Thursday, March 15, 2007
Kecerdasan Emosi: Potensi Unik & Panggilan Jiwa (3)
Manusia : makhluk yang berfikir dan merasa
Jika kajian filsafat menekankan kepada berfikir. maka kajian tasauf lebih menekankan pada merasa. Hubungan dengan Tuhan juga lebih ditekankan pada rasa, rasa berketuhanan. Tasauf mengajarkan tentang stasiun-stasiun perjalanan manusia mendekat kepada Tuhan, dari taubat, zuhud, faqr terus hingga ridla, makrifat dan cinta. Selanjutnya rasa itu bisa berlanjut ke tingkat tertinggi yaitu wahdatul wujud atau manunggaling kawula lan Gusti, bersatu dengan Tuhan. Jiwa manusia juga mengalami peningkatan dari nafs zakiyyah (jiwa yang suci secara alami) kemudian meningkat ke nafs lawwamah (jiwa yang sedang mencari jati diri) terus jika berhasil meningkat menjadi nafs mutma’innah (jiwa yang tenang) atau terjerembab menjadi nafs ammarah (jiwa yang banyak menyuruh berbauat kejahatan).
Dalam al Qur’an, fungsi-fungsi psikologis disebut dengan istilah nafs (jiwa), qalb (hati) `aql (akal), ruh (nyawa) dan bashirah (hati nurani), fitrah (desain awal), syahwat (keinginan) hawa (dorongan negatip syahwat). Nafs merupakan ruangan luas di dalam diri setiap manusia sebagai sistem nafsaniyah dengan subsistem akal sebagai alat berfikir, qalb sebagai alat memahami yang sering tidak konsisten, bashirah sebagai mata batin yang konsisten, fitrah sebagai desain awal yang menetapkan fungsi, syahwat sebagai motif penggerak, hawa nafsu sebagai motif menyimpang, dan ruh sebagai spirit yang menyebabkan semuanya berfungsi.
Perkembangan kajian psikologi mutakhir bersentuhan dengan nuansa tasauf, yakni dengan ditemukannya potensi lain selain potensi intelektuil, yaitu kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Jika sebelumnya emosi dianggap sebagai penghambat, kajian mutakhir justeru menempatkan emosi sebagai potensi yang lebih menentukan dibanding kecerdasan intelektuil. Emosi yang dikelola (bukan ditekan) merupakan kekuatan merasa yang menyebabkan seseorang mampu memahami keadaan, mampu berimprofisasi saat sulit, mampu mentertawakan diri sendiri ketika merasa bersalah, mampu bercanda di ujung maut.
Emosi dapat diasah kualitasnya melalui pengalaman hidup, muhasabah (kalkulasi diri), mujahadah (latihan spirituil). Safar (perjalanan), zikr, kontemplasi (perenungan), puasa, zuhud (menanggalkan urusan dunia) dan jihad, kesemuanya dapat menajamkan kekuatan emosi. Semangat hidup orang yang memiliki kecerdasan emosi itu lebih kontruktip dibanding semangat hidup rationil.Jika seseorang sudah terlatih dalam mengelola emosinya, maka ia dapat meningkat ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu kecerdasan spirituil. Orang yang sudah memiliki kecerdasan spiritual, ia mempunyai kemampuan melampaui dimensi ruang dan waktu. Ia sudah dapat membaca hari esok , dapat berada di tempat lain dalam waktu yang sama, dapat bertandang ke alam lain mengunjungi orang yang sudah lama mati dan sebagainya.
Yang masih diperdebatkan ialah apakah tiga kecerdasan, Intelektual, Emosional dan Spiritual merupakan kecerdasan yang berstruktur atau berdampingan. Jika berstruktur, mana yang awal dan mana yang terakhir. Sebagian orang berpendapat bahwa kecerdasan emosional merupakan buah dari kecerdasan spiritual, yang lain berpendapat sebaliknya. Menurut pendapat saya, rahasia tiga kecerdasan itu merupakan sebagian dari rahasia manusia yang ajaib. Artinya, di belakang hari nanti akan ditemukan lagi rahasia lain yang sekarang masih tersembunyi di balik makhluk Tuhan yang bernama insan ini. Dalam perspektip teologi, manusia adalah tajalli atau perwujudan dari kebesaran Tuhan Sang Pencipta, oleh karena itu sebagaimana dikatakan oleh Alexis Careel, pertanyaan tentang manusia pada hakekatnya hinggi kini (dan hingga nanti) tetap tak terjawabkan secara lengkap.
Hanya iman (kecerdasan emosional dan spiritual) yang dapat menghayatinya, meski belum tentu bisa mengungkapkannya, karena tiap individu, di depan Tuhan adalah unik. Al Qur’an mengingatkan bahwa Allah melahirkan anak manusia (melalui proses persalinan) dalam keadaan tidak tahu apa-apa , Wallohu akhrojakum min buthuni ummahatikum la ta`lamuna syaia (Q/16:78). Sebagian ada yang mati muda, sebagian lagi ada yang sangat dipanjangkan umurnya hingga pikun, kembali tidak mengerti apa-apa seperti ketika baru lahir, Wa minkum man yuroddu ila ardzali al `umuri likaila ya`lama ba`da `ilmin syai’a (/16:70 dan Q/22:5).)
Jika kajian filsafat menekankan kepada berfikir. maka kajian tasauf lebih menekankan pada merasa. Hubungan dengan Tuhan juga lebih ditekankan pada rasa, rasa berketuhanan. Tasauf mengajarkan tentang stasiun-stasiun perjalanan manusia mendekat kepada Tuhan, dari taubat, zuhud, faqr terus hingga ridla, makrifat dan cinta. Selanjutnya rasa itu bisa berlanjut ke tingkat tertinggi yaitu wahdatul wujud atau manunggaling kawula lan Gusti, bersatu dengan Tuhan. Jiwa manusia juga mengalami peningkatan dari nafs zakiyyah (jiwa yang suci secara alami) kemudian meningkat ke nafs lawwamah (jiwa yang sedang mencari jati diri) terus jika berhasil meningkat menjadi nafs mutma’innah (jiwa yang tenang) atau terjerembab menjadi nafs ammarah (jiwa yang banyak menyuruh berbauat kejahatan).
Dalam al Qur’an, fungsi-fungsi psikologis disebut dengan istilah nafs (jiwa), qalb (hati) `aql (akal), ruh (nyawa) dan bashirah (hati nurani), fitrah (desain awal), syahwat (keinginan) hawa (dorongan negatip syahwat). Nafs merupakan ruangan luas di dalam diri setiap manusia sebagai sistem nafsaniyah dengan subsistem akal sebagai alat berfikir, qalb sebagai alat memahami yang sering tidak konsisten, bashirah sebagai mata batin yang konsisten, fitrah sebagai desain awal yang menetapkan fungsi, syahwat sebagai motif penggerak, hawa nafsu sebagai motif menyimpang, dan ruh sebagai spirit yang menyebabkan semuanya berfungsi.
Perkembangan kajian psikologi mutakhir bersentuhan dengan nuansa tasauf, yakni dengan ditemukannya potensi lain selain potensi intelektuil, yaitu kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual. Jika sebelumnya emosi dianggap sebagai penghambat, kajian mutakhir justeru menempatkan emosi sebagai potensi yang lebih menentukan dibanding kecerdasan intelektuil. Emosi yang dikelola (bukan ditekan) merupakan kekuatan merasa yang menyebabkan seseorang mampu memahami keadaan, mampu berimprofisasi saat sulit, mampu mentertawakan diri sendiri ketika merasa bersalah, mampu bercanda di ujung maut.
Emosi dapat diasah kualitasnya melalui pengalaman hidup, muhasabah (kalkulasi diri), mujahadah (latihan spirituil). Safar (perjalanan), zikr, kontemplasi (perenungan), puasa, zuhud (menanggalkan urusan dunia) dan jihad, kesemuanya dapat menajamkan kekuatan emosi. Semangat hidup orang yang memiliki kecerdasan emosi itu lebih kontruktip dibanding semangat hidup rationil.Jika seseorang sudah terlatih dalam mengelola emosinya, maka ia dapat meningkat ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu kecerdasan spirituil. Orang yang sudah memiliki kecerdasan spiritual, ia mempunyai kemampuan melampaui dimensi ruang dan waktu. Ia sudah dapat membaca hari esok , dapat berada di tempat lain dalam waktu yang sama, dapat bertandang ke alam lain mengunjungi orang yang sudah lama mati dan sebagainya.
Yang masih diperdebatkan ialah apakah tiga kecerdasan, Intelektual, Emosional dan Spiritual merupakan kecerdasan yang berstruktur atau berdampingan. Jika berstruktur, mana yang awal dan mana yang terakhir. Sebagian orang berpendapat bahwa kecerdasan emosional merupakan buah dari kecerdasan spiritual, yang lain berpendapat sebaliknya. Menurut pendapat saya, rahasia tiga kecerdasan itu merupakan sebagian dari rahasia manusia yang ajaib. Artinya, di belakang hari nanti akan ditemukan lagi rahasia lain yang sekarang masih tersembunyi di balik makhluk Tuhan yang bernama insan ini. Dalam perspektip teologi, manusia adalah tajalli atau perwujudan dari kebesaran Tuhan Sang Pencipta, oleh karena itu sebagaimana dikatakan oleh Alexis Careel, pertanyaan tentang manusia pada hakekatnya hinggi kini (dan hingga nanti) tetap tak terjawabkan secara lengkap.
Hanya iman (kecerdasan emosional dan spiritual) yang dapat menghayatinya, meski belum tentu bisa mengungkapkannya, karena tiap individu, di depan Tuhan adalah unik. Al Qur’an mengingatkan bahwa Allah melahirkan anak manusia (melalui proses persalinan) dalam keadaan tidak tahu apa-apa , Wallohu akhrojakum min buthuni ummahatikum la ta`lamuna syaia (Q/16:78). Sebagian ada yang mati muda, sebagian lagi ada yang sangat dipanjangkan umurnya hingga pikun, kembali tidak mengerti apa-apa seperti ketika baru lahir, Wa minkum man yuroddu ila ardzali al `umuri likaila ya`lama ba`da `ilmin syai’a (/16:70 dan Q/22:5).)
"Orang yang sudah memiliki kecerdasan spiritual, ia mempunyai kemampuan melampaui dimensi ruang dan waktu. Ia sudah dapat membaca hari esok , dapat berada di tempat lain dalam waktu yang sama, dapat bertandang ke alam lain mengunjungi orang yang sudah lama mati dan sebagainya."
+MaIDeN,
Statemen yang spertinya berbau klenik. Kita harus jadi gila dulu baru bisa memahaminya.
Post a Comment
Home