Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Sunday, January 16, 2011

Problem Membangun Sebuah Society
at 7:51 PM 
Ada beberapa sebutan untuk menyebut society (masyarakat), antara lain; masyarakat madani, atau komunitas ilmiah. Istilah masyarakat berasal dari bahasa Arab musyarakah. Dalam bahasa Arab sendiri masyarakat disebut dengan sebutan mujtama`, yang menurut Ibn Manzur dalam Lisan al `Arab mengandung arti (1) pokok dari segala sesuatu, yakni tempat tumbuhnya keturunan, (2) kumpulan dari orang banyak yang berbeda-beda . Sedangkan musyarakah mengandung arti berserikat, bersekutu dan saling bekerjasama. Jadi dari kata musyarakah dan mujtama` sudah dapat ditarik pengertian bahwa masyarakat adalah kumpulan dari orang banyak yang berbeda-beda tetapi menyatu dalam ikatan kerjasama, dan mematuhi peraturan yang disepakati bersama.

Dari pengertian itu maka dapat kita bayangkan bagaimana anatomi dari masyarakat yang berbeda-beda. Dapat dijumpai misalnya ada; masyarakat desa, masyarakat kota, masyarakat Indonesia, masyarakat dunia, masyarakat Jawa, masyarakat Islam, masyarakat pendidikan, masyarakat politik dan sebagainya.Semua jenis masyarakat tersebut pastilah terdiri dari unsur-unsur yang berbeda-beda tetapi mereka menyatu dalam satu tatanan sebagai wujud dari kehendak bersama.

Karena adanya dua atau beberapa kutub; yakni berasal dari unsur yang berbeda-beda tetapi bermaksud menyatu dalam satu tatanan, maka dari kutub pertama ke kutub ke dua ada proses yang membutuhkan waktu yang panjang. Masyarakat Indonesia misalnya, sudahkah mereka menyatu dalam kesatuan ? ternyata setengah abad merdeka belum cukup waktu untuk menyatukan sebuah masyarakat Indonesia meski sudah diwadahi dengan istilah Bhineka Tunggal Ika. Abad pertama kemerdekaan Indonesia nampaknya masyarakat Indonesia sebagai satu kesatuan masih merupakan nation in making, masih dalam proses menjadi. Hambatan dari proses itu adalah adanya rujukan dan kepentingan yang berbeda-beda. Demikian juga masyarakat Islam Indonesia, masyarakat OKI dan sebagainya.

Masyarakat Madani

Istilah masyarakat madani terinspirasi dari nama kota Madinah al Munawwarah, yakni kota dimana terbangun masyarakat Islam generasi pertama dibawah “konstitusi” Piagam Madinah. Sebagaimana diketahui kota Madinah semula bernama Yatsrib, tetapi setelah Nabi Muhammad hijrah ke kota itu, Nabi mengubah namanya menjadi Madinah al Munawwarah. 0Lama tak ada orang yang menganalisis nama itu dalam perspektip sosiologis modern. Ketika ramai-ramainya kajian tentang konsep Barat yang bernama masyarakat sipil atau Civil Society, barulah nama Madinah al Munawwarah menjadi sangat menarik untuk dikaji, ada apa gerangan konsep dibalik nama itu. Kata Madinah berasal dari kata tamaddun yang artinya budaya, sementara al munawarah artinya yang disinari. Jadi konsep Madinah al Munawwarah adalah kota yang penduduknya berbudaya tinggi dimana budayanya disinari oleh wahyu Tuhan.

Apa buktinya ? Bayangkan betapa kuatnya kedudukan politik Nabi Muhammad, memiliki legitimasi horizontal dan legitimasi vertikal, tetapi Muhammad tidak tergoda untuk menjadi raja atau penguasa, padahal pada zaman itu hanya dikenal satu model kekuasaan yaitu kerajaan. Dalam posisi yang sangat kuat, Muhammad tetap memberdayakan tokoh-tokoh senior sebagai sahabat besar yang selalu dimintai pendapatnya dalam urusan-urusan umum layaknya di zaman demokrasi, dan para sahabat besar itu seperti anggauta parlemen yang ditunjuk, bukan pilihan rakyat .

