Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Sunday, March 18, 2012

HIKMAHNYA HIKAM
at 11:36 PM 
Hikam dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari hikmah. Dalam bahasa seharian, ketika ada orang terkena musibah maka nasehat yang diterima dari teman atau gurunya adalah, sabar ya, ambil hikmahnya saja. Dalam bahasa harian Indonesia, hikmah mengandung arti sisi baik dari sesuatu.
Sepahit apapun suatu peristiwa pasti ada hikmahnya, ada sisi baiknya. Di kalangan masyarakat santri dikenal ada dua sosok ulama; yaitu ulama ahli ilmu dan ulama ahli hikmah. Ulama ahli ilmu biasanya mengajar ilmu agama sesuai dengan prinsip-prinsip keilmuan. Ia juga bisa terlibat dalam perdebatan terbuka, bahkan bermujadalah dengan mengajukan argument serta dalil-dalil `aqli maupun naqli.

Sedangkan ulama hikmah biasanya tidak ada yang terlibat dalam perdebatan terbuka, apalagi bermujadalah. Ia lebih banyak diam, tersenyum dan melayani orang-orang yang datang mohon doa atau mohon solusi. Jika ulama ahli ilmu jelas standard keilmuannya, ulama ahli hikmah tidak diketahui persis standard keilmuannya. Bahkan di mata awam, antara ulama ahli hikmah dan dukun jaraknya sangat tipis. Di kalangan “awam”, kata hikmah juga biasa diterjemahkan dengan kata bijaksana, dan kata bijaksana biasanya disandingkan dengan kata adil, adil dan bijaksana. Adil diartikan meletakkan sesuatu pada tempatnya (wadh’u syai fi mahallihi), sedangkan bijaksana difahami sebagai, meletakkan sesuatu tepat pada tempatnya. 


Jika keadilan banyak memakan “korban” orang yang dianggap salah terkena hukuman, kebijaksanaan biasanya lebih banyak menghindarkan orang bersalah dari hukuman. Orang baik yang melakukan kekeliruan bahkan sering disebut sebagai terlalu bijaksana. Kebijaksanaan bisa membuat orang yang kalah tidak merasa terhina. Kebijaksanaan juga bisa membuat orang yang kehilangan tidak merasa terkena musibah.Dalam bahasa Arab, hikmah juga bisa difahami sebagai kekuatan gaib.. Dalam al Qur’an tertulis, ud’u ila sabili robbika bil hikmah………dst, artinya; ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan cara hikmah. 


Terjemahan bahasa Indonesia mengartikan hikmah juga dengan bijaksana, tetapi sejumlah tafsir memahami al hikmah itu dengan ilmu pengetahuan atau ilmiyyah. Ayat itu berbicara tentang macam-macam objek dakwah yang pendekatannya juga harus beda. Orang terpelajar mestilah didakwahi dengan pendekatan ilmiyah atau hikmah, orang awam mestilah didakwahi dengan mau’idhoh hasanah,yakni nasehat yang baik, karena jika ilmiyah orang awam tidak faham. Selanjutnya orang munafik yang jelas-jelas menentang dan tidak menghormati da’i, ajaklah dengan mujadalah, dengan argument yang tak terbantahkan, dalil yang tak terkalahkan. Dari kata hikmah kemudian juga bisa menjadi al hakim, sehingga ada tokoh yang disebut al Qur’an bernama Luqman al Hakim. Para penafsir banyak yang menterjemahkan Luqman al Hakim bukan Lukman si Bijak, tetapi Luqman Sang Failasuf. 


Jadi hikmah juga berarti filsafat. Pada era keemasan sejarah Islam, banyak sekali lembaga-lembaga keilmuan (filsafat)yang menggunakan label hikmah, seperti Baitul Hikmah, Manba’ul hikmah atau dar al hikam. Ciri filsafat adalah berfikir mendalam. Meski ada perbedaan mencolok, tetapi pemahaman kata hikmah, baik dalam pengertian filsafat maupun pengertian bijaksana atau pengertian yang agak mistis kalangan santri Jawa, kesemuanya memiliki unsure-unsur ‘mendalam”. Bagaimana dengan Hikamnya Ibnu ‘Athaillah ? Pada era itu, kata hikmah lebih bernuansa tasawwuf. Inti tasawwuf adalah pada bagaimana orang bisa merasa dekat-sedekat-dekatnya dengan Tuhan. 


 Pada Era tasawwuf, sudah barang tentu banyak mutasawwif, yakni orang yang menempuh jalan sufi, tetapi yang sudah bisa disebut sufi sangatlah sedikit. Selain Imam Ghazali, jarang sekali ulama sufi yang menulis buku. Biasanya kata-kata hikmah seorang sufi dikutip orang kemudian diberi syarah oleh orang lain, disyarah lagi sehingga menjadi banyak buku. Buku yang sedang anda baca bukan karangan Ibnu Athaillah, tetapi syarah atau komentar yang ditulis oleh Syekh Abdullah as Syarqawi terhadap buku Hikamnya Ibnu Athoillah. Perlu diketahui pula bahwa al Hikam al `Atho’iyyah (karya Ibnu Athoillah) bukanlah al Hikam yang pertama. Memang kitab itusangat memukau; kedalaman ma’rifat yang memikat dalam untaian mutiara kata-kata yang mempesona, sehingga buku atau kitab itu sangat tenar. 


Namun sesungguhnya sebelum al Hikam Ibnu Athoilah itu ditulis, bahkan jauh sebelum penulisnya lahir telah ada al Hikam yang lain, yaitu al Hikam al Ghoutsiyyah yang ditulis oleh Abu Madyan Syu’aib ibn Husain al Anshari yang lahiur di Spanyol(520-594 H), sementara Ibn Athaillah diperkirakan lahir antara 658-679 H. Di duga pada era itu banyak karya-karya tasauf yang bercorak al Hikam, yakni kata-kata mutiara yang sarat ma’rifat secara mendalam dan mempesona. Inti tasauf adalah pada substansi hubungan manusia dengan khaliq. Manusia menurut konsep tasauf adalah tajalli (pengejawantahan) dari kebesaran Tuhan, oleh karena itu manusia juga memiliki kehebatan,” kesempurnaan” dan kegaiban yang tak pernah tuntas pembahasannya. Menurut Dr. Alexis Careel dalam bukunya Man The Unknown –judul aslinya al Insan Dzalika al Majhul, pertanyaan tentang manusia hingga hari ini pada hakikatnya masih tetap tanpa jawaban.


Tasawuf muncul ke permukaan sesungguhnya merupakan respond terhadap budaya materialism yang melanda ummat Islam generasi pertama sebagai konsekwensi dari kemakmuran dunia Islam pada masa zaman Umayyah dan Abbasiyah yang menggantikan imperium Rumawi dan Persia. Karya tasauf model al Hikam merupakan ekpressi penghayatan spiritual terhadap dinamika social yang cenderung menyimpang dari nilai-nilai akhlak Islam. Ketika banyak anggauta masyarakat yang lebih mengedepankan argument ‘aqly dan naqly, para sufi merumuskan kaidah-kaidah agama berdasar ma’rifat dalam bentuk kata-kata mutiara. Bagi mutasawwif yang tangga-tangga maqamatnya sudah mencapai wara’ maka akan mudah mengeluarkan air mata ketika membaca al hikam. Bagi mutasawwif yang tangga maqamatnya sudah sampai mahabbah, maka ia hanya tersenyum-senyum saja membaca al Hikam. Indonesia, negeri muslim terbesar di dunia tetapi dilanda budaya materalis dan hedonis, bibit-bibit Sufism mudah muncul, dan buku al Hikam menjadi pemantik spiritualism yang konstruktip di satu sisi, dan disalah fahami di sisi yang lain. Wallohu a`lam.
posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger