Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Tuesday, November 06, 2007

Lorong-Lorong Kebenaran (2)
at 6:25 AM 
(Bias Agama dan Budaya)
Wacana anti Panca Sila sebenarnya berasal dari bias agama dan budaya. Islam itu agama (murni) yang juga melahirkan budaya, maka ada kebudayaan Islam dan ada kebudayaan kaum muslimin. Kebudayaan Islam dipengaruhi oleh ajaran Islam, sedangkan kebudayaan kaum muslimin ada yang berasal dari ajaran Islam dan ada yang berasal dari budaya lain, yang bahkan mungkin bertentangan dengan ajaran Islam. Kebudayaan adalah konsep, gagasan, dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat dalam waktu lama dan memndu perlaku mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Ada kaidah yang mudah diingat, yaitu bahwa agama murni dalam hal ibadah mahdlah, pada dasarnya ritus ibadah itu dilarang, kecuali yang ada perintahnya, sedangkan yang bersifat kebudayaan, mu`amalah, pada dasarnya semua bentuk kebudayaan masyarakat itu dibolehkan, kecuali yang ada larangannya (al ashlu fi al `adapt wa al mu`amalah al ibahah hatta takun dall fi buthlanihi). Jadi pada agama (murni) tidak ada ruang kreatifitas ummat, tapi pada wilayah budaya, semuanya justeru wilayah kreatifitas. Nah Negara, ilmu pengetahuan (termasuk ilmu2 agama), Panca Sila dan konstitusi adalah budaya. Demikian juga partai Islam, ormas Islam, juga produk kebudayaan. Bahkan konsep khalifah adalah budaya Islam, oleh karena itu corak khulafa rasyidin berbeda dengan khilafah Bani Umaayyah dan Abbasiyah. Negara Islam boleh berbentuk kerajaan, boleh republic, boleh dinasti, boleh kerajaan konstitusional, bergantung kepada kondisi wilayah dan kreatifitas ummatnya... Ideologi Anti Panca Sila bukanlah ekpressi Islam, tapi kedudukannya sama dengan Komunisme yang juga anti Panca Sila, dua-duanya kebudayaan.

Lorong-lorong Kebenaran
Kebenaran tidak selamanya seperti matahari yang nampak jelas, tetapi terkadang ia berada di tempat jauh yang Tersembunyi sehingga untuk mendekatinya orang harus melewati lorong-lorong sempit atau mendaki ke bukit terjal. Ada buku terjemahan berjudul Pendakian Menuju Allah, yang merupakan terjemahan bebas dari judul buku Madarij as Salikin (مدارج السّالكين) karangan ulama salaf terkenal Ibn al Qayyim al Jauzy (691-751 H.) menyiratkan adanya hubungan dan jarak antara manusia yang kecil dan rendah dan Tuhan yang Maha Tinggi dan Sumber Kebenaran, yang oleh karena itu manusia harus menempuh perjalanan mendaki jika ingin mendekat kepada Nya. Ujung pendakian itu bisa berupa berhasil menjadi orang dekat Allah (min al muqarrabin) atau bahkan bersatu dengan Nya, baik dalam eksistensi (wahdah al wujud) atau hanya nampak seperti bersatu (wahdat as Syuhud). Kegiatan menempuh perjalanan mendekat (mendaki) kepada Allah bisa dipandang sebagai kesadaraan manusia memenuhi panggilan Nya, bisa juga difahami sebagai fitrah manusia yang memang memiliki kecenderungan untuk mendekat seperti api yang selalu naik ke atas (taraqqi) karena manusia, seperti yang dianut oleh konsep al Isyraqi merupakan pancaran dari Tuhan sehingga ia memiliki sifat-sifat ketuhanan dan oleh karena itu selalu rindu untuk kembali kepada Tuhan.

Menurut al Jauzi, semangat menempuh perjalanan mendaki kepada Allah itu berada dalam penghayatan manusia kepada Tuhan seperti yang tersirat dalam surat al Fatihah Iyyaka na`budu wa iyyaka nasta`in, hanya kepada Mu kami menyembah dan hanya kepada Mu pula kami mohon pertolongan. Kekhusyu’an dan ketergantungan serta harap dan cemas (khouf dan raja’) kepada Allah menstimuli manusia untuk menempuh perjalanan jauh (as sayr wa as suluk) menuju kepada Allah yang dirindukan, dicinta dan ditakuti. Maulana Syekh Yusuf mengilustrasikan tiga jalan raya yang bisa ditempuh dalam pendakian itu, yaitu jalan raya konvensional yang setia mengikuti rute syari`ah (thariqah al Akhyar/thariqah as syar`i), jalan zikir (thariqah ahl az Zikr) dan lorong-lorong yang penuh dengan kesulitan (metode menyakiti diri/thariqah mujahidat as syaqa’). Jalan panjang dan mendaki itu tidak mudah ditempuh, oleh karena itu sepanjang jalan ada stasiun-stasiun (maqamat) yang merupakan tangga-tangga (madarij) pencapaian bagi musafir.

Jalan panjang menuju kepada Allah itu bukanlah jalan yang lurus, tetapi penuh dengan hambatan dan jebakan. Para aktifis gerakan (harakah) terutama yang menjadi korban repressip penguasa sering terjebak di lorong-lorong penuh jebakan kesesatan sehingga sepertinya mereka itu mujahid, tetapi persepsi yang terbangun adalah pelaku criminal, Begitu panjangnya jarak menuju kebenaran sehingga para sufi merumuskan adanya pemberhentian-pemberhentian, disebut maqamat atau stasion, dari stasion taubat hingga ke stasiun ridla, atau ma`rifat atau mahabbah. Stasiun yang peling berat bagi orang awam justeru stasiun pertama yaitu stasiun taubat. Taubat yang benar (taubat Nasuha) harus memenuhi tiga unsur, yaitu (a) menyesali kesalahan yang lalu, (b) berjanji untuk tidak mengulang, dan (c) benar-benar tidak mengulang.. Dua hal pertama relatip mudah, tetapi yang ketiga sering menjadi sandungan orang bertaubat sehingga tidak pernah bisa melewati stasiun tersebut.
posted by : Mubarok institute

Post a Comment

Home

My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger