Monday, March 10, 2008
Makna Kehadiran Manusia
Agama mengajarkan bahwa tidak ada satupun ciptaan Tuhan yang tidak fungsionil, semuanya ada makna keberadaannya sehingga diciptakan. Perbedaan antara manusia yang satu dengan yang lain dimaksud agar mereka saling mengenal dan saling memberi manfaat (lita`arafu), dan perbedaan kondisi serta perbedaan peluang dimaksud untuk menguji manusia, siapa yang paling baik perbuatannya (liyabluwakum ayyukum ahsanu `amala, liyabluwakum fi ma atakum), dan manusia yang paling terhormat di depan Tuhan adalah manusia yang paling bertakwa (atqakum).
Hidup saling menindas pastilah tidak indah. Demikian juga persaingan secara tidak fair juga tidak menimbulkan keindahan. Keindahan dalam hidup adalah manakala manusia berpegang teguh kepada nilai luhur dalam hidupnya. Manusia boleh bekerjasama, boleh bersaing, dan sesekali boleh berperang membela hak-haknya. Jika dalam hidupnya yang dinamis, masyarakat manusia tetap berpegang teguh kepada nilai-nilai akhlak, maka peperangan sekalipun akan melahirkan pelajaran dan hikmah yang tak ternilai harganya.
Akhlak bukanlah perilaku, tetapi keadaan batin seseorang yang menjadi sumber lahirnya perbuatan dimana perbuatan itu lahir dengan mudah dan spontan tanpa berfikir untung rugi. Orang yang berakhlak mulia pastilah mulia pula perbuatannya, tetapi tidak semua perbuatan baik dikerjakan oleh orang yang berakhlak baik. Penipu terkadang melakukan perbuatan baik, ramah dan menolong orang sebagai bagian dari rencana penipuannya.
Agama mengajarkan kepada manusia untuk bergaul secara indah dengan yang lain, vertikal dan horizontal. Kepada Tuhan, manusia diajarkan untuk tahu diri sebagai makhluk ciptaan Nya, oleh karena itu akhlak manusia kepada Tuhan antara lain berterima kasih (syukur), berpasrah diri (tawakkal) dan siap melaksanakan tugas (ibadah). Kepada sesama manusia diajarkan untuk saling mengapresiasi, yang muda hormat kepada yang tua, dan yang tua menyayangi yang muda. Kepada alam, manusia dianjurkan untuk mengelola dan memanfaatkan secara wajar, tidak mengekpoitir dan merusaknya. Kepada diri sendiri manusia diajarkan untuk sabar dan jujur.
Manusia adalah makhluk yang berfikir dan merasa. Ada orang yang lebih kuat berfikir tetapi perasaannya tidak peka, ada yang sangat perasa tetapi tidak cerdas. Yang paling baik adalah adanya keseimbangan antara berfikir dan merasa.Ada saatnya memang, orang harus lebih banyak mengedepankan fikirannya seraya menekan perasaanya, dan ada saatnya orang harus mengedepankan perasaannya seraya menomorduakan fikirannya.
Dalam perspektip agama (Islam), orang yang pola hidupnya selalu menggunakan cara berfikir, maka ia lebih condong kepada fiqh, kepada hukum, sah tidak sah, batal, suci atau najis, halal-haram dengan mencari dalil Al Qur’an, hadis maupun nalar.
Sedangkan orang yang pola hidupnya lebih menggunakan perasaan, maka ia lebih condong kepada akhlak tasauf, yang dihitung selalu ukuran baik atau buruk, pantas atau tidak pantas, ikhlas atau tidak ikhlas.
Ajaran Islam adalah sebuah sistem, oleh karena itu fiqh terkait dengan akhlak, akhlak terkait dengan akidah dan sebaliknya. Orang yang fanatik fiqh dengan mengabaikan akhlak dapat terjerumus kepada sifat munafik, sebaliknya orang yang fanatik tasauf (akhlak) dengan mengabaikan fiqh maka ia dapat terjerumus ke arah zindiq atau kafir.
Imam Gazali menulis buku Ihya `Ulumuddin dimana beliau sebenarnya menggabungkan dua kutub itu, yakni fiqh yang bertasauf atau tasauf yang tetap berfiqh.
Hidup saling menindas pastilah tidak indah. Demikian juga persaingan secara tidak fair juga tidak menimbulkan keindahan. Keindahan dalam hidup adalah manakala manusia berpegang teguh kepada nilai luhur dalam hidupnya. Manusia boleh bekerjasama, boleh bersaing, dan sesekali boleh berperang membela hak-haknya. Jika dalam hidupnya yang dinamis, masyarakat manusia tetap berpegang teguh kepada nilai-nilai akhlak, maka peperangan sekalipun akan melahirkan pelajaran dan hikmah yang tak ternilai harganya.
Akhlak bukanlah perilaku, tetapi keadaan batin seseorang yang menjadi sumber lahirnya perbuatan dimana perbuatan itu lahir dengan mudah dan spontan tanpa berfikir untung rugi. Orang yang berakhlak mulia pastilah mulia pula perbuatannya, tetapi tidak semua perbuatan baik dikerjakan oleh orang yang berakhlak baik. Penipu terkadang melakukan perbuatan baik, ramah dan menolong orang sebagai bagian dari rencana penipuannya.
Agama mengajarkan kepada manusia untuk bergaul secara indah dengan yang lain, vertikal dan horizontal. Kepada Tuhan, manusia diajarkan untuk tahu diri sebagai makhluk ciptaan Nya, oleh karena itu akhlak manusia kepada Tuhan antara lain berterima kasih (syukur), berpasrah diri (tawakkal) dan siap melaksanakan tugas (ibadah). Kepada sesama manusia diajarkan untuk saling mengapresiasi, yang muda hormat kepada yang tua, dan yang tua menyayangi yang muda. Kepada alam, manusia dianjurkan untuk mengelola dan memanfaatkan secara wajar, tidak mengekpoitir dan merusaknya. Kepada diri sendiri manusia diajarkan untuk sabar dan jujur.
Manusia adalah makhluk yang berfikir dan merasa. Ada orang yang lebih kuat berfikir tetapi perasaannya tidak peka, ada yang sangat perasa tetapi tidak cerdas. Yang paling baik adalah adanya keseimbangan antara berfikir dan merasa.Ada saatnya memang, orang harus lebih banyak mengedepankan fikirannya seraya menekan perasaanya, dan ada saatnya orang harus mengedepankan perasaannya seraya menomorduakan fikirannya.
Dalam perspektip agama (Islam), orang yang pola hidupnya selalu menggunakan cara berfikir, maka ia lebih condong kepada fiqh, kepada hukum, sah tidak sah, batal, suci atau najis, halal-haram dengan mencari dalil Al Qur’an, hadis maupun nalar.
Sedangkan orang yang pola hidupnya lebih menggunakan perasaan, maka ia lebih condong kepada akhlak tasauf, yang dihitung selalu ukuran baik atau buruk, pantas atau tidak pantas, ikhlas atau tidak ikhlas.
Ajaran Islam adalah sebuah sistem, oleh karena itu fiqh terkait dengan akhlak, akhlak terkait dengan akidah dan sebaliknya. Orang yang fanatik fiqh dengan mengabaikan akhlak dapat terjerumus kepada sifat munafik, sebaliknya orang yang fanatik tasauf (akhlak) dengan mengabaikan fiqh maka ia dapat terjerumus ke arah zindiq atau kafir.
Imam Gazali menulis buku Ihya `Ulumuddin dimana beliau sebenarnya menggabungkan dua kutub itu, yakni fiqh yang bertasauf atau tasauf yang tetap berfiqh.
Post a Comment
Home