Friday, September 28, 2012
Kelatenan Terorisme
Republika.co.id
Oleh: Azyumardi Azra
Terorisme masih laten di negeri ini, seperti terlihat dari penyergapan di Solo dan Depok da lam pekan terakhir Agustus dan awal September 2012. Polisi bahkan juga menduga ledakan besar yang terjadi di Beji, Depok, akhir pekan lalu ter kait dengan Thoriq, seorang terduga teroris yang buron pascapenyergapan Solo.
Korban nyawa kembali jatuh; dua terduga teroris yang masih muda, Farhan dan Mukhlis yang berusia 19 tahun. Tewas pula Briptu Suherman dalam baku tembak di Solo. Polisi kemudian menyergap anak muda lain, Bayu Setiono, di Karanganyar, Jawa Tengah, dan Firman di Depok. Menurut Bayu Setiono, dari enam komplotan Solo, lima adalah alumni Pondok al- Mukmin Ngruki, Solo.
Kasus-kasus terakhir ini selain menunjukkan terus latennya terorisme di Indonesia sekaligus memperlihatkan terjadinya regenerasi sel-sel teror. Jelas kelihatan, mereka yang ter duga dan terkait dengan aksi terorisme ini kian berusia muda-rata-rata ber umur anak tamatan SMA/MA. Mereka ini bisa dipastikan memiliki sema ngat bernyala-nyala yang dapat diarahkan kalangan lebih tua untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, yang mereka sendiri sangat boleh jadi tidak paham sepenuhnya. Cuci otak dan indoktrinasi akhirnya membuat mereka rela mengorbankan nyawa milik paling berharga setiap anak manusia.
Karena itu, jika ada pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kematian anak-anak muda itu adalah kalangan guru, ustaz, murabbi, atau kiai mereka yang menanamkan pemahaman jihad yang keliru kepada murid-murid mereka. Jelas pula, kalangan pengajar ini tidak sanggup melakukan terorisme dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebaliknya, justru anak anak muda yang masih naif dalam hal kompleksitas ideologis keagamaan dan politis yang mereka asung membunuh orang lain sekaligus diri mereka sendiri.
Terorisme tetap menjadi laten jika tetap ada kalangan pengajar di lembaga pendidikan mana pun yang memendam dan mengajarkan ideologi kemarahan, kebencian, dan dendam kepada pihak lain, seperti aparat kepolisian—khususnya Densus 88—lingkungan pejabat negara dan boleh jadi juga kalangan umat Muslimin arus utama. Selama ideologi seperti masih diajarkan melalui pencucian otak, indoktrinasi, dan rezimentasi, selama itu pula warga Indonesia lain yang cinta damai harus hidup di tengah ancaman terorisme yang dapat muncul sewaktu-waktu kapan Memang tidak pada tempatnya mengaitkan lembaga pendidikan tertentu, semacam Pesantren Ngruki, dengan aksi-aksi teror yang dilakukan sejumlah alumninya. Apalagi, mengaitkannnya dengan seluruh pesantren di Tanah Air, yang jumlahnya lebih daripada 20.000. Tetapi, jika ada lembaga pendidikan yang satu demi satu alumninya masih saja terkait dengan aksi kekerasan dan terorisme, wajar belaka jika ada ka langan mempertanyakan tentang apa yang sebenarnya yang diajarkan kepada para murid.
Sangat boleh jadi, kurikulum yang digunakan lembaga pendidikan tersebut adalah kurikulum yang ditetapkan Kemdikbud dan Kemenag. Karena itu, secara formal tidak ada yang salah de ngan kurikulum lembaga pendidikan bersang kutan dan ketika diselidiki, instansi pendidikan berwenang tidak menemukan penyimpangan dalam kurikulum.
Masalahnya kemudian, proses pendidikan dan pembelajaran juga melibatkan “kurikulum tersembunyi” (hidden curri culum) dengan muatan tertentu—termasuk ideologi kekerasan keagamaan—yang bisa disampaikan kalangan guru atau ustaz tertentu. Sering pula hidden curriculum itu masuk melalui kegiatan “ekskul” OSIS atau rohis yang ada di lembaga pendidikan.
Karena itu, pihak-pi hak yang bertanggung jawab dalam proses pendidikan dan pembelajaran—dalam hal Kemdikbud dan Kemenag—semestinya berusaha memantau hidden curriculum tersebut. Jika melakukan pemantauan dan bahkan penelitian terhadap proses pendidikan dan pembelajaran di lembaga pendidikan manapun, sepatutnya mereka tidak berhenti hanya pada penerapan kurikulum formal be laka. Mereka harus bergerak lebih jauh dengan menyelidiki “kurikulum tersembunyi” yang disampaikan kepada para murid.Lebih daripada itu, sepatutnya pula para penanggung jawab pendidikan di negeri ini menatar kembali para pimpinan lembaga pendidikan dan para guru dengan subjek-subjek penting menyangkut negara, bangsa, dan agama. Ditengah kebebasan informasi dan pertarungan ideologis yang ditandai meningkatnya intrusi dan infiltrasi berbagai corak paham dan gerakan transnasional, penataran semacam itu dapat memberikan perspektif lebih jelas tentang kebangsaan, agama, kedamaian, dan peradaban.
Pendidikan merupakan satu-satunya cara untuk melahirkan generasi muda yang mencintai negara-bangsanya dan juga agamanya. Pendidikan juga merupakan sarana paling strategis untuk membangun generasi muda yang berilmu, beriptek, beriman, beramal, dan berakhlak mulia. Melalui pendidikanlah dapat dibangun peradaban bangsa lebih maju. Karena itu, jika ada kalangan yang terus menerapkan kurikulum tersembunyi dengan muatan ideologi kebencian dan kemarahan, yang menjadi korban bukan hanya kalangan generasi muda bangsa, tetapi sekaligus peradaban dan kemanusiaan.
Oleh: Azyumardi Azra
Terorisme masih laten di negeri ini, seperti terlihat dari penyergapan di Solo dan Depok da lam pekan terakhir Agustus dan awal September 2012. Polisi bahkan juga menduga ledakan besar yang terjadi di Beji, Depok, akhir pekan lalu ter kait dengan Thoriq, seorang terduga teroris yang buron pascapenyergapan Solo.
Korban nyawa kembali jatuh; dua terduga teroris yang masih muda, Farhan dan Mukhlis yang berusia 19 tahun. Tewas pula Briptu Suherman dalam baku tembak di Solo. Polisi kemudian menyergap anak muda lain, Bayu Setiono, di Karanganyar, Jawa Tengah, dan Firman di Depok. Menurut Bayu Setiono, dari enam komplotan Solo, lima adalah alumni Pondok al- Mukmin Ngruki, Solo.
Kasus-kasus terakhir ini selain menunjukkan terus latennya terorisme di Indonesia sekaligus memperlihatkan terjadinya regenerasi sel-sel teror. Jelas kelihatan, mereka yang ter duga dan terkait dengan aksi terorisme ini kian berusia muda-rata-rata ber umur anak tamatan SMA/MA. Mereka ini bisa dipastikan memiliki sema ngat bernyala-nyala yang dapat diarahkan kalangan lebih tua untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, yang mereka sendiri sangat boleh jadi tidak paham sepenuhnya. Cuci otak dan indoktrinasi akhirnya membuat mereka rela mengorbankan nyawa milik paling berharga setiap anak manusia.
Karena itu, jika ada pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kematian anak-anak muda itu adalah kalangan guru, ustaz, murabbi, atau kiai mereka yang menanamkan pemahaman jihad yang keliru kepada murid-murid mereka. Jelas pula, kalangan pengajar ini tidak sanggup melakukan terorisme dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebaliknya, justru anak anak muda yang masih naif dalam hal kompleksitas ideologis keagamaan dan politis yang mereka asung membunuh orang lain sekaligus diri mereka sendiri.
Terorisme tetap menjadi laten jika tetap ada kalangan pengajar di lembaga pendidikan mana pun yang memendam dan mengajarkan ideologi kemarahan, kebencian, dan dendam kepada pihak lain, seperti aparat kepolisian—khususnya Densus 88—lingkungan pejabat negara dan boleh jadi juga kalangan umat Muslimin arus utama. Selama ideologi seperti masih diajarkan melalui pencucian otak, indoktrinasi, dan rezimentasi, selama itu pula warga Indonesia lain yang cinta damai harus hidup di tengah ancaman terorisme yang dapat muncul sewaktu-waktu kapan Memang tidak pada tempatnya mengaitkan lembaga pendidikan tertentu, semacam Pesantren Ngruki, dengan aksi-aksi teror yang dilakukan sejumlah alumninya. Apalagi, mengaitkannnya dengan seluruh pesantren di Tanah Air, yang jumlahnya lebih daripada 20.000. Tetapi, jika ada lembaga pendidikan yang satu demi satu alumninya masih saja terkait dengan aksi kekerasan dan terorisme, wajar belaka jika ada ka langan mempertanyakan tentang apa yang sebenarnya yang diajarkan kepada para murid.
Sangat boleh jadi, kurikulum yang digunakan lembaga pendidikan tersebut adalah kurikulum yang ditetapkan Kemdikbud dan Kemenag. Karena itu, secara formal tidak ada yang salah de ngan kurikulum lembaga pendidikan bersang kutan dan ketika diselidiki, instansi pendidikan berwenang tidak menemukan penyimpangan dalam kurikulum.
Masalahnya kemudian, proses pendidikan dan pembelajaran juga melibatkan “kurikulum tersembunyi” (hidden curri culum) dengan muatan tertentu—termasuk ideologi kekerasan keagamaan—yang bisa disampaikan kalangan guru atau ustaz tertentu. Sering pula hidden curriculum itu masuk melalui kegiatan “ekskul” OSIS atau rohis yang ada di lembaga pendidikan.
Karena itu, pihak-pi hak yang bertanggung jawab dalam proses pendidikan dan pembelajaran—dalam hal Kemdikbud dan Kemenag—semestinya berusaha memantau hidden curriculum tersebut. Jika melakukan pemantauan dan bahkan penelitian terhadap proses pendidikan dan pembelajaran di lembaga pendidikan manapun, sepatutnya mereka tidak berhenti hanya pada penerapan kurikulum formal be laka. Mereka harus bergerak lebih jauh dengan menyelidiki “kurikulum tersembunyi” yang disampaikan kepada para murid.Lebih daripada itu, sepatutnya pula para penanggung jawab pendidikan di negeri ini menatar kembali para pimpinan lembaga pendidikan dan para guru dengan subjek-subjek penting menyangkut negara, bangsa, dan agama. Ditengah kebebasan informasi dan pertarungan ideologis yang ditandai meningkatnya intrusi dan infiltrasi berbagai corak paham dan gerakan transnasional, penataran semacam itu dapat memberikan perspektif lebih jelas tentang kebangsaan, agama, kedamaian, dan peradaban.
Pendidikan merupakan satu-satunya cara untuk melahirkan generasi muda yang mencintai negara-bangsanya dan juga agamanya. Pendidikan juga merupakan sarana paling strategis untuk membangun generasi muda yang berilmu, beriptek, beriman, beramal, dan berakhlak mulia. Melalui pendidikanlah dapat dibangun peradaban bangsa lebih maju. Karena itu, jika ada kalangan yang terus menerapkan kurikulum tersembunyi dengan muatan ideologi kebencian dan kemarahan, yang menjadi korban bukan hanya kalangan generasi muda bangsa, tetapi sekaligus peradaban dan kemanusiaan.
Post a Comment
Home