Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Thursday, July 06, 2006

"Pencegahan Terorisme dengan Pendekatan Islamic Indigenous Psychology"
at 8:50 PM 
Pidato Pengukuhan Guru Besar
Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA

Globalisasi telah menjadikan bumi ini menjadi kampung besar. Setiap Peristiwa yang terjadi di bagian belahan bumi ini diketahui dan direspond secara serentak oleh seluruh penduduk bumi ini, Bom yang meledak di Palestina atau di Irak bukan saja membunuh orang Palistina dan Irak tetapi langsung melukai hati aspiran-aspiran pejuang kebebasan di seluruh dunia.

Globalisasi telah mengubah peta peperangan dimana musuh tidak lagi berhadap-hadapan dalam dua front, tetapi semua kepentingan diberbagai tempat di dunia menjadi target serangan musuh. Negara kuat seperti Amerika merasa berhak untuk menyerang dan menghancurkan negara manapun yang dipandangnya mengancam kepentingan nasional Amerika. Sebaliknya para aspiran kemerdekaan yang merasa terluka hatinya oleh praktek terorisme yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika merasa berhak untuk menyerang semua kepentingan Amerika di seluruh dunia.

Peperangan antara teroris dan anti teror di dunia sekarang secara garis besar sesunguhnya adalah perang antara dua kelompok teroris;
Pertama , Teroris kuat, dalam hal ini negara besar (kuat), yang dengan dalih melindungi kepentingan nasionalnya merasa berhak untuk menghancurkan lawan, dimanapun berada. Amerika (di Afgan dan Irak) dan Israel (di Palestin) serta Uni Sovyet (ketika menjajah Afganistan) dalam perspektip ini adalah negara terrorits, maksudnya, terorisme yang dilakukan oleh negara, lounching by state.
Kedua, Terorist Terpojok, yakni mereka yang lemah dan kalah dalam percaturan resmi, tetapi tidak mau menyerah. Kelompok ini merasa berhak untuk membela diri, dan melakukan gerilya sesuai dengan kemampuan minimal yang mereka miliki. Pooling pendapat di Eropa yang hasilnya tidak dipublikasi menempatkan Israel sebagai negara yang paling berbahaya di dunia, Iran ditempatkan sebagai berbahaya ke tiga dan Indonesia memperoleh urutan ke tujuh.

Indonesia memang menjadi terkenal dengan adanya bom Bali dan bom Marriot serta bom Kuningan. Tetapi setelah kita mengikuti jalannya persidangan kasus ketiga bom tersebut, menjadi jelas bahwa ada hal yang harus diperjelas anatomi masalahnya.
Siapa sebenarnya aktor intelektual kasus bom di Indonesia? Bom dahsyat Bali masih menyisakan pertanyaan, benarkah Amrozi sanggup membuat bom sedahsyat itu, jika benar barangkali PINDAD perlu merekrutnya menjadi tenaga ahli.

Fenomena Terorisme di Indonesia
Sudah bukan rahasia lagi bahwa penyusupan agen dalam perang merupakan kelaziman. Hingga hari ini kita tidak tahu siapa Umar Faruk, DR. Azhari, Nurdin M. Top, bahkan Usamah bin Laden yang sesungguhnya. Oleh karena itu dalam perspektip pooling pendapat di Eropa, sesungguhnya negara urutan pertama (Israel) itulah sebenarnya akar masalah terorisme global, sedangkan urutan berikutnya tak lebih hanya limbah saja.

Manusia sebagai makhluk psikologis adalah makhluk yang bisa berfikir, berperasaan dan berkehendak. Perilakunya dipengaruhi oleh fikiran dan perasaannya. Sebagai makhluk budaya, manusia adalah makhluk yang memiliki konsep, gagasan dan keyakinan yang memandu perilakunya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,
Perilaku, termasuk teror, tidak cukup hanya dinilai dengan besar kecilnya bom, tetapi pada apa yang melatar belakangi munculnya perilaku itu
Psikologi, meski sering diterjemahkan dengan Ilmu Jiwa, bukanlah ilmu yang berbicara tentang jiwa, tetapi ilmu yang membicarakan perilaku manusia dengan asumsi bahwa perilaku manusia itu merupakan gejala dari jiwanya.

Memahami Perilaku “Teroris”
Sesuai dengan sejarahnya, Psikologi lahir pada era sekuler dimana ada konflik antara ilmu dan gereja, oleh karena itu perkembangan Psikologi jauh dari bimbingan agama. Jadinya psikologi tidak menyentuh aspek iman, tidak mengenal dosa tidak mengenal nilai-nilai sakral, tidak pula mengenal baik dan buruk..
Hukum-hukum perilaku yang dirumuskan Psikologi keseluruhannya hanya berdimensi horizontal. Mazhab-mazhab Psikologipun muncul dengan trial and error, dimulai dengan mazhab Psikoanalisa yang menganggap manusia sebagai homo volens, makhluk yang perilakunya dikendalikan oleh alam bawah sadarnya, kemudian dikoreksi oleh mazhab Behaviourisme yang menempatkan manusia sebagai homo mechanicus,
Makhluk mesin yang dikendalikan oleh faktor luar, dikoreksi lagi oleh mazhab kognitip yang menempatkan manusia sebagai homo sapiens, makhluk berfikir yang tidak tunduk begitu saja kepada lingkungan tetapi sanggup mendistorsinya, dan kemudian disempurnakan oleh mazhab Humanisme yang menempatkan manusia sebagai homo ludens, makhluk yang mengerti akan makna hidup. Psikologi mazhab mutakhir inilah yang telah mulai meraba-raba dimensi vertikal dari jiwa, yaitu apa yang sekarang dikenal dengan istilah kecerdasan spiritual.

Psikologi Barat telah terbukti tidak memadai untuk memahami fenomena kejiwaan yang berdimensi vertikal, terbukti semua teori Barat gagal ketika harus memahami venomena Revolusi Iran yang dipimpin oleh Imam Khumaini.

Menurut Uichol Kim, seorang spikolog asal Korea, teori psikologi Barat hanya memadai untuk memahami venomena kejiwaan masyarakat Barat sesuai dengan kultur sekuler dimana ilmu itu lahir. Untuk memahami perilaku manusia di belahan bumi lain harus digunakan basis kultur dimana manusia itu hidup Psikologi Barat pun tidak memadai untuk menerangkan fenomena senyum Amrozi , karena senyum Amrozi ketika menerima vonis hukuman mati bukan hanya berdimensi horizoantal, tetapi juga berdimensi vertikal Berbeda dengan sejarah keilmuan Barat yang berlawanan dengan agama (gereja), pertumbuhan ilmu pengetahuan dalam sejarah Islam justeru berada dibawah panduan para ulama. Jiwa dalam ilmu keislaman tidak dibahas sebagai perilaku, tetapi dibahas dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhan, yaitu dalam ilm Akhlak dan Ilmu Tasauf. Jika Psikologi bertugas menerangkan makna, meramalkan dan mengendalikan perilaku, Ilmu Akhlak berbicara tentang perilaku yang baik dan yang buruk dan bagaimana membentuk perilaku yang baik, Ilmu Tasauf berbicara tentang bagaimana jiwa manusia dapat merasa dekat dengan Tuhan.

Dalam kerangka pikir inilah lahir apa yang disebut Psikologi Islam, yakni ilmu yang bukan saja berbicara tentang tingkah laku, tetapi juga berbicara bagaimana membangun perilaku yang baik dan bagaimana manusia bisa merasa dekat dengan Tuhan. Sebagai ilmu baru, ilmu Psikologi Islam masih harus menghadapi tantangan epistimologis, tetapi melihat kecenderungan Psikologi Barat yang sudah mulai meraba-raba wilayah vertikal, Psikologi Islam akan dapat menjadi mazhab kelima setelah mazhab Humanisme.

Urgensi Psikologi Islam bagi bangsa Indonesia
Banyak sekali problem kemasyarakatan di Indonesia yang membutuhkan pendekatan indigeous psychology, dalam hal ini Islamic Indigenous Psychology.
Aspirasi garis keras muncul di kalangan ummat Islam pada umumnya merupakan respond yang kurang tepat terhadap ketidakadilan yang dialami.
Aspiran garis keras pada umumnya tidak bisa membedakan antara kebudayaan dan agama, padahal Islam memandang; pada dasarnya semua kebudayaan bersifat mubah sepanjang tidak mengandung elemen-elemen haram. Kebudayaan adalah konsep, oleh karena itu wujud suatu perilaku harus dilihat apa konsepnya, baru dapat ditetapkan nilainya. Pencampuradukan agama dan kebudayaan itu terjadi karena adanya sikap fanatik.

Pengertian Fanatik
Fanatik adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu, yang positip atau yang negatip, pandangan mana tidak memiliki sandaran teori atau pijakan kenyataan, tetapi dianut secara mendalam sehingga susah diluruskan atau diubah
Fanatisme biasanya tidak rationil, oleh karena itu argumen rationilpun susah digunakan untuk meluruskannya. Fanatisme dapat disebut sebagai orientasi dan sentimen yang mempengaruhi seseorang dalam : (a) berbuat sesuatu, menempuh sesuatu atau memberi sesuatu, (b) dalam berfikir dan memutuskan, (c) dalam mempersepsi dan memahami sesuatu, dan (d) dalam merasa
Secara psikologis, seseorang yang fanatik biasanya tidak mampu memahami apa-apa yang ada di luar dirinya, tidak faham terhadap masalah orang atau kelompok lain, tidak mengerti faham atau filsafat selain yang mereka yakini. Tanda-tanda yang jelas dari sifat fanatik adalah ketidak mampuan memahami karakteristik individual orang lain yang berada diluar kelompoknya, benar atau salah. Secara garis besar fanatisme mengambil bentuk : (a) fanatik warna kulit, (b) fanatik etnik/kesukuan, dan (c) fanatik klas sosial. Fanatik Agama sebenarnya bukan bersumber dari agama itu sendiri, tetapi biasanya merupakan kepanjangan dari fanatik etnik atau klas sosial.
Di sisi lain , fanatisme merupakan usaha perlawanan kepada kelompok dominan dari kelompok-kelompok minoritas yang pada umumnya tertindas. Minoritas bisa dalam arti jumlah manusia (kuantitas), bisa juga dalam arti minoritas peran (Kualitas). Di negara besar semacam Amerika misalnya juga masih terdapat kelompok fanatik seperti : Fanatisme kulit hitam (negro), Fanatisme anti Yahudi,Fanatisme pemuda kelahiran Amerika melawan imigran, dan fanatisme kelompok agama melawan kelompok agama lain.

Analisis Terhadap Fanatisme
Fanatisme dapat dijumpai di setiap lapisan masyarakat, di negri maju, maupun di negeri terbelakang, pada kelompok intelektual maupun pada kelompak awam, pada masyarakat beragama maupun pada masyarakat atheis. Pertanyaan yang muncul ialah apakah fanatisme itu merupakan sifat bawaan manusia atau karena direkayasa ?
Ada teori yang lebih masuk akal yaitu bahwa fanatisme itu berakar pada pengalaman hidup secara aktual. Pengalaman kegagalan dan frustrasi terutama pada masa kanak-kanak dapat menumbuhkan tingkat emosi yang menyerupai dendam dan agressi kepada kesuksesan, dan kesuksesan itu kemudian dipersonifikasi menjadi orang lain yang sukses. Seseorang yang selalu gagal terkadang merasa tidak disukai oleh orang lain yang sukses. Perasaan itu kemudian berkembang menjadi merasa terancam oleh orang sukses yang akan menghancurkan dirinya. Munculnya kelompok ultra ektrim dalam suatu masyarakat biasanya berawal dari terpinggirkannya peran sekelompok orang dalam sistem sosial (ekonomi dan politik) masyarakat dimana orang-orang itu tinggal. Kita bisa menelaah fenomena gerakan ektrim radikal pada masa orde baru dimana kelompok yang ektrim selalu berasal dari kelompok yang terpinggirkan atau merasa terancam,
Jalan fikiran orang fanatik itu bermula dari perasaan bahwa orang lain tidak menyukai dirinya, dan bahkan mengancam eksistensi dirinya. Perasaan ini berkembang sedemikian rupa sehinga ia menjadi frustrasi. Frustrasi menumbuhkan rasa takut dan tidak percaya kepada orang lain. Selanjutnya perasaan itu berkembang menjadi rasa benci kepada orang lain. Sebagai orang yang merasa terancam maka secara psikologis ia terdorong untuk membela diri dari ancaman, dan dengan prinsip lebih baik menyerang lebih dahulu daripada diserang, maka orang itu menjadi agressip.
Perilaku fanatik seseorang/sekelompok orang, tidak cukup dengan menggunakan satu teori , karena fanatik bisa disebabkan oleh banyak faktor, . Munculnya perilaku fanatik pada seseorang atau sekelompok orang di suatu tempat atau di suatu masa. boleh jadi (a) merupakan akibat lagis dari sistem budaya lokal, tetapi boleh jadi (b) merupakan perwujudan dari motiv pemenuhan diri kebutuhan kejiwaan indifidu/sosial yang terlalu lama tidak terpenuhi.

Karena perilaku fanatik mempunyai akar yang berbeda-beda, maka cara penyembuhannya juga berbeda-beda.Perilaku fanatik yang disebabkan oleh masalah ketimpangan ekonomi, pengobatannya harus menyentuh masalah ekonomi, dan perilaku fanatik yang disebabkan oleh perasaan tertekan , terpojok dan terancam, maka pengobatannya juga dengan menghilangkan sebab-sebab timbulnya perasaan itu. Pada akhirnya, pelaksanaan hukum dan kebijaksanaan ekonomi yang memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat secara alamiah akan melunturkan sikap fanatik pada mereka yang selama ini merasa teraniaya dan terancam.Menekan dengan kekerasan terhadap aspiran pejuang kebebabasan akan membuat pandangannya semakin keras, dan semakin tidak mengenal konpromi, dan ujungnya bisa menjadi teroris beneran.

Biaya memahami perilaku orang-orang yang dianggap berbahaya itu lebih murah dibanding biaya menumpas mereka dengan keras, apalagi jika berbasis teori psikologi yang tidak tepat. Nah Psikologi yang tepat untuk memahami fenomena “terorisme” di Indonesia adalah Islamic Indigenous Psychology, yang Insya Allah akan menjadi mazhab ke lima dalam sejarah ilmu Psikologi.
posted by : Mubarok institute

Blogger Mubarok institute said.. :

ya pendekatan indigeneus psychology diperlukan untuk memotivisir masyarakat, juga untuk mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah baru. Banyak problem solving sekarangjusteru menjadi trouble maker karena resepnya niru sementara problem yang diatasi tidak didekali secara tepat.

9:44 PM  
Anonymous Anonymous said.. :

This is very interesting site... delta dental plans association us Driveway america 2006 chevrolet corvette pictures Contact lenses aspheric Rent a car complaints

11:00 AM  
Blogger potret indonesia kini said.. :

Ya, rasa-rasanya memang seperti itu. Mereka, orang-orang yg mengaku berTuhan dan menjadikan agama sebagai tameng, seringkali melihat sesuatu secara hitam dan putih saja, mengiyakan segala cara demi penerapan apa yg diyakininya tnpa memprtimbangkan konsep-konsep kemanusiaan. Pemikiran-pemikirannya cenderung instant dan pragmatis, sehingga menjadikannya manusia-manusia yg buas dan oportunis.

2:40 PM  

Post a Comment

Home

My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger