Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Monday, November 27, 2006

Matinya Nurani
at 12:12 AM 
Nurani berasal dari bahasa Arab nur, artinya cahaya, kemudian menjadi nuraniyyun yang artinya bersifat cahaya. Dalam bahasa Indonesia, nurani digunakan untuk menyebut lubuk hati yang terdalam, disebut juga kata hati atau hati nurani. Jika seorang pencuri membunuh petugas ronda atau hansip yang memergokinya, disebut penjahat, maka pencuri yang memperkosa wanita didepan anaknya dan suaminya yang tak berdaya setelah dilukainya seperti yang baru-baru ini terjadi di Manggarai, pen­curi tersebut bukan hanya penjahat, tetapi lebih dari itu disebut telah tidak lagi memiliki nurani. Orang yang berbohong, kemudian tersipu-sipu ketika ter­bongkar kebohongannya, maka dia adalah pembohong biasa. Tetapi seorang tokoh yang berbohong dan kebohongannya sudah terbongkar di depan publik secara luas, kemudian ia masih bisa tampil dengan percaya diri, maka ia bukan saja pembohong, tetapi pembohong yang sudah tak bernurani.

Nurani merupakan subsistem kejiwaan manusia. Menurut Al Qur’an, manusia dianugerahi akal untuk berfikir dan memecahkan masalah, dianugerahi hati untuk memahami realitas (Q/22:46), dianugerahi syahwat untuk menggerakkan tingkahlaku (Q/3:14), dan dianugerahi nurani untuk meluruskan yang bengkok, membersihkan yang kotor dan untuk intro­speksi terhadap apa yang ada dalam jiwanya (Q/75:14-15). Jika hati manusia masih bisa diajak kompromi, membantah, mengingkari, mencabut pernyataan dan mencari-cari alasan pembenar, hal itu memang sesuai dengan tabiat hati tersebut.

Dalam Al Qur’an, hati disebut dengan nama qalb yang mempunyai arti bolak-balik. Ungkapan bahasa Arab berbunyi; summiyat al qalbu qalban litaqallubihi artinya hati dinamakan qalbu adalah karena tabiatnya yang bolak balik. Jadi hati (qalb) memang memiliki tabiat tidak konsisten, suka berdalih dan mencari-cari alasan pembenar. Nurani bagaikan kotak hitam (black box) di dalam hati, sebagai sub sistem yang bekerja secara konsisten ter­hadap kebenaran dan kejujuran. Hati boleh mencari-cari dalih pembenar, akal boleh membuat rumusan yang logis membenarkan dirinya, tetapi nurani tetap konsisten membisikkan bahwa yang salah tetap salah, dan yang benar tetap benar. Dalam Al Qur’an, nurani disebut dengan nama bashirah, (Q/75;14-15) yang mengandung arti pandangan mata batin sebagai lawan dari pandangan mata kepala. Bagi orang yang nuraninya sehat, pandangan mata hatinya lebih tajam menembus dimensi ruang dan waktu, berbeda dengan mata kepala yang sangat terbatas jangkauan pan­dangannya. Bagi orang yang mata hatinya buta, maka ketajaman penglihatan mata kepala tidak banyak membantu menemukan kebenaran (Q/22:46).

Menurut seorang ulama klasik, Ibn al Qayyim al Jauzi, bashirah atau nurani adalah cahaya yang ditem­patkan oleh Allah di dalam hati setiap manusia; nurun yaqdzi­fuhullah fi al qalbi. Oleh karena itu nurani bisa menjadi hotline manu­sia dengan Tuhannya. Cahaya ini pula yang menyebabkan manusia rindu kepada Tuhan, yang menyebabkan manusia bisa menangis ketika berdoa, yang menyebabkan manusia tak ter­kecoh oleh godaan rendah harta duniawi dan seba­liknya bisa melihat dengan jelas tingginya nilai keutamaan kebajikan yang bersifat ukhrawi. Jiwa manusia merupakan kesatuan sistem, oleh karena itu berfungsinya nurani juga bisa disebut sebagai sehat­nya hati (qalbun salim) atau seperti yang dikatakan oleh Imam Fakhr ar Razi dalam tafsir al Kabir, sebagai akal yang prima (al ‘aql as salim).

Mengapa hati nurani bisa mati ?
Al Qur’an mengingatkan bahwa Allah telah menye­diakan hukuman neraka Jahannam bagi manusia dan jin, yakni mereka yang mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (kebenaran), mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakan untuk melihat (kebenaran) dan mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka tak ubahnya binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka adalah orang-orang yang lalai (Q/7;179).

Imam Gazali memisalkan hati nurani dengan kaca cermin. Bagi orang yang bersih dari dosa, maka nura­ni­nya bagaikan cermin yang bening, sekecil apapun noda di wajah, segera akan nampak di cerminnya. Adapun orang yang suka melakukan dosa kecil, maka nuraninya bagaikan cermin yang terkena debu. Ia bisa menggambarkan wajah, tetapi noda-noda kecil tidak nampak. Sedangkan orang yang biasa melakukan dosa besar, maka nuraninya gelap, seperti cermin yang tersiram cat hitam. Hanya sebagian kecil dari cerminnya yang bisa digunakan untuk bercermin, oleh karena itu pelaku dosa besar tidak pernah merasa dirinya bersalah, karena cermin hatinya tidak bisa menampakkan apa-apa. Selanjut­nya Al Ghazali me­misalkan nurani orang yang mencampuraduk perbuatan baik dan perbuatan dosa dengan cermin yang retak. Cermin yang retak tidak bisa menggam­barkan wajah secara benar, hidung bisa nampak dua, mata menjadi empat, mulut menjadi menceng dan se­ba­gainya, sehingga orang yang seperti itu selalu kacau dalam memandang kebenar­an dan kesalahan, tidak bisa obyektif dan biasanya me­miliki kepri­badian yang pecah (split personality).

Bagaimana caranya meng­­hidupkan nurani?
secara umum jawabannya adalah menjauhi perbuatan dosa, baik dosa kepada Tuhan maupun dosa kepada manusia, karena perbuatan dosa merupakan daki yang mengotori cermin hati. Secara lebih spesifik, sebagai terapi, berdoa di tempat suci , —di Multazam misalnya— juga dapat menjadi shock therapy terhadap hati nurani. Mengapa di Ka‘bah banyak orang bisa menangis tersedu-sedu, karena disana ia tidak bisa tidak kecuali harus jujur kepada Tuhan. Di sana ter­bayang semua kesalahan yang pernah dilakukan tanpa sedikitpun bisa mencari-cari alasan pembenar. Jika psikologi schok therapy ini berhasil dipertahan­kan lama, maka selanjutnya nuraninya akan hidup, dan itulah yang disebut haji mabrur. Berakrab-akrab dengan problem kemanusiaan juga bisa menajamkan nurani. Orang yang selalu bergelut langsung mem­bantu kesulitan orang kecil, rakyat kebanyakan, maka nuraninya sedikit demi sedikit akan bercahaya.

Hatinya menjadi lembut, rasa syukurnya meningkat. Ia akan memiliki kepekaan yang kuat terhadap hal-hal yang berdampak buruk kepada kehidupan riil manusia. Apa hubungannya dengan menghidupkan nurani? Sudah barang tentu ada hubungannya, karena orang kecil relatif jujur, maka menyayangi orang kecil ber­makna menggosok-gosok kejujuran, dan hal itu mendatang­kan rahmat Tuhan. Sayangilah yang di bumi, niscaya kalian akan disayang Tuhan, irhamu man fi al ardhi yarhamukum man fi as sama. Demikian firman Allah dalam hadis qudsiy.

Adapun orang yang menunjukkan kepedulian kepada orang kecil tetapi dimaksud untuk publikasi politik, maka hal itu termasuk bentuk kebohongan, bohong kepada manusia dan bohong kepada Tuhan, apalagi jika menjadikan kesulitan orang kecil sebagai proyek mencari keuntungan sendiri. Dalam keadaan seperti itu seberapapun banyaknya kontribusi yang diberikan, tidak akan membuat nuraninya bercahaya. Wallohu a‘lam bis sawab.
posted by : Mubarok institute

Anonymous Anonymous said.. :

Nurani memang memegang hal penting didalam kehidupan,pabila nurani kotor maka prilaku venderung kotor begitu juga sebaliknya. Menurut saya ada beberapa hal yg harus diperhatikan agar nurani tidak mati:
1. MENGHILANGKAN KEBIASAAN BURUK. Mungkin saja kesalahan-kesalahan yg biasa kita kerjakan itu kita anggap kesalahan kecil tetapi bila acapkali dikerjakan maka hati akan tumpul dan menganggap kesalahan itu hal yg biasa-biasa saja dan lumrah.
2. HIDUP DILINGKUNGAN YG TERBIASA BERBUAT BURUK.Kesalahan-kesalahan yg dilakukan pihak lain yg acap kali kita lihat bisa menumpulkan nurani kalau kita tidak berupaya melakukan muhasabah atas diri kita.
3. SIKAP SOMBONG,UJUB,TAKA-
BUR & OVER CONFIDENCE.
4. BERGAUL HANYA DENGAN LINGKUNGAN ELITE SEMATA DAN KURANG BERGAUL KE MASYARAKAT YG SUSAH DAN DILANDA PETAKA.

8:01 PM  
Blogger yanmaneee said.. :

curry 4
cat boots
birkin bag
hermes belt
golden goose
curry 5 shoes
off white hoodie
supreme t shirt
birkin bag
yeezy shoes

9:54 PM  
Blogger Unknown said.. :

Get More Infofind this Check This Outsee page get redirected herelook at these guys

10:30 PM  

Post a Comment

Home

My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger