Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Wednesday, September 30, 2009

Nabi Garis keras
at 10:54 PM 
Surat al Fatihah yang setiap hari berkali-kali kita baca ada ayat yang berbunyi ihdinas shirath al mustaqim; yang artinya ya Allah tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus. Apa itu jalan lurus atau shirat al mustaqim? ayat itu ditafsirkan oleh ayat berikutnya’ yakni; jalan lurus itu ialah “jalan” yang pernah dirintis dan dicontohkan oleh orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, bukan jalan dari orang yang dimurkai dan bukan jalan dari orang yang sesat. Lalu siapakah orang yang telah diberi nikmat oleh Allah itu (alladzina an`amta `alaihim)? ayat itu ditafsir oleh surat an Nisa ayat 69, alladzina an`amallohu `alaihim minan nabiyyin was syuhada was shalihin. Orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah adalah para nabi, syuhada dan orang-orang salih. Jadi shirathal mustaqim adalah jalan hidup konsisten yang telah dicontohkan oleh para Nabi, para syuhada dan para orang-orang saleh.

Pertanyaan berikutnya, Nabi siapa yang harus kita ikuti sementara tipologi para nabi juga berbeda-beda? Manusia memiliki tabiat, temperamen dan kecenderungan yang berbeda-beda. Ragamnya tipologi para nabi justeru merupakan rahmat Allah, karena setiap orang bisa memilih rujukan idolanya. Nabi Nuh misalnya adalah tipologi kepribadian yang keras dan ektrim. Dikisahkan dalam al Qur’an surah Nuh bagaimana Nabi Nuh melapor kepada Allah tentang berbagai cara yang telah dilakukan untuk mengajak bangsanya ke jalan yang benar, tetapi selalu direspon secara negatif oleh bangsanya. Nabi Nuh melapor bahwa bangsanya lebih memilih jalan dari orang-orang yang semua assetnya hanya men¬datangkan kerugian (Q/71:21). Meskipun Nuh itu seorang Nabi, tetapi setelah berusaha ratusan tahun, iapun memiliki batas kesabaran. Nabi Nuh hopless terhadap bangsanya. Ia sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi mempertahankan eksistensi bangsanya yang tidak mau menengok jalan yang benar, karena mereka fanatik kepada jalan tradisionil mereka yang jelas-jelas sesat. Di akhir pengaduannya, Nabi Nuh mengusulkan agar bangsa¬nya yang kafir dimusnahkan saja; Rabbi la tadzar ‘alal ardhi minal kafirina dayyara, ya Tuhan, jangan Engkau biarkan seorangpun dari orang-orang kafir itu tinggal diatas bumi (Q/71:26), karena mereka dan anak-anak mereka nantipun (berdasar pengalaman beliau) sudah tidak bisa diharap lagi (Q/71:27). Nabi Nuh mengakhiri laporannya dengan memohonkan ampun bagi dirinya, kedua orang tuanya dan sedikit orang yang mematuhinya, sambil terakhir kali tetap mohon agar orang-orang zalim itu tidak usah diberi peluang lagi (Q/71:28). Begitulah sikap keras Nabi Nuh setelah membutktikan kesabaran usaha sepanjang umurnya.

Jika di seberang sana ada Nabi garis keras, di ujung yang lain ada tipologi Nabi yang sebaliknya, lembut dan pemaaf. Dialah Nabi Ibrahim, bapaknya para nabi. Ketika Nabi Ibrahim melapor kepada Tuhan tentang tugas-tugas yang telah dijalankannya, beliau berkata; faman tabi‘ani fa innahu minni, waman ‘ashani fa innaka ghafurun rahim. Ya Tuhan; sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak orang, maka barang siapa yang mengikuti aku maka ia termasuk golonganku, adapun orang yang menen¬tangku, maka (solusinya kami serahkan kepada Mu, karena) sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Penyayang (Q/14:36).

Dua tipologi yang berseberangan ini ternyata menurun kepada generasi sahabat Nabi Muhammad S.a.w., yaitu Umar bin Khattab dan Abu Bakar Siddik. Dikisahkan dalam sebuah hadis; Rasul meminta masukan kepada para sahabat tentang solusi atas tawanan perang. Ada situasi dilematis ketika itu. Di satu sisi, tawanan perang wajib dijamin makan (hak azazinya), di sisi lain, jangankan untuk menjamin makan tawanan yang jumlahnya banyak, untuk makan para prajurit Islampun persediaan makan tak mencukupi. Merespon sikap demokratis Nabi itu, Abu Bakar Siddik mengajukan pendapatnya. Agar kita terbebas dari beban kewajiban memberi makan ke¬pada tawanan perang, maka saya usul bebaskan saja semuanya. Umar bin Khattab yang dikenal keras dan kritisnya, mengajukan pendapat yang sangat berbeda. Kata Umar; jika tawanan dibebaskan, maka hal itu akan membahayakan posisi kita, karena kita tidak bisa menjamin mereka tidak kembali menyerang kita. Agar kita terbebas dari ancaman mereka, dan bebas juga dari kewajiban memberi makan, saya usul disembelih saja semuanya. Nabi tersenyum melihat dua tipologi sahabatnya yang sangat berbeda, dan Nabi mnyatakan bahwa Abu Bakar memiliki hati yang sangat lembut melebihi lembutnya susu (alyanu minal laban), seperti hatinya Nabi Ibrahim, dan menyebut Umar memiliki kekerasan hati seperti kerasnya batu (asyaddu minal hajar), seperti hatinya Nabi Nuh. Mengapa? karena Rasul melihat bahwa dibalik kelembutan dan kekeras¬an hati dua orang itu ada kesamaan, yaitu mencintai Allah dan Rasulnya, bukan fanatik buta. Pemecahan yang dilakukan oleh Rasul ternyata tidak menggunakan dua pendapat itu, tetapi sebagaimana yang tersebut dalam sejarah, tawanan yang kaya harus menebus dengan harta, yang pandai menebus dengan mengajarkan tulis baca, dan tawanan yang miskin diberi ongkos pulang. Sikap ekstrim yang dilandasi oleh cinta kepada kebenaran akan dapat mengubah sikap terhadap masalah. Abu Bakar ternyata kemudian dalam mensikapi rencana ekpedisi militer yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid, (setelah Nabi wafat) bersikap lebih keras dibanding Umar bin Khattab.

Yang harus diwaspadai dalam bersikap adalah motivasi. Terkadang seseorang atau sekelompok orang bersikap keras dengan argumen agama, tetapi ter¬nyata di dalam hatinya lebih banyak interest yang tidak ada hubungannya dengan agama. Itulah ‘ashabiyyah (fanatik) yang menyesatkan. Syaitan memang pandai menyulap, apa yang sesat tetapi justeru terasa indah di dalam hati, idz zayyana lahum assyaitan ‘’a‘malahum (Q/8:48). Jarak antara kebenaran dan kesesatan dalam sikap fanatik memang sangat tipis. Kisah atsar dari literatur Syi’ah antara lain menyebutkan; suatu saat Ali bin Abi Thalib sedang dalam peperangan. Ali berhasil menjatuhkan lawan dan tinggal menusuk¬kan pedangnya, tetapi tiba-tiba musuhnya meludahi wajah Ali dengan dahak yang sangat banyak. Ali marah, dan justeru karena ia merasa sedang marah maka Ali kemudian menarik pedangnya menyuruh musuhnya pergi dari hadapannya, sambil berkata engkau bukan tandinganku. Mengapa Ali tidak me¬nusukkan pedangnya? Karena jika Ali membunuh dalam keadaan marah, maka itu bukan jihad, tetapi mengikuti hawa nafsu syaitan, karena marah adalah kendaraan syaitan. A‘udzu billahi min as syaithan ar rajim, Wallohu a‘lam.
posted by : Mubarok institute

Blogger Firman Nugraha said.. :

wahai guru, dalam halkekerasan dan kelembutan yang ditampilkan oleh saudara-saudara islam kita dewasa ini memang sulit untuk mencari titik temu dalam spektrum seperti umar dan abu bakar, namun demikian bukankah karena keras hati yang melahirkan keras juga dalam tindakan telah membinasakan banyak jiwa? sedemikian jauhkah jarak pemahaman dalam amar ma'ruf nahyi munkar diantara dua identitas itu di masa kini? bagaimana sebaiknya ukuwah islamiyah dan wthoniyah dalam konteks keindonesiaan masa kini tetap terpelihara?

7:38 AM  
Anonymous Anonymous said.. :

bape
golden goose sale
kobe shoes

3:47 AM  

Post a Comment

Home

My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger