Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Sunday, October 08, 2006

Imam Politik
at 10:51 PM 
Dalam teori dan pemikiran politik Islam, ada tiga gelar simbolik yang disematkan kepada beberapa orang yang melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan dalam pucuk elite kekuasaan. Yaitu, al-imâm, al-khalîfah, dan amîr al-mukminin. Ketiga gelar simbolik ini telah pernah memainkan peran penting pada roda kepemimpinan dalam sejarah perkembangan Islam. Berikut ini beberapa penjelasan singkat tentang hakikat makna setiap gelar simbolik tersebut.
Al-Imâm. Dalam bahasa Arab, kata imam dalam berbagai bentuknya mempunya beberapa arti, seperti: tujuan atau maksud (al-amm), jalan dan agama (al-immah), Ibu dan Bendara (al-umma), Pemimpin yang diangkat oleh kaumnya (imam).

Imam juga berarti seorang pemimpin atau orang yang berada di muka. Menurut Thaba’thaba’i, imam adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang memegang pimpinan masyarakat dalam suatu gerakan sosial, atau suatu ideologi politik, atau suatu aliran pemikiran keilmuan atau keagamaan. Murtadha Muthahhari berpendapat, bahwa imam adalah pribadi yang memiliki beberapa pengikut, terlepas dari kenyataannya apakah dia saleh atau tidak. Dalam Al-Quran disebutkan, “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai imam-imam yang memberi petunjuk dengan seizin Kami.” (Al-Anbiyâ’: 73). Jadi secara harifiah, imam adalah seorang pemimpin.

Imam juga berarti sesuatu yang diikuti, baik sebagai kepala, jalan, atau sesuatu yang membuat lurus dan memperbaiki perkataan. Selain itu, imam digunakan juga untuk menyebut Al-Quran, Nabi Muhammad, khalifah, panglima tentara, dan sebagainya. Dengan demikian, jelaslah bahwa kata imâm memiliki banyak makna. Yaitu, bisa bermakna: maju ke depan, petunjuk dan bimbingan, kepantasan seseorang menjadi uswah hasanan, dan kepemimpinan.

Dalam Al-Quran, imam digunakan untuk menyebut pemimpin masyarakat (Q/Al-Isra’:71), kitab suci (Q/Hud: 17), pemimpin orang baik (Q/Al-Ambiya: 72-73), pemimpin orang kafir (Q/Al-Qashash dan Q/Al-Tawbah: 12)


Dari ayat-ayat Al-Quran di atas, bisa dipetik dua pengertian dari makna imâm; sebagian besar digunakan dalam Al-Quran membuktikan adanya indikasi yang bermakna “kebaikan”. Pada sisi lain—bahwa kata imâm juga menunjukkan makna jahat. Karena itu, imâm berarti seorang pemimpin yang diangkat oleh beberapa orang dalam suatu kaum. Pengangkatan imâm tersebut mengabaikan dan tidak memperdulikan, apakah ia akhirnya akan berjalan ke arah yang lurus atau arah yang sesat. Kedua, kata imâm dalam ayat-ayat Al-Quran itu bisa mengandung makna penyifatan kepada nabi-nabi: Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, dan Musa—sebagaimana juga menunjukkan kepada orang-orang yang bertakwa.

Al-Khalîfah. Gelar ini sangat berkaitan dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam. Setelah Nabi Muhammad wafat, para sahabat berkumpul untuk memilih dan memutuskan seorang yang akan menjadi pengganti kepemimpinan Nabi. Dan, Abu Bakar terpilih untuk menggantikan Rasulullah dalam memimpin dan memelihara kemaslahatan umat Islam pada masa-masa berikutnya. Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, yang berarti penerus atau pengganti nabi untuk mengurus masalah umat Islam.

Abu Bakar menegaskan, “Aku bukan khalifah Allah, melainkan khalifah Rasulullah.” Jadi, Abu Bakar diangkat oleh para sahabat sebagai pengganti dan penerus kepemimpinan Rasulullah. Khalifah sebagai konsep politik merupakan antitesis dari sistem kekaisaran yang absolut otoriter.

Amîr Al-Mu’minîn. Gelar ini diberikan kepada khalifah kedua: Umar ibn Khathtab—setelah menggantikan Khalifah Abu Bakar yang wafat. Dalam bukunya, Al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun menjelaskan sebab pemberian nama ini. Ia menulis, “Itu adalah bagian dari ciri khas kekhalifahaan dan itu diciptakan sejak masa para khalifah. Mereka telah menamakan para pemimpin delegasi dengan nama amir; yaitu wazan (bentuk kata) fa’il dari imarah. Para sahabat pun memanggil Sa’ad ibn Abi Waqqash dengan Amîr Al-Mu’minîn karena ia memimpin tentara Islam dalam Perang Qadisiyyah. Pada waktu itu, sebagian sahabat memanggil Umar ibn Khathtab dengan sebutan yang sama juga: Amîr Al-Mu’minîn sebagai pengganti gelar yang susah disebut, yaitu: Khalifatu khalifati Rasulillah (pengganti dari pengganti Rasulullah).

Penggunaan nama Imam, khalifah dan Amir mempunyai filosofi tersendiri. Imam mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin harus bias di depan seperti imam salat, khalifah (artinya yang dibelakang) mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin juga harus bias berada di belakang memberikan dorongan kepada rakyatnya. Sdagkan amir punya dua makna, sebagai isim fail artinya yang menyuruh, sebagai isim maf`ul artinya yang disuruh, maknanya seorang pemimpin suatu saat harus berani menyuruh, dan di kala yang lain justeru disuruh oleh rasa tangung jawabnya.

Secara umum, ketiga gelar di atas menunjukkan perlu atau adanya kepemimpinan dalam Islam. Bagi suatu kaum atau umat, keberadaan seorang pemimpin merupakan suatu keharusan yang tak mungkin dimungkiri. Menurut Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkâm Al-Sulthâniyyah wa Al-Wilâyât Al-Dîniyyah, dalam lembaga negara dan pemerintahan, seorang kepala atau pemimpin wajib hukumnya menurut ijma’. Alasannya, karena lembaga kepala dan pemerintah dijadikan sebagai pengganti fungsi kenabian dan menjaga agama serta mengurus urusan dunia.

Al-Mawardi menyebut tujuh syarat yang harus dipenuhi calon kepala negara (seorang pemimpin). Syarat-syarat itu, antara lain: (1) keseimbangan atau keadilan (al-‘adâlah); (2)punya ilmu pengetahuan untuk berijtihad; (3)punya pancaindera lengkap dan sehat; (4)anggota tubuhnya tidak kurang untuk menghalangi gerak dan cepat bangun; (5) punya visi pemikiran yang baik untuk mendapatkan kebijakan yang baik; (6)punya keberanian dan sifat menjaga rakyat; dan (7) punya nasab dari suku Quraisy. Persyaratan suku Quraisy dapat dibandingkan dengan UUD 45 yang menyebut Presiden haruslah orang Indonesia asli.

Adapun Imam Al-Ghazali mengingatkan kepada para pemimpin, khususnya para penguasa, bahwa kekuasaan yang didudukinya memiliki batas dan kadar tertentu, dan bisa juga kekuasaan itu mengandung keburukan. Karena itu, dalam menjalankan kekuasaannya, seorang pemimpin harus menjalankan sepuluh prinsip keadilan—sebagai syarat pertama bagi seorang pemimpin, seperti disebutkan Al-Mawardi. Antara lain; seorang pemimpin harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi; menerima pesan ulama; berlaku baik kepada bawahan; memiliki rasa rendah hati dan penyantun; tidak mementingkan diri sendiri; memiliki loyalitas tinggi; hidup sederhana; lemah lembut; cinta rakyat; serta tulus dan ikhlas.

Yang jelas, Nabi Muhammad dengan tegas mengingatkan para pemimpin. Nabi bersabda, “Hamba yang diberikan kekuasaan oleh Allah untuk memimpin umat, tetapi mengkhianati, dan tidak memberikan nasihat atau mengasihi mereka, Allah mengharamkan surga kepadanya.” Dalam hadis lain Rasulullah berkata, “Siapa jadi pemimpin umat Islam, tetapi tidak memperhatikan mereka sebagaimana terhadap keluarganya sendiri, berarti ia telah memperoleh tempat yang mapan di api neraka.” Wa Allahu a’lam bi al-shawab

posted by : Mubarok institute
My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger