Center For Indigenous Psychology (Pusat Pengembangan Psikologi Islam) diasuh oleh: Prof. DR Achmad Mubarok MA, Guru Besar Psikologi Islam UI, UIN Jakarta, UIA

Tuesday, January 08, 2008

Idealisme dan Pragmatisme Dalam Politik
at 11:18 PM 
Anggapan bahwa politik itu kotor sesungguhnya subyektip karena hanya didasarkan pada pengalaman subyektip di lapangan, bukan politik sebagai konsep budaya. Manusia itu sendiri adalah makhluk politik, zoon politicon, yang padanya ada tabiat kerjasama dan bersaing sekaligus. Manusia menyadari kelemahannya oleh karena itu ia ingin bekerjasama dengan manusia lainnya untuk mempercepat pencapaian tujuan bersama. Tetapi manusia juga memiliki keunikan, yakni setiap orang adalah dirinya, mempunyai fikiran,perasaan dan kehendak yang khas dirinya berbeda dengan yang lain.

Oleh karena itu ketika sedang bekerjasama ada yang benar-benar tulus bekerjasama untuk tujuan bersama, ada yang unik, yaitu memiliki agenda sendiri, ingin mencapai tujuan sendiri diluar tujuan bersama. Sesama orang yang memiliki agenda sendiri mereka bersaing, terkadang secara fair dan tak jarang tidak fair. Dunia politik adalah medan kerjasama yang penuh dengan persaingan; internal apalagi external. Untuk bisa memenangkan persaingan maka setiap kompetitor pasti menggunakan kecerdasannya, karena tanpa kecerdasan orang pasti kalah dalam bersaing.

Menurut teori psikoanalisa, ekpressi manusia merupakan sinergi dari tiga pilar kepribadian, id, ego dan super ego, dimensi hewani, dimensi akal dan dimensi moral. Politisi yang berkepribadian hewan maka ia bersaing seperti hewan, serakah, tak sabar dan sadis. Politisi yang mengedepankan akal maka berpolitiksecara cerdas, ia bisa bermain cantik dan mampu melakukan rekayasa politik,meski belum tentu bermoral. Sedangkan type politisi yang bermoral, ia hanya bersaing secara fair,berpegang teguh kepada prinsip-prinsip moral, mengacu kepada cita-cita politik yang dituju dan tabah menderita ketika harus melalui tahapan-tahapan yang berat, dan tidak mau melakukan praktek dagang sapi.

Sebagai suatu persaingan, kemenangan politik tidak selalu sejalan dengan karakteristik sang politisi. Amin Rais yang Profesor Doktor dalam bidang ilmu politik ternyata tidak dijamin menang dalam politik, sebaliknya ia malah harus melantik Megawati yang tidak sarjana menjadi Presiden menggantikan Gus Dur. Idealisme politik tidak menjamin kemenangan actual, dan memang idealisme justeru menguat ketika sering berhadapan dengan realita politik yang terlalu pragmatis. Dibutuhkan kearifan, kecerdasan, keuletan dan kesabaran serta keberanian dalam menghadapi realitas politik yang cenderung pragmatis.

Bayangkan, idealisme politik yang diusung oleh para founding father negeri ini untuk membangun negeri yang adil makmur berdasar falsafah Panca Sila, hingga 62 tahun kemerdekaan RI masih harus bergulat melawan pragmatisme politik yang sarat dengan korupsi dan persekongkolan. Dibutuhkan kecerdasan yang lebih cerdas, yang bukan hanya kecerdasan intelektual.

Tiga Jenis Kecerdasan
Semula orang hanya membanggakan kecerdasan intelektual, tetapi sekarang sudah diperkenalkan dua kecerdasan lainnya yaitu kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).

1. Kecerdasan Intelektual dapat dilihat dari kemampuan seseorang memandang masalah secara ilmiah, menerangkan masalah secara logis dan menyusun rumusan problem solving berdasarkan teori. Hanya saja orang yang hanya cerdas secara intelektual terkadang tersesat kepada logika yang tidak relevan dengan problem solving itu sendiri. Ia puas dengan analisanya yang masuk akal dan bangga dengan kesetiaannya kepada kaidah keilmuan. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang IQ nya sangat tinggi jarang sukses memimpin sebuah institusi, sebaliknya kebanyakkan mereka justru bekerja pada institusi yang dipimpin oleh orang yang justru IQnya sedang-sedang saja.

2. Kecerdasan Emosional ditandai dengan kemampuan seseorang mengendalikan diri dalam menghadapi keadaan yang sulit. Dengan pengendalian diri yang kuat, ia bisa dengan tenang melihat permasalahan dan dengan tenang memperhitungkan dampak dari suatu keputusan atau suatu tindakan. Perhatian orang yang cerdas secara emosi bukan pada kaidah ilmu atau kaidah logika tetapi pada bagaimana problem solving dapat dijalankan, oleh karena itu ia bukan hanya berpikir logis tetapi juga berpikir arif dan bijak. Ia bukan hanya mengenali siapa dirinya, tetapi ia juga bekerja keras mengenali orang lain yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi. Baginya bukan kemenangan yang menjadi target, tetapi keberhasilan. Banyak orang yang menang diawal tapi gagal di belakang, sebaliknya orang yang cerdas secara emosi tak mengapa mengalah di depan demi untuk kemenangan yang sesungguhnya dibelakang nanti.

3. Kecerdasan Spiritual ditandai dengan kemampuan seseorang memandang masalah secara batin sebagai lawan dari pandangan mata kepala. Jika pandangan mata kepala terhalang sekat ruang dan waktu. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual bukan saja bisa melihat hal-hal dibalik ruang tetapi juga bisa berkomunikasi dengan siapa saja di masa lalu dan yang akan bermain di masa depan. Jika ciri utama orang yang memiliki kecerdsan emosional itu mampu berinteraksi secara hamonis dengan keadaan atau problem hari ini, maka cirri orang yang memiliki kecerdasan spiritual adalah memiliki visi jauh ke depan, melampaui zamannya.

Negarawan yang idealis biasanya memiliki ketiga unsur kecerdasan ini, sehingga puluhan atau bahkan ratusan tahun setelah kematiannya, gasan-gagasan politiknya masih relevan, sementara politisi pragmatis, gagasan politiknya sudah terkubur bersama dengan kelengserannya.
posted by : Mubarok institute

Post a Comment

Home

My Photo
Name:

Prof. Dr. Achmad Mubarok MA achmad.mubarok@yahoo.com

Only Articles In
Photos of Activities
Best Seller Books by Prof. DR Achmad Mubarok MA
Join Mubarok Institute’s Mailing List
Blog Development By
Consultation


Shoutbox


Mubarok Institute Weblog System
Designed by Kriswantoro
Powered by Blogger