Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Tuesday, January 05, 2010

Gus Dur dan Suharto: Pahlawan Rasa dan Pahlawan Logika
at 11:18 PM 
Wafatnya Gus Dur benar-benar menjadi fenomena luar biasa bagi masyarakat Indonesia yang sedang kebingungan nonton sinetron bank Century. Ketika syaraf masyarakat menjadi rusak dan tumpul ketika dipaksa harus menonton berita yang diulang-ulang selama beberapa minggu ditambah acting politisi yang sedang asyik berjoget terlalu ketara motif politikingnya tiba-tiba menyeruak berita wafatnya Gus Dur’ Berita Gus Dur sakit sudah menu mingguan, tetapi wafatnya Gus Dur tetap mengejutkan . Langsung seluruh media mengusung berita Gus Dur.

Bahkan Presidenpun menunda agenda kenegaraan untuk melayani pemakaman Gus Dur. Selanjutnya seperti yang kita saksikan, seluruh media TV dan Koran berhari-hari menampilkan serba serbi sosok Gus Dur semasa hidupnya. Rasanya dalam perspektip respond masyarakat, Gus Dur adalah tokoh terbesar dalam sejarah. Bukan hanya masyarakat tetap berduyun-duyun menziarahi makamnya hingga berminggu-minggu, tetapi semua golongan agama pun mengadakan upacara doa bagi Gusd Dur. Di Gereja-gereja upacara doa bagi Gus dur dilangsungkan juga Tokoh-tokoh pengkritik Gus Durpun terbungkam mulutnya kecuali untuk berbicara tentang kebaiakannya. Saya kira Gus Dur tidak akan habis dibicarakan orang hingga 2-3 bulan ke depan. Secara politis, Gus Dur berjasa meredakan tensi politik nasional yang disulut oleh kasus bank Century’

Gus Dur itu tokoh kontroversil, tokoh nyeleneh, tokoh yang konsisten dalam ketidak konsistenannya. Tetapi siapa Gus dur justeru dikukuhkan oleh kewafatannya. Kualitas kemuliaan manusia dapat dilihat disaat kematiaanya, yaitu waktu mati berbeda dengan waktu lahir. Ketika manusia lahir ke dunia, dia menangis, sementara yang menonton; ayahnya, kakek-neneknya dan seluruh kerabatnya tersenyum gembira menyongsong kelahirannya. Jika ia orang ber”bobot” di depan Tuhan maka sewaktu meninggal, keadaannya kebalikan dibanding waktu lahir, yaitu ia tersenyum ria karena akan berjuampa dengan Tuhan yang Maha Pengasih, sementara yang menonton; keluarga dan komunitasnya menangis sedih ditinggalkan. Jika orang jahat maka sewaktu lahir ia menangis yang menonton tertawa, maka ketika matipun ia menangis dan yang menonton tertawa senang. Tokoh Gus Dur membuktikan bahwa ia benar-benar seorang yang berada di hati begitu banyak orang. Ratusan ribu manusia mengiringi kepergian Gus Dur dengan air mata dan gelombang doa, tahlil dan tadarus. Arwah Gus Dur benar-benar merupakan magnit spiritual yang sangat kuat gaya tarikannya.

Yang sedang heboh sekarang adalah usulan agar Gus Dur ditetapkan sebagai pahlawan Nasional. Tidak ada satupun suara menentang yang terdengar. Di DPR pun suaranya sangat kencang. Yang dipersoalkan adalah bagaimana prosedurnya, siapa yang usul dan siapa yang menetapkan. Orang yang tak sabar kepada prosedur bahkan mengatakan bahwa Gus Dur tidak perlu gelar pahlawan karena beliau sudah menjadi pahlawan yang sebenarnya di hati rakyat. Gelombang perasaan public mengisyaratkan hal yang sama bahwa Gus dur adalah pahlawan, diberi gelar oleh Negara atau tidak. Bahkan terhadap gagasan diselenggarakannya sidang MPR untuk merehabilitir nama baik Gus Dur karena MPR dulu memakzulkannya, dikatakan bahwa tidak perlu ada sidang MPR karena Gus Dur memang tidak terbukti kesalahannya. Gus Dur dulu dilengserkan MPR bukan karena kesalahan tetapi karena intrik politik ketika itu.

Yang menjadi lebih menarik adalah gagasan yang numpangi, yaitu yang mengatakan bahwa jika Gus dur ditetapkan sebagai pahlawan nasional maka Suharto juga harus ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Ditinjau dari sudut jasa formal, Suharto jauh lebih besar dibanding Gus Dur. Suharto menjadi Presiden RI selama 32 tahun, Gus Dur hanya dua tahun. Sebagai Presiden, Suharto tangannya kuat dan panjang, Gus Dur tangannya pendek hingga dekritpun di jegal. Meski demikian tidak ada respond public ketika Golkar mengusulkan agar Presiden Suharto dikukuhkan sebagai pahlawan nasional. Sementara Gus Dur, baru lima menit wafat sudah mengalir SMS ke istana agar Gus Dur dimakamkan di makam pahlawan. Pada malam tahlilan tujuh harinya sudah lebih lima juta facebooker mendukung usulan tersebut. Jadi Gus Dur adalah pahlawan yang diusulkan oleh perasaan banyak orang, sementara Suharto diusulkan menjadi pahlawan nasional oleh logika yang menumpangi kepahlawanan Gus Dur.

Tapi betapapun harus diakui, Suharto adalah orang besar. Beliau adalah komandan dan manager yang sangat efektip. Jejaknya nampak pada tatanan fisik ekonomi dan stabilitas social yang terkendali, bahkan perilaku anarkispun berlangsung terkendali. Sedangkan Gus Dur lebih sebagai budayawan yang efektip. Jejaknya terasa dalam getaran fikiran dan perasaan masyarakat luas menembus sekat ruang dan waktu. Di sini kita masih meributkan gelar kepahlawanan untuk kedua presiden kita, tetapi disana Gus Dur dan Pak harto sudah ketemu berhaha hehe, hanya mungkin kelas kamarnya yang berbeda, wallohu a`lam.
posted by : Mubarok institute

Anonymous Anonymous said.. :

Gusdur diakui atau tidak, suka atau tidak, bangsa ini belajar dari apa yang telah dilakukan Gusdur tentang satu hal, yaitu keberanian mengambil keputusan. Sekalipun keputusan itu dianggap salah dan ditentang banyak orang..

2:18 PM  
Anonymous saifur said.. :

subhannallah...allahu akbar, nice article..matur nuwun prof tulisannya yg mencerahkan pemikiran..

2:21 PM  
Blogger nurmi said.. :

pelajaran hidup yang sangat berharga agar kita selalu menghormati dan mendengarkan pendapat seseorang prof.

4:39 PM  

Post a Comment

Home

My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger