Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Tuesday, March 29, 2011

Akhlak manusia Terhadap manusia (8)
at 8:18 PM 
Akhlak Manusia Terhadap Diri Sendiri

Sebagaimana telah disebutkan di muka bahwa akhlak adalah keadaan batin seseorang yang menjadi sumber lahirnya perbuatan dimana perbuatan itu lahir dengan mudah tanpa difikir untung ruginya. Keadaan batin yang sehat akan melahirkan perbuatan yang benar dan sehat, sebaliknya keadaan batin yang kacau apalagi yang gelap akan melahirkan perbuatan yang kacau dan buruk. Kualitas akhlak seseorang mencerminkan kecerdasan emosi dan rohaninya, dan berhubungan dengan cara berfikir dan cara merasa yang dipergunakannya.

Orang yang cara berfikirnya benar cenderung akan sangat berhati-hati dalam mempertimbangkan suatu perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya, sementara cara merasa yang benar akan membuat orang memiliki kepekaan atas orang lain terhadap perbuatan yang ia lakukan.

Oleh karena itu orang yang berakhlak mulia, bagaikan matahari yang bukan saja dapat menghangatkan orang lain, tetapi dirinya memiliki derajat panas yang lebih tinggi, atau seperti minyak wangi yang bukan hanya bisa mengharumkan orang tetapi dirinya memang harum. Bagi orang yang berakhlak mulia, berbuat baik bukan hanya kepentingan orang, tetapi lebih kepada kepentingan diri sendiri, berterima kasih kepada orang lebih kepada mensyukuri diri sendiri dan menghormati orang lebih pada menghormati diri sendiri.

Dalam berbuat baik ia tidak membutuhkan penghargaan dari orang lain, karena ia melakukannya untuk dirinya, seperti matahari yang memanasi dirinya, atau minyak wangi yang mengharumkan dirinya. Di antara akhlak manusia kepada diri sendiri adalah: Sabar, jujur, iffah, qana'ah, syukur, tawaddlu' dan sebagainya.

9.1. Sabar. Menurut Imam Gazali, sabar ialah tabah hati tanpa mengeluh dalam menghadapi cobaan dan rintangan dalam waktu tertentu dalam rangka mencapai tujuan. jadi urgensi sabar adalah pada pencapaian tujuan. Oleh karena itu orang yang bisa sabar hanyalah orang yang selalu sadar akan tujuan yang sedang dicapai. Demi perhatiannya pada tujuan maka ia tidak mengeluh ketika harus menghadapi rintangan, dan demi tercapainya tujuan maka ia mampu bertahan terhadap proses waktu yang harus dilalui.

Ia tidak ingin melakukan jalan pintas yang belum pasti hasilnya, dan ia juga tidak putus asa serta menyerah di tengah jalan. Ia juga selalu sadar untuk tidak melakukan hal yang justeru bertentangan dengan tujuan yang ingin dicapai.

Menurut Al Qur'an kesabaran manusia diuji ketika mengalami rasa takut, ketika lapar, kekurangan atau kehilangan harta benda, kehilangan/ditinggal mati keluarga, dan kekurangan bahan makanan (Q/2:155). Kesabaran diuji, baik ketika menghadapi kesulitan yang datang dari luar dirinya (seperti bencana) atau dari dalam dirinya (sakit misalnya) (Q/2:177). Kesabaran juga diuji ketika harus mendengar caci maki orang (Q/73:10), ketika dalam posisi kalah perang dan ketika dalam posisi menang dalam perang (Q/16:126).dan ketika harus menjalankan secara konsekwen hukum Tuhan (Q/76:24).

Ciri orang sabar ialah ketika mengalami musibah ia mengembalikan persoalannya kepada Allah Yang Maha Kuasa dengan mengucap Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un (Q/2:156). Kesabaran menempatkan seseorang pada kedudukan yang tinggi, mengantar pada derajat taqwa. Oleh karena itu dikatakan bahwa Allah selalu menyertai orang yang sabar (Q/2:153) dan kita diperintahkan untuk selalu saling mengingatkan yang lain agar bersabar dalam kebenaran dan kasih sayang (Q/90:17 dan Q/ 103:3).

Ujian paling berat dalam sabar adalah ketika mula pertama mendapati sesuatu yang tidak diinginkan, atau ketika menghadapi gempuran pertama (as sobru 'inda as shodmat al ula). Jika pada gempuran pertama seseorang tabah menghadapinya maka pada tahapan berikutnya beban itu menjadi lebih ringan.

9.2. jujur (Amanah). Dalam bahasa sehari-hari, karakteristik orang jujur sering digambarkan sebagai orang yang tidak suka bohong, bisa dipercaya dan gaya hidupnya lurus. Kebalikan dari sifat jujur adalah suka dusta dan berkhianat yang oleh karena itu gaya hidupnya penuh dengan tipu daya. Dalam perspektip ilmu akhlak, sifat ini disebut amanah, dan contoh orang jujur yang disebut Al Qur'an adalah Nabi Muhammad dan Nabi Musa. Pada masa mudanya, yakni sebelum menjadi Rasul, Muhammad diberi gelar oleh masyarakatnya dengan sebutan al Amin, Muhammad al Amin, artinya orang yang amanah, yang dapat dipercaya. Predikat ini diberikan oleh masyarakat karena mereka belum pernah menjumpai Muhammad berdusta. Apapun yang dikatakan oleh Muhammad, masyarakat pasti percaya, karena selama hidupnya Muhammad tak pernah dijumpai berdusta. Nabi Musa juga disebut Al Qur'an sebagai sosok yang kuat dan jujur (al qawiyyu al amin/ Q/al Qasas:26).

Dalam bahasa Arab, maupun dalam istilah syara', amanah mengandung banyak arti, tetapi secara umum seorang yang berakhlak amanah atau jujur adalah orang yang bisa memelihara hak-hak Allah dan hak-hak manusia pada dirinya, yang dengan itu ia tidak pernah menyia-nyiakan tugas yang diembannya, baik tugas ibadah maupun tugas mu'amalah. Amanah juga berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak dan patut.

Dari pengertian ini maka secara lebih rinci, karakteristik orang jujur atau amanah adalah sebagai berikut:
(a) Bisa memikul tanggung jawab dari apa yang menjadi kewajibannya.
(b) Menempatkan orang dalam tugas sesuai dengan kapabilitasnya, bukan karena pertimbangan mengambil keuntungan tersembunyi, materiil atau nepotis.
(c) Jika diberi titipan ia bisa menjaga apa yang dititipkan dalam keadaan utuh.
(d) Jika menjalankan tugas ia tidak mengambil keuntungan pribadi dari tugasnya itu (korupsi).
(e) Tidak menyembunyikan apa-apa yang semestinya dibayarkan, baik menyangkut hubungannya dengan Tuhan (zakat), dengan negara (pajak) maupun keluarga (nafkah).
(f) Mampu menyimpan apa yang harus dirahasiakan, baik rahasia tugas maupun rahasia kehormatan.
(g) Jika berjanji ia menunaikan janjinya.

Kejujuran merupakan nurani yang ada di dalam batin, bukan pengetahuan yang ada di fikiran. Oleh karena itu pengetahuan agama, pengetahuan tentang nilai kejujuran tidak cukup untuk membuat orang menjadi jujur. Kejujuran tidak berlangsung begitu saja tetapi membutuhkan dukungan infrastruktur yang kondusif untuk itu . Tak jarang orang baik yang benar-benar jujur kemudian hilang kejujurannya ketika ia memikul tanggung jawab tugas yang menggoda tanpa sistem pengawasan yang memadai.

Managemen kejujuran. Meskipun fitrah manusia pada dasarnya baik, jujur, lugu , berketuhanan dan memiliki rasa keadilan , tetapi ia juga memiliki syahwat dan nafsu yang cenderung menuntut pemuasan mendesak. Sudah menjadi sunnah kehidupan bahwa daya tarik keburukan itu lebih kuat dibanding daya tarik kebaikan.Untuk menggapai kebaikan, orang harus berfikir dengan skala jauh, sementara keburukan justeru menggoda dengan argumen praktis dan langsung, dengan slogan; yang penting sekarang. Banyak orang mendalami ilmu kebaikan dalam kurun waktu yang panjang hingga menguasai teori dan hukum-hukumnya, tetapi tiba-tiba ia terjerumus kepada keburukan yang barn saja dikenalnya.

Secara individu, manusia harus meminij hidupnya secara amanah, membiasakan tingkahlaku yang termonitor oleh keluarga, yang dengan itu suasana menjadi kondusip untuk jujur. Secara nasional, kejujuran juga dapat disosialisasi dan direkayasa melalui sistem politik, ekonomi, sosial budaya dan seterusnya. Tentang mamangemen kejujuran secara nasional akan dibahas secara lebih terperinci di bab belakang.

9.3. Iffah dan Qana'ah. Diantara kelengkapan psikologis manusia adalah syahwat, yakni kecenderungan terhadap apa yang diinginkan. Secara fitri sebagaimana disebutkan Al Qur'an bahwa manusia dihiasi dengan keinginan kepada lawan jenis, anak-anak, perhiasan emas perak, kendaraan yang bagus, kebun yang luas dan hewan ternak (Q/3:14). Jika manusia menuruti dorongan syahwatnya maka keinginan itu tak pernah terpuasi berapapun besarnya yang telah tercapai.

Oleh karena itu syahwat harus dikendalikan hingga sekedar mendorong manusia untuk bekerja, bercita¬cita dan berkehendak.
Sifat iffah atau 'afaf adalah bersihnya hati dari menginginkan apa yang ada pada orang lain, sedangkan qana'ah adalah perasaan menerima apapun yang diberikan Tuhan kepadanya sehingga hatinya merasa kaya dengan apa yang dimilikinya. 'Iffah terkadang diterjemahkan dengan suci hati, sedangkan qana'ah diterjemahkan dengan kaya hati
Qana'ah akan membuat pemiliknya hidup dengan tenteram dan selalu berfikir untuk memberi karena merasa kaya meski yang dimilikinya sedikit, sedangkan sifat 'ffah dapat meredam perasaan iri dan dengki kepada orang lain karena ia memang tidak tertarik dan tidak mengharap apa yang telah dimiliki oleh orang lain itu. Kebalikan qana'ah dan 'iffah adalah serakah, yakni merasa yang dimilikinya masih sedikit dan menginginkan setiap apa yang telah dimiliki oleh orang lain. Orang serakah sama sekali tak sempat berfikir untuk memberi meski yang telah dimilikinya sangat banyak, karena pusat perhatiannya terletak pada bagaimana merebut apa yang ada pada orang lain.

9.4. Tawaddlu' atau Rendah Hati. Rendah hati berbeda dengan rendah diri. Rendah diri merupakan sifat negatip, yaitu tidak percaya diri atau minder dalam pergaulan. Sedangkan rendah hati adalah secara sadar merendahkan dirinya di hadapan orang lain.Rendah diri merupakan kelemahan, tetapi merendahkan diri hanya bisa dilakukan oleh orang kuat. Kebalikan dari rendah hati adalah sombong atau takabbur. Takabbur adalah merasa dirinya besar dan memandang orang lain lebih rendah darinya. Seorang yang rendah hati senantiasa menghormati orang lain, karena ia menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempuma. Seseorang bisa nampak rendah (penampilannya) tetapi, boleh jadi ia memiliki kelebihan yang justeru disembunyikannya dari penglihatan orang lain. Sementara orang yang rendah hati itu tahu persis kelemahan dirinya meski orang lain boleh jadi tidak mengetahuinya.
Adapun sifat takabbur, merasa dirinya besar, hanya milik Allah, karena memang sebenarnyalah Tuhan itu Maha Besar, oleh karena itu salah satu nama Allah (al Asma al Husna) adalah al Mutakkbir, yang merasa diri Nya Besar. Manusia yang merasa dirinya besar pastilah keliru, disamping sebagai wujud tidak tahu diri, senya¬tanya diatas orang kaya ada yang lebih kaya, di atas orang pandai ada yang lebih pandai, di atas orang kuat ada yang lebih kuat, dan seterusnya.
Akhlak mengajarkan logika terbalik. Barang siapa ingin terhormat, ia justeru harus merendahkan dirinya, tetapi barang siapa ingin terpuruk jatuh, silahkan menyombongkan diri (man tawa dlo'a rofa'ahullah, waman takabbara wado'ahullah/Hadis). Artinya Barang siapa merendahkan dirinya, Allah akan memuliakan derajatnya, dan barang siapa menyombongkan dirinya, Allah akan menjatuhkannya. Keharusan merendahkan diri ditujukan terhadap sesama manusia, apa lagi terhadap Tuhan. Larangan takabbur juga terhadap sesama manusia, terlebih-lebih terhadap Tuhan.
posted by : Mubarok institute

Post a Comment

Home

My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger