Wednesday, January 31, 2007
Hati Dalam Perspektif Islam
Imam Gazali dalam Ihya Ulumuddin membuat bab khusus yang membahas Keajaiban Hati (`Ajaib al Qalb). Menurut Al Gazali kemuliaan martabat manusia disebabkan karena kesiapannya mencapai makrifat kepada Allah, dan hal itu dimungkinkan karena adanya hati. Dengan hati, manusia mengetahui Allah dan mendekati Nya, sementara anggauta badan yang lain berfungsi sebagai pelayannya. Hubungan hati dengan anggauta badan dimisalkan Al Gazali seperti raja dengan rakyatnya, atau seorang tukang dengan alatnya pertukangannya.
Hubungan hati dengan angauta badan dipandang sebagai ilmu lahir, sementara akses hati ke alam langit (`alam al malakut) masuk kategori ilmu batin dimana didalamnya sarat dengan rahasia dan keajaiban. Sahal at Tusturi menserupakan hati sebagai `arasy sementara dada merupakan kursiy, satu perumpamaan yang menggambarkan bahwa di dalam diri manusia seakan terdapat satu kerajaan tersendiri dimana hati bertindak sebagai raja.
Al Gazali mengatakan bahwa hati mempunyai dua unit tentara (junudun mujannadah), yaitu unit yang dapat dilihat dengan mata kepala dan yang satu hanya dapat dilihat dengan mata hati. Yang pertama adalah anggauta badan, sedang yang kedua adalah daya-daya; daya penglihatan, daya pendengaran, daya hayal, daya ingat, daya fikir dan daya hafal, yang bekerja dengan sistem yang sangat sophisticated dan hanya Allah yang mengetahui hakikatnya. Dari kombinasi tentara lahir dan batin itu dapat lahir kehendak (iradah), marah (ghodob), keinginan (syahwat), pengetahuan (ilmu), dan persepsi (idrak). Hati juga diibaratkan sebagai pesawat pemancar (dzauq) yang dapat menangkap sinjal-sinyal yang melintas. Kapasitas pesawat hati tiap orang berbeda-beda tergantung desain dan baterainya.
Hati yang telah lama dilatih melalui proses riyadhah memiliki desain dengan kapasitas besar yang mampu menangkap sinjal yang jauh termasuk sinjal isyarat tentang masa yang akan datang. Hati seorang sufi bisa menangkap sinjal tentang prospek sesuatu (seperti penglihatan Nabi Khidir) sehingga kata-katanya boleh jadi melawan arus atau tidak difahami oleh orang lain. dengan hatinya ia juga bisa berkomunikasi dengan orang lain yang berada di tempat lain atau di zaman yang lain, laiknya telpon genggam saja. Ketajaman hati juga diibaratkan sebagai cermin (cermin hati). Orang yang bersih dari dosa, hatinya bagaikan cermin yang bening, yang begitu mudah untuk berkaca diri. Orang yang suka mengerjakan dosa-dosa kecil, hatinya buram bagaikan cermin yang terkena debu, jika digunakan kurang jelas hasilnya. Orang yang suka melakukan dosa besar, hatinya gelap bagaikan cermin yang tersiram cat hitam, dimana hanya sebagian kecil saja bagiannya yang dapat digunakan. Sedangkan orang yang suka mencampuradukkan perbuatan baik dengan perbuatan dosa, hatainya kacau bagaikan cermin yang retak-retak, yang jika digunakan akan menghasilkan gambaran yang tidak benar. Hati yang sudah tumpul karena baterainya lemah seyogyanya diisi dengan stroom baru, yakni dengan melalui mujahadah dan riyadlah. Ilmu sebagai produk intelektuil (akal) kebenarannya bersifat nisbi, antara `ilmal yaqin dan `ainul yaqin, sedangkan ilmu sebagai produk hati atau qalb sebagai dzauq merupakan kebenaran hakiki (haqqul yaqin).
Sebagai penutup mari kita mencoba bercermin kepada hati kita masing-masing agar kita juga tahu seberapa besar kapasitasnya. Kata Al Gazali orang yang tidak mengenal hati sendiri, pasti ia lebih tidak tahu lagi tentang hal lain. Wallohu a`lam.
Hubungan hati dengan angauta badan dipandang sebagai ilmu lahir, sementara akses hati ke alam langit (`alam al malakut) masuk kategori ilmu batin dimana didalamnya sarat dengan rahasia dan keajaiban. Sahal at Tusturi menserupakan hati sebagai `arasy sementara dada merupakan kursiy, satu perumpamaan yang menggambarkan bahwa di dalam diri manusia seakan terdapat satu kerajaan tersendiri dimana hati bertindak sebagai raja.
Al Gazali mengatakan bahwa hati mempunyai dua unit tentara (junudun mujannadah), yaitu unit yang dapat dilihat dengan mata kepala dan yang satu hanya dapat dilihat dengan mata hati. Yang pertama adalah anggauta badan, sedang yang kedua adalah daya-daya; daya penglihatan, daya pendengaran, daya hayal, daya ingat, daya fikir dan daya hafal, yang bekerja dengan sistem yang sangat sophisticated dan hanya Allah yang mengetahui hakikatnya. Dari kombinasi tentara lahir dan batin itu dapat lahir kehendak (iradah), marah (ghodob), keinginan (syahwat), pengetahuan (ilmu), dan persepsi (idrak). Hati juga diibaratkan sebagai pesawat pemancar (dzauq) yang dapat menangkap sinjal-sinyal yang melintas. Kapasitas pesawat hati tiap orang berbeda-beda tergantung desain dan baterainya.
Hati yang telah lama dilatih melalui proses riyadhah memiliki desain dengan kapasitas besar yang mampu menangkap sinjal yang jauh termasuk sinjal isyarat tentang masa yang akan datang. Hati seorang sufi bisa menangkap sinjal tentang prospek sesuatu (seperti penglihatan Nabi Khidir) sehingga kata-katanya boleh jadi melawan arus atau tidak difahami oleh orang lain. dengan hatinya ia juga bisa berkomunikasi dengan orang lain yang berada di tempat lain atau di zaman yang lain, laiknya telpon genggam saja. Ketajaman hati juga diibaratkan sebagai cermin (cermin hati). Orang yang bersih dari dosa, hatinya bagaikan cermin yang bening, yang begitu mudah untuk berkaca diri. Orang yang suka mengerjakan dosa-dosa kecil, hatinya buram bagaikan cermin yang terkena debu, jika digunakan kurang jelas hasilnya. Orang yang suka melakukan dosa besar, hatinya gelap bagaikan cermin yang tersiram cat hitam, dimana hanya sebagian kecil saja bagiannya yang dapat digunakan. Sedangkan orang yang suka mencampuradukkan perbuatan baik dengan perbuatan dosa, hatainya kacau bagaikan cermin yang retak-retak, yang jika digunakan akan menghasilkan gambaran yang tidak benar. Hati yang sudah tumpul karena baterainya lemah seyogyanya diisi dengan stroom baru, yakni dengan melalui mujahadah dan riyadlah. Ilmu sebagai produk intelektuil (akal) kebenarannya bersifat nisbi, antara `ilmal yaqin dan `ainul yaqin, sedangkan ilmu sebagai produk hati atau qalb sebagai dzauq merupakan kebenaran hakiki (haqqul yaqin).
Sebagai penutup mari kita mencoba bercermin kepada hati kita masing-masing agar kita juga tahu seberapa besar kapasitasnya. Kata Al Gazali orang yang tidak mengenal hati sendiri, pasti ia lebih tidak tahu lagi tentang hal lain. Wallohu a`lam.
Post a Comment
Home