Thursday, September 21, 2006
AKAR KLASSIK BHINNEKA TUNGGAL IKA
Kawasan Asia Tengara sudah lama menarik perhatian saudagar dari anak benua India dan Timur Tengah karena adanya komoditi yang eksotik, yaitu rempah-rempah dan wewangian. Dari kawasan Anak Benua India, datang saudagar yang beragama Hindu dan Budha ke negeri kita yang ketika itu masih bernama Nusantara, yakni kawasan dengan banyak nusa (pulau).. Karena kekosongan kekuatan politik di Nusantara, para saudagar India bukan saja berpengaruh dalam dunia perdagangan, tetapi juga dalam bidang budaya dan bahkan mempengaruhi politik. Pengaruh politik mereka tercermin pada berkembangnya budaya bercorak India dan peran utama bahasa Sanskerta. Jejak ke India-an kawasan ini secara antropologis dapat dilihat dalam nama Indonesia yang artinya “Kepulauan India”, sejalan dengan daratan tenggara Asia yang disebut Indocina, yakni “Cina-India”.
Sedangkan pengaruh saudagar India dalam bidang agama nampak pada jejak agama India yang tersimbolkan dalam candi Borobudur yang lebih melebar ke segala penjuru, sesuai dengan jiwa agama Budha yang meluas dan egaliter, dan candi Roro Jongrang (Prambanan) yang vertikal dan menjulang, sesuai dengan sifat agama Hindu yang mendalam dan bertingkat. Budhisme yang “didirikan” Sidarta Gautama merupakan “faham sufistik” yang ajarannya tersimpulkan dalam empat kebenaran dan delapan jalan. Sementara agama Hindhu sebenarnya merupakan tradisi ribuan tahun yang berkembang seperti bola salju sehingga nggak jelas mana yang asli dan mana yang perkembangan. Hingga kini tidak pernah disebut siapa pendiri pertama agama Hindhu. Yang nampak jelas pada agama Hindu adalah adanya kasta-kasta, sekurang-kurangnya ada empat Kasta, Jika agama Hindu mempunyai konsep ketuhanan Trimurti : Brahma (Pencipta) Wisnu (Pemelihara) dan Syiwa (Perusak), agama Budha justeru seperti tidak memiliki Tuhan, karena adanya ajaran yang tidak begitu jelas jaraknya antara Tuhan dan makhluk.
Adapun pengaruh dua agama India pada politik dan budaya , tercermin pada Budhisme yang menjadi falsafah kerajaan luar Jawa (Sriwijaya) yang bersemangat bahari, dan Hiduisme yang menjadi falsafah kerajaam Majapahit yang bertumpu pada kesuburan tanah pertanian Jawa.
Perkembangan selanjutnya, ketika ternyata kerajaan Majapahit berdiri di latar belakang dua kejayaan agama sekaligus; yakni kejayaan Budhisme (Borobudur) dan kejayaan Hinduisme (Roro Jongrang) , maka failasuf Majapahit (Empu Tantular) mengembangkan konsep rekonsiliasi dalam semangat kemajemukan; beraneka ragam tetapi hakikatnya satu, Bhineka Tunggal Ika atau Tan Hana Dharma Mangroa
Sedangkan pengaruh saudagar India dalam bidang agama nampak pada jejak agama India yang tersimbolkan dalam candi Borobudur yang lebih melebar ke segala penjuru, sesuai dengan jiwa agama Budha yang meluas dan egaliter, dan candi Roro Jongrang (Prambanan) yang vertikal dan menjulang, sesuai dengan sifat agama Hindu yang mendalam dan bertingkat. Budhisme yang “didirikan” Sidarta Gautama merupakan “faham sufistik” yang ajarannya tersimpulkan dalam empat kebenaran dan delapan jalan. Sementara agama Hindhu sebenarnya merupakan tradisi ribuan tahun yang berkembang seperti bola salju sehingga nggak jelas mana yang asli dan mana yang perkembangan. Hingga kini tidak pernah disebut siapa pendiri pertama agama Hindhu. Yang nampak jelas pada agama Hindu adalah adanya kasta-kasta, sekurang-kurangnya ada empat Kasta, Jika agama Hindu mempunyai konsep ketuhanan Trimurti : Brahma (Pencipta) Wisnu (Pemelihara) dan Syiwa (Perusak), agama Budha justeru seperti tidak memiliki Tuhan, karena adanya ajaran yang tidak begitu jelas jaraknya antara Tuhan dan makhluk.
Adapun pengaruh dua agama India pada politik dan budaya , tercermin pada Budhisme yang menjadi falsafah kerajaan luar Jawa (Sriwijaya) yang bersemangat bahari, dan Hiduisme yang menjadi falsafah kerajaam Majapahit yang bertumpu pada kesuburan tanah pertanian Jawa.
Perkembangan selanjutnya, ketika ternyata kerajaan Majapahit berdiri di latar belakang dua kejayaan agama sekaligus; yakni kejayaan Budhisme (Borobudur) dan kejayaan Hinduisme (Roro Jongrang) , maka failasuf Majapahit (Empu Tantular) mengembangkan konsep rekonsiliasi dalam semangat kemajemukan; beraneka ragam tetapi hakikatnya satu, Bhineka Tunggal Ika atau Tan Hana Dharma Mangroa
Post a Comment
Home