Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Sunday, January 30, 2011

Makna Senyum (2)
at 8:12 PM 
Senyum Pak SBY

oleh Zaim Uchrowi

Sudah lama Presiden kita tak tersenyum. Tugas berat memang membuat otot pipi susah menarik bibir. Apalagi persoalan demi persoalan datang seperti tak mau jeda. Kemajuan di sana-sini terlihat jelas. Akan tetapi, banyaknya rakyat susah memang akan selalu mengusik perasaan. Kapan kehidupan rakyat bawah akan benar-benar terangkat? Pemimpin yang baik akan selalu memikirkan beban itu.

Pak SBY, Presiden kita, sudah mencoba untuk tak terjebak realitas tadi. Persoalan tak akan terselesaikan dengan mengernyitkan kening. Sebaliknya, tersenyum sering dapat membantu mengatasi masalah. Ilham acap datang ketika hati tersenyum, di tengah keadaan serumit apa pun. Untuk dapat membuat hati tersenyum, biasanya perlu dipancing dengan senyum bibir. Pak SBY tahu itu.

Ada cara-cara yang biasa dilakukan Pak Presiden buat memecahkan beban hati. Saat kunjungan, kadang Pak SBY meluangkan waktu buat menikmati suasana alam. Foto Pak SBY duduk di kursi menikmati pagi berkabut di perkebunan kopi di Jawa Tengah sulit terhapus dalam ingatan banyak orang. Foto itu bukan cuma indah. Foto itu juga memancarkan nuansa tenteram dan sejahtera yang sangat kuat. Suasana yang sungguh kita harapkan ada pada diri Pak SBY, dan tentu juga seluruh masyarakat.

Cara lain melepas penat Pak SBY adalah menyanyi dan bermusik. Beberapa kali ditayangkan televisi, Pak SBY menyanyi bersama 'grupnya'. Di antaranya dengan Heru Lelono, salah seorang staf terdekatnya yang dikaitkan dengan 'bensin air' blue water dan padi hebat supertoy. Terobosan yang dinilai membohongi publik itu. Ekspresi Pak SBY tampak lepas saat menyanyi. Hal yang memang semestinya demikian. Mungkin belakangan ini beliau makin tak punya waktu untuk bermusik.

Toh, di tengah beban berat, Pak SBY tak kehilangan selera humor. Di antaranya dengan berseloroh di hadapan orang-orang dekatnya. Saat suasana hati sedang nyaman, ketika memberi pidato sambutan pun Pak Presiden acap menyisipkan canda. Pak SBY cukup pandai untuk keluar dari pidato normatif. Bagi yang biasa mengikutinya, seloroh Pak Presiden soal gaji adalah soal biasa. Faktanya, memang gaji presiden sudah tujuh tahun tak naik. Dalam kehidupan ekonomi rumah tangga presiden, nilai gaji itu juga tak berarti sama sekali.

Celakanya, masyarakat kita masyarakat unik. Penanaman budaya feodalistik yang dilakukan penjajah benar-benar meresap. Dalam budaya feodalistik, menjadi pamong praja yang digaji merupakan impian. Sebagian besar rakyat menginginkan menjadi orang yang digaji. Beda dengan rakyat Cina yang lebih memimpikan bisa menggaji diri sendiri. Di negeri ini, gaji menjadi isu sensitif. Itu yang menghambat sistem gaji pemerintahan tak dapat dikembangkan ke standar profesional.

Pada saat yang sama, sebagian masyarakat kita juga begitu gandrung pada politik (model kuno). Sebuah kegandrungan yang dapat dimengerti. Politik (model kuno) saat ini terbukti menjadi jalan paling efektif buat melesatkan kekayaan diri. Banyak orang ingin 'basah', maka banyak orang menggarap politik. Gaji merupakan isu menarik buat dipolitikkan. Apalagi dikaitkan dengan presiden. Tak peduli itu hanya seloroh. Lalu, digarisbawahi bahwa seolah tidak pantas presiden berseloroh soal gaji di tengah kemiskinan masyarakat.

"Lelucon yang tidak lucu," kata Pak Achmad Mubarok, sesepuh Partai Demokrat, menanggapi gerakan 'Koin Presiden' untuk mengejek Pak SBY. Pak Mubarok benar. Bukan bangsa baik yang suka mengejek pemimpinnya sendiri, apa pun kekurangan yang dimiliki sang pemimpin. Selain itu, seluruh bangsa ini juga sudah saatnya membicarakan terbuka gaji pegawai publik. Sistem gaji pemerintah saat ini merupakan produk budaya hipokrit bangsa.

Secara formal, gaji ditetapkan sangat rendah untuk menghindari kecemburuan rakyat feodalistik kita yang bermimpi digaji. Penghasilan yang berlipat kali lebih besar diperoleh dari skema di luar gaji. Mempertahankan sistem penggajian sekarang sama halnya mengukuhkan kehipokritan bangsa ini.

Sekarang saat kita membangun era baru. Sekarang saat kaidah profesional makin intensif untuk disuntikkan ke tubuh bangsa ini. Untuk ukuran sekarang, gaji presiden Rp 10 miliar dan gaji menteri Rp 2 miliar sebulan sama sekali tidak berlebihan. Itu masih harus dipotong pajak. Berbagai uang lain-lain, seperti 'uang rapat', 'uang perjalanan dinas', dan 'honor panitia' harus dihapus dari sistem birokrasi. Memang banyak yang belum siap dengan format itu. Namun, kita berharap, Pak SBY berani membuat keputusan itu pada akhir masa jabatannya nanti, buat mewariskan pemerintahan masa depan yang benar-benar profesional.

Kehipokritan bangsa yang menghambat maju selama ini harus dikurangi. Di antaranya melalui transformasi sistem gaji tadi. Itu perlu dibicarakan terbuka dengan tersenyum. Senyum selalu meringankan buat mengatasi masalah. Maka, kita berharap Pak SBY pun tersenyum seperti dulu. Walaupun mungkin senyumnya belum bisa lepas. Banyak warga masih sulit tersenyum. Kita berharap suatu hari nanti senyum Pak SBY benar-benar lepas karena seluruh warga sudah tersenyum.
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger