Monday, March 14, 2011
AKHLAK MANUSIA TERHADAP MANUSIA (1)
Akhlak terhadap Nabi
Manusia sebagai obyek atau partner bermu`amalah yang mengharuskan adanya pertimbangan nilai-nilai akhlak dapat dikelompokkan menjadi enam kelompok. Pertama, karena adanya hubungan nasab seperti ayah ibu berikut kerabat yang menyertainya. Kedua, karena kedekatan tempat tinggal,yakni tetangga. Ketiga, karena adanya hubungan keilmuan seperti hubungan guru-murid, Ke empat, karena adanya hubungan strukrural atasan-bawahan. Kelima, karena adanya keyakinan yang bersifat sakral,seperti para Nabi dan wali,dan keenam, semata-mata karena hubungan kemanusiaan.
Tuhan memberikan petunjuk kepada manusia dalam empat tingkatan. Yaitu (1) instink, (2) panca indera, (3) akal, dan (4) wahyu. Petunjuk pertama dan ke dua disamping kepada manusia juga diberikan kepada hewan. Petunjuk ke tiga, yakni akal adalah hal yang menyebabkan manusia berbeda dengan hewan. Dengan akalnya manusia bisa memecahkan masalah yang dihadapi (problem solving) sehingga manusia mampu merencana, mengevaluasi dan merekayasa apa apa yang diperlukan. Meskipun manusia memiliki keterbatasan fisik, misalnya tidak dapat terbang seperti burung atau tidak dapat menyelam seperti ikan tetapi dengan akalnya, manusia mampu mengatasi kekurangan itu. Dengan akalnya manusia mampu mengerjakan semua hal yang dikerjakan binatang. Dengan teknologi yang dibuatnya manusia mampu menguasai bumi dan atsmosfirnya bagi keperluan hidupnya.
Disamping hal-hal yang bersifat teknis, manusia dengan akalnya dapat pula membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang secara etis harus dikerjakan dan mana yang tidak boleh dikerjakan. Oleh karena itu dengan akalnya manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatanya, baik kepada masyarakatnya sebagai sistem sosial maupun kepada Tuhan kelak di akhirat. Meski demikian, akal tidak bisa menentukan kebenaran universal, karena setiap orang berbeda pula akalnya. Kebenaran menurut akal sangat relatip, karena manusia masih dipengaruhi oleh hal-hal yang subyektip sehingga manusia tidak bisa mencapai kebahagiaan hakiki jika hanya menggunakan akal. Akal hanya bisa menemukan kebenaran, bukan menentukan.Untuk melengkapi rahmat Nya, Tuhan memberikan hidayah ke empat, yaitu wahyu. Wahyu adalah kebenaran universal yang diturunkan Tuhan untuk membimbing manusia mencapai kebahagiaan hakiki. Sesuai dengan tingkat kemampuan manusia menyerap informasi, maka Tuhan mengirimkan Nabi atau Rasul sebagai pembawa wahyu sekaligus sebagai contoh teladan hidup yang benar.
Jika dalam agama Kristen Yesus dikatakan sebagai firman yang hidup, maka dalam Islam, nabi Muhammad dianggap sebagai perwujudan dari nilai-nilai kebenaran wahyu Al- Qur'an (kana khuluquhu al Qur'an) dan teladan utama manusia (uswah hasanah). Nabi adalah utusan Tuhan kepada masyarakat manusia. Ada Nabi yang diperuntukan bagi sekelompok masyarakat pada suatu zaman, ada yang diperuntukkan bagi ummat manusia secara keseluruhan dan sepanjang masa. Menurut pandangan Islam, Nabi Muhammad adalah nabi penutup atau Nabi terakhir yang ajarannya berlaku bagi seluruh ummat manusia hingga akhir zaman. Secara mendasar tidak ada pertentangan antara wahyu yang dibawa oleh Nabi terdahulu dengan yang dibawa oleh Nabi terkemudian, karena kesemuanya berasal dari sumber yang sama (min manba'in wahid).
Wujud Akhlak manusia kepada Nabi. Ketika seorang Nabi masih hidup, maka secara etis dan rasionil, perilaku manusia yang hidup pada masanya dalam menyongsong kehadiran seorang utusan Tuhan adalah menerima dan menghormati serta percaya kepadanya. Dalam Al Qur'an disebutkan bahwa seorang mukmin harus percaya kepada Nabi (Q/ 7:157) tidak boleh mendustakan Nabi (Q/3:184), tidak boleh berbicara terlalu keras di hadapannya atau sopan (Q/49:2),tidak boleh menyakiti hatinya, (Q/33:53) apalagi membunuhnya (Q/3:21). Selanjutnya manusia diperintahkan untuk mencintai dan membelanya dan mengikuti sunnahnya.
Setelah Nabi wafat, perilaku seorang mukmin terhadap Nabinya adalah:
(a) Mengikuti sunnahnya. Sunnah mengandung pengertian lebih luas dibanding hadist. Sunnah Nabi adalah perilaku keseharian yang dicontohkan oleh Nabi, baik ketika beliau sedang menjalankan ibadah, sedang menjadi kepala keluarga, sedang menjadi kepala negara, sedang menjadi sahabat, menjadi warga masyarakat, menjadi panglima perang dan seterusnya. Yang sering diperdebatkan adalah apakah sunnah Nabi yang harus diikuti itu terbatas kepada perbuatan Nabi sebagai Rasul, atau juga perbuatan nabi sebagai basyar, sebagai manusia biasa.
Jumhur ulama berpendapat bahwa seluruh perilaku Nabi, baik ketika menjalankan tugas kerasulan maupun sebagai manusia biasa adalah sunnah yang harus diikuti, karena perbuatan Nabi sebagai manusia biasapun disinari oleh wahyu sehingga tidak ada satupun perbuatan Nabi yang tercela. Kritikan orientalist kepada perilaku Nabi Muhammad —tentang poligami misalnya— pada umumnya tidak cermat karena analisisnya tidak konprehensip.
(b) Mencintai Nabi. Wujud cinta kepada Nabi antara lain dalam bentuk mengikuti sunnahnya, membaca salawat kepada nya, memberi nama anak-cucu dengan nama-nama yang berhubungan dengan Nabi, dan mengutamakan mengikuti sunnah nabi dari mengikuti hal-hal lain. Salawat adalah doa ma'tsurah, doa yang diajarkan Nabi bahkan diperintahkan dalam al Qur'an. Bagi Nabi sendiri sebagai Rasul yang ma'sum sebenarnya doa ummatnya tidak berpengaruh apa-apa, tetapi salawat lebih merupakan kebutuhan orang yang membaca karena mengharap syafaat Nabi kelak di akhirat. Adapun memperingati maulid Nabi lebih merupakan kebudayaan dan kebutuhan sosial masyarakat Islam, bukan anjuran Nabi.
Manusia sebagai obyek atau partner bermu`amalah yang mengharuskan adanya pertimbangan nilai-nilai akhlak dapat dikelompokkan menjadi enam kelompok. Pertama, karena adanya hubungan nasab seperti ayah ibu berikut kerabat yang menyertainya. Kedua, karena kedekatan tempat tinggal,yakni tetangga. Ketiga, karena adanya hubungan keilmuan seperti hubungan guru-murid, Ke empat, karena adanya hubungan strukrural atasan-bawahan. Kelima, karena adanya keyakinan yang bersifat sakral,seperti para Nabi dan wali,dan keenam, semata-mata karena hubungan kemanusiaan.
Tuhan memberikan petunjuk kepada manusia dalam empat tingkatan. Yaitu (1) instink, (2) panca indera, (3) akal, dan (4) wahyu. Petunjuk pertama dan ke dua disamping kepada manusia juga diberikan kepada hewan. Petunjuk ke tiga, yakni akal adalah hal yang menyebabkan manusia berbeda dengan hewan. Dengan akalnya manusia bisa memecahkan masalah yang dihadapi (problem solving) sehingga manusia mampu merencana, mengevaluasi dan merekayasa apa apa yang diperlukan. Meskipun manusia memiliki keterbatasan fisik, misalnya tidak dapat terbang seperti burung atau tidak dapat menyelam seperti ikan tetapi dengan akalnya, manusia mampu mengatasi kekurangan itu. Dengan akalnya manusia mampu mengerjakan semua hal yang dikerjakan binatang. Dengan teknologi yang dibuatnya manusia mampu menguasai bumi dan atsmosfirnya bagi keperluan hidupnya.
Disamping hal-hal yang bersifat teknis, manusia dengan akalnya dapat pula membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang secara etis harus dikerjakan dan mana yang tidak boleh dikerjakan. Oleh karena itu dengan akalnya manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatanya, baik kepada masyarakatnya sebagai sistem sosial maupun kepada Tuhan kelak di akhirat. Meski demikian, akal tidak bisa menentukan kebenaran universal, karena setiap orang berbeda pula akalnya. Kebenaran menurut akal sangat relatip, karena manusia masih dipengaruhi oleh hal-hal yang subyektip sehingga manusia tidak bisa mencapai kebahagiaan hakiki jika hanya menggunakan akal. Akal hanya bisa menemukan kebenaran, bukan menentukan.Untuk melengkapi rahmat Nya, Tuhan memberikan hidayah ke empat, yaitu wahyu. Wahyu adalah kebenaran universal yang diturunkan Tuhan untuk membimbing manusia mencapai kebahagiaan hakiki. Sesuai dengan tingkat kemampuan manusia menyerap informasi, maka Tuhan mengirimkan Nabi atau Rasul sebagai pembawa wahyu sekaligus sebagai contoh teladan hidup yang benar.
Jika dalam agama Kristen Yesus dikatakan sebagai firman yang hidup, maka dalam Islam, nabi Muhammad dianggap sebagai perwujudan dari nilai-nilai kebenaran wahyu Al- Qur'an (kana khuluquhu al Qur'an) dan teladan utama manusia (uswah hasanah). Nabi adalah utusan Tuhan kepada masyarakat manusia. Ada Nabi yang diperuntukan bagi sekelompok masyarakat pada suatu zaman, ada yang diperuntukkan bagi ummat manusia secara keseluruhan dan sepanjang masa. Menurut pandangan Islam, Nabi Muhammad adalah nabi penutup atau Nabi terakhir yang ajarannya berlaku bagi seluruh ummat manusia hingga akhir zaman. Secara mendasar tidak ada pertentangan antara wahyu yang dibawa oleh Nabi terdahulu dengan yang dibawa oleh Nabi terkemudian, karena kesemuanya berasal dari sumber yang sama (min manba'in wahid).
Wujud Akhlak manusia kepada Nabi. Ketika seorang Nabi masih hidup, maka secara etis dan rasionil, perilaku manusia yang hidup pada masanya dalam menyongsong kehadiran seorang utusan Tuhan adalah menerima dan menghormati serta percaya kepadanya. Dalam Al Qur'an disebutkan bahwa seorang mukmin harus percaya kepada Nabi (Q/ 7:157) tidak boleh mendustakan Nabi (Q/3:184), tidak boleh berbicara terlalu keras di hadapannya atau sopan (Q/49:2),tidak boleh menyakiti hatinya, (Q/33:53) apalagi membunuhnya (Q/3:21). Selanjutnya manusia diperintahkan untuk mencintai dan membelanya dan mengikuti sunnahnya.
Setelah Nabi wafat, perilaku seorang mukmin terhadap Nabinya adalah:
(a) Mengikuti sunnahnya. Sunnah mengandung pengertian lebih luas dibanding hadist. Sunnah Nabi adalah perilaku keseharian yang dicontohkan oleh Nabi, baik ketika beliau sedang menjalankan ibadah, sedang menjadi kepala keluarga, sedang menjadi kepala negara, sedang menjadi sahabat, menjadi warga masyarakat, menjadi panglima perang dan seterusnya. Yang sering diperdebatkan adalah apakah sunnah Nabi yang harus diikuti itu terbatas kepada perbuatan Nabi sebagai Rasul, atau juga perbuatan nabi sebagai basyar, sebagai manusia biasa.
Jumhur ulama berpendapat bahwa seluruh perilaku Nabi, baik ketika menjalankan tugas kerasulan maupun sebagai manusia biasa adalah sunnah yang harus diikuti, karena perbuatan Nabi sebagai manusia biasapun disinari oleh wahyu sehingga tidak ada satupun perbuatan Nabi yang tercela. Kritikan orientalist kepada perilaku Nabi Muhammad —tentang poligami misalnya— pada umumnya tidak cermat karena analisisnya tidak konprehensip.
(b) Mencintai Nabi. Wujud cinta kepada Nabi antara lain dalam bentuk mengikuti sunnahnya, membaca salawat kepada nya, memberi nama anak-cucu dengan nama-nama yang berhubungan dengan Nabi, dan mengutamakan mengikuti sunnah nabi dari mengikuti hal-hal lain. Salawat adalah doa ma'tsurah, doa yang diajarkan Nabi bahkan diperintahkan dalam al Qur'an. Bagi Nabi sendiri sebagai Rasul yang ma'sum sebenarnya doa ummatnya tidak berpengaruh apa-apa, tetapi salawat lebih merupakan kebutuhan orang yang membaca karena mengharap syafaat Nabi kelak di akhirat. Adapun memperingati maulid Nabi lebih merupakan kebudayaan dan kebutuhan sosial masyarakat Islam, bukan anjuran Nabi.
Post a Comment
Home