Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Monday, January 15, 2007

Psikologi Poligami II (Rahmat Yang tersembunyi di Balik Tamparan)
at 9:14 PM 
Poligami selalu menarik untuk dibicarakan, meski ditentang habis-habisan oleh public terutama kaum wanita, tetapi poligami tetap ada dan akan tetap berlangsung hingga hari kiamat. Kenapa? Karena poligami adalah desain dari Tuhan. Jika Tuhan mengizinkan adanya poligami, seperti yag tersebut dalam al Qur’an maka itu satu isyarat bahwa poligami adalah kebutuhan manusia. Pelarangan total poligami oleh hukum Negara, pasti berdampak pada rusaknya tatanan hidup social, yang dampaknya lebih buruk dibanding dampak sosial dari praktek poligami. Di Amerika, negara yang melarang praktek poligami secara hukum, data penelitian menunjukkan fakta sebagai berikut.:

1. Bubarnya ikatan perkawinan setelah usia 40 tahun menjadi trend social.
2. 60 % perceraian disebabkan oleh slingkuhnya perempuan, 30% oleh slingkuhnya laki-laki dan 10 % oleh sebab-sebab campuran.

3. Sudah berdiri organisasi persatuan ibu2 tanpa suami yang dengan bangga bisa punya dan mampu mengurus anak sebagai single parent meski tak punya suami

4. Berdiri pula organisasi anak-anak tak berbapak, untuk menanmkan rasa percaya diri sebagai manusia yang tak kenal siapa ayahnya.

Dapat dibayangkan ketika nanti mayoritas masyarakatBarat sudah terdiri dari generasi jenis ini, yakni mereka yang kehilangan peluang merasakan kebahagiaan memiliki tokoh identifikasi secara naluriah, split personality akan menjadi cirri social.

Betapapun kaum wanita (terutama isteri tua) membenci poligami, tetapi semua isteri muda adalah wanita juga, yakni wanita yang oleh keadaan yang belum tentu diidamkan terpaksa menerima rejeki sisa, hanya menjadi isteri no 2 atau 3, padahal semua wanita ingin menjadi yang pertama dan satu-satunya..

Berikut ini adalah kasus poligami yang dilakukan oleh pejabat eselon I, dan isterinya adalah klient saya. Sebagai konselor keluarga saya memberikan konseling, dan catatannya saya muat di buku saya;

KONSELING AGAMA, TEORI DAN KASUS. DAN JUGA DI BUKU PSIKOLOGI KELUARGA, CETAKAN KEDUA SAMPAI KETUJUH, DENGAN SAYA BERI JUDUL:

RAHMAT YANG TERSEMBUNYI DI BALIK TAMPARAN
Seorang ibu rumah tangga, usia sekitar 40 tahun, kepala SMP Negeri, mempunyai tiga orang anak, dua orang duduk di SMA dan satu orang kelas III SMP, suaminya seorang pejabat eselon tinggi BUMN, datang kepada penulis mengajukan pertanyaan yang sangat definitif: Pak, saya sudah kemana-mana, tetapi selalu disuguhi teori. Saya tidak membutuhkan teori, tetapi butuh jawaban praktis. Menurut pandangan agama Islam, apa yang harus saya lakukan dalam menghadapi problem yang sedang saya hadapi?

Permasalahan yang dihadapi
Ibu itu menceriterakan bahwa suaminya telah kawin lagi dengan janda muda usia 17 tahun yang ditemukan di Panti pijat. Sekarang sudah dibelikan rumah, bahkan ibu dari isteri mudanyapun sudah di bawa ke Jakarta, tingal di rumah baru itu menemani anaknya. Yang tidak bisa difahami oleh ibu kepala sekolah tadi adalah sikap anak-anaknya, yaitu semuanya membela bapaknya, bahkan mereka mengancam: jika ibu macam-macam kepada Bapak, nanti kami semua mau pindah saja ke rumah ibu tirinya, padahal sepengetahuannya, dalam setiap kasus poligami, anak-anak selalu membela ibunya. Karena ibu itu seorang muslimah, dan kenal dengan penulis dalam sebuah pengajian tazkiyat an Nafs, maka pertanyaannya sudah terseleksi seperti tersebut diatas, yaitu: Apa yang harus saya lakukan menurut tuntunan agama Islam.

Anatomi masalah
Dalam percakapan yang mendalam, ibu itu akhirnya membuka seluruh permasalahan yang dihadapi. Ia menceriterakan bahwa kasus kawin lagi suaminya bukan yang pertama. Suaminya sudah sering diam-diam memiliki isteri simpanan, tetapi setiap kepergok kemudian dicerai. Ia juga mengaku bahwa suaminya termasuk "orang kuat" di tempat tidur sehingga ia sering merasa kewalahan dalam melayaninya. Ia menduga bahwa jika suami sedang tidak mempunyai isteri simpanan, maka ia suka "observasi" ke tempat-tempat hiburan, buktinya isteri muda yang sekarang juga ditemukan di panti pijat tradisionil.

Di sisi lain ia juga mengakui bahwa suaminya itu orang baik, baik kepada keluarga dan juga kepada tetangga. Suaminya juga idola bagi anak-anaknya. Suaminya seorang muslim juga tetapi tidak rajin salat, masih rajin salat anak-anaknya. Ibu itu juga mengaku menjalankan salat tetapi sering tinggal terutama jika lagi sibuk. Sebagai suami, kata ibu itu, ia adalah suami yang penuh perhatian dan suka mengalah, terbukti setiap kali kepergok juga segera memutuskan hubungan. Tetapi dengan isteri muda yang terakhir ini, dia mengatakan bahwa ia akan menceraikan isteri mudanya nanti setelah melahirkan, karena ia sedang hamil 4 bulan.

Ibu itu bercerita bahwa terkadang ia tergoda untuk melabrak kepada madunya itu seperti yang dulu dilakukan kepada madu-madu sebelumnya, tetapi sikap anak-anaknya yang membela bapaknya membuatnya menjadi bingung. Sebagai wanita karir di kota besar, ia merasa tabah mengahadapi ulah suami, tetapi menghadapi sikap anak-anaknya betul-betul membuatnya bingung. Ia tak faham apa dan siapa yang sebenarnya sedang ia hadapi, suami atau anak-anaknya. Terkadang terfikir pula untuk melaporkan perbuatan suaminya kepada Bapak Presiden karena sebagai pejabat tinggi suaminya jelas melanggar PP 10, tetapi lagi-lagi, sikap-anak-anaknya itu lebih menyita perhatiannya.

Terapi konseling agama terhadap kasus ini
Kasus ini sebenarnya adalah problem yang berhubungan dengan kodrat kejiwaan manusia. Ibu itu mengalami konflik interest, fikiran dan perasaannya tidak sejalan, qalb, nafs, akal dan hati nuraninya tidak sedang dalam kondisi harmoni sehingga ia merasa tidak mampu membuat keputusan. Ia juga kesulitan menempatkan dirinya di antara suami, anak-anak dan Tuhan, tetapi ia sadar bahwa ada kekuatan yang bisa membantunya tetapi belum ditemukan. Ia sadar, bahwa sebagai muslimah ia kurang taat dalam menjalankan agama, tetapi ia berharap bahwa agama akan membantu membimbingnya dalam membuat keputusan atas apa yang akan dilakukan, sehingga pertanyaannya kepada penulis sebagai konselor juga sudah definitif, yaitu apa yang harus dilakukan menurut tuntunan agama Islam?

Karena ibu itu sudah siap menerima tuntunan agama, maka terapi psikologis yang saya sampaikan juga merupakan paket yang konkrit. Kepadanya saya menyampaikan bahwa: agama memberikan kebebasan kepada ibu untuk memilih satu di antara 3 (tiga) jalan:
1. Pilihan pertama, labrak saja isteri muda itu seperti yang sudah-sudah dan laporkan kepada Bapak Presiden supaya kapok, saran saya. Akan tetapi ibu harus bisa membayangkan bahwa barangkali untuk kali ini suami ibu tidak akan mengalah. Jika kemudian suami ibu ditindak oleh atasan karena melanggar PP 10, maka di mata suami, ibu adalah biangkeladi dari kegagalan karirnya, dan ia akan simpati kepada isteri muda yang di labrak oleh ibu, dan dalam persepsinya isteri mudanya itu teraniaya (mazlum) sementara ibu dianggap sebagai penganiaya (zalim). Pilihan pertama ini biasanya dilakukan oleh wanita kebanyakan, bukan wanita pilihan, langkah yang manusiawi, dapat dimengerti tetapi hasilnya merugikan diri sendiri.

2. Pilihan yang kedua, ibu bisa sabar menunggu sampai isteri muda itu melahirkan, dan setelah itu tagih janji suami ibu untuk menceraikannya. Langkah ini juga dapat difahami, rasional dan manusiawi, tetapi belum mengandung nuansa keindahan, belum ada istimewanya.

3. Pilihan ketiga, adalah pilihan yang biasanya dilakukan oleh wanita utama. Jika ibu memilih langkah ini, maka ibu harus memandang isteri muda suami ibu bukan hanya sebagai madu, tetapi sebagai wanita, sebagai makhluk yang membutuhkan pertolongan orang lain, seperti ibu juga sedang membutuhkan pertolongan orang lain. Dalam kehidupan, wanita sering tidak bisa menentukan jalan hidupnya, tetapi harus tunduk kepada tangan kokoh sistem sosial yang terkadang tidak menyenangkan. Coba ibu renungkan, apakah wanita yang sekarang menjadi madu ibu itu senang bekerja di panti pijat, dan kira-kira apa yang akan dia lakukan jika dicerai oleh suami ibu.

Untuk bisa menjadi wanita utama, ibu harus berpihak kepada wanita, peduli kepada nasib wanita. Dalam menghadapi masalah ibu, ibu dapat melakukan suatu bargaining dengan suami, misalnya nanti setelah wanita madu anda itu melahirkan, ibu bisa berkata kepada suami. Sudahlah pak, biar dia tidak usah dicerai, saya kasihan kepada masa depan dia, sebab jika dicerai hampir dapat dipastikan ia akan kembali ke panti pijat, dan selanjutnya akan ada lagi wanita lain yang menderita karena suaminya tergoda kepadanya. Akan tetapi saya punya permintaan, yaitu sejak hari ini Bapak harus taat beragama, rajin menjalankan solat, dan jauhi segala macam kemaksiatan. Doakan agar saya mampu hidup lurus dan kuat menghadapi realita ini.

Ibu, kata saya, pilihan ke tiga ini pilihan wanita utama, oleh karena itu berat dan tidak semua wanita dapat melakukannya, karena manusia itu lemah. Tuhan juga tahu bahwa wanita dan juga, manusia pada umumnya memiliki kelemahan, oleh karena kepada orang yang sedang mengalami persoalan seperti ibu, agama mengajarkan doa-doa untuk memperkuat diri.

Mendengar kata-kata terakhir tadi, ibu tersebut tersentak dan dengan sangat antausias minta diajarkan doa yang saya maksudkan. Rupanya kata kunci doa, menggetarkan batin ibu itu untuk berani menerima kenyataan dan siap melakukan apa yang diangap baik menurut agama meskipun berat. Kepada ibu itu kemudian saya berikan teks doa yang sebenarnya doa umum, tetapi karena kehausannya kepada hubungan dengan Tuhan maka doa itu dianggapnya sebagai doa khusus untuk dia sendiri.

Ketika saya tanyakan apakah ibu bisa membaca Qur'an, ia menyatakan bisa sekedarnya, ketika saya tanyakan apakah ibu suka menjalankan salat tahajjud, ibu itu mengatakan: alhamdulillah setelah ada kasus ini saya sekarang sudah kenal salat tahajud, padahal dulu boro-boro tahajud, salat lima waktu saja sering tertinggal.

Mendengar pengakuannya itu maka secara langsung saya tanamkan logika baru: Nah bu, sebenarnya dari dulu Tuhan menginginkan agar ibu menjadi manusia yang dekat dengan Nya, tapi ibu dipanggil-panggil tak mau mendengar, ibu sibuk urusan sendiri saja. Sekarang Tuhan membentak ibu dengan kasus ini, dan ibu baru mendengar panggilan Tuhan. Jadi kasus ini adalah rahmat Tuhan yang diberikan kepada ibu dalam bentuk tamparan agar ibu menjadi orang yang dekat dengan Nya. Jika manusia sudah merasa dekat dengan Nya, maka selain Tuhan; misalnya suami, anak, jabatan dan harta, akan menjadi urutan berikutnya. Saya yakin ibu mampu menghadapi cobaan ini, dan ibu insya Allah akan lulus, menjadi hamba Allah yang dekat dengan Nya, menolong seorang wanita, membuat suami rajin beribadat dan anak-anak ibu akan tetap bersama ibu. Insya Allah.

Menurut pengakuannya ibu itu merasa puas berkonsultasi dengan penulis yang ketika itu (1984) masih menduduki peringkat seorang konselor amatiran, Alhamdulillah. Untuk ibu yang ini kata kunci dari konseling kasusnya adalah tahu diri dan doa.
posted by : Mubarok institute

Post a Comment

Home

My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger