Wednesday, March 26, 2008
Insan Kamil

Manusia adalah ciptaan dari Tuhan . Ada dua teori yang menrangkan bagaimana proses penciptaan makhluk manusia, yaitu teori al faidh (limpahan) dan teori isyraqi (pancaran). Menurut teori pertama, manusia adalah limpahan dari rahmat Allah, oleh karena itu di dalam diri manusia terdapat rasa kerinduan untuk “berpulang” ke rahmatullah. Sedangkan menurut teoru kedua, manusia adalan pancaran dari cahaya (nur) Allah, oleh karena itu di dalam diri manusia ada kekuatan cahaya (nur) kebenaran yang tidak bisa berdusta, disebut nurani. Sebagai ciptaan Tuhan yang Maha Sempurna, manusia adalah “tajalli” (perwujudan) dari kebesaran Allah, oleh karena itu jika Allah memiliki sifat Maha Suci, maka di dalam diri manusia ada bakat-bakat kesucian. Jika Allah Maha Pengasih Penyayang, maka di dalam diri mansuia ada rasa kasih sayang, jika Allah Maha Besar, maka pada diri manusia juga terkadang muncul sifat merasa besar (takabbur). Pokoknya semua sifat-sifat Allah (yang Maha sempurna) menampakkan jejaknya secara tidak sempurna pada manusia yang diciptakannya.
Sebagaimana panas matahari selalu berusaha kembali ke panas asalnya di atas, maka manusia pun secara sadar atau tidak sadar sering merindukan untuk kembali mendekat ke cahaya asalnya, disebut taqarrub ilallah, mendekatkan diri kepada Allah.
Untuk mendekatkan diri kepada Allah seorang salik harus menempuh perjalanan panjang mendaki, dan karena panjangnya maka dalam perjalanan itu ada stasion-stasion (maqamat). Stasion pertama yang harus dilewati adalah taubat. Meski demikian dalam perjalanan selanjutnya, pada setiap stasiun berikutnya, sertifikat taubat atau karcis perjalanan harus tetap dalam keadaan berlaku. Stasiun-stasiun setelah stasiun taubat adalah zuhud, wara`, sabar, tawakkal dan baru ridla. Jika seorang salik menempuh perjalanan dengan benar maka ia memperoleh keadaan mental (hal/ahwal) seperti perasaan takut tetapi rindu (khauf dan raja) kepada Allah. Pada dataran stasiunr ridla ada dua staisun lain yang berhubungan ialah stasiun cinta (mahabbah) dan ma`rifat.
Sampai dengan tawakkal, seorang salik belum dapat disebut sebagai sufi, tetapi baru disebut calon sufi atau orang yang menempuh jalan sufi (mutasawwif). Baru setelah seseorang mencapai tingkat ma`rifat dan atau mahabbah (cinta) ia dapat disebut sebagai sufi. Setelah itu dimungkinkan seorang sufi mencapai tingkat yang lebih tinggi, yaitu ittihad, atau bersatu dengan Allah, manunggaling kawula lan Gusti, wahdah al wujud atau wahdah as Syuhud, atau hulul. Ketika itulah baru seorang sufi mencapai apa yang disebut dengan insan kamil.
3 comments
Kalo ia tingkatan ini ada, bagaimana cara mencapainya...?? apakah tingkatan ini cuma dirasakan pribadi aja ?
soalnya saya liat sufi sufi yang mengklaim dirinya bersatu dengan Tuhan itu sufi sufi kontroversial. Bahkan ada yang dihukum mati gara gara mengklaim dirinya "manunggaling kawula gusti"
Nuhun
Post a Comment