Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Friday, March 20, 2015

Etika Politik (2)
at 2:18 AM 
Oleh : Prof. DR. Achmad Mubarok, MA



Etika dan Pemimpin   
  Pemimpin bangsa terutama Presiden, ia bukan hanya pilot mesin pemerintahan, tetapi juga figure keteladanan. Seluruh perilaku pemimpin tertinggi berada dalam sorotan rakyat, oleh karena itu seorang pemimpin bukan hanya harus mematuhi pasal-pasal konstitusi tetapi juga harus memenuhi rasa keadilan, kearifan, ketegasan, keberanian, kepatutan dan konsistensi. Meski sebagai manusia, seorang pemimpin juga memiliki keterbatasan, tetapi ada standard anatomis yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin, yang jika kurang dari standard minimal maka akan berdampak pada kegelisahan masyarakat. Kegelisahan public jika tidak ada jendela yang berfungsi sebagai ventilasi politik dan psikologis maka bisa berujung pada kesumpekan politik. Jika kesumpekan politik berlangsung lama maka ujungnya bisa meledak menjadi perilaku anarkis massal atau revolusi yang tidak mudah diprediksi akhir kesudahannya, .

Profil keteladanan Presiden2 RI

       Selama 69 tahun kemerdekaan RI sudah ada tujuh orang yang duduk sebagai Presiden Republik Indonesia, dan masing-masing memiliki performance yang berbeda-beda dalam kontek keteladanan politik, yaitu Sukarno, Suharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan terakhir sekarang Joko Widodo.

  1. Presiden Sukarno
       Sukarno, Sang Proklamator adalah tokoh besar kaliber dunia, intelektual, orator, seniman dan sudah barang tentu politisi.  Ia menjadi kebanggan rakyat di pertengahan masa kekuasaannya. Kreatifitas yang sekaligus kelemahannya adalah merekayasa produk-produk politik yang nampak mempesona tetapi sesungguhnya melanggar norma2 konstitusi , misalnya : Pemimpin Besar Revolusi, Presiden Seumur Hidup,  Manipol Usdek, demokrasi terpimpin dan yang melanggar nilai filsafat seperti Nasakom. Konsep-konsep yang tidak demokratis dan tidak filosofis itu akhirnya menjadi boomerang menjatuhkan dirinya berikut krisis bangsa dan negaranya.
  1. Presiden Suharto,
        Pak Harto hadir tepat waktu menyelamatkan bangsa dan Negara. Suharto berusaha menarik bandul sejarah dari otoritarian popular ke bandul konstitusi, yakni kembali ke Panca Sila dan UUD 45 secara murni dan konsekwen. Suharto juga memperioritaskan pembangunan ekonomi yang membuat tingkat kesejahteraan rakyat meningkat. Begitu” sukses” program pembangunan ekonomi nasional hingga bangsa Indonsesia “tersihir” seakan mau tingggal landas. Berbeda dengan Bung Karno yang meniadakan Pemilu, Pak Harto secara disiplin menyelenggarakan Pemilu sebagai wujud demokrasi. Sayangnya pemilu yang secara disikplin dijalankan lima tahun sekali sarat dengan rekayasa demokrasi. Jika Bung Karno bisa duduk di kursi kepresidenan selama 20 tahun, Pak Harto dengan rekayasa demokrasi yang disebut demokrasi Panca Sila bisa menduduki kursi kepresidenan selama 32 tahun. Jika Bung Karno jatuh karena krisis G 30 S, Presiden Suharto dipaksa mundur oleh Gerakan Reformasi setelaha terjadi krisis moneter.

  1. Presiden Habibie.  

       Habibie adalah seorang ilmuwan dan teknokrat ahli rancang bangun pesawat terbang yang karena jabatannya sebagai wakil Presidennya Pak Harto maka secara otomatis Habibie menggantikan Pak Harto ketika beliau mengundurkan diri. Sesungguhnya P{ak Habibie memilik banyak kelebihan, tetapi sentiment politik pada era reformasi mdembuatnya tergusur ketika MPR menolak pertanggungjawaban Presiden. Kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh Pak Habibi tidak bisa diaktualisasikan, terkendalam oleh sentimen barbarika politik era reformasi. Meski demikian beliau berjasa mengatasi krisis moneter secara tepat waktu sehingga Negara tidak mengalami keterpurukan ekonomi berkepanjangan.

  1. Presiden Abdurrahman Wahid.
       Presiden ke 4 yang lebih akrab dipanggil Gus Dur ini dipilih secara emosionil oleh MPR. Gus Dur itu seorang ulama, cendekiawan dan seniman dan pengamat yang sangat cerdas, tetapi memiliki keterbatasan fisik, yaitu buta mata. Meski kecerdasannya tak ada yang meragukan tetapi kesulitan Gus Dur adalah pada transformasi diri dari seorang kyai yang seniman menjadi Presiden dari dari Negara besar yang sedang mengidap problem besar, berat dan rumit. Fikiran-fikiran cerdas Presiden Gus Dur sering tidak difahami oleh orang pada zamannya, Gus Dur hanya sebentar menduduki kursi presiden karena dijatuhkan oleh MPR yang mengangkatnya. Gus Dur dapat disebut sebagai Pemimpin yang hadir mendahului zamannya, oleh karena itu banyak orang yang tidak faham terhadap gagasan2 beliau.. Setelah beliau wafat baru orang menyadari betapa gagasan2 Gus Dur  itu  benar dan tepat, dan kini orang lupa kekurangan  beliau dan hanya dikenang kebaikannya saja.

  1. Presiden Megawati
       Setelah Gus Dur dilengserkan, Megawati yang ketika itu menjabat sebagai wapresnya dilantik menjadi Presiden oleh MPR. Masa jabatan yang pendek dan keterbatasan pengalaman serta jejak rekam Megawati sebelum menjadi Presiden membuatnya tidak berhasil melahirkan perubahan yang signifikan. Apa lagi dampak dari reformasi ekonomi dan politik yang dilakukan sekaligus membuat iklim politik nasional menjadi “kebablasan”. Kekeliruan kebijakan BLBI pada akhir masa pak Harto mewariskan situasi yang membuat serba salah apapun kebijakan yang dilakukan oleh Presiden, termasuk oleh Presiden Megawati terutama dalam mengeluarkan SKL kepada obligor nakal.

  1. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
       Presiden ke 6 yang lebih sering dipanggil SBY adalah presiden pertama RI yang dipilih langsung oleh rakyat berdasar UU sebagai salah satu buah dari reformasi. Rakyat menaroh harapan yang sangat tinggi atau bahkan terlalu tinggi terhadap sosok presiden SBY tanpa menyadari bahwa problem yang dihadapi Pemerintah itu sangat berat, besar dan rumit. Latar belakang SBY sebagai orang terpelajar dan Jendral Angkatan Darat yang sudah menjalani karir secara sistematis membuatnya bekerja dengan system berdasar menejemen professional. Sesungguhnya SBY adalah presiden yang sangat cocok untuk Negara yang pemerintahannya jalan karena beliau sangat taat azas. Tapi iklim kebebasan yang terlalu bebas membuatnya sangat hati-hati, dan hal itu berimplikasi pada langkah yang terasa lambat, sementara public maunya serba cepat. Presiden SBY meletakkan dasar-dasar masa depan Negara di era global, dan keterpilihan dua periode menunjukkan adanya kepercayaan rakyat. Mestinya periode SBY merupakan akhir dari tikungan sejarah reformasi, untuk selanjutnya menapaki jalan lurus menuju Indonesia 2045 (satu abad kemerdekaan). Betapapun barbarika politik dari partai oposisi maupun dari partai koalisi yang tidak konsisten cukup mengganggu, tetapi data angka maupun pengakuan dunia menunjukkan prestasi yang cukup signifikan. Mestinya periode SBY yang soft dan sangat hati-hati dilanjutkan oleh Presiden yang feelingnya kuat dan cepat mengambil keputusan  dalam mengayuhkan langkah kemajauan bangsa sehingga terjadi percepatan pembangunan terutama menyongsong era MEA yang sudah didepan mata. Tetapi hasil pilpres belum tentu mengikuti analisa ahli, karena pilpres langsung lebih melibatkan emosi senang atau tidak senang public yang belum tentu sejalan dengan nalar politik pembangunan.
       Satu hal yang pantas diapresiasi, SBY adalah presiden pertama yang melakukan serah terima dan ada upacara pisah sambut di istana dengan presiden Jokowi yang menggantikiannya, satu pondasi budaya politik yang bermartabat yang mudah-mudahan akan diteruskan dalam setiap suksesi nasional  di depan.

  1. Joko Widodo

       Presiden Joko Widodo atau yang lebih dikenal dengan nama Jokowi dipilih secara emosionil oleh pendukungnya, meski dilihat dari pendidikan dan jejak rekam pengalaman politik yang dilaluinya, menurut nalar politik belum cukup  kapasitasnya untuk memimpin Negara sebesar Indonesia dengan problem-problem yang masih besar, berat dan rumit. Asumsi ini terbukti dalam seratus hari pertama menjadi presiden terjadi carut-marut politik yang tak berujung dan merembet ke ekonomi , terutama harga`harga kebutuhan pokok rakyat. Memang tidak fair kalau baru beberapa bulan sudah menfonis Jokowi sebagai tidak mampu, tetapi kita tidak bisa membayangkan jika keadaan yang susah dinalar ini berlangsung hingga satu tahun, pasti korbannya adalah rakyat, negara dan bangsa. Meski demikian kita berharap bahwa situasi ini mudah-mudahan akan berujung pada ditemukannya jalan keluar oleh pemerintah, atau berujung pada terbangunnya introspeksi nasional yang membuat segenap warga bangsa  terutama para elitnya bisa memutuskan sesuatu untuk bangsa demi untuk bangsa, bukan berlatar agenda subyektip kelompoknya.


       Bagaimanapun masyarakat Indonesia belum bisa melepaskan diri dari paternalism dimana seorang pemimpin, terutama presiden harus dipandang hebat, memiliki banyak kelebihan dibanding yang dipimpin. Pemimpin paspasan saja bisa membuat yang dipimpin kehilangan semangat, nah kalau terlalu banyak kekurangannya bisa merangsang munculnya perilaku anarkis dari rakyat yang dipimpin. Betapa sedihnya jika orang nomor satu di negeri ini justeru tiap menit menjadi bahan olok-olokan di dunia maya, oleh rakyatnya sendiri.

        Sebagai penutup dari uraian ini, saya kutip kaidah politik dari kitab kuning pesantren yang berbunyi : Lan yaflah al qaumu faudlo la surota lahum  ** wala surota idza juhhaluhum saaduu, artinya : suatu bangsa tidak akan sukses jika mereka bertindak anarkis tak bermartabat, dan martabat bangsa itu akan hilang jika mereka dipimpin oleh-orang-orang bodoh.
      

posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger