Tuesday, April 21, 2015
Terorisme dan Politik (2)
Praktek
terorisme dapat dilihat akar sejarahnya dari tokoh Syi’ah ektrim Hasan bin
Sabah dari sekte Hassyasyin (1057M) yang diberi gelar The Old Man of The
Mountain in Alamut (dekat laut Kaspia), dan nama Hassyasyin (ada
hubungannya dengan penggunaan hasyis-narkoba)
kemudian di Barat-kan menjadi Assasination karena kelompok ini
selalu membunuh lawan-lawan politiknya secara tiba-tiba. Sedangkan ideologi
terorisme modern pada umumnya dinisbahkan kepada Teori Evolusi Darwin struggle
for survival between the races dan teori natural selection.
Selanjutnya Maximilien Robespierr, tokoh Revolusi Perancis dianggap sebagai
peletak dasar terorisme modern, kemudian disusul Vladimir Lenin (Rusia),
Yoseph Stalin (Rusia) yang diberi predikat master executive terror
(1924), disusul Mao Tse Tung (Cina) yang dalam melakukan teror untuk menjamin
kesetiaan rakyat kepada negara menghancurkan institusi keluarga dan agama.
Di
Amerika, terorisme bukanlah sesuatu yang asing sejak perang abad ke tujuh
belas. Bahkan menurut sejarahnya, Amerika dirumuskan dan dilahirkan dalam
kejahatan, “this nation was, as one historian note, “coceived and born in
violence”7 oleh karena itu perang Amerika terhadap
terorisme sesungguhnya merupakan perang melawan diri sendiri, atau bagian dari
kultur teroristiknya.
Internasionalisasi Terorisme
Ada dua hal yang menjadi
titik internasionalisasi “terrorisme”
dewasa ini yaitu sosok Usamah bin Laden dan Afganistan atau kota Peshawar.
1. Sesungguhnya kasus Usamah bin Laden lebih
merupakan limbah politik dalam negeri Saudi Arabia. Usamah sebagai
seorang muslim dan nasionalis Saudi bersama dengan 50 orang ulama/cendekiawan
Saudi, protes keras terhadap kerajaan atas kehadiran tentara (pangkalan
militer) Amerika di bumi kota suci Makkah Madinah. Kerajaan Saudi bukan saja
tidak menghormati aspirasi Usamah dan 50 tokoh Saudi lainnya, tetapi lebih
suka menunjukkan komitmen kerjasamanya dengan Amerika Serikat. Usamah terusir
dari tanah kelahirannya dan akhirnya ia menjadikan seluruh negeri Islam
sebagai tanah airnya. Ia pernah di Sudan, kemudian menetap di Afghan, sekarang
kemungkinan besar sudah gugur tetapi tetap “dipelihara” kemunculannya guna mengawal
“proyek” perang melawan terorisme global.
2. Ketika Uni Sovyet menduduki Afganistan,
Amerika sangat berkepentingan untuk mengusirnya. Dalam upaya mengusir tentara
Komunis itu Amerika membantu, melatih dan mempersenjatai Mujahidin Afghan.
Invasi negara Komunis ke bumi Afghanistan
sangat menyentuh panggilan jihad kaum muslimin dari seluruh dunia. Amerika
merasa menemukan potensi yang dapat digunakan sebagai kekuatan pengganggu Uni
Sovyet, maka Amerika menfasilitasi partisipasi mujahidin non Afghan yang datang
dari seluruh penjuru negeri Islam, termasuk dari Indonesia di Peshawar Pakistan. Peshawar bagaikan Akademi Militer dengan 100 000 mujahidin
dari seluruh dunia dibawah asuhan team instruktur CIA dibawah kendali William
Cassey, M16 (Inggris), ISI (Pakistan)
dan dana dari Saudi Arabia.
Nah ketika Uni Sovyet telah berhasil diusir dari bumi Afghanistan, para
Mujahidin merasa bahwa merekalah yang mengusir tentara kafir dari Afganistan,
tetapi Amerika merasa dialah yang berhasil mengalahkan Uni Sovyet dengan
melatih pasukan mujahidin Afgan dan non Afgan. Sepeninggal tentara Uni Sovyet tanpa
disadari telah hadir veteran perang (mujahidin) yang jumlahnya sangat besar.
Pengalaman keberhasilan Mujahidin mengusir tentara super power Uni
Sovyet secara psikologis melahirkan konsep diri positif pada mujahidin, yakni
merasa sanggup mengatasi masalah seberat apapun. Oleh karena itu gelombang
veteran perang Afghanpun mengalir ke Bosnia
bahkan ke Chehnya, Daghestan dan Moro, juga Poso dan Ambon.
Pokoknya dimanapun terjadi penindasan terhadap kaum muslimin, para mujahidin
itu siap untuk jihad dan syahid. Ketika
para pahlawan perang yang tangguh itu kemudian tidak lagi menemukan medan jihad, maka sebagian besar kembali ke habitatnya sebagai
orang biasa, ada petani, pedagang dan guru agama, tetapi ada juga yang
mengalami problem psikologis seperti veteran perang Vietnam di Amerika.
Hambali, Amrozi , Imam Samudera dan yang lain-lain yang jumlahnya cukup banyak
adalah orang desa (lokal) yang masuk pusaran global. Mereka tinggal di desa
kecil, tetapi informasi dunia global selalu diikuti melalui internet, dan
seperti Rambo jiwanya mudah terguncang ketika melihat arogansi Amerika yang
selalu menggunakan standar ganda. Mereka
bukanlah terrorist seperti yang di stigmakan oleh publik opini
media Barat, tetapi mereka adalah pejuang ideologis yang sedang membutuhkan
tempat berpijak yang tepat. Oleh karena itu memperlakukan kelompok itu secara
“gebyah uyah” dengan menggunakan paradigma perang melawan terorisme
international seperti yang dikumandangkan oleh presiden Bush, bukan saja tidak
efektif, tetapi akan membangkitkan kembali jiwa perang veteran yang sudah
tenang di habitat asalnya.
Laporan
Badan Penasehat Pentagon, Defence Science Board yang bertajuk Strategic
Communication sebagaimana dikutip situs BBC (Kamis 25-11-2004) secara
terbuka menyalahkan perang melawan terorisme yang justeru melebarkan jaringan
terorisme terhadap Amerika, karena diplomasi publik oleh AS soal demokrasi ke
dunia Islam tak lebih sebagai kepura-puraan semata. Tindakan AS terhadap dunia
Islam, kata laporan tersebut didorong oleh motif tersembunyi dan secara sengaja
dikendalikan demi memenuhi kepentingan nasional AS dengan mengorbankan dunia
Islam.
Bagaimana
di Indonesia
?
Praktek terror sudah lama dikenal di Indonesia.
Para pahlawan kita dulu juga dicap sebagai
teroris dan ektrimis oleh Belanda, karena mereka melakukan terror kepada
penjajah, bukan terror yang mengerikan (horrific
terrorism ) tetapi terror yang
bernuansa perjuangan dan kepahlawanan (heroic terrorism). Setelah merdeka
, bersamaan dengan pencarian system kenegaraan Republik Indonesia, radikalisme tak bisa
dihindarkan. Pertama karena adanya perbedaan konsep Negara, misalnya lahir
DI/TII (Jawa),Daud Bereuh (Aceh) dan kahar Muzakkar (Sulawesi).
Kedua karena tekanan politik (political pressure) yang dilakukan oleh
rezim orde Baru. Ketiga karena adanya mainan inteljen seperti KOMJI nya Imran,
Keempat pengaruh dinamika global;seperti perang Timur Tengah, Revolusi Iran, Arqam malaysia, perang Afgan dan
pendudukan Amerika terhadap Afgan dan Irak. Tetapi yang paling berperan dalam menstigmakan
atau membumikan terorisme di Indonesia
adalah Sidney Jones.
Sidney Jones ,Direktur Indonesia International
Crisis Group yang berpusat di
Australia menghabiskan waktu 20 tahun untuk merekam berbagai konflik di
Indonesia dalam kapasitasnya sebagai aktifis LSM sekaligus “kaki tangan” Amerika. Laporan berkala Sidney Jones menjadi masukan
resmi Kongres Amerika,FBI dan CIA,
Banyak hal yang dilaporkan Sidney Jones mengejutkan orang Indonesia,
bahkan mengejutkan orang yang namanya disebut dalam laporan itu,karena ia
terkesan sangat menguasai hingga ke detail peristiwa radikalisme bahkan sampai
ke “celana dalam” pelaku, seperti dalam laporan The Case of The Ngruki Network
in Indonesia. . Tak jelas apakah
terorisme di Indonesia itu
karya orang Indonesia
atau mainan inteljen Barat, apakah terrorist itu pelaku terror atau korban dari
permainan politik global. Kiprah Sidney Jones nampak sekali standar gandanya,
tetapi yang jelas hasilnya adalah menciptakan image negatip Indonesia
dimata international. Pers Indonesia
pun larut ke dalam tesis Sidney Jones karena memang tidak ada laporan lain yang
bisa menandinginya sehingga wacana terorisme di Indonesia hanya melalui satu
corong, yakni corong Sidney Jones. Sementara itu organisasi non profit
multinasional yang berpusat di Belgia, International Crisis Group (ICG)
yang dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, meski juga ber”warna”
Amerika tetapi tidak seberani Sidney Jones dalam menyimpulkan wacana
radikalisme di Indonesia.
Sosok Amrozi dan
Imam Samudera
Senyum
Amrozi ketika menerima vonis hukuman mati sungguh menggemaskan hati keluarga
korban bom Bali dan membingungkan psikolog
Barat, oleh karena itu Barat hanya menyebutnya sebagai teroris murah senyum.
Sementara Imam Samudera justeru menulis buku Aku Seorang Teroris, Hingga hari ini tidak ada keinginan keduanya
untuk meminta grasi dan tetap dengan senyum menyongsong hari kematiannya.
Senyum politik kah atau senyum ideology ? Sesungguhnya Amrozi dan Imam Samdera
hanya sekedar sample dari limbah politik global, limbah dari politik
standarganda Amerika. Amerika, dalam hal ini CIA kurang cermat ketika
memutuskan melatih mujahidin di Peshawar
untuk memerangi Uni Sovyet di Afganistan. Jika CIA berfikir teknis lawan dari
lawan adalah kawan, mujahidin non Afgan yang datang ke Afgan lebih didorong
oleh semangat mengusir tentara kafir dari bumi Afgan. Mereka siap mati bukan
demi tugas dinas, tetapi karena adanya panggilan jiwa. Di Afgan, Imam Samudera
tidak merasa sebagai orang Indonesia
tetapi sebagai penduduk bumi yang sedang bekerja membasmi kezaliman tentara
kafir. Suasana batin seperti itu dirasakan oleh mujahidin dari seluruh
dunia,baik yang sempat berlaga di Afgan maupun yang barus bersiap-siap menuju
kesana. Amrozi termasuk kategori yang terakhir ini karena ia hanya sampai ke
Malaisia. Ketika Amerika menunjukkan standargandanya secara telanjang dengan
menciptakan image building yang menghubungkan terorisme dengan kelompok
Islam ,mujahidin alumnus Peshawar
berbalik melawan Amerika yang dulu melatihnya. Jika Bush berkata Now for all nations of the
world, there only two choice; join America or join the terorisme,maka
veteran mujahidin tak mungkin memilih Amerika. Mereka dipaksa oleh Amerika
untuk menjadi lawan. Sikap arogansi
Amerika yang hanya memberikan dua pilihan persis sama ketika perang dingin 1950
an, John Foster Dulles berkata; “to all the Asian and African countries that
there are only two alternative either they going to join Washington,
or they join Moscow.
Jika Bush dalam perang melawan teroris bertekad mengejar mereka dimanapun
mereka berada,maka respond alumni Peshawar juga tidak kalah galaknya,yaitu killing
Americans Civilian and military any where and any time,membunuh orang
Amerika, sipil maupun tentara kapan dan dimanapun. Amrozi dan Imam Samudera
tidak sedang memusuhi Indonesia,
tetapi sedang terlibat dalam perang global dengan Amerika. Psikologi prajurit
dalam perang itu sering kacau. Jika pesawat Amerika yang super canggih di
Basrah Irak menembak mobil bak yang membawa tiang listrik karena dikira tank,
itu karena suasana psikologis dalam perang. Begitupun Imam Samudera dan Amrozi,
dalam kasus bom Bali dia tidak bisa membedakan antara orang Amerika dengan
orang Australia.
Jadi terorisme global kini lebih sebagai alat politik dan ekonomi serta
rekayasa inteljen dibanding sebagai ideology, dan biasanya orang bodoh dan
orang yang sempit wawasan yang dapat dijebak untuk menjadi pelaku lapangan
terorisme, sementara actor intelektualnya tetap duduk ongkang-ongkang sambil
menghitung keuntungan proyeknya..
Post a Comment
Home