Wednesday, December 01, 2010
Manusia Indonesia : Sebuah Cermin
waktu yang lalu, banyak diantara kita orang Indonesia yang dengan bangga menyebut kepribadian orang Indonesia yang ramah, santun dan toleran dan bahkan religius.
Atribut itu bukan hanya dipromosikan oleh Departemen Penerangan dan Departemen Luar Negeri, tetapi sebagian besar kita seperti membenarkan pernyataan itu. Gelombang reformasi menjelang Milenium ketiga memporak-porandakan semua identitas itu.
Peristiwa yang terjadi selama kurun reformasi seperti penjarahan massal atas milik orang lain, tindakan main hakim sendiri secara amat sadis kepada pelaku kriminal ( korban dibakar hidup-hidup) , fatsoen politik anggauta parlemen dan demonstran yang sangat vulgar, demontrasi yang anarkis, amuk massa dan pembakaran rumah-rumah penduduk, pembunuhan massal dan sadis dalam konflik antar etnik mencerminkan watak "asli" dari manusia Indonesia yang tidak ramah, tidak santun dan tidak menghargai hak azazi manusia, dan tidak juga mencerminkan masyarakat beragama.
Memang masih dipertanyakan, apakah fenomena ini sekedar euforia reformasi atau justru tabiat asli manusia Indonesia. Bangsa Indonesia juga dikenal sebagai bangsa yang memiliki tingkat paternalisme yang tinggi dimana rakyat mempunyai hubungan yang sangat emosionil dengan pemimpinnya. Dari segi pendidikan akhlak sebagai nation building , sesungguhnya sifat paternalis bangsa bisa dipandang sebagai aset positip, yakni perilaku bangsa akan sangat mudah dibentuk manakala para pemimpinnya mampu menjadi contoh yang baik bagi rakyatnya. Kekuatan keteladanan pemimpin bagi rakyat paternalis itu sangat tinggi efektifitasnya dibanding sistem administrasi.
Oleh karena itu pada kasus bangsa Indonesia, membangun akhlak bangsa harus dipusatkan pada mengawasi dan menjaga moralitas pemimpin. Pelang¬garan akhlak dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemimpin sama sekali tidak boleh ditolerir. Penegakan hukum dan sanksi moral kepada elit pemimpin harus menjadi prioritas utama dari penegakan sistem tersebut. Dengan itu maka rakyat di bawahnya yang paternalis itu secara psikologis akan mematuhi nilai-nilai hukum dan nilai-nilai kepatutan. Sistem keteladanan ini akan sangat kecil biayanya dibanding menyediakan infrastruktur pengawasan secara nasional.
Apa yang disebutkan tadi adalah baru sebatas gagasan. Ketika gagasan itu akan diterapkan di Indonesia, timbul pertanyaan, mana yang harus dilaksanakan lebih dahulu, mengingat problem kehancuran moral bangsa dewasa ini sudah sangat kompleks dan terjadi komplikasi. Idealnya pembangunan akhlak bangsa itu melalui sistem pendidikan dan dimulai dari anak-anak dan generasi muda. Akan tetapi, disamping membu¬tuhkan waktu yang panjang, kompleksitas moral masyarakat akan dapat menghilangkan makna pendidikan generasi muda karena pasca pendidikan, mereka akan dengan mudah terkontaminasi oleh keadaan masyarakat yang bertentangan dengan nilai-nilai akhlak yang diajarkan kepada mereka.
Di kalangan komunitas pendidikan, meski terlambat ,sudah tumbuh kesadaran bahwa sistem pendidikan nasional yang diberlakukan selama ini berikut kurikulumnya ternyata salah sehingga gagal melahirkan anak didik yang sanggup berkompetisi di dunia glo¬bal, bahkan juga gagal melahirkan anak didik yang mampu memahami potensi daerahnya, karena selama satu generasi sistem pendidikan nasional kita lebih menekankan keseragaman. Seandainya kurikulum pendidikan nasional dapat diganti sekarangpun timbul problem ketiadaan guru, karena semua guru yang tersedia sekarang merupakan produk dari sistem pendidikan yang keliru. Problem ini menyerupai telor dan ayam, mana yang harus didahulukan.
