberi gelar The Old Man of The Mountain in Alamut (dekat laut Kaspia) yang mengorganisir pemuda untuk melakukan pembunuhan terhadap lawan-lawan politiknya secara tiba-tiba dengan terlebih dahulu menggunakan hasyis/narkoba.

Beragama secara sehat

Kita tidak boleh mengklaim diri sebagai yang terbenar, karena kebenaran hanya milik Alloh, tetapi kita dianjurkan untuk selalu mendekati kebenaran sambil tetap mengakui bahwa hanya Allah yang paling tahu terhadap kebenaran (wallohu a`lamu bi as shawab). Ukuran kebenaran beragama secara keilmuan adalah apabila kita berpegang teguh kepada Al Qur’an dan Sunnnah Rasul, dan dalam mencari kebenaran tetap mengikuti system pemahaman (ijtihad) yang telah dibangun oleh para pendahulu kita. Beragama yang sehat adalah beragama yang mengikuti panduan secara komprehensip, vertical dan horizontal, bahkan internal. Perilaku menyimpang dari orang beragama bisa karena gangguan kejiwaan atau karena sesat piker dan salah merasa. Oleh karena itu orang beragama dalam hidupnya harus bisa berfikir sehat (logic), senang bertafakkur dan jangan lupa tadabbur. Olah rasa(tasauf) harus berdiri diatas landasan syari`ah, beragama juga harus berilmu; Mengutip Murtadla Muthahhari dalam buku Allah fi Hayat al Insan, hubungan agama dan ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut :

Ilmu mempercepat anda sampai ke tujuan
Agama menentukan arah yang dituju
Ilmu menyesuaikan manusia dengan lingkunganya
Agama menyesuaikan manusia dengan jati dirinya
Ilmu hiasan lahir, sedangkan agama hiasan batin
Ilmu memberikan kekuatan dan menerangi jalan
Agama memberi harapan dan dorongan bagi jiwa
Ilmu menjawab pertanyaan yang dimulai dengan “bagaimana”
Agama menjawab, yang dimulai dengan “mengapa”
Ilmu tidak jarang mengeruhkan pikiran pemiliknya
Sedang agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus. Wallohu a`lam
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger