Monday, December 25, 2006
Kepemimpinan Masa Kini
Membahas masalah kepemimpinan dari masa ke masa, ibarat membuka kalender kehidupan, sambung menyambung tiada henti. Sebab usia kepemimpinan itu sendiri seiring dan sejalan dengan peradaban manusia.Apa yang telah diuraikan di bagian depan, hanyalah sekelumit dari timbunan yang bak gunung dalam gudang sejarah nan luas, tak bertepi dan tak beratap. Buat kita yang penting adalah sejauh mana bisa memetik hikmah dan pelajaran darinya.
Penulis yang cukup menggemparkan dunia menjelang akhir abad ke-20, Sammuel P. Huntington, dalam akhir tulisan di buku The Third Wave: Democratization in The Late Twentieth Century
1) menyatakan, bahwa gelombang demokrasi telah terus menerus tanpa henti menghantam pantai kediktatoran. Dan untuk mewujudkan demokrasi, para elit politik di masa depan harus percaya bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling sedikit keburukannya. Oleh karena itu mereka harus memiliki ketrampilan untuk mewujudkannya, terutama dalam menghadapi golongan konservatif yang pasti akan terus mencoba bertahan. Demokrasi itu sendiri mempunyai dua dimensi kemasyarakatan dan dimensi kekuasaan/pemerintahan.
2) Pada tingkat kemasyarakatan prinsipnya adalah masyarakat demokrasi itu memiliki kebebasan, dan hanya dibatasi oleh konstitusi, hukum dan etika. Sebaliknya pada tingkat pemerintahan, pada dasarnya terbatas, sehingga pemerintahan dalam demokrasi disebut “Governing” dan bukan “rulling”. Governing adalah satu proses pengelolaan kekuasaan di mana keputusan-keputusan diambil berdasarkan konsensus. Tidak ada pemerintahan atau pengambilan keputusan secara sepihak, tetapi dirundingkan melalui proses tawar-menawar yang demokratis dan transparan.
Perubahan dalam sistem ketatanegaraan tersebut membawa dampak besar dalam aturan main dan gaya kepemimpinan atau pemerintahan. Namun demikian berbagai literatur klasik maupun modern menunjukkan bahwa syarat, etika dan moral kepemimpinannya tidaklah berubah. Syarat, etika dan moral itu merupakan benang merah kepemimpinan dari suatu negara yang bermoral yang mengutamakan keadilan, ketenteraman, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya —suatu kebutuhan universal.
Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, dan juga telah mengalami masa transisi dengan berbagai kerajaan Islam sebelum Proklamasi Kemerdekaan, termasuk Keraton Kasunanan Surakarta, secara teoritis masalah kepemimpinan yang Islami bukanlah hal yang baru lagi.
Sedangkan pemerintahan dan kepemimpinan yang Islami sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad Saw, dalam kehidupannya di Madinah, adalah justru banyak dicita-citakan.
Sayang sekali, sejarah juga menunjukkan tidak banyak pemimpin maupun pemerintahan Islam yang berhasil melaksanakan ajaran Rasulullah Saw, tersebut. Baru dalam hal keikhlasan dan proses menjadi pemimpin saja, sesungguhnya telah banyak pemimpin-pemimpin Islam yang gagal di tengah jalan. Betapa banyak tokoh kita yang secara ambisius dan terang-terangan meminta jabatan, bahkan jika perlu merebutnya dengan segala cara. Padahal Rasulullah Saw. tidak menyukai hal tersebut.
Pernah, sahabat Abu Dzar Ra, berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa paduka tidak mengangkatku sebagai pejabat?” Mendengar itu Rasulullah menepuk punggungnya seraya bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau orang yang lemah, padahal sesungguhnya jabatan itu adalah amanah, yang pada hari kiamat nanti akan memunculkan cela dan penyesalan, kecuali bagi orang yang dapat melaksanakan hak amanat itu dan kewajibannya sebagai pejabat, sebagaimana seharusnya.” (HR. Muslim dan Abu Daud)
Petunjuk Rasulullah tadi bukan hanya dikemukakan kepada Abu Dzar saja, tetapi juga kepada Abdurrahman bin Samurah, “Wahai Abdurrahman! Janganlah kamu meminta pangkat kepemimpinan. Apabila kamu sampai diberi, maka hal itu akan menjadi suatu beban yang berat bagi dirimu. Lain halnya kalau kamu diberi tanpa meminta, maka hal itu tidak menjadi masalah bagimu”. Bahkan kepada Abu Musa dan dua orang keponakannya, Rasulullah kembali menegaskan, “Demi Allah, aku tidak akan memberikan pekerjaan tersebut kepada seorang yang memintanya, apalagi kepada seseorang yang amat loba kepadanya.” (HR. Muslim)
Kini, Republik kita sedang mengalami krisis kepemimpinan. Imam Al Ghazali dalam risalahnya “Nasihat Bagi Penguasa” mengulas sebab-sebab seorang penguasa yang kehilangan kekuasaanya dengan menyatakan antara lain bahwa penguasa tersebut tertipu oleh kekuasaan, kekuatan dan kesenangannya akan pendapat dan pengetahuannya. Ia melupakan musyawarah, dan menyerahkan kekuasaan kepada para petugas yang tak berpengalaman, melupakan petugas senior dan berpengalaman.
Ia telah menyia-nyiakan kesempatan dan peluang yang tepat, tidak banyak berpikir tentang peluang itu, dan tiada pula melaksanakan pada saat yang diperlukan. Ia kurang tanggap pada tempat yang harus siap segera, dan kurang cepat menggunakan kesempatan dan kesibukan untuk memenuhi segala keperluan. Para utusan dan pembantu yang tidak jujur serta berkhianat dalam menyampaikan risalah, hanya karena kepentingan perut mereka, menurut Al Ghazali, juga sangat menimbulkan keburukan. Betapa banyak kerajaan menjadi hancur karena ulah mereka.
Islam mengajarkan sabda Rasulullah, “Apabila Allah berkenan untuk munculnya kebaikan bagi seorang pemimpin, maka Allah akan memperuntukkan baginya menteri yang jujur, yang bila ia lupa, maka ia (menteri) akan mengingatkannya, dan bila ia ingat maka menteri pun akan membantunya. Dan apabila Allah berkehendak selain itu, maka Allah akan menyediakan baginya menteri yang jahat, yang bila ia (pemimpin) lupa, maka sang menteri tidak mengingatkannya, dan bila ingat maka sang menteri tidak membantunya”. (HR. Abu Daud)
Kalaulah kerajaan di masa lalu kita analogkan dengan Republik dan Raja kita analogkan dengan para pemimpin bangsa, maka tergolong pemimpin yang manakah kita sekarang ini? Melihat keamanan yang semakin tidak terjamin, keadilan yang semakin jauh dan kian memudarnya kepastian masa depan, rasanya sudah seharusnya jika kita semua sekarang ini mau secara jujur bercermin diri, memohon ampun kehadirat Ilahi dan kembali bersama-sama berjuang mewujudkan Negara Idaman, Negara Utama yang Bermoral. Insya Allah.
Penulis yang cukup menggemparkan dunia menjelang akhir abad ke-20, Sammuel P. Huntington, dalam akhir tulisan di buku The Third Wave: Democratization in The Late Twentieth Century
1) menyatakan, bahwa gelombang demokrasi telah terus menerus tanpa henti menghantam pantai kediktatoran. Dan untuk mewujudkan demokrasi, para elit politik di masa depan harus percaya bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling sedikit keburukannya. Oleh karena itu mereka harus memiliki ketrampilan untuk mewujudkannya, terutama dalam menghadapi golongan konservatif yang pasti akan terus mencoba bertahan. Demokrasi itu sendiri mempunyai dua dimensi kemasyarakatan dan dimensi kekuasaan/pemerintahan.
2) Pada tingkat kemasyarakatan prinsipnya adalah masyarakat demokrasi itu memiliki kebebasan, dan hanya dibatasi oleh konstitusi, hukum dan etika. Sebaliknya pada tingkat pemerintahan, pada dasarnya terbatas, sehingga pemerintahan dalam demokrasi disebut “Governing” dan bukan “rulling”. Governing adalah satu proses pengelolaan kekuasaan di mana keputusan-keputusan diambil berdasarkan konsensus. Tidak ada pemerintahan atau pengambilan keputusan secara sepihak, tetapi dirundingkan melalui proses tawar-menawar yang demokratis dan transparan.
Perubahan dalam sistem ketatanegaraan tersebut membawa dampak besar dalam aturan main dan gaya kepemimpinan atau pemerintahan. Namun demikian berbagai literatur klasik maupun modern menunjukkan bahwa syarat, etika dan moral kepemimpinannya tidaklah berubah. Syarat, etika dan moral itu merupakan benang merah kepemimpinan dari suatu negara yang bermoral yang mengutamakan keadilan, ketenteraman, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya —suatu kebutuhan universal.
Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, dan juga telah mengalami masa transisi dengan berbagai kerajaan Islam sebelum Proklamasi Kemerdekaan, termasuk Keraton Kasunanan Surakarta, secara teoritis masalah kepemimpinan yang Islami bukanlah hal yang baru lagi.
Sedangkan pemerintahan dan kepemimpinan yang Islami sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad Saw, dalam kehidupannya di Madinah, adalah justru banyak dicita-citakan.
Sayang sekali, sejarah juga menunjukkan tidak banyak pemimpin maupun pemerintahan Islam yang berhasil melaksanakan ajaran Rasulullah Saw, tersebut. Baru dalam hal keikhlasan dan proses menjadi pemimpin saja, sesungguhnya telah banyak pemimpin-pemimpin Islam yang gagal di tengah jalan. Betapa banyak tokoh kita yang secara ambisius dan terang-terangan meminta jabatan, bahkan jika perlu merebutnya dengan segala cara. Padahal Rasulullah Saw. tidak menyukai hal tersebut.
Pernah, sahabat Abu Dzar Ra, berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa paduka tidak mengangkatku sebagai pejabat?” Mendengar itu Rasulullah menepuk punggungnya seraya bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau orang yang lemah, padahal sesungguhnya jabatan itu adalah amanah, yang pada hari kiamat nanti akan memunculkan cela dan penyesalan, kecuali bagi orang yang dapat melaksanakan hak amanat itu dan kewajibannya sebagai pejabat, sebagaimana seharusnya.” (HR. Muslim dan Abu Daud)
Petunjuk Rasulullah tadi bukan hanya dikemukakan kepada Abu Dzar saja, tetapi juga kepada Abdurrahman bin Samurah, “Wahai Abdurrahman! Janganlah kamu meminta pangkat kepemimpinan. Apabila kamu sampai diberi, maka hal itu akan menjadi suatu beban yang berat bagi dirimu. Lain halnya kalau kamu diberi tanpa meminta, maka hal itu tidak menjadi masalah bagimu”. Bahkan kepada Abu Musa dan dua orang keponakannya, Rasulullah kembali menegaskan, “Demi Allah, aku tidak akan memberikan pekerjaan tersebut kepada seorang yang memintanya, apalagi kepada seseorang yang amat loba kepadanya.” (HR. Muslim)
Kini, Republik kita sedang mengalami krisis kepemimpinan. Imam Al Ghazali dalam risalahnya “Nasihat Bagi Penguasa” mengulas sebab-sebab seorang penguasa yang kehilangan kekuasaanya dengan menyatakan antara lain bahwa penguasa tersebut tertipu oleh kekuasaan, kekuatan dan kesenangannya akan pendapat dan pengetahuannya. Ia melupakan musyawarah, dan menyerahkan kekuasaan kepada para petugas yang tak berpengalaman, melupakan petugas senior dan berpengalaman.
Ia telah menyia-nyiakan kesempatan dan peluang yang tepat, tidak banyak berpikir tentang peluang itu, dan tiada pula melaksanakan pada saat yang diperlukan. Ia kurang tanggap pada tempat yang harus siap segera, dan kurang cepat menggunakan kesempatan dan kesibukan untuk memenuhi segala keperluan. Para utusan dan pembantu yang tidak jujur serta berkhianat dalam menyampaikan risalah, hanya karena kepentingan perut mereka, menurut Al Ghazali, juga sangat menimbulkan keburukan. Betapa banyak kerajaan menjadi hancur karena ulah mereka.
Islam mengajarkan sabda Rasulullah, “Apabila Allah berkenan untuk munculnya kebaikan bagi seorang pemimpin, maka Allah akan memperuntukkan baginya menteri yang jujur, yang bila ia lupa, maka ia (menteri) akan mengingatkannya, dan bila ia ingat maka menteri pun akan membantunya. Dan apabila Allah berkehendak selain itu, maka Allah akan menyediakan baginya menteri yang jahat, yang bila ia (pemimpin) lupa, maka sang menteri tidak mengingatkannya, dan bila ingat maka sang menteri tidak membantunya”. (HR. Abu Daud)
Kalaulah kerajaan di masa lalu kita analogkan dengan Republik dan Raja kita analogkan dengan para pemimpin bangsa, maka tergolong pemimpin yang manakah kita sekarang ini? Melihat keamanan yang semakin tidak terjamin, keadilan yang semakin jauh dan kian memudarnya kepastian masa depan, rasanya sudah seharusnya jika kita semua sekarang ini mau secara jujur bercermin diri, memohon ampun kehadirat Ilahi dan kembali bersama-sama berjuang mewujudkan Negara Idaman, Negara Utama yang Bermoral. Insya Allah.
شركة تظيف مكيفات بالرياض
شركة تنظيف افران الغاز بالرياض
شركة تركيب غرف نوم بالرياض
شركة تركيب مكيفات بالرياض
شركة تركيب اثاث ايكيا بالرياض
______
Post a Comment
Home