Wednesday, March 05, 2008
Tasauf pada masyarakat modern
Pada abad 19 ketika dunia Islam diserbu oleh ide-ide Barat sekuler, seperti Gerakan rasional dan gerakan anti mistik, tasauf pernah dituding sebagai biangkeladi kemunduran Islam dan dikutuk oleh beberapa kalangan modernis ketika itu. Imam Gazali dan Ihya `Ulumuddin nya cukup lama “dihujat” sebagai biangkeladi kemunduran Islam. Jatuhnya kekuasaan politik dunia Islam ke penjajahan Barat sering kesalahannya dialamatkan kepada tasauf oleh orang Islam yang kebarat-baratan, dan bahkan mereka berteori bahwa kajian tasauf itu sengaja direkayasa oleh pihak kolonialis Barat untuk melemahkaan Islam dari dalam. Para Orientalist sangat berperan dalam menanamkan kesan dangkalnya nilai kerohanian dan metafisik ajaran-ajaran Islam kepada kaum terpelajar muslim yang menimba ilmu di Barat, yang karena faktor bahasa, yakni mereka tidak mampu memahami literatur berbahasa Arab, menjadi sangat tergantung kepada karya para orientalist tersebut. Menurut Sayyid Husain Nashr, pada akhir Perang Dunia II dapat dijumpai dua kelompok mahasiswa di Universitas di negeri kaum muslimin yang mengalami modernisasi sekuler, pertama yang anti Islam dan yang kedua muslim tapi tidak respek kepada syari’ah Islam, dan keduanya menentang tasauf.
Akan tetapi hal-hal berikut ini ; (a) desintegrasi nilai-nilai kebudayaan Barat serta kekecewaan yang dirasakan akibat modernisasi, (b) ancaman malapetaka yang dibawa oleh peradaban Barat, dan firasat makin dekatnya ancaman itu dan © bukti adanya ketidak jujuran intelektuil Barat terhadap Islam menyatukan dua kelompok itu, dan kini mereka justeru nampak haus terhadap tasauf, atau sekurang-kurangnya sudah ada sikap baru yang lebih positip terhadap tasauf.
Memang peradaban Barat yang telah mencapai puncaknya, di sisi lain juga mencapai semacam titik jenuh dengan sekularisasi yang melampaui batas dan kebebasan yang negatip, suatu proses yang tak lain merupakan penjauhan benda-benda dari makna spiritualnya. Dari kejenuhan itu akhirnya masyarakat Barat menerima kehadiran dukun-dukun kebatinan dan ahli yoga yang datang ke Barat secara berduyun-duyun membentuk organisasi. Manusia kini secara naluriah merasakan pentingnya meditasi dan kontemplasi, namun sayang hanya sedikit agama yang secara disiplin menjalankan syari’atnya yang otentik sebagai satu-satunya jalan yang mendatangkan kegembiraan dan ketenangan, yaitu melalui perenungan yang dalam tentang keabadian surgawi. Karena mereka tidak menemukan jalan yang meyakinkan akhirnya mereka lari kepada obat-obat bius, atau pusat-pusat realisasi diri atau guru-guru kerohanian palsu dari Timur, satu hal yang menurut S.H. Nashr merupakan bentuk pembalasan dendam luarbiasa terhadap Barat atas semua yang dilakukannya terhadap tradisi-tradisi Timur pada masa penjajahan.
Disinilah kehadiran tasauf benar-benar merupakan solusi yang tepat bagi manusia modern, karena tasauf Islam memiliki semua unsur yang dibutuhkan oleh manusia, semua yang diperlukan bagi realisasi kerohaniaan yang luhur, bersistem dan tetap berada dalam koridor syari’ah. Betapapun paket zikir , wirid, sayr dan suluk dalam tarekat lebih bisa “difahami” oleh orang terpelajar dibanding paket meditasi Budhis atau Kong Hoe Chu. Penulis dua kali mengikuti pertemuan international tarekat, pertama Sarasehan Guru Tarekat se Dunia (Multaqa at Tasauf al Islami al `Alamy) pada tahun 1995 di Tripoli Libia, yang kedua 2nd International Islamic Unity Conference yang diselenggarakan oleh masyikhah Tarekat Naqsyabandiyah Amerika pada tahun 1998 di Washington. Dari dua pertemuaan tersebut , tercermin kebutuhan manusia modern kepada tasauf. Di Washington misalnya session Purification of the Self (Tazkiyyat an Nafs) paling banyak diminati pengunjung, dan bahkan tidak terbatas hanya kalangan kaum muslimin. Di dunia buku, penerbitan buku-buku sufisme juga sangat pesat. Di Tasmania Australia misalnya bahkan ada toko buku khusus menjual buku-buku tasauf (Sufi Books Store).
Relevansi tasauf dengan problem manusia modern adalah karena tasauf secara seimbang memberikan kesejukan batin dan disiplin syari’ah sekaligus. Ia bisa difahami sebagai pembentuk tingkah laku melalui pendekatan tasauf suluky, dan bisa memuaskan dahaga intelektuil melalui pendekatan tasauf falsafy. Ia bisa diamalkan oleh setiap muslim, dari lapisan sosial manapun dan di tempat manapun. Secara fisik mereka menghadap satu arah, yatiu Ka’bah, dan secara rohaniah mereka berlomba lomba menempuh jalan (tarekat) melewati ahwal dan maqam menuju kepada Tuhan yang Satu, Allah SWT.
Tasauf adalah kebudayaan Islam, oleh karena itu budaya setempat juga mewarnai corak tasauf sehingga dikenal banyak aliran dan tarekat. Telah disebut di muka bahwa bertasauf artinya mematikan nafsu dirinya untuk menjadi Diri yang sebenarnya. Jadi dalam kajian tasauf, nafs difahami sebagai nafsu, yakni tempat pada diri seseorang dimana sifat-sifat tercela berkumpul, al ashlu al jami` li as sifat al mazmumah min al insan. Nafs juga dibahas dalam kajian Psikologi dan juga filsafat. Dalam upaya memelihara agar tidak keluar dari koridor Al-Qur’an maka baik tasauf maupun Psikologi (Islam) perlu selalu menggali konsep nafs (dan manusia) menurut Al-Qur’an dan hadis.
Akan tetapi hal-hal berikut ini ; (a) desintegrasi nilai-nilai kebudayaan Barat serta kekecewaan yang dirasakan akibat modernisasi, (b) ancaman malapetaka yang dibawa oleh peradaban Barat, dan firasat makin dekatnya ancaman itu dan © bukti adanya ketidak jujuran intelektuil Barat terhadap Islam menyatukan dua kelompok itu, dan kini mereka justeru nampak haus terhadap tasauf, atau sekurang-kurangnya sudah ada sikap baru yang lebih positip terhadap tasauf.
Memang peradaban Barat yang telah mencapai puncaknya, di sisi lain juga mencapai semacam titik jenuh dengan sekularisasi yang melampaui batas dan kebebasan yang negatip, suatu proses yang tak lain merupakan penjauhan benda-benda dari makna spiritualnya. Dari kejenuhan itu akhirnya masyarakat Barat menerima kehadiran dukun-dukun kebatinan dan ahli yoga yang datang ke Barat secara berduyun-duyun membentuk organisasi. Manusia kini secara naluriah merasakan pentingnya meditasi dan kontemplasi, namun sayang hanya sedikit agama yang secara disiplin menjalankan syari’atnya yang otentik sebagai satu-satunya jalan yang mendatangkan kegembiraan dan ketenangan, yaitu melalui perenungan yang dalam tentang keabadian surgawi. Karena mereka tidak menemukan jalan yang meyakinkan akhirnya mereka lari kepada obat-obat bius, atau pusat-pusat realisasi diri atau guru-guru kerohanian palsu dari Timur, satu hal yang menurut S.H. Nashr merupakan bentuk pembalasan dendam luarbiasa terhadap Barat atas semua yang dilakukannya terhadap tradisi-tradisi Timur pada masa penjajahan.
Disinilah kehadiran tasauf benar-benar merupakan solusi yang tepat bagi manusia modern, karena tasauf Islam memiliki semua unsur yang dibutuhkan oleh manusia, semua yang diperlukan bagi realisasi kerohaniaan yang luhur, bersistem dan tetap berada dalam koridor syari’ah. Betapapun paket zikir , wirid, sayr dan suluk dalam tarekat lebih bisa “difahami” oleh orang terpelajar dibanding paket meditasi Budhis atau Kong Hoe Chu. Penulis dua kali mengikuti pertemuan international tarekat, pertama Sarasehan Guru Tarekat se Dunia (Multaqa at Tasauf al Islami al `Alamy) pada tahun 1995 di Tripoli Libia, yang kedua 2nd International Islamic Unity Conference yang diselenggarakan oleh masyikhah Tarekat Naqsyabandiyah Amerika pada tahun 1998 di Washington. Dari dua pertemuaan tersebut , tercermin kebutuhan manusia modern kepada tasauf. Di Washington misalnya session Purification of the Self (Tazkiyyat an Nafs) paling banyak diminati pengunjung, dan bahkan tidak terbatas hanya kalangan kaum muslimin. Di dunia buku, penerbitan buku-buku sufisme juga sangat pesat. Di Tasmania Australia misalnya bahkan ada toko buku khusus menjual buku-buku tasauf (Sufi Books Store).
Relevansi tasauf dengan problem manusia modern adalah karena tasauf secara seimbang memberikan kesejukan batin dan disiplin syari’ah sekaligus. Ia bisa difahami sebagai pembentuk tingkah laku melalui pendekatan tasauf suluky, dan bisa memuaskan dahaga intelektuil melalui pendekatan tasauf falsafy. Ia bisa diamalkan oleh setiap muslim, dari lapisan sosial manapun dan di tempat manapun. Secara fisik mereka menghadap satu arah, yatiu Ka’bah, dan secara rohaniah mereka berlomba lomba menempuh jalan (tarekat) melewati ahwal dan maqam menuju kepada Tuhan yang Satu, Allah SWT.
Tasauf adalah kebudayaan Islam, oleh karena itu budaya setempat juga mewarnai corak tasauf sehingga dikenal banyak aliran dan tarekat. Telah disebut di muka bahwa bertasauf artinya mematikan nafsu dirinya untuk menjadi Diri yang sebenarnya. Jadi dalam kajian tasauf, nafs difahami sebagai nafsu, yakni tempat pada diri seseorang dimana sifat-sifat tercela berkumpul, al ashlu al jami` li as sifat al mazmumah min al insan. Nafs juga dibahas dalam kajian Psikologi dan juga filsafat. Dalam upaya memelihara agar tidak keluar dari koridor Al-Qur’an maka baik tasauf maupun Psikologi (Islam) perlu selalu menggali konsep nafs (dan manusia) menurut Al-Qur’an dan hadis.
Post a Comment
Home