Oleh karena itu diperlukan adanya pemikiran kreatip dan bersifat alternatip dalam pendidikan yang komprehensip , serentak, menyangkut seluruh lapisan masyarakat. Meskipun tingkat kerusakan moral masyarakat sifatnya menyeluruh, tetapi sebenarnya ada beberapa kata kunci untuk mengurai problem. Kehancuran moral suatu bangsa bisa disebabkan karena banyak hal, misalnya, hukum yang tidak ditegakkan, keadilan yang tidak merata, ketidak-disiplinan yang membudaya, keteladanan yang rendah, tingkat korupsi (KKN) yang terlalu tinggi dan amanah yang tak dijaga.
Pembangunan akhlak bangsa yang rusak bisa dimulai dari satu tema yang paling strategis dari kunci-kunci tersebut diatas. Merujuk pandangan Syauqi Beik bahwa kewibawaan suatu bangsa bergantung kepada akhlaknya, jika bangsa itu tak lagi berakhlak maka bangsa itu tidak lagi memiliki kewibawaan, meski bangsa besar sekalipun. Pernyataan ini sangat menggelitik nurani kita karena bangsa Indonesia yang besar dengan kekayaan alam karunia Tuhan yang luar biasa, tetapi belum memiliki rasa percaya diri untuk menjadi bangsa yang maju,padahal semua hambatan Negara maju justeru sudah kita miliki,yaitu minyak,gas,batu bara dan kekayaan alam lainnya.
Menurut hemat penulis, sumber dari segala sumber kebobrokan moral bangsa dewasa ini adalah terletak pada budaya yang tidak lagi menjaga amanah, mulai dari tingkat elit hingga ke masyarakat umum, dalam bidang ekonomi, politik dan kebudayaan. Oleh karena itu memperbaiki bangsa Indonesia atau mendorong bangsa ini untuk maju dapat dimulai dengan membudayakan hidup amanah.
Atribut itu bukan hanya dipromosikan oleh Departemen Penerangan dan Departemen Luar Negeri, tetapi sebagian besar kita seperti membenarkan pernyataan itu. Gelombang reformasi menjelang Milenium ketiga memporak-porandakan semua identitas itu.
Peristiwa yang terjadi selama kurun reformasi seperti penjarahan massal atas milik orang lain, tindakan main hakim sendiri secara amat sadis kepada pelaku kriminal ( korban dibakar hidup-hidup) , fatsoen politik anggauta parlemen dan demonstran yang sangat vulgar, demontrasi yang anarkis, amuk massa dan pembakaran rumah-rumah penduduk, pembunuhan massal dan sadis dalam konflik antar etnik mencerminkan watak "asli" dari manusia Indonesia yang tidak ramah, tidak santun dan tidak menghargai hak azazi manusia, dan tidak juga mencerminkan masyarakat beragama.
Memang masih dipertanyakan, apakah fenomena ini sekedar euforia reformasi atau justru tabiat asli manusia Indonesia. Bangsa Indonesia juga dikenal sebagai bangsa yang memiliki tingkat paternalisme yang tinggi dimana rakyat mempunyai hubungan yang sangat emosionil dengan pemimpinnya. Dari segi pendidikan akhlak sebagai nation building , sesungguhnya sifat paternalis bangsa bisa dipandang sebagai aset positip, yakni perilaku bangsa akan sangat mudah dibentuk manakala para pemimpinnya mampu menjadi contoh yang baik bagi rakyatnya. Kekuatan keteladanan pemimpin bagi rakyat paternalis itu sangat tinggi efektifitasnya dibanding sistem administrasi.
Oleh karena itu pada kasus bangsa Indonesia, membangun akhlak bangsa harus dipusatkan pada mengawasi dan menjaga moralitas pemimpin. Pelang¬garan akhlak dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemimpin sama sekali tidak boleh ditolerir. Penegakan hukum dan sanksi moral kepada elit pemimpin harus menjadi prioritas utama dari penegakan sistem tersebut. Dengan itu maka rakyat di bawahnya yang paternalis itu secara psikologis akan mematuhi nilai-nilai hukum dan nilai-nilai kepatutan. Sistem keteladanan ini akan sangat kecil biayanya dibanding menyediakan infrastruktur pengawasan secara nasional.
Apa yang disebutkan tadi adalah baru sebatas gagasan. Ketika gagasan itu akan diterapkan di Indonesia, timbul pertanyaan, mana yang harus dilaksanakan lebih dahulu, mengingat problem kehancuran moral bangsa dewasa ini sudah sangat kompleks dan terjadi komplikasi. Idealnya pembangunan akhlak bangsa itu melalui sistem pendidikan dan dimulai dari anak-anak dan generasi muda. Akan tetapi, disamping membu¬tuhkan waktu yang panjang, kompleksitas moral masyarakat akan dapat menghilangkan makna pendidikan generasi muda karena pasca pendidikan, mereka akan dengan mudah terkontaminasi oleh keadaan masyarakat yang bertentangan dengan nilai-nilai akhlak yang diajarkan kepada mereka.
Di kalangan komunitas pendidikan, meski terlambat ,sudah tumbuh kesadaran bahwa sistem pendidikan nasional yang diberlakukan selama ini berikut kurikulumnya ternyata salah sehingga gagal melahirkan anak didik yang sanggup berkompetisi di dunia glo¬bal, bahkan juga gagal melahirkan anak didik yang mampu memahami potensi daerahnya, karena selama satu generasi sistem pendidikan nasional kita lebih menekankan keseragaman. Seandainya kurikulum pendidikan nasional dapat diganti sekarangpun timbul problem ketiadaan guru, karena semua guru yang tersedia sekarang merupakan produk dari sistem pendidikan yang keliru. Problem ini menyerupai telor dan ayam, mana yang harus didahulukan.
Oleh karena itu diperlukan adanya pemikiran kreatip dan bersifat alternatip dalam pendidikan yang komprehensip , serentak, menyangkut seluruh lapisan masyarakat. Meskipun tingkat kerusakan moral masyarakat sifatnya menyeluruh, tetapi sebenarnya ada beberapa kata kunci untuk mengurai problem. Kehancuran moral suatu bangsa bisa disebabkan karena banyak hal, misalnya, hukum yang tidak ditegakkan, keadilan yang tidak merata, ketidak-disiplinan yang membudaya, keteladanan yang rendah, tingkat korupsi (KKN) yang terlalu tinggi dan amanah yang tak dijaga.
Pembangunan akhlak bangsa yang rusak bisa dimulai dari satu tema yang paling strategis dari kunci-kunci tersebut diatas. Merujuk pandangan Syauqi Beik bahwa kewibawaan suatu bangsa bergantung kepada akhlaknya, jika bangsa itu tak lagi berakhlak maka bangsa itu tidak lagi memiliki kewibawaan, meski bangsa besar sekalipun. Pernyataan ini sangat menggelitik nurani kita karena bangsa Indonesia yang besar dengan kekayaan alam karunia Tuhan yang luar biasa, tetapi belum memiliki rasa percaya diri untuk menjadi bangsa yang maju,padahal semua hambatan Negara maju justeru sudah kita miliki,yaitu minyak,gas,batu bara dan kekayaan alam lainnya.
Menurut hemat penulis, sumber dari segala sumber kebobrokan moral bangsa dewasa ini adalah terletak pada budaya yang tidak lagi menjaga amanah, mulai dari tingkat elit hingga ke masyarakat umum, dalam bidang ekonomi, politik dan kebudayaan. Oleh karena itu memperbaiki bangsa Indonesia atau mendorong bangsa ini untuk maju dapat dimulai dengan membudayakan hidup amanah.
Post a Comment
Home