Nabi juga mau mendengarkan kritik dan saran dari masyarakat seperti yang berlangsung pada masyarakat sipil. Muhammad mempunyai jatah rampasan perang (ghanimah) hingga 20 %, angka yang cukup untuk membuatnya sebagai orang kaya raya, tetapi beliau lebih memilih hidup sederhana. Pada era yang masih sangat tradisional, Nabi mengikat kerjasama sosial politik dengan semua golongan yang hidup di Madinah, yaitu kaum Yahudi dan Nasrani serta komunitas suku-suku dalam apa yang disebut dengan piagam Madinah dimana semua warga memiliki kewajiban bersama dalam mempertahankan “kemerdekaan” kota Madinah, berikut sanksi bagi pelanggar piagam, satu model yang hanya dikenal oleh masyarakat modern.

Begitupun etika peperangan, Muhammad benar-benar menghormati hak azazi manusia, dalam peperangan maupun dalam memperlakukan tawanan perang, padahal ketika itu budaya perang yang berlangsung adalah budaya barbar. Pada masa Nabi di Madinah belum ada sekolahan, belum ada buku, belum ada ilmu pengetahuan dalam pengertian sekarang, tetapi peradaban yang dikembangkan sudah sangat tingi melampaui zamannya. Dari itulah, Dr. Anwar Ibrahim dan juga Mahatir dari Malaysia menggunakan istilah masyarakat Madani ketika menyebut civil society dalam perspektip Islam.

Komunitas Ilmiah

Jika kita menyebut komunitas ilmiah yang dimaksud adalah kelompok masyarakat yang disatukan identitasnya oleh paradigma ilmiah, yakni mereka berfikir dan bertindak mengikuti panduan-panduan metodologi keilmuan dalam mengatasi berbagai persoalan kehidupan. Komunitas ilmiah bisa dikecilkan lagi pada komunitas yang lebih terbatas misalnya mereka yang tergabung dalam organisasi semisal Ikatan Dokter, Persatuan Insinyur, himpunan ahli biologi dan seterusnya.

Sedangkan masyarakat keilmuan (mujtama` al `ilmi) atau boleh juga disebut masyarakat terpelajar adalah masyarakat yang tumbuh dan berkembang dibawah panduan budaya keilmuan. Kebudayaan adalah konsep, gagasan, dan keyakinan yang dianut oleh suatu masyarakat dalam waktu lama, konsep mana kemudian memandu tingkah laku mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya.

Nilai-nilai kebudayaan bisa datang dari ajaran agama, dari cara kerja alam sekitar, bisa juga dari penghayatan dan persepsi dari interaksi sosial. Kebudayaan yang rendah biasanya hanya diilhami oleh tradisi setempat, sedangkan kebudayaan yang tinggi dilhami oleh nilai-nilai rasional dan nilai-nilai etik serta estetik. Kebudayaan bisa melahirkan ilmu pengetahuan, sementara ilmu pengetahuan bisa meninggikan kualitas kebudayaan. Ilmu berhubungan dengan nilai-nilai dan juga dengan teknik efisiensi .

Oleh karena itu masyarakat terpelajar biasanya rasional dan efisien. Pada sisi lain nilai-nilai estetik dan etik dari masyarakat terpelajar biasanya lebih bernalar dibanding nilai-nilai yang dianut masyarakat “tradisionil”.

Tidak mudah membangun masyarakat terpelajar. Komunitas Pesantren di Indonesia sesungguhnya memiliki kode etik “ilmiah” yang tingggi dimana mereka konsisten dalam mengikuti tradisi keilmuan klassik abad pertengahan Islam. Problemnya, santri dan sebagian kyai terputus hubungannya dengan dinamika dunia modern sehingga etos ilmiah mereka tidak terbarukan, padahal ilmu pengetahuan Barat justeru terilhami oleh tradisi keilmuan klassik Islam’. Komunitas Pesantren tidak tahu bahwa ulama ahli ilmu hisab Al Hawarizmi yang mengajarkan teori persepuluhan dalam matematika ke dunia barat. Sesuai dengan tradisi keilmuan di Eropa, mereka mengabadikan ilmu itu dengan nama penemunya. Kesulitan lidah orang Eropa menyebut nama Arab Al Khawarizmi menggesernya menjadi AlGhorizme, lalu Algorisme, kemudian ke Indonesia menjadi Logaritma.

Oleh karena itu membangun masyarakat muslim kontemporer yang terpelajar haruslah menguasai tradisi keilmuan klassik Islam, kemudian mempelajari sejarah dan proses perkembangan ilmu pengetahuan dari Barat ke Islam kemudian pindah lagi ke Barat. Dengan mengetahui sejarah keilmuan itu maka masyarakat muslim kontemporer kembali merasa memiliki mutiara keilmuan yang sekarang ditumbuhkembangkan di Barat, untuk kemudian kembali kita Islamkan (Izlamization of Knowledge).
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger