Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Wednesday, January 17, 2007

Hati Tak Berjendela
at 11:11 PM 
Suatu hari sekitar jam dua siang, tiba-tiba datang se­orang wanita muda sekitar usia 30 tahun, datang ke rumah penulis. Dari penampilannya diduga bahwa wanita itu adalah seorang mahasiswa. Setelah berbasa basi sebentar akhirnya dia mengaku bukan mahasiswa tetapi seorang ibu rumah tangga. Setelah ditanyakan apa maksud keda­tangannya, dengan terbata-bata dan berlinangan air mata ia mengatakan bahwa hampir saja ia bunuh diri menenggak obat serangga. Baygon.

Mendengar pengakuannya yang mengejutkan itu akhir­nya penulis membiarkan kepadanya untuk membuka se­luruh isi hatinya, dan penulis menjadi pendengar yang baik.

1. Mengapa Datang Kepada Penulis?
Menurut ceriteranya, pagi itu wanita tersebut sedang kusut fikiran dan saking kalutnya ia bermaksud bunuh diri dengan cara meminum baygon. Pada saat itu aliran listrik di lingkungan tempat tinggalnya sedang mati, dan ketika baygon sudah dituang ke gelas, ketika sedang dipegang untuk diminum, tiba-tiba listrik menyala dan radio langsung berbunyi. Seperti diatur sutradara, suara di radio ternyata berisi siaran pengajian dari radio Assyafi'iyyah dan pak kyai dalam pidato itu menyebut dosanya orang bunuh diri.

Katanya selanjutnya, wanita itu tersentak kaget dan langsung timbul kengerian serta takut melihat gelas yang sudah dituangi baygon. Secara reflek wanita itu kemudian lari keluar rumah tanpa ingat mengunci pintu dan lang­sung naik metro mini yang kebetulan sedang berhenti, juga tanpa mengetahui entah mau ke mana. Ternyata metro mini itu jurusan Pulo Gadung- Taman Mini, dan ketika lewat Jatiwaringin, wanita itu melihat papan nama Pesantren Assyafi'iyyah, nama yang mengingatkan suara radio yang telah "menyelamatkannya" dari maut. Wanita itu kemudian minta turun dan langsung menuju kantor pesantren.

Di halaman kantor, wanita itu berpapasan dengan se­orang guru dan dengan tidak sabar langsung mengatakan bahwa ia perlu bertemu dengan orang yang bisa memberinya nasehat agar ia tidak bunuh diri. Mendengar penuturan yang mengejutkan itu, pak guru yang kebetulan juga se­orang dosen dan seniman bermaksud memperdaya penulis dengan mengatakan bahwa di sini ada orang yang biasa menangani kasus-kasus semacam itu, dan ia menyebut nama penulis, dan langsung memberi alamat rumah penulis yang tidak terlalu jauh dari Pesantren. Ketika itu penulis kebetulan menjabat sebagai dekan Fakultas Dakwah dan juga sekretaris Pesantren. Dengan olok-olok teman dosen itulah akhirnya tanpa sengaja penulis kemu­dian menjadi konselor yang harus memberikan layanan konseling agama.

2. Mengapa Wanita Itu Mau Bunuh Diri?
Dari penuturan wanita itu dapat disimpulkan bahwa problem kejiwaan klien merupakan problem perkawinan, problem hubungan interpersonal suami dan isteri. Mereka telah menempuh bahtera rumah tangga selama delapan tahun, belum dikaruniai keturunan. Ekonomi rumah tang­ga mereka relatip tercukupi, terbukti bahwa mereka telah memiliki rumah yang layak huni, suaminya bekerja di peru­sahaan swasta dengan gaji yang mencukupi. Isterinya, meskipun pernah mengecap pendidikan tinggi sampai sarjana muda tetapi tidak bekerja. Praktis setiap hari kerja, isterinya hanya tingal sendirian, sementara suami pulang kerja sekitar jam enam-tujuh sore.

Barangkali pasangan suami isteri itu sudah sangat me­rindukan keturunan, tetapi diantara mereka tak pernah secara serius membicarakan problem itu. Sang isteri adalah tipe wanita yang sangat setia dan percaya kepada suami. Menurut ceriteranya selama delapan tahun hidup sebagai suami isteri tidak pernah cekcok. Sang isteri meski harus selalu sendirian di rumah setiap hari pada jam-jam kerja suaminya, tetapi kepercayaan dan kesetiaannya kepada suami membuatnya tetap tenang. Rasa percaya diri dan ke-tenangan isteri antara lain diperkuat oleh sejarah masa lalu, ialah bahwa sang suami adalah mahasiswa yang dahulu kost di rumah orang tuanya, dan ketika kiriman biaya kuliah terputus dari kampungnya di luar Jawa, orang tua wanita itu kemudian menolong membiayai kuliahnya sampai selesai, dan selanjutnya diambil mantu.

Tanpa ada tanda-tanda mencurigakan, tiba-tiba suaminya menjadi acuh, dan sering tidak menyentuh kopi dan makanan yang disediakan oleh isteri yang setia itu. Ia berusaha mencari tahu problem apa yang sedang meng­ganggu suaminya, samar-samar terdengar berita bahwa suaminya pacaran dengan wanita teman sekerja di kantor. Tetapi setiap ditanyakan, suaminya diam membisu, semakin ditanya semakin membisu. Sang isteri sebagai orang yang selalu berfikir positip tentang suaminya, masih belum per­caya bahwa suaminya ada main dengan wanita lain, tapi didiamkan oleh suami selama seminggu merupakan beban yang sangat berat, apa lagi di rumahnya yang cukup besar itu memang tidak ada orang lain yang bisa diajak bicara.

Ketika kebisuan suami mencapai hari yang ke lima belas, kekalutan fikiran itu tak tertanggungkan. Ia tidak tahu harus apa, karena selama ini hatinya tertumpah seluruh­nya untuk suaminya. Di diamkan suami adalah kiamat baginya. Kekalutan fikiran dan perasaannya membuatnya lupa siapa dirinya dan untuk apa ia hidup. Dunia terasa gelap, dan kaki tak bisa lagi menginjak bumi. Pada hari ke lima belas itulah, ketika jiwanya tak mampu lagi menang­gung derita didiamkan, ia mengambil keputusan untuk menyudahi problemnya dengan meminum baygon. Untung­lah suara radio yang tiba-tiba terdengar setelah listrik di rumah menyala mengembalikan kesadarannya, dan menye­lamatkannya dari mati sia-sia.

3. Bagaimana Terapi Yang Tepat Untuknya?
Dari penuturan yang disampaikan wanita itu sambil terisak-isak menangis tetapi lancar, nampak jelas bahwa penyebab kekalutan fikiran itu lebih banyak disebabkan oleh kapasitas jiwanya yang sempit untuk menampung derita. Ia termasuk tipe wanita yang lugu, halus perasaan­nya dan tak pernah berfikir negatip pada suaminya. Baginya suami adalah segalanya yang tak mungkin melakukan sesuatu yang menyakiti hatinya. Jika samar-samar mende­ngar issu minor tentang suaminya, ia lebih dahulu menepis dengan berkata dalam hati bahwa issu itu pasti tak benar. Baginya kepulangan suami, teguran sapa suami sudah merupakan bukti bahwa issu dari luar itu tidak benar. Ia lebih percaya kepada suami dibanding kepada orang lain. Ia hanya mendengar kata-kata suami dan menutup rapat kedua telinganya dari kata-kata orang lain. Hal itulah yang menyebabkan bahtera rumah tangga berjalan aman selama delapan tahun meski belum dikaruniai seorang anak.

Oleh karena itu ketika suaminya mulai cuek kepada­nya, ia merasa tertekan karena ia tidak memiliki jendela lain untuk berkomunikasi. Pusat perhatiannya dalam meng­hadapi kecuekan suaminya hanya satu, yaitu menunggu kapan kekakuan itu mencair. Ketika kecuekan suaminya meningkat menjadi membisu, perasaan tertekan itu men­jadi semakin dalam, seperti balon yang selalu ditiup, menunggu meledak. Pada hari ke lima belas dari membi­sunya suami itulah "balon" jiwanya meledak, mencari penyelesaian dengan cara bunuh diri. Ia tidak menemukan jalan lain selain bunuh diri, karena jiwanya tidak mempunyai jendela, tidak mempunyai ventilasi, karena salurannya hanya satu yaitu kepada suami tercinta. Jika saluran satu-satunya itu rapat, maka hanya ada satu jalan keluar, yaitu meledak. Untunglah suara radio yang tiba-tiba berbunyi "menyelamatkannya".

Melihat tipologi kejiwaan wanita itu maka saya selaku konselor menanyakan kembali; sudah berapa lama suami mendiamkannya. Dengan sangat antusias ia menyebut angka lima belas, seakan angka lima belas itu adalah jumlah yang sangat besar. Mengapa angka lima belas itu dipandang sebagai jumlah yang sangat besar adalah karena wanita itu tidak memiliki bandingan angka lain.

Saya sebagai konselor agama berusaha untuk mengubah pandangan wanita itu tentang ukuran besar dan kecil. Saya mengatakan bahwa lima belas hari itu waktu yang sangat pendek, sebab ada orang lain yang didiamkan suaminya sampai tiga bulan, dan setelah dilewati dengan sabar akhirnya keadaan pulih kembali seperti sedia kala. Saya menasehati wanita itu agar sabar menanggung perasaan itu sampai tiga bulan, Insya Allah nanti jalan ke luar akan datang dengan sendirinya.

Rupanya, angka tiga bulan itu kemudian menjadi jen­dela yang meniupkan harapan baginya, sehingga setelah pertemuan hari itu, ia sering melaporkan perkembangan hubungannya dengan suaminya kepada saya melalui surat. Ia selalu menghitung hari-hari yang dilewatinya, dan dengan cemas menunggu habisnya waktu tiga bulan itu. Saya tahu bahwa tidak ada jaminan setelah tiga bulan itu kebisuan suaminya akan mencair, tetapi kurun waktu itu sekurang-kurangnya memberikan peluang kepada wanita itu untuk melihat dunia lain, bahwa dalam hidup itu banyak kemungkinan, ada pertemuan, ada perpisahan, ada perte­muan kembali, ada juga pertemuan dengan yang baru dan sebagainya, dan bahwa kesemuanya itu mengandung hikmah asal bisa memetiknya. Ia harus bisa melihat bahwa hidup itu bukan hitam putih, tetapi berwarna-warni.

Konseling itu juga saya berikan secara tertulis, dengan menulis surat disertai kata-kata mutiara, ayat Qur'an dan hadis yang relevan dengan keharusan sabar menanggung derita, dan bahwa orang yang sabar senantiasa disertai rahmat Tuhan. Kehausannya kepada bimbingan sampai-sampai - katanya lewat surat - ia membaca nasehat tertulis saya sampai lima kali, dan bahkan surat konseling saya itu selalu dibawa di dalam tas, untuk selalu dibaca ulang jika fikirannnya sedang kusut.

Rumah tangga pasangan itu akhirnya tidak dapat di­selamatkan, tetapi wanita itu dapat menerima kenyataan. Setelah ia berpindah kota, korespondensi dengan saya tetap berlangsung, ia selalu melaporkan perkembangan perasa­annya dalam menghadapi problema hidupnya, dan saya pun sering membalasnya dengan konsisten memberikan layanan konseling agama. Ketika ia mengambil keputusan untuk tinggal di Eropa dengan maksud mencari dunia baru dan melupakan kegetiran hidup rumah tangganya, saya memberikan saran agar ia jangan lupa salat lima waktu dan usahakan menggunakan jilbab (busana muslimah) sebagai identitas diri, ternyata dari Eropa ia berkirim surat bahwa ia melaksanakan saran saya.

Perjalanan hidup yang berliku-liku akhirnya mengan­tarnya untuk menikah lagi dengan laki-laki muslim Eropa, dan selama ini, sekurang-kurangnya kartu lebaran masih selalu dikirimkan kepada saya, sesekali disertai dengan sejumlah lembaran dollar. Al hamdulillah.
posted by : Mubarok institute

Blogger malaysia baru said.. :

Terima kasih krna membantu saudara kita yang sedang buntu dengan masalahnya.

Teruskan usaha, Ustaz!

8:59 PM  

Post a Comment

Home

My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger