Tuesday, January 08, 2008
Terorisme dan Politik (3)
Praktek terror sudah lama dikenal di Indonesia. Para pahlawan kita dulu juga dicap sebagai teroris dan ektrimis oleh Belanda, karena mereka melakukan terror kepada penjajah, bukan terror yang mengerikan (horrific terrorism ) tetapi terror yang bernuansa perjuangan dan kepahlawanan (heroic terrorism). Setelah merdeka , bersamaan dengan pencarian system kenegaraan Republik Indonesia, radikalisme tak bisa dihindarkan. Pertama karena adanya perbedaan konsep Negara, misalnya lahir DI/TII (Jawa),Daud Bereuh (Aceh) dan kahar Muzakkar (Sulawesi). Kedua karena tekanan politik (political pressure) yang dilakukan oleh rezim orde Baru. Ketiga karena adanya mainan inteljen seperti KOMJI nya Imran, Keempat pengaruh dinamika global;seperti perang Timur Tengah, Revolusi Iran, Arqam malaysia, perang Afgan dan pendudukan Amerika terhadap Afgan dan Irak. Tetapi yang paling berperan dalam menstigmakan atau membumikan terorisme di Indonesia adalah Sidney Jones.
Sidney Jones ,Direktur Indonesia International Crisis Group yang berpusat di Australia menghabiskan waktu 20 tahun untuk merekam berbagai konflik di Indonesia dalam kapasitasnya sebagai aktifis LSM sekaligus “kaki tangan” Amerika. Laporan berkala Sidney Jones menjadi masukan resmi Kongres Amerika,FBI dan CIA, Banyak hal yang dilaporkan Sidney Jones mengejutkan orang Indonesia, bahkan mengejutkan orang yang namanya disebut dalam laporan itu,karena ia terkesan sangat menguasai hingga ke detail peristiwa radikalisme bahkan sampai ke “celana dalam” pelaku, seperti dalam laporan The Case of The Ngruki Network in Indonesia. .
Tak jelas apakah terorisme di Indonesia itu karya orang Indonesia atau mainan inteljen Barat, apakah terrorist itu pelaku terror atau korban dari permainan politik global. Kiprah Sidney Jones nampak sekali standar gandanya, tetapi yang jelas hasilnya adalah menciptakan image negatip Indonesia dimata international. Pers Indonesia pun larut ke dalam tesis Sidney Jones karena memang tidak ada laporan lain yang bisa menandinginya sehingga wacana terorisme di Indonesia hanya melalui satu corong, yakni corong Sidney Jones. Sementara itu organisasi non profit multinasional yang berpusat di Belgia, International Crisis Group (ICG) yang dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, meski juga ber”warna” Amerika tetapi tidak seberani Sidney Jones dalam menyimpulkan wacana radikalisme di Indonesia.
Sosok Amrozi dan Imam Samudera
Senyum Amrozi ketika menerima vonis hukuman mati sungguh menggemaskan hati keluarga korban bom Bali dan membingungkan psikolog Barat, oleh karena itu Barat hanya menyebutnya sebagai teroris murah senyum. Sementara Imam Samudera justeru menulis buku Aku Seorang Teroris, Hingga hari ini tidak ada keinginan keduanya untuk meminta grasi dan tetap dengan senyum menyongsong hari kematiannya. Senyum politik kah atau senyum ideology ? Sesungguhnya Amrozi dan Imam Samdera hanya sekedar sample dari limbah politik global, limbah dari politik standarganda Amerika.
Amerika, dalam hal ini CIA kurang cermat ketika memutuskan melatih mujahidin di Peshawar untuk memerangi Uni Sovyet di Afganistan. Jika CIA berfikir teknis lawan dari lawan adalah kawan, mujahidin non Afgan yang datang ke Afgan lebih didorong oleh semangat mengusir tentara kafir dari bumi Afgan. Mereka siap mati bukan demi tugas dinas, tetapi karena adanya panggilan jiwa. Di Afgan, Imam Samudera tidak merasa sebagai orang Indonesia tetapi sebagai penduduk bumi yang sedang bekerja membasmi kezaliman tentara kafir. Suasana batin seperti itu dirasakan oleh mujahidin dari seluruh dunia,baik yang sempat berlaga di Afgan maupun yang barus bersiap-siap menuju kesana.
Amrozi termasuk kategori yang terakhir ini karena ia hanya sampai ke Malaisia. Ketika Amerika menunjukkan standargandanya secara telanjang dengan menciptakan image building yang menghubungkan terorisme dengan kelompok Islam ,mujahidin alumnus Peshawar berbalik melawan Amerika yang dulu melatihnya. Jika Bush berkata Now for all nations of the world, there only two choice; join America or join the terorisme,maka veteran mujahidin tak mungkin memilih Amerika. Mereka dipaksa oleh Amerika untuk menjadi lawan. Sikap arogansi Amerika yang hanya memberikan dua pilihan persis sama ketika perang dingin 1950 an, John Foster Dulles berkata; “to all the Asian and African countries that there are only two alternative either they going to join Washington, or they join Moscow.
Jika Bush dalam perang melawan teroris bertekad mengejar mereka dimanapun mereka berada,maka respond alumni Peshawar juga tidak kalah galaknya,yaitu killing Americans Civilian and military any where and any time,membunuh orang Amerika, sipil maupun tentara kapan dan dimanapun. Amrozi dan Imam Samudera tidak sedang memusuhi Indonesia, tetapi sedang terlibat dalam perang global dengan Amerika. Psikologi prajurit dalam perang itu sering kacau. Jika pesawat Amerika yang super canggih di Basrah Irak menembak mobil bak yang membawa tiang listrik karena dikira tank, itu karena suasana psikologis dalam perang. Begitupun Imam Samudera dan Amrozi, dalam kasus bom Bali dia tidak bisa membedakan antara orang Amerika dengan orang Australia. Jadi terorisme global kini lebih sebagai alat politik dan ekonomi serta rekayasa inteljen dibanding sebagai ideology, dan biasanya orang bodoh dan orang yang sempit wawasan yang dapat dijebak untuk menjadi pelaku lapangan terorisme, sementara actor intelektualnya tetap duduk ongkang-ongkang sambil menghitung keuntungan proyeknya.
Sidney Jones ,Direktur Indonesia International Crisis Group yang berpusat di Australia menghabiskan waktu 20 tahun untuk merekam berbagai konflik di Indonesia dalam kapasitasnya sebagai aktifis LSM sekaligus “kaki tangan” Amerika. Laporan berkala Sidney Jones menjadi masukan resmi Kongres Amerika,FBI dan CIA, Banyak hal yang dilaporkan Sidney Jones mengejutkan orang Indonesia, bahkan mengejutkan orang yang namanya disebut dalam laporan itu,karena ia terkesan sangat menguasai hingga ke detail peristiwa radikalisme bahkan sampai ke “celana dalam” pelaku, seperti dalam laporan The Case of The Ngruki Network in Indonesia. .
Tak jelas apakah terorisme di Indonesia itu karya orang Indonesia atau mainan inteljen Barat, apakah terrorist itu pelaku terror atau korban dari permainan politik global. Kiprah Sidney Jones nampak sekali standar gandanya, tetapi yang jelas hasilnya adalah menciptakan image negatip Indonesia dimata international. Pers Indonesia pun larut ke dalam tesis Sidney Jones karena memang tidak ada laporan lain yang bisa menandinginya sehingga wacana terorisme di Indonesia hanya melalui satu corong, yakni corong Sidney Jones. Sementara itu organisasi non profit multinasional yang berpusat di Belgia, International Crisis Group (ICG) yang dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, meski juga ber”warna” Amerika tetapi tidak seberani Sidney Jones dalam menyimpulkan wacana radikalisme di Indonesia.
Sosok Amrozi dan Imam Samudera
Senyum Amrozi ketika menerima vonis hukuman mati sungguh menggemaskan hati keluarga korban bom Bali dan membingungkan psikolog Barat, oleh karena itu Barat hanya menyebutnya sebagai teroris murah senyum. Sementara Imam Samudera justeru menulis buku Aku Seorang Teroris, Hingga hari ini tidak ada keinginan keduanya untuk meminta grasi dan tetap dengan senyum menyongsong hari kematiannya. Senyum politik kah atau senyum ideology ? Sesungguhnya Amrozi dan Imam Samdera hanya sekedar sample dari limbah politik global, limbah dari politik standarganda Amerika.
Amerika, dalam hal ini CIA kurang cermat ketika memutuskan melatih mujahidin di Peshawar untuk memerangi Uni Sovyet di Afganistan. Jika CIA berfikir teknis lawan dari lawan adalah kawan, mujahidin non Afgan yang datang ke Afgan lebih didorong oleh semangat mengusir tentara kafir dari bumi Afgan. Mereka siap mati bukan demi tugas dinas, tetapi karena adanya panggilan jiwa. Di Afgan, Imam Samudera tidak merasa sebagai orang Indonesia tetapi sebagai penduduk bumi yang sedang bekerja membasmi kezaliman tentara kafir. Suasana batin seperti itu dirasakan oleh mujahidin dari seluruh dunia,baik yang sempat berlaga di Afgan maupun yang barus bersiap-siap menuju kesana.
Amrozi termasuk kategori yang terakhir ini karena ia hanya sampai ke Malaisia. Ketika Amerika menunjukkan standargandanya secara telanjang dengan menciptakan image building yang menghubungkan terorisme dengan kelompok Islam ,mujahidin alumnus Peshawar berbalik melawan Amerika yang dulu melatihnya. Jika Bush berkata Now for all nations of the world, there only two choice; join America or join the terorisme,maka veteran mujahidin tak mungkin memilih Amerika. Mereka dipaksa oleh Amerika untuk menjadi lawan. Sikap arogansi Amerika yang hanya memberikan dua pilihan persis sama ketika perang dingin 1950 an, John Foster Dulles berkata; “to all the Asian and African countries that there are only two alternative either they going to join Washington, or they join Moscow.
Jika Bush dalam perang melawan teroris bertekad mengejar mereka dimanapun mereka berada,maka respond alumni Peshawar juga tidak kalah galaknya,yaitu killing Americans Civilian and military any where and any time,membunuh orang Amerika, sipil maupun tentara kapan dan dimanapun. Amrozi dan Imam Samudera tidak sedang memusuhi Indonesia, tetapi sedang terlibat dalam perang global dengan Amerika. Psikologi prajurit dalam perang itu sering kacau. Jika pesawat Amerika yang super canggih di Basrah Irak menembak mobil bak yang membawa tiang listrik karena dikira tank, itu karena suasana psikologis dalam perang. Begitupun Imam Samudera dan Amrozi, dalam kasus bom Bali dia tidak bisa membedakan antara orang Amerika dengan orang Australia. Jadi terorisme global kini lebih sebagai alat politik dan ekonomi serta rekayasa inteljen dibanding sebagai ideology, dan biasanya orang bodoh dan orang yang sempit wawasan yang dapat dijebak untuk menjadi pelaku lapangan terorisme, sementara actor intelektualnya tetap duduk ongkang-ongkang sambil menghitung keuntungan proyeknya.
Post a Comment
Home