Sunday, February 06, 2011
Krisis Mesir
Mungkinkah Nular ke Indonesia ?
Banyak orang tersentak oleh apa yang sedang berlangsung di negeri Al Azhar, atau di negeri Pyramid, atau ada yang menyebut di negeri Fir’aun, yakni Mesir atau Egypt. Presiden Husni Mubarak sedang digoyang oleh rakyatnya agar segera turun dari kursi kepresidenan Mesir. Televisi dunia termasuk di Indonesia terus menerus menyiarkan perkembangan mutakhir di negeri sungai Nil itu. Timbul pertanyaan, fenomena Mesir satu hal yang mengejutkan atau tidak ? Apa dampak krisis Mesir terhadap negeri-negara tetangganya di TimurTengah ? bahkan ada yang meramalkan bahwa krisis Mesir bisa memantik krisis yang sama ke Indonesia.
Mesir adalah negeri yang unik dan Indah di pojok benua Afrika. Mesir dapat disebut sebagai imamnya negeri-negeri Afrika karena dapat disebut sebagai negeri yang termaju dengan posisi geografis yang sangat strategis dan dengan warisan budaya kuno yang sangat kaya. Saya belum bisa melupakan betapa indahnya tepi sungai Nil ketika dulu saya mengambil short program di Universitas Al Azhar, salah satu Universitas tertua di dunia.Meski wilayahnya luas, tetapi wilayah real Mesir sesungguhnya hanya sekitar 15-20% saja ,yakni wilayah sepanjang aliran sungai Nil, karena sisanya adalah padang pasir.
Dalam krisis Timur Tengah, Mesir termasuk Negara yang potensial memegang kartu problem solving karena kekuatan militernya termasuk kuat dibanding negeri sekelilingnya, diluar Israel. Pada masa perang dingin, Mesir berada di blok Uni Soviet menghadapi Israel, anak emas Amerika. Perang enam hari tahun 73 membuktikan bahwa senjata Uni Soviet tak berdaya menghadapi senjata Israel, dan perang seminggu itu menyebabkan banyak wilayah Mesir dan Syria diduduki Israel. Lewat Perang Yon Kipur yang ketika itu Husni Mubarak menjabat KSAU, dan juga lewat diplomasi yang panjang Mesir bisa mengambil kembali wilayah Gaza, tetapi krisis Arab Israel terus berlangsung hingga hari ini.
RuntuhnyaUni Sovyet memaksa Mesir harus pandai-pandai berdiplomasi dengan Amerika dalam memainkan peran “kunci” konflik Palestinavs Israel. Posisi itulah yang menyebabkan Mesir tidak bisa menghindar dari transaksi politik dan ekonomi denganAmerika, satu hal yang menjadi bara politik dalam negeri Mesir.
Ekonomi Mesir yang sangat tergantung kepada subsidi roti juga politik perang dengan Israel memojokkan Mesir untuk menerima bantuan Amerika dalam jumlah besar. Amerika tidak menyia-nyiakan posisi sulit Mesir untuk melindungi anak emasnya, Israel. Setiap tahun Mesir menerima bantuan Amerika berupa gandum dan senjata, separoh dari nilai yang diterima oleh Israel. Bantuan gandum membuat Mesir stabil dari sudut subsidi roti untuk rakyatnya, tapi bantuan senjata Amerika membuat Mesir tak berdaya menghadapi Israel, dan inilah bara krisis yang selalu membayangi negeri pyramid itu. Presiden Anwar Sadat ditembak oleh aspiran fundamentalis berkaitan dengan “sentiment politik” dalam negeri terhadap Amerika. Husni Mubarak yang ketika itu menjadi wakil Presiden sesungguhnya juga ditolak oleh sebagian besar rakyat Mesir untuk menggantikan Anwar Sadat, juga karena Mubarak dianggapnya sekedar bonekanya Anwar Sadat dalam konteks hubungan transaksional dengan Amerika. Husni Mubarak memang akhirnya berhasil mengukuhkan kekuasaannya sebagaiPresiden melalui pemilu, tetapi “sentiment politik” anti Amerika tak pernah surut hingga hari ini.
MengapaHusni Mubarak digoyang ?
Sesungguhnya krisis Mesir hari ini bukan peristiwa yang mengejutkan, karena bersifat universal. Mubarak menduduki kursiPresiden Mesir selama 30 tahun, dan memerintah dengan tangan besi. Bisa saja peristiwa penggulingan Presiden Tunisia memberi inspirasi kepada rakyat Mesir untuk melakukan hal yang sama, meski akar penyebabnya agak berbeda.Tetapi krisis hari ini sebenarnya merupakan ledakan bom waktu yang hanya menunggu pemicunya. Mesir tidak mungkin mengabaikan Amerika karena dukungan negeri lain, Saudi Arabia misalnya tak bisa diharap. Saudi Arabia sendiri juga lebih suka “berlindung” kepada Amerika dibanding membangun solidaritas Negara-negaraTimur Tengah.
Anatomi Negara-negara Arab itu seperti padang pasir, mudah pecah dan mudah berpindah posisi. Persatuan dan pertikaian itu begitu mudah bertukar tempat seperti mudah pindahnya gunungan pasir yang disergap angin. Atau seperti karakter bahasanya yang begitu mudah berubah mengikuti kaidah i’rab. Husni Mubarak tak punya pilihan lain kecuali bertransaksi dengan Amerika dan Israel, karena lawan Amerika setelah lenyapnya super power Uni Sovyet belum ada penggantinya. Berbeda dengan Gaddafi yang “cerdas” membuka pintu “demokrasi” melalui empat juta komputer (internet) yang dibagikan kepada seluruh rumah penduduk yang pada umumnya belum terlalu terpelajar, penduduk Mesir pada umumnya sudah terpelajar dan disana banyak sekali tokoh intelektual dan ulama yang kritis. Transaksi politik Mubarak dengan Amerika (dan Israel)bagai meniup “balon” ketidakpuasan rakyat Mesir yang merindukan kebanggaan sebagai bangsa yang kaya dengan peradaban kuno itu. Cepat atau lambat Mubarak akan jatuh, dan hari-hari ini tinggal menunggu momentumnya. Kehadiran mantan duta besar Amerika ke Kairo mengisyaratkan bahwa Amerika tidak akan menolong Mubarak. Presiden Barack Obama pun sudah mengatakan bahwa tidak ada kepentingan Amerika dalam krisis Mesir.
Mungkinkah menular ke Indonesia ?
Orang yang meramalkan bahwa krisis Mesir dapat menular ke Indonesia sesungguhnya lebih pada kegatelan politik yang bersangkutan. Mereka merasa senang melihat krisis menimpa negeri sendiri tanpa membayangkan cost yang harus dibayar. Kalau mau membandingkan dengan Indonesia maka kasusnya sudah terjadi yaitu krisis 1998. Ketika itu Suharto juga sudah kelamaan menduduki kursi Presiden RI, sama dengan Husni Mubarak. Ketika itu rakyat Indonesia juga sudah mulai muak dengan sandiwara demokrasi orde baru disamping krisis moneter yang membuat Indonesia tertinggal di landasan, bukan tinggal landas seperti yang dijanjikan oleh Presiden Suharto. Kini Presiden SBY barusaha memulai periode kedua masa kepresidenannya, dan konstitusi sudah menjamin tidak akan mungkin naik jadi Presiden lagi.
Kalau toh ada kritik kepada Presiden SBY sebagai pemimpin yang peragu, lambat dan penakut, sesungguhnya itu juga bukan kritikan baru. Sejak tahun 2004, yakni pada masa periode pertama kepresidenannya, SBY sudah dituding seperti itu.Tetapi rakyat sudah menjawab, bahwa mereka lebih percaya kepada SBY sehingga pada pilpres 2009 SBY menang satu putaran dengan suara yang sangat signifikan (65%).Fenomena terakhir di Indonesia sesungguhnya lebih menampakkan sebagai bangsa yang sakit. Bayangkan anggauta DPR bisa melecehkan Presidennya dengan membuat koin untuk Presiden, padahal mereka tahu persis bahwa pernyataan Presiden tentang gaji bukan curhat juga bukan keluhan.
Kalau yang melakukan anak-anak LSM masih bisa difahami, karena anak2 LSM memang pintar-pintar dan kreatifitas nyentriknya merupakan ciri khas mereka. Begitu pun aksi tokoh “lintas agama” yang dipimpin Din Syamsudin. Manufer mereka tidak mencerminkan etika tokoh agama, karena mereka memang sesungguhnya lebih sebagai tokoh intelektual yang berpolitik dan bahkan pernah menjadi pejabat. Lebih telanjangnya lagi karena Din dengan bangga menyatakan bahwa tokoh lintas agama diback up oleh 68 LSM yang selalu memasok data kebohongan pemerintah. Kita semua tahu bahwa LSM memang sangat pintar mengaudit orang, tetapi mereka sendiri tak pernah mau diaudit .Laporan LSM lebih diperuntukkan kepada pendonor dibanding kepada publik.
Jika fenomena Mesir pindah ke Indonesia itu artinya bangsa ini terutama pemimpinnya memang bodoh karena tak pernah sadar cost yang harus dibayar, padahal baru pada Presiden SBY, suksesi nasional berlangsung smooth. Bung Karno dijatuhkan secara emosionil, Pak Harto Juga, Habibi juga, Gus Dur juga. Tahun2004, SBY naik dengan smooth, 2009 terpilih kembali dengan smooth, masa kita tidak sabar menunggu 2014, padahal sudah dijamin konstitusi SBY tak mungkin naik lagi. Menurunkan SBY di tengah jalan sama dengan mengembalikan sejarah Indonesia ke titik nol lagi seperti tahun 1965 dan 1997. Kita tak bisa melupakan kearifan para pendiri negeri ini yang menyatakan bahwa hanya atas berkat rahmat Allah dan didorongkan oleh keinginan luhur, bangsa ini dapat mencapai kemerdekaannya. Sekarangpun hanya keinginan luhur anak bangsa yang akan menjadi media datangnya berkat dan rahmat Alloh. Jika berkat dan rahmat Alloh datang, maka yang sulit akan berubah menjadi mudah, yang beku akan mencair dan seterusnya, dan seterusnya. Insyaalloh.
Banyak orang tersentak oleh apa yang sedang berlangsung di negeri Al Azhar, atau di negeri Pyramid, atau ada yang menyebut di negeri Fir’aun, yakni Mesir atau Egypt. Presiden Husni Mubarak sedang digoyang oleh rakyatnya agar segera turun dari kursi kepresidenan Mesir. Televisi dunia termasuk di Indonesia terus menerus menyiarkan perkembangan mutakhir di negeri sungai Nil itu. Timbul pertanyaan, fenomena Mesir satu hal yang mengejutkan atau tidak ? Apa dampak krisis Mesir terhadap negeri-negara tetangganya di TimurTengah ? bahkan ada yang meramalkan bahwa krisis Mesir bisa memantik krisis yang sama ke Indonesia.
Mesir adalah negeri yang unik dan Indah di pojok benua Afrika. Mesir dapat disebut sebagai imamnya negeri-negeri Afrika karena dapat disebut sebagai negeri yang termaju dengan posisi geografis yang sangat strategis dan dengan warisan budaya kuno yang sangat kaya. Saya belum bisa melupakan betapa indahnya tepi sungai Nil ketika dulu saya mengambil short program di Universitas Al Azhar, salah satu Universitas tertua di dunia.Meski wilayahnya luas, tetapi wilayah real Mesir sesungguhnya hanya sekitar 15-20% saja ,yakni wilayah sepanjang aliran sungai Nil, karena sisanya adalah padang pasir.
Dalam krisis Timur Tengah, Mesir termasuk Negara yang potensial memegang kartu problem solving karena kekuatan militernya termasuk kuat dibanding negeri sekelilingnya, diluar Israel. Pada masa perang dingin, Mesir berada di blok Uni Soviet menghadapi Israel, anak emas Amerika. Perang enam hari tahun 73 membuktikan bahwa senjata Uni Soviet tak berdaya menghadapi senjata Israel, dan perang seminggu itu menyebabkan banyak wilayah Mesir dan Syria diduduki Israel. Lewat Perang Yon Kipur yang ketika itu Husni Mubarak menjabat KSAU, dan juga lewat diplomasi yang panjang Mesir bisa mengambil kembali wilayah Gaza, tetapi krisis Arab Israel terus berlangsung hingga hari ini.
