Tuesday, March 31, 2009
Memahami Takdir
Yang berbicara dan mempersoalkan “takdir” hanyalah manusia. Mengapa? Di antara sekian banyak makhluk yang mengisi alam raya ini, hanyalah manusia yang mempunyai kemampuan memikirkan perbuatannya dan kejadian-kejadian yang berlaku di sekitarnya. Pada tahap tertentu dalam kehidupannya, daya fikirnya bekerja penuh melakukan penalaran; yaitu ketika ia sudah mencapai titik pertumbuhan jasmani dan rohani yang dewasa atau akil baliq. Ketika itu manusia merasa dirinya kuat, cakap dan cerdas, dapat mengetahui dan dapat melakukan segalanya; kemam¬puannya meluap-luap menginginkan segalanya.
Bilamana manusia berada dalam keadaan sehat, kuat serba tahu dan serba mau, dia merasa dirinya mampu mandiri, dan tidak memerlukan siapa-siapa, maka pada gilirannya ia bisa menghina atau memperkosa orang lain, atau sekurang-kurangnya memandang remeh sesama orang lain. Kenyataan ini direkam dalam Alquran pada ayat 6 dan 7 Surah al-‘Alaq: Ketahuilah! Sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup.
Namun bilamana sejenak ia mampu mengendalikan diri lalu bersedia mendengarkan suara hati nuraninya, maka dia akan diberi petunjuk untuk melihat dan mengamati sekelilingnya. Apa sesungguhnya yang terjadi? Manusia akan menemukan bahwa tidak semua apa yang dinginkannya (mau diperbuat) akan senantiasa terjadi sebagaimana ia kehendaki sendiri. Tidak sedikit hal-hal yang terjadi justeru di luar kemampuannya dan tidak sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Ketika manusia berjumpa dengan kenyataan seperti itu, maka ia akan mulai merasakan keter¬batasan dirinya itu, dan pada gilirannya akan mengenal adanya batas-batas dalam kehidupan ini. Mujurlah manusia bilamana ia sempat menoleh sejenak ke belakang, melihat masa lalu yang telah dilewatinya dalam perjalanan hidup itu. Ia akan tahu bahwa kehadirannya di atas persada bumi ini, sama sekali di luar jangkauan kemampuannya, dia sama sekali tidak mempunyai pilihan tentang hal tersebut. Siapa yang menjadi ayahnya dan siapa ibu yang melahirkannya itu? Kapan ia lahir dan di mana terjadi kelahirannya? Kenapa dia lahir sebagai laki-laki atau sebagai perempuan? Semuanya harus ia terima menurut adanya, dan semua itu tidak terjangkau oleh keinginannya dan berada di luar kemampuannya sendiri: ia tidak bebas menentukan pilihan atas hal-hal tersebut. Bukankah ini semua, menjadi kenyataan hidup manusia yang sesungguhnya?
Barangsiapa yang memilih berangkat dari angka satu dalam menyusun bilangan ketika ia berhitung (dan memang itulah pilihan yang tepat dan logis) maka ia akan mencari jawaban teka-teki kehidupan itu, dari titik awal kehadirannya di bumi ini. Bukankah sebelumnya ia sendiri berada di angka nol, sebagaimana diungkapkan Alquran dalam Surah al-Insan: Bukankah telah berlalu atas manusia itu suatu kurun waktu dimana ia belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?
Ketika ia belum hadir di dalam rahim ibunya, ia belum punya nama dan belum punya wujud yang nyata, bagaimana ia dapat disebut? Dan mau disebut apa ketika itu? Bukankah awal kehadirannya di bumi ini sesuatu yang sungguh misterius? Dan bukankah kehidupan itu sendiri adalah misteri yang tak kunjung terpecahkan oleh daya nalarnya sepanjang sejarah? Hal seperti ini merupakan bentuk lain dari keterbatasan manusia di dalam hal pengetahuannya. Sementara pengetahuan manusia ini (yang melahirkan ilmu dan teknologi) merupakan kebanggaan tertinggi bagi manusia itu.
Maka apabila kita menalar kenyataan-kenyataan yang ada di sekeliling kita sebagaimana diungkap di atas, kita akan melihat bahwa masalah takdir, nasib, suratan dan perwujudan yang nyata dalam soal ajal, rezki, jodoh, dan lain sebagainya, kuncinya adalah bagaimana kita memahami hubungan antara manusia dengan kehidupan itu sendiri.
Bilamana manusia berada dalam keadaan sehat, kuat serba tahu dan serba mau, dia merasa dirinya mampu mandiri, dan tidak memerlukan siapa-siapa, maka pada gilirannya ia bisa menghina atau memperkosa orang lain, atau sekurang-kurangnya memandang remeh sesama orang lain. Kenyataan ini direkam dalam Alquran pada ayat 6 dan 7 Surah al-‘Alaq: Ketahuilah! Sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup.
Namun bilamana sejenak ia mampu mengendalikan diri lalu bersedia mendengarkan suara hati nuraninya, maka dia akan diberi petunjuk untuk melihat dan mengamati sekelilingnya. Apa sesungguhnya yang terjadi? Manusia akan menemukan bahwa tidak semua apa yang dinginkannya (mau diperbuat) akan senantiasa terjadi sebagaimana ia kehendaki sendiri. Tidak sedikit hal-hal yang terjadi justeru di luar kemampuannya dan tidak sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Ketika manusia berjumpa dengan kenyataan seperti itu, maka ia akan mulai merasakan keter¬batasan dirinya itu, dan pada gilirannya akan mengenal adanya batas-batas dalam kehidupan ini. Mujurlah manusia bilamana ia sempat menoleh sejenak ke belakang, melihat masa lalu yang telah dilewatinya dalam perjalanan hidup itu. Ia akan tahu bahwa kehadirannya di atas persada bumi ini, sama sekali di luar jangkauan kemampuannya, dia sama sekali tidak mempunyai pilihan tentang hal tersebut. Siapa yang menjadi ayahnya dan siapa ibu yang melahirkannya itu? Kapan ia lahir dan di mana terjadi kelahirannya? Kenapa dia lahir sebagai laki-laki atau sebagai perempuan? Semuanya harus ia terima menurut adanya, dan semua itu tidak terjangkau oleh keinginannya dan berada di luar kemampuannya sendiri: ia tidak bebas menentukan pilihan atas hal-hal tersebut. Bukankah ini semua, menjadi kenyataan hidup manusia yang sesungguhnya?
Barangsiapa yang memilih berangkat dari angka satu dalam menyusun bilangan ketika ia berhitung (dan memang itulah pilihan yang tepat dan logis) maka ia akan mencari jawaban teka-teki kehidupan itu, dari titik awal kehadirannya di bumi ini. Bukankah sebelumnya ia sendiri berada di angka nol, sebagaimana diungkapkan Alquran dalam Surah al-Insan: Bukankah telah berlalu atas manusia itu suatu kurun waktu dimana ia belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?
Ketika ia belum hadir di dalam rahim ibunya, ia belum punya nama dan belum punya wujud yang nyata, bagaimana ia dapat disebut? Dan mau disebut apa ketika itu? Bukankah awal kehadirannya di bumi ini sesuatu yang sungguh misterius? Dan bukankah kehidupan itu sendiri adalah misteri yang tak kunjung terpecahkan oleh daya nalarnya sepanjang sejarah? Hal seperti ini merupakan bentuk lain dari keterbatasan manusia di dalam hal pengetahuannya. Sementara pengetahuan manusia ini (yang melahirkan ilmu dan teknologi) merupakan kebanggaan tertinggi bagi manusia itu.
Maka apabila kita menalar kenyataan-kenyataan yang ada di sekeliling kita sebagaimana diungkap di atas, kita akan melihat bahwa masalah takdir, nasib, suratan dan perwujudan yang nyata dalam soal ajal, rezki, jodoh, dan lain sebagainya, kuncinya adalah bagaimana kita memahami hubungan antara manusia dengan kehidupan itu sendiri.
:-) blog yang penuh inspiasi. great!
Post a Comment
Home