Monday, February 23, 2009
Arti Imam
Imâm berarti orang yang diikuti, baik sebagai kepala, jalan, atau sesuatu yang membuat lurus dan memperbaiki perkara. Selain itu, ia juga bisa berarti Al-Qur’an, Nabi Mu¬hammad, khalifah, panglima tentara, dan sebagainya. Dengan de¬mikian, jelaslah bahwa kata imâm memiliki banyak makna. Yaitu, bisa bermakna: maju ke depan, petunjuk dan bim¬bingan, kepantasan seseorang menjadi uswah hasanah, dan kepemimpinan.
Kata imâm banyak disebutkan dalam Al-Qur’an. Misal¬nya; “(Ingatlah) pada suatu hari (yang pada hari itu) kami me¬manggil setiap umat dengan pemimpinnya ….” (Al-Isrâ’: 71); “… dan sebelum Al-Qur’an itu telah ada Kitab Musa sebagai imam (pedoman) dan rahmat …?” (Hûd: 17); “… dan ja¬dikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqân: 74); “Dan (ingatlah) tatkala Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya.
Allah berfirman, “Sesung¬guhnya Aku ingin menjadikan kami imam (pemimpin) bagi seluruh manusia ….” (Al-Baqarah: 124); “Dan kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim) Ishaq dan Ya’qub sebagai suatu anugerah (dari Kami) dan masing-masing Kami jadikan orang-orang saleh. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan Kami telah wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan salat, menunaikan zakat ….” (Al-Anbiyâ’: 72-73); “Dan Kami ingin memberikan karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menja¬dikan mereka orang yang mewarisi (bumi)” (Al-Qashash: 5); “dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang me¬nyeru (manusia) ke neraka, dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong.” (Al-Qashash: 41); dan “…, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang kafir, karena se¬sungguhnya mereka adalah orang-orang (yang tidak dapat dipe¬gang) janjinya, agar mereka berhenti.” (Al-Tawbah: 12)
Menurut Dhiauddin Rais, dari ayat-ayat Al-Qur’an di atas, kita bisa memetik dua pengertian dari makna imâm, yaitu: (1) Kata imâm tersebut yang sebagian besar digunakan dalam Al-Qur’an membuktikan adanya indikasi yang bermakna “kebaikan”. Pada sisi lain—pada dua ayat terakhir di atas, bahwa kata imâm menunjukkan makna jahat. Karena itu, imâm berarti seorang pemimpin yang diangkat oleh bebe¬rapa orang dalam suatu kaum. Pengangkatan imâm tersebut mengabaikan dan tidak memperdulikan, apakah ia akhir¬nya akan berjalan ke arah yang lurus atau arah yang sesat. (2) Kata imâm dalam ayat-ayat Al-Qur’an itu bisa mengan¬dung makna penyifatan kepada nabi-nabi: Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, dan Musa—sebagaimana juga menunjukkan kepada orang-orang yang bertakwa.
Kedua, Al-Khalîfah. Gelar ini sangat berkaitan dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam. Setelah Nabi Muhammad wafat, para sahabat berkumpul untuk memilih dan memutuskan seorang yang akan menjadi pengganti kepemimpinannya. Dan, Abu Bakar terpilih untuk meng¬gantikan Rasulullah dalam memimpin dan memelihara kemaslahatan umat Islam pada masa-masa berikutnya. Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, yang berarti penerus atau pengganti untuk mengurus masalah umat Islam.
Para ulama berbeda pendapat mengenai penamaan khalifah: apakah khalifah saja (tanpa embel-embel), atau khalifah Rasulullah dan khalifah Allah? Sebagian ulama membolehkan penggunaan gelar khalifah Allah, dengan merujuk kepada ayat Al-Qur’an—yang menyebutkan bahwa “Dia menjadikanmu khalifah-khalifah atau pewaris bumi.” Namun, jumhur ulama tidak membolehkan penanaman gelar khalifah Allah—karena ayat Al-Qur’an tidak berkaitan dengan pengangkatan Abu Bakar. Bahkan, Abu Bakar sendiri telah melarang pemanggilan dirinya dengan khalifah Allah. Abu Bakar menegaskan, “Aku bukan khalifah Allah, melain¬kan khalifah Rasulullah.” Jadi, Abu Bakar diangkat oleh para sahabat sebagai pengganti dan penerus kepemimpinan Rasulullah. Menurut Dhiauddin, gelar khalifah setelah Ra¬sulullah digunakan untuk menjadi antitesis dari sistem kekisraan dan kekaisaran—sebuah pemerintahan individu yang otoriter, zalim dan keji, yang berkembang pada saat itu.
Ketiga, Amîr Al-Mu’minîn. Gelar ini diberikan kepada khalifah kedua: Umar ibn Khathtab—setelah menggantikan Khalifah Abu Bakar yang wafat. Dalam bukunya, Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun menjelaskan sebab pemberian nama ini. Ia menulis, “Itu adalah bagian dari ciri khas kekha¬lifahan dan itu diciptakan sejak masa para khalifah. Mereka telah menamakan para pemimpin delegasi dengan nama amir; yaitu wazan (bentuk kata) fa’il dari imarah. Para sahabat pun memanggil Sa’ad ibn Abi Waqqash dengan Amîr Al-Mu’minîn karena ia memimpin tentara Islam dalam Perang Qadisiyyah. Pada waktu itu, sebagian sahabat memanggil Umar ibn Khathtab dengan sebutan yang sama juga: Amîr Al-Mu’minîn.
Secara umum, ketiga gelar di atas menunjukkan keha¬rusan adanya kepemimpinan dalam Islam. Bagi suatu kaum atau ummat, keberadaan seorang pemimpin merupakan suatu keharusan yang tak mungkin dipungkiri. Menurut Imam Al-Mawardi dalam karyanya Al-Ahkâm Al-Sulthâniyyah wa Al-Wilâyât Al-Dîniyyah, dalam lembaga negara dan pemerintahan, se¬orang kepala atau pemimpin wajib hu¬kumnya menurut ijma’. Alasannya, karena kepala lembaga dan pemerintah dijadikan sebagai pengganti fungsi kenabian dan menjaga agama serta mengatur urusan dunia.
Al-Mawardi menyebut tujuh syarat yang harus dipenuhi calon kepala negara (seorang pemimpin). Syarat-syarat itu, antara lain: keseimbangan atau keadilan (al-‘adâlah); punya ilmu pengetahuan untuk berijtihad; punya panca indera lengkap dan sehat; anggota tubuhnya tidak kurang untuk meng¬halangi gerak dan cepat bangun; punya visi pemikiran yang baik untuk mendapatkan kebijakan yang baik; punya keberanian dan sifat menjaga rakyat; dan punya nasab dari suku Quraisy.
Secara umum Al-Qur’an tidak menentukan corak kepe¬mimpinan politik tertentu yang harus diambil oleh ummat Islam, oleh karena itu pada era modern, Pemerintahan negeri-negeri Islam mengambil bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan probabilitasnya. Negeri-negeri Sunni kebanyakan memilih bentuk Republik seperti negeri kita, se¬bagian memilih bentuk kerajaan, baik dalam bentuk mamlakah yang dipimpin oleh malik, atau kesultanan di bawah seorang sulthan, atau emirat di bawah seorang amir. Sedangkan Iran sebagai satu-satunya negeri kaum Syi’ah, memiliki sistem po¬li¬tik yang didasarkan atas konsep wilayat al faqih dimana ayatul¬lah ‘uzma memiliki otoritas keagamaan dan politik sekaligus.
Kata imâm banyak disebutkan dalam Al-Qur’an. Misal¬nya; “(Ingatlah) pada suatu hari (yang pada hari itu) kami me¬manggil setiap umat dengan pemimpinnya ….” (Al-Isrâ’: 71); “… dan sebelum Al-Qur’an itu telah ada Kitab Musa sebagai imam (pedoman) dan rahmat …?” (Hûd: 17); “… dan ja¬dikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqân: 74); “Dan (ingatlah) tatkala Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya.
Allah berfirman, “Sesung¬guhnya Aku ingin menjadikan kami imam (pemimpin) bagi seluruh manusia ….” (Al-Baqarah: 124); “Dan kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim) Ishaq dan Ya’qub sebagai suatu anugerah (dari Kami) dan masing-masing Kami jadikan orang-orang saleh. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan Kami telah wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan salat, menunaikan zakat ….” (Al-Anbiyâ’: 72-73); “Dan Kami ingin memberikan karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menja¬dikan mereka orang yang mewarisi (bumi)” (Al-Qashash: 5); “dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang me¬nyeru (manusia) ke neraka, dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong.” (Al-Qashash: 41); dan “…, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang kafir, karena se¬sungguhnya mereka adalah orang-orang (yang tidak dapat dipe¬gang) janjinya, agar mereka berhenti.” (Al-Tawbah: 12)
Menurut Dhiauddin Rais, dari ayat-ayat Al-Qur’an di atas, kita bisa memetik dua pengertian dari makna imâm, yaitu: (1) Kata imâm tersebut yang sebagian besar digunakan dalam Al-Qur’an membuktikan adanya indikasi yang bermakna “kebaikan”. Pada sisi lain—pada dua ayat terakhir di atas, bahwa kata imâm menunjukkan makna jahat. Karena itu, imâm berarti seorang pemimpin yang diangkat oleh bebe¬rapa orang dalam suatu kaum. Pengangkatan imâm tersebut mengabaikan dan tidak memperdulikan, apakah ia akhir¬nya akan berjalan ke arah yang lurus atau arah yang sesat. (2) Kata imâm dalam ayat-ayat Al-Qur’an itu bisa mengan¬dung makna penyifatan kepada nabi-nabi: Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, dan Musa—sebagaimana juga menunjukkan kepada orang-orang yang bertakwa.
Kedua, Al-Khalîfah. Gelar ini sangat berkaitan dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam. Setelah Nabi Muhammad wafat, para sahabat berkumpul untuk memilih dan memutuskan seorang yang akan menjadi pengganti kepemimpinannya. Dan, Abu Bakar terpilih untuk meng¬gantikan Rasulullah dalam memimpin dan memelihara kemaslahatan umat Islam pada masa-masa berikutnya. Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, yang berarti penerus atau pengganti untuk mengurus masalah umat Islam.
Para ulama berbeda pendapat mengenai penamaan khalifah: apakah khalifah saja (tanpa embel-embel), atau khalifah Rasulullah dan khalifah Allah? Sebagian ulama membolehkan penggunaan gelar khalifah Allah, dengan merujuk kepada ayat Al-Qur’an—yang menyebutkan bahwa “Dia menjadikanmu khalifah-khalifah atau pewaris bumi.” Namun, jumhur ulama tidak membolehkan penanaman gelar khalifah Allah—karena ayat Al-Qur’an tidak berkaitan dengan pengangkatan Abu Bakar. Bahkan, Abu Bakar sendiri telah melarang pemanggilan dirinya dengan khalifah Allah. Abu Bakar menegaskan, “Aku bukan khalifah Allah, melain¬kan khalifah Rasulullah.” Jadi, Abu Bakar diangkat oleh para sahabat sebagai pengganti dan penerus kepemimpinan Rasulullah. Menurut Dhiauddin, gelar khalifah setelah Ra¬sulullah digunakan untuk menjadi antitesis dari sistem kekisraan dan kekaisaran—sebuah pemerintahan individu yang otoriter, zalim dan keji, yang berkembang pada saat itu.
Ketiga, Amîr Al-Mu’minîn. Gelar ini diberikan kepada khalifah kedua: Umar ibn Khathtab—setelah menggantikan Khalifah Abu Bakar yang wafat. Dalam bukunya, Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun menjelaskan sebab pemberian nama ini. Ia menulis, “Itu adalah bagian dari ciri khas kekha¬lifahan dan itu diciptakan sejak masa para khalifah. Mereka telah menamakan para pemimpin delegasi dengan nama amir; yaitu wazan (bentuk kata) fa’il dari imarah. Para sahabat pun memanggil Sa’ad ibn Abi Waqqash dengan Amîr Al-Mu’minîn karena ia memimpin tentara Islam dalam Perang Qadisiyyah. Pada waktu itu, sebagian sahabat memanggil Umar ibn Khathtab dengan sebutan yang sama juga: Amîr Al-Mu’minîn.
Secara umum, ketiga gelar di atas menunjukkan keha¬rusan adanya kepemimpinan dalam Islam. Bagi suatu kaum atau ummat, keberadaan seorang pemimpin merupakan suatu keharusan yang tak mungkin dipungkiri. Menurut Imam Al-Mawardi dalam karyanya Al-Ahkâm Al-Sulthâniyyah wa Al-Wilâyât Al-Dîniyyah, dalam lembaga negara dan pemerintahan, se¬orang kepala atau pemimpin wajib hu¬kumnya menurut ijma’. Alasannya, karena kepala lembaga dan pemerintah dijadikan sebagai pengganti fungsi kenabian dan menjaga agama serta mengatur urusan dunia.
Al-Mawardi menyebut tujuh syarat yang harus dipenuhi calon kepala negara (seorang pemimpin). Syarat-syarat itu, antara lain: keseimbangan atau keadilan (al-‘adâlah); punya ilmu pengetahuan untuk berijtihad; punya panca indera lengkap dan sehat; anggota tubuhnya tidak kurang untuk meng¬halangi gerak dan cepat bangun; punya visi pemikiran yang baik untuk mendapatkan kebijakan yang baik; punya keberanian dan sifat menjaga rakyat; dan punya nasab dari suku Quraisy.
Secara umum Al-Qur’an tidak menentukan corak kepe¬mimpinan politik tertentu yang harus diambil oleh ummat Islam, oleh karena itu pada era modern, Pemerintahan negeri-negeri Islam mengambil bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan probabilitasnya. Negeri-negeri Sunni kebanyakan memilih bentuk Republik seperti negeri kita, se¬bagian memilih bentuk kerajaan, baik dalam bentuk mamlakah yang dipimpin oleh malik, atau kesultanan di bawah seorang sulthan, atau emirat di bawah seorang amir. Sedangkan Iran sebagai satu-satunya negeri kaum Syi’ah, memiliki sistem po¬li¬tik yang didasarkan atas konsep wilayat al faqih dimana ayatul¬lah ‘uzma memiliki otoritas keagamaan dan politik sekaligus.
Salah satu tugas terberat para ulama, cerdik pandai, tokoh umat atau tokoh politik, pemerintahan dsb. adalah mengwujudkan ijtihad tentang prinsip-prinsip ajaran alam politik atau kekuasaan yang bersumberkan dari ajaran Islam.
Masalah khalifah, rasul, nabi, imam, wali dan ulil amri dsb. tidaklah mudah untuk diwujudkan ke dalam kehidupan nyata umat manusia. Dalam Al Quran termuat tentang jabatan khalifah seperti dianugerahkan kepada Adam As. dan Nabi Daud As. Jabatan khalifah kepada dua tokoh ini 'resmi' adalah anugerah dari Tuhan, Allah SWT. Tetapi, apakah jabatan atau istilah khalifah ini dapat juga kita gunakan untuk nama suatu jabatan selaku pemegang kekuasaan?. Saya kira, sah-sah saja, seperti jabatan khalifah yang disandang oleh Abu Bakar, Umar bin Khatab, Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Nampaknya, sistem kekhalifahan era keempat tokoh umat inilah yang didambakan. Namun sayang, era kekhalifahan semacam ini hanya selesai sampai di sini. Selebihnya ada era kekhalifahan tetapi sudah melenceng menjadi dinasti kerajaan yang pemilihanan kepemimpinannya berdasarkan 'turuntemurun'. Apakah ini mencerminkan prinsip-prinsip ajaran Islam?.
Jabatan 'imam' juga tergambar dalam Al Quran seperti diberikan kepada Nabi Ibrahim As. Jabatan imam ini jika digunakan oleh kita 'orang awam' dijadikan sebagai pemimpinan dibidang keahlian agama, seperti imam shalat dsb.
Tetapi, jabatan lain yang banyak termuat dalam Al Quran adalah kerasulan dan kenabian. Umumnya, jabatan rasul dan nabi ini, oleh kita 'tidak'-lah populer untuk digunakan dalam arti lain, karena jabatan ini dianggap sakral dan merupakan jabatan yang dipilih oleh Allah SWT. Hanya, yang agak rancu itu adalah bedanya rasul dan nabi?. Seperti pengertian nabi dianggap sebagai seseorang yang menerima wahyu tetapi tidak wajib disampaikan kepada orang lain. Jadi artinya apakah hanya dia sendiri yang akan selamat di dunia karena dia menggunakan risalah Ilahy jika kelak kalau kembali ke Tuhan-Nya, lalu umatnya atau orang lain tidak?
Tetapi jika kita simak gambaran Al Quran, jabatan rasul adalah anugerah Allah SWT kepada semua makhluk-Nya, ya malaikat, ya manusia atau makhluk-Nya selain itu. Tetapi, jabatan nabi hanya diberikan kepada 'manusia' saja, dan makhluk-Nya yang lain tidak (QS. 33:40). Karena itu, kurang tepat jika ada 'manusia' yang mengaku menjadi 'nabi' setelah Nabi Muhammad SAW, karena Nabi Muhammad SAW sudah digelar oleh Allah SWT sebagai rasul dan 'penutup para nabi'.
Sebaliknya, jika ada manusia mengaku sebagai 'rasul', ya itu pun sudah tertutup oleh Nabi Muhammad SAW (QS. 33:40), kecuali jika manusia ini terlebih dahulu menjelma menjadi 'malaikat' atau makhluk-Nya yang lain. Karena, manusia yang dianugerahi jabatan sebagai rasul, umumnya terlebih dahulu sudah dianugerahi jabatan sebagai 'nabi', baru kemudian dia dianuegrahi sebagai rasul.
Saya kira, yang mutlak menurut ajaran Islam mengenai peran seorang pemimpin apakah dia berjabatan sebagai khalifah, imam, presiden atau raja, gubernur, bupati atau wali kota adalah harus 'mempunyai' tingkat iman yang kuat dan tinggi. Karena, dia otomatis mempunyai misi Syiar Islam yang utama mengenalkan kebenaran makna Tuhan dan satu-satunya Tuhan yakni Allah SWT. Bukankah diturunkannya 'agama' Islam oleh Allah SWT itu semata-mata ditujukan dan dimaksudkan untuk 'memperkenalkan' siapakah Tuhan Sang Maha Pencipta yang sebenar-benarnya itu?
Bagaimana kalau seandinya seorang imam yang sudah terlanjur kita percaya, tapi tiba-tiba melenceng dari kaidah. Bagaimana cara meluruskannya?
Bagaimana kalau seandinya seorang imam yang sudah terlanjur kita percaya, tapi tiba-tiba melenceng dari kaidah. Bagaimana cara meluruskannya?
Bagaimana kalau seandinya seorang imam yang sudah terlanjur kita percaya, tapi tiba-tiba melenceng dari kaidah. Bagaimana cara meluruskannya?
Bersalah itu tandanya 'manusiawi'. Ya kewajiban kita untuk menegornya, kan ada partai atau para anggota parlemen, ada mass media dll. Jika dia sudah dipercaya lalu belot, ya tanggungjawabnya dihadapan Allah SWT sungguh sangat besar.
off white shoes
nike vapormax
ysl handbags
coach handbags
fila shoes
lacoste polo
curry 6 shoes
air jordan
supreme clothing
goyard handbags
Post a Comment
Home