Wednesday, March 14, 2012
Nama Keadilan Laris Manis
Oleh :Ikhwanul Kiram Mashuri
Nama `keadilan' kini tampaknya laris manis di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Terutama, di negara-negara Arab pada musim revolusi (al tsaurat al `arabiyah) sekarang ini. Yang terakhir ini media Barat sering menyebutnya sebagai the Arab Spring. Media Arab menerjemahkannya dengan al rabii' al `Arabi. Bahasa Indonesianya adalah musim semi. Saya tidak tahu apa hubungan musim semi dengan revolusi. Mungkin penamaan musim semi diartikan sebagai “harapan lebih baik“. Yakni, agar revolusi yang terjadi di Arab sekarang ini membawa harapan lebih baik kepada rakyat. Lalu, apa hubungan musim semi dan revolusi dengan keadilan? Tentu bukan suatu kebetulan bila partai Islam di sejumlah negara mayoritas Muslim membawa embel-embel `keadilan' dalam gerakan politik mereka. Di Turki dan Maroko, ada Partai Keadilan dan Pembangunan. Di Mesir, Ikhwanul Muslimin menamai partai mereka dengan Partai Kebebasan dan Keadilan. Di tiga negara ini, partai-partai tersebut telah memenangkan pemilu secara demokratis. Artinya, partai `keadilan' laris manis dipilih mayoritas rakyat. Sedangkan, di Indonesia ada Partai Keadilan yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Yang menarik disimak dari partai-partai Islam di Timur Tengah yang membawa embel-embel `keadilan', hampir semuanya tak menonjolkan simbol-simbol Islam. Bahkan, Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan dan Partai Keadilan dan Pembangunan lebih mengemukakan nilainilai universal. Sebut misalnya mengenai kebebasan ibadah, kebebasan berpikir, kebebasan ekonomi, kebebasan individu, kesamaan sosial, kesejahteraan masyarakat, antikorupsi, penghormatan terhadap hukum dan undang-undang, serta keadilan buat semua orang. Nilai-nilai ini ia anggap lebih penting dari sekadar bicara tentang keharusan memelihara jenggot, sidang parlemen harus berhenti ketika mendengar azan, penghapusan pengajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah karena dianggap bahasa orang kafir, pelarangan musik pop, serta penghancuran patung Mustafa Kemal Ataturk. Kalaupun ia mempersoalkan larangan berjilbab di kantor-kantor pemerintah lebih karena hal itu melanggar HAM dan prinsip-prinsip sekularisme yang dianut oleh Turki. Di tangan Erdogan dan Partai Keadilan dan Pembangunan, ternyata Turki maju pesat dan sejahtera melebihi masa sebelumnya sejak Mustafa Kemal Ataturk mendeklarasikan Turki sebagai republik sekuler pada 1923. Baik kemajuan di bidang ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, maupun sarana dan prasarana. Di bawah kendali Erdogan, angka pengangguran dan kemiskinan juga berkurang drastis. Demikian juga penyakit asusila. Prostitusi dilarang, namun kaum perempuan diberi pekerjaan lebih terhormat. Korupsi dijadikan musuh utama bersama. Di dunia internasional, Erdogan membawa Turki menjadi anggota Masyarakat Ekonomi Eropa dan anggota NATO (pakta pertahanan atlantik utara). Diplomasi Turki juga sangat agresif untuk menjalin hubungan baik yang saling menguntungkan dengan berbagai negara. Bahkan, Turki merupakan sedikit negara Islam yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel. Namun, hal itu tidak menghalanginya untuk tegas menghukum pelanggaran oleh bangsa Yahudi itu. Prestasi Erdogan dan pemerintahannya ternyata bukan hanya diapresiasi oleh rakyat Turki yang memilihnya hingga tiga periode. Namun, juga dijadikan model sebagai pemerintahan yang Islami oleh berbagai kalangan, utamanya oleh negara-negara Arab yang baru menjalankan sistem demokrasi. Nama “keadilan“ pun mereka adopsi sebagai nama partai-partai Islam yang kini baru saja memenangkan pemilu di sejumlah negara Arab. Ya, “kiblat“ itu adalah Turki Erdogani. Bukan negara Islam lain. Dalam sejarah dunia Islam kontemporer, ada empat rujukan yang sering dikatakan sebagai negara Islam. Yaitu, Republik Islam Iran, Republik Islam Pakistan, dan Afghanistan pada masa Taliban dengan nama The Islamic Emirate of Afghanistan. Satu lagi adalah Kerajaan Arab Saudi. Yang terakhir ini meskipun tak menggunakan nama Islam, undang-undang dan hukumnya menggunakan syariat. Karena itu, berbagai kalangan sering menyebutkannya sebagai negara Islam. Sedangkan Turki, secara formal adalah negara sekuler. Namun, sejak Partai Keadilan dan Pembangunan berkuasa, Erdogan berhasil mengislamkan Turki. Bagi Erdogan, tampaknya isi lebih penting daripada kulit. Substansi lebih penting daripada sekadar simbol-simbol. Perbuatan lebih bermakna dari sekadar kata-kata. Kata “keadilan“ yang diadopsi oleh partai-partai Islam tentu bukan sekadar nama. Ia diharapkan bisa membawa perubahan kehidupan yang lebih baik dan Islami bagi rakyat.*REPUBLIKA (Resonansi, 12/3/12)
Nama `keadilan' kini tampaknya laris manis di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Terutama, di negara-negara Arab pada musim revolusi (al tsaurat al `arabiyah) sekarang ini. Yang terakhir ini media Barat sering menyebutnya sebagai the Arab Spring. Media Arab menerjemahkannya dengan al rabii' al `Arabi. Bahasa Indonesianya adalah musim semi. Saya tidak tahu apa hubungan musim semi dengan revolusi. Mungkin penamaan musim semi diartikan sebagai “harapan lebih baik“. Yakni, agar revolusi yang terjadi di Arab sekarang ini membawa harapan lebih baik kepada rakyat. Lalu, apa hubungan musim semi dan revolusi dengan keadilan? Tentu bukan suatu kebetulan bila partai Islam di sejumlah negara mayoritas Muslim membawa embel-embel `keadilan' dalam gerakan politik mereka. Di Turki dan Maroko, ada Partai Keadilan dan Pembangunan. Di Mesir, Ikhwanul Muslimin menamai partai mereka dengan Partai Kebebasan dan Keadilan. Di tiga negara ini, partai-partai tersebut telah memenangkan pemilu secara demokratis. Artinya, partai `keadilan' laris manis dipilih mayoritas rakyat. Sedangkan, di Indonesia ada Partai Keadilan yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Yang menarik disimak dari partai-partai Islam di Timur Tengah yang membawa embel-embel `keadilan', hampir semuanya tak menonjolkan simbol-simbol Islam. Bahkan, Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan dan Partai Keadilan dan Pembangunan lebih mengemukakan nilainilai universal. Sebut misalnya mengenai kebebasan ibadah, kebebasan berpikir, kebebasan ekonomi, kebebasan individu, kesamaan sosial, kesejahteraan masyarakat, antikorupsi, penghormatan terhadap hukum dan undang-undang, serta keadilan buat semua orang. Nilai-nilai ini ia anggap lebih penting dari sekadar bicara tentang keharusan memelihara jenggot, sidang parlemen harus berhenti ketika mendengar azan, penghapusan pengajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah karena dianggap bahasa orang kafir, pelarangan musik pop, serta penghancuran patung Mustafa Kemal Ataturk. Kalaupun ia mempersoalkan larangan berjilbab di kantor-kantor pemerintah lebih karena hal itu melanggar HAM dan prinsip-prinsip sekularisme yang dianut oleh Turki. Di tangan Erdogan dan Partai Keadilan dan Pembangunan, ternyata Turki maju pesat dan sejahtera melebihi masa sebelumnya sejak Mustafa Kemal Ataturk mendeklarasikan Turki sebagai republik sekuler pada 1923. Baik kemajuan di bidang ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, maupun sarana dan prasarana. Di bawah kendali Erdogan, angka pengangguran dan kemiskinan juga berkurang drastis. Demikian juga penyakit asusila. Prostitusi dilarang, namun kaum perempuan diberi pekerjaan lebih terhormat. Korupsi dijadikan musuh utama bersama. Di dunia internasional, Erdogan membawa Turki menjadi anggota Masyarakat Ekonomi Eropa dan anggota NATO (pakta pertahanan atlantik utara). Diplomasi Turki juga sangat agresif untuk menjalin hubungan baik yang saling menguntungkan dengan berbagai negara. Bahkan, Turki merupakan sedikit negara Islam yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel. Namun, hal itu tidak menghalanginya untuk tegas menghukum pelanggaran oleh bangsa Yahudi itu. Prestasi Erdogan dan pemerintahannya ternyata bukan hanya diapresiasi oleh rakyat Turki yang memilihnya hingga tiga periode. Namun, juga dijadikan model sebagai pemerintahan yang Islami oleh berbagai kalangan, utamanya oleh negara-negara Arab yang baru menjalankan sistem demokrasi. Nama “keadilan“ pun mereka adopsi sebagai nama partai-partai Islam yang kini baru saja memenangkan pemilu di sejumlah negara Arab. Ya, “kiblat“ itu adalah Turki Erdogani. Bukan negara Islam lain. Dalam sejarah dunia Islam kontemporer, ada empat rujukan yang sering dikatakan sebagai negara Islam. Yaitu, Republik Islam Iran, Republik Islam Pakistan, dan Afghanistan pada masa Taliban dengan nama The Islamic Emirate of Afghanistan. Satu lagi adalah Kerajaan Arab Saudi. Yang terakhir ini meskipun tak menggunakan nama Islam, undang-undang dan hukumnya menggunakan syariat. Karena itu, berbagai kalangan sering menyebutkannya sebagai negara Islam. Sedangkan Turki, secara formal adalah negara sekuler. Namun, sejak Partai Keadilan dan Pembangunan berkuasa, Erdogan berhasil mengislamkan Turki. Bagi Erdogan, tampaknya isi lebih penting daripada kulit. Substansi lebih penting daripada sekadar simbol-simbol. Perbuatan lebih bermakna dari sekadar kata-kata. Kata “keadilan“ yang diadopsi oleh partai-partai Islam tentu bukan sekadar nama. Ia diharapkan bisa membawa perubahan kehidupan yang lebih baik dan Islami bagi rakyat.*REPUBLIKA (Resonansi, 12/3/12)
Post a Comment
Home