Monday, March 17, 2008
Teologi Masyarakat
Dalam konteks ajaran Islam, indifidu tak bisa dipisahkan dari masyarakat. Menusia itu sendiri diciptakan Tuhan terdiri dari lelaki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar mereka saling mengenal (dan saling memberi manfaat), lita`arafu (Q/49:13). Disamping adanya perlindungan terhadap individu, juga ada perlindungan terhadap masyarakat. Meski individu memiliki kebebasan, tetapi kebebasan itu dibatasi oleh kebebasan orang lain, sehingga Islam menghendaki adanya keseimbangan yang proporsional antara hak individu dan hak masyarakat, antara kewajiban individu dan kewajiban masyarakat, juga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Dari Maqasid as Syari`ah (filsafat Hukum Islam) yang menyebut al kulliyyat al khamsah misalnya, mengambarkan konsep masyarakat dimana setiap individu harus dijamin hak-haknya dimana Pemerintah atau ulil amri sebagai wakil masyarakat yang tertinggi berkewajiban melindungi jiwa (khifdz an nafs) , hak kepemilikan harta (khifdz al mal), hak akal (khifsz al `aql atau hak intelektual), agama (khifdz ad din atau hak berkeyakinan) dan hak memelihara kesucian keturunan (khifdz an nasl).
Menurut al Qur’an, meski masyarakat itu merupakan kerjasama horizontal antar manusia, tetapi ia merupakan bagian dari hubungan vertikal dengan Tuhan. Oleh karena itu di dalam ber musyarakah (bermasyarakat) juga ada dimensi teologis, misalnya; salat menjadi tidak relevan jika melupakan komitmen sosial. Neraka wail disediakan bagi orang yang salat tetapi acuh terhadap komitmen sosial, dan orang seperti itu oleh al Qur’an dipandang sebagai orang yang mendustakan agama , araitalladzi yukazzibu biddin (Q/107). Demikian juga dalam hal tertib sosial, ketaatan kepada otoritas pemerintah disejajarkan dengan ketaatan kepada kepada Tuhan dan Rasul, athi`ullah wa athi`ur rasul wa uli al amri minkum (Q/4:59) . Dari hadis Nabi juga dapat diketahui bahwa rahmat Allah itu harus dipancing dengan komitmen sosial; irhamu man fi al ardhi yarhamukum man fi as sama’. Kontrak sosial dalam pernikahan juga bersifat vertikal dan horizontal, istahlaltum furujahunna bi kalimatillah wa akhaztumuhunna bi amanatillah. Menurut al Qur’an, Allah selalu hadir dalam kehidupan masyarakat (mengawasi); inna rabbaka labi al mirshad (Q/89:14)
Dari Maqasid as Syari`ah (filsafat Hukum Islam) yang menyebut al kulliyyat al khamsah misalnya, mengambarkan konsep masyarakat dimana setiap individu harus dijamin hak-haknya dimana Pemerintah atau ulil amri sebagai wakil masyarakat yang tertinggi berkewajiban melindungi jiwa (khifdz an nafs) , hak kepemilikan harta (khifdz al mal), hak akal (khifsz al `aql atau hak intelektual), agama (khifdz ad din atau hak berkeyakinan) dan hak memelihara kesucian keturunan (khifdz an nasl).
Menurut al Qur’an, meski masyarakat itu merupakan kerjasama horizontal antar manusia, tetapi ia merupakan bagian dari hubungan vertikal dengan Tuhan. Oleh karena itu di dalam ber musyarakah (bermasyarakat) juga ada dimensi teologis, misalnya; salat menjadi tidak relevan jika melupakan komitmen sosial. Neraka wail disediakan bagi orang yang salat tetapi acuh terhadap komitmen sosial, dan orang seperti itu oleh al Qur’an dipandang sebagai orang yang mendustakan agama , araitalladzi yukazzibu biddin (Q/107). Demikian juga dalam hal tertib sosial, ketaatan kepada otoritas pemerintah disejajarkan dengan ketaatan kepada kepada Tuhan dan Rasul, athi`ullah wa athi`ur rasul wa uli al amri minkum (Q/4:59) . Dari hadis Nabi juga dapat diketahui bahwa rahmat Allah itu harus dipancing dengan komitmen sosial; irhamu man fi al ardhi yarhamukum man fi as sama’. Kontrak sosial dalam pernikahan juga bersifat vertikal dan horizontal, istahlaltum furujahunna bi kalimatillah wa akhaztumuhunna bi amanatillah. Menurut al Qur’an, Allah selalu hadir dalam kehidupan masyarakat (mengawasi); inna rabbaka labi al mirshad (Q/89:14)
Post a Comment
Home