RuntuhnyaUni Sovyet memaksa Mesir harus pandai-pandai berdiplomasi dengan Amerika dalam memainkan peran “kunci” konflik Palestinavs Israel. Posisi itulah yang menyebabkan Mesir tidak bisa menghindar dari transaksi politik dan ekonomi denganAmerika, satu hal yang menjadi bara politik dalam negeri Mesir.
Ekonomi Mesir yang sangat tergantung kepada subsidi roti juga politik perang dengan Israel memojokkan Mesir untuk menerima bantuan Amerika dalam jumlah besar. Amerika tidak menyia-nyiakan posisi sulit Mesir untuk melindungi anak emasnya, Israel. Setiap tahun Mesir menerima bantuan Amerika berupa gandum dan senjata, separoh dari nilai yang diterima oleh Israel. Bantuan gandum membuat Mesir stabil dari sudut subsidi roti untuk rakyatnya, tapi bantuan senjata Amerika membuat Mesir tak berdaya menghadapi Israel, dan inilah bara krisis yang selalu membayangi negeri pyramid itu. Presiden Anwar Sadat ditembak oleh aspiran fundamentalis berkaitan dengan “sentiment politik” dalam negeri terhadap Amerika. Husni Mubarak yang ketika itu menjadi wakil Presiden sesungguhnya juga ditolak oleh sebagian besar rakyat Mesir untuk menggantikan Anwar Sadat, juga karena Mubarak dianggapnya sekedar bonekanya Anwar Sadat dalam konteks hubungan transaksional dengan Amerika. Husni Mubarak memang akhirnya berhasil mengukuhkan kekuasaannya sebagaiPresiden melalui pemilu, tetapi “sentiment politik” anti Amerika tak pernah surut hingga hari ini.
MengapaHusni Mubarak digoyang ?
Sesungguhnya krisis Mesir hari ini bukan peristiwa yang mengejutkan, karena bersifat universal. Mubarak menduduki kursiPresiden Mesir selama 30 tahun, dan memerintah dengan tangan besi. Bisa saja peristiwa penggulingan Presiden Tunisia memberi inspirasi kepada rakyat Mesir untuk melakukan hal yang sama, meski akar penyebabnya agak berbeda.Tetapi krisis hari ini sebenarnya merupakan ledakan bom waktu yang hanya menunggu pemicunya. Mesir tidak mungkin mengabaikan Amerika karena dukungan negeri lain, Saudi Arabia misalnya tak bisa diharap. Saudi Arabia sendiri juga lebih suka “berlindung” kepada Amerika dibanding membangun solidaritas Negara-negaraTimur Tengah.
Anatomi Negara-negara Arab itu seperti padang pasir, mudah pecah dan mudah berpindah posisi. Persatuan dan pertikaian itu begitu mudah bertukar tempat seperti mudah pindahnya gunungan pasir yang disergap angin. Atau seperti karakter bahasanya yang begitu mudah berubah mengikuti kaidah i’rab. Husni Mubarak tak punya pilihan lain kecuali bertransaksi dengan Amerika dan Israel, karena lawan Amerika setelah lenyapnya super power Uni Sovyet belum ada penggantinya. Berbeda dengan Gaddafi yang “cerdas” membuka pintu “demokrasi” melalui empat juta komputer (internet) yang dibagikan kepada seluruh rumah penduduk yang pada umumnya belum terlalu terpelajar, penduduk Mesir pada umumnya sudah terpelajar dan disana banyak sekali tokoh intelektual dan ulama yang kritis. Transaksi politik Mubarak dengan Amerika (dan Israel)bagai meniup “balon” ketidakpuasan rakyat Mesir yang merindukan kebanggaan sebagai bangsa yang kaya dengan peradaban kuno itu. Cepat atau lambat Mubarak akan jatuh, dan hari-hari ini tinggal menunggu momentumnya. Kehadiran mantan duta besar Amerika ke Kairo mengisyaratkan bahwa Amerika tidak akan menolong Mubarak. Presiden Barack Obama pun sudah mengatakan bahwa tidak ada kepentingan Amerika dalam krisis Mesir.
Mungkinkah menular ke Indonesia ?
Orang yang meramalkan bahwa krisis Mesir dapat menular ke Indonesia sesungguhnya lebih pada kegatelan politik yang bersangkutan. Mereka merasa senang melihat krisis menimpa negeri sendiri tanpa membayangkan cost yang harus dibayar. Kalau mau membandingkan dengan Indonesia maka kasusnya sudah terjadi yaitu krisis 1998. Ketika itu Suharto juga sudah kelamaan menduduki kursi Presiden RI, sama dengan Husni Mubarak. Ketika itu rakyat Indonesia juga sudah mulai muak dengan sandiwara demokrasi orde baru disamping krisis moneter yang membuat Indonesia tertinggal di landasan, bukan tinggal landas seperti yang dijanjikan oleh Presiden Suharto. Kini Presiden SBY barusaha memulai periode kedua masa kepresidenannya, dan konstitusi sudah menjamin tidak akan mungkin naik jadi Presiden lagi.
Kalau toh ada kritik kepada Presiden SBY sebagai pemimpin yang peragu, lambat dan penakut, sesungguhnya itu juga bukan kritikan baru. Sejak tahun 2004, yakni pada masa periode pertama kepresidenannya, SBY sudah dituding seperti itu.Tetapi rakyat sudah menjawab, bahwa mereka lebih percaya kepada SBY sehingga pada pilpres 2009 SBY menang satu putaran dengan suara yang sangat signifikan (65%).Fenomena terakhir di Indonesia sesungguhnya lebih menampakkan sebagai bangsa yang sakit. Bayangkan anggauta DPR bisa melecehkan Presidennya dengan membuat koin untuk Presiden, padahal mereka tahu persis bahwa pernyataan Presiden tentang gaji bukan curhat juga bukan keluhan.
Kalau yang melakukan anak-anak LSM masih bisa difahami, karena anak2 LSM memang pintar-pintar dan kreatifitas nyentriknya merupakan ciri khas mereka. Begitu pun aksi tokoh “lintas agama” yang dipimpin Din Syamsudin. Manufer mereka tidak mencerminkan etika tokoh agama, karena mereka memang sesungguhnya lebih sebagai tokoh intelektual yang berpolitik dan bahkan pernah menjadi pejabat. Lebih telanjangnya lagi karena Din dengan bangga menyatakan bahwa tokoh lintas agama diback up oleh 68 LSM yang selalu memasok data kebohongan pemerintah. Kita semua tahu bahwa LSM memang sangat pintar mengaudit orang, tetapi mereka sendiri tak pernah mau diaudit .Laporan LSM lebih diperuntukkan kepada pendonor dibanding kepada publik.
Jika fenomena Mesir pindah ke Indonesia itu artinya bangsa ini terutama pemimpinnya memang bodoh karena tak pernah sadar cost yang harus dibayar, padahal baru pada Presiden SBY, suksesi nasional berlangsung smooth. Bung Karno dijatuhkan secara emosionil, Pak Harto Juga, Habibi juga, Gus Dur juga. Tahun2004, SBY naik dengan smooth, 2009 terpilih kembali dengan smooth, masa kita tidak sabar menunggu 2014, padahal sudah dijamin konstitusi SBY tak mungkin naik lagi. Menurunkan SBY di tengah jalan sama dengan mengembalikan sejarah Indonesia ke titik nol lagi seperti tahun 1965 dan 1997. Kita tak bisa melupakan kearifan para pendiri negeri ini yang menyatakan bahwa hanya atas berkat rahmat Allah dan didorongkan oleh keinginan luhur, bangsa ini dapat mencapai kemerdekaannya. Sekarangpun hanya keinginan luhur anak bangsa yang akan menjadi media datangnya berkat dan rahmat Alloh. Jika berkat dan rahmat Alloh datang, maka yang sulit akan berubah menjadi mudah, yang beku akan mencair dan seterusnya, dan seterusnya. Insyaalloh.
Post a Comment